Minggu, 18 Mei 2008

CRF


BAB I
PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG
Dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan semakin majunya teknologi kedokteran, semakin banyak pula masalah kesehatan yang dapat didiagnosa dengan jelas. Salah satu penyakit tersebut adalah gagal ginjal kronik atau kronik renal failure.
Gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolismedan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia.
Seseorang yang menderita kegagalan ginjal kronis, dalam beberapa keadaan dapat dikendalikan untuk bisa bertahan hidup. Yang terpenting bagi penderita adalah menjalani pengobatan dan diit secara teratur. Adapun terapi akhir yang harus dilakukan apabila upaya konservatif dan pengobatan tidak berhasi, harus dilakukan dialysis yang dapat memakan waktu yang cukup lama dan biaya banyak dan tidak jarang membuat pasien putus asa sehingga tidak melanjutkan pengobatannya, dan bisa menyebabkan kematian.
Kira-kira 60 ribu orang setiap tahunnya meninggal akibat CRF (menurut survey di Amerika dari 80 ribu orang yang menderita CRF). Masalah ini perlu penanggulangan yang serius guna mengurangi insiden kematian.
Karena angka kejadian yang cukup tinggi dan prognosanya yang buruk, maka sebagai calon tenega perawat professional pemula, penulis merasa tertarik untuk mempelajari kasus ini, sehingga dapat berperan dalam memberikan asuhan keperawatan, dan penyuluhan kepada pasien dan keluarga untuk menjalani program pengobatan maupun perawatan berkelanjutan di Rumah. Selain itu dukungan psikologis maupun spritual sangat penting bagi pasien.


B. TUJUAN
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui dan memahami proses asuhan keperawatan pada pasien dengan CRF
2. Mengaplikasikan asuhan keperawatan pada pasien dengan CRF
3. Memenuhi tugas terstruktur mata kuliah keperawatan pada pasien dengan CRF

C. METODA PENULISAN
Metode penulisan makalah ini adalah
1.Studi kepustakaan yaitu dengan berbagai literatur untuk dibaca dan diprlajari tentang masalah penyakit yang berhubungan dengan CRF
2.Studi pengamatan kasus, dengan mengadakan pengamatan langsung pada pasien dengan CRF.

D. SISTEMATIKA PENULISAN
Dalam penulisan makalah ini digunakan sistematika penulisan yang dimulai dari Bab I mengenai pendahuluan yang berisi tentang latar belakang, tujuan, metoda penulisan, dan sistematika penulisan. Pada bab II diuraikan tentang tinjauan teoritis yang terdiri dari konsep dasar medik serta konsep dasar keperawatan, konsep dasar medik meliputi: definisi, anatomi fisiologi, etiologi, tanda dan gejala, test diagnostik, penatalaksanaan medik, komplikasi,kemudian pada konsep dasar keperawatan dibahas mengenai pengkajian, diagnosa, dan intervensi keperawatan. Sedangkan bab III menguraikan hasil pengamatan kasus langsung di ruangan perawatan. Bab IV merupakan pembahasan kasus chronic renal failure, perbandingan antara teori dasar dengan pelaksanaan asuhan keperawatan pada kasus nyata dan bab V adalah kesimpulan dan pada bagian akhir makalah ini dilampirkan daftar pustaka.











BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Dasar
1. Definisi
Chronic renal failure (CRF) atau gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi ginjal yang progresif dan ireversibel, dimana kemampuan tubuh untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah ) (bruner and Suddarth, 2000)
Cronik Renal Failure (CRF) adalah kerusakan yang progresif dan ireversibel pada nefron-nefron di kedua ginjal. Prosesnya berkembang sampai sebagian besar nefron yang rusak dan digantikan oleh jaringan scar yang tidak berfungsi (Lewis, Medical Surgical Nursing, 2000)

2. Anatomi Fisiologi
a.Anatomi Ginjal
Ginjal adalah bagian utama dari sistem perkemihan yang juga termasuk didalamnya ureter, kandung kemih dan uretra. Ginjal terletak pada rongga abdomen posterior, dibelakang peritoneum, didepan 2 kosta terahir yaitu di area kanan dan kiri dari columna vertebralis. Ginjal dipertahankan dalam posisi tersebut oleh bantalan lemak yang tebal. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dibandingkan dengan ginjal kiri karena tertekan oleh hepar
Pada orang dewasa panjangnya 12-13 cm, lebar 6 cm dan beratnya antara 120-150 gram. Setiap ginjal memiliki korteks di bagian luar dan medula di bagian dalam yang terbagi menjadi piramid-piramid. Papila dari tiap piramid membentuk duktus papilaris Bertini yang selanjutnya menjadi kaliks minor, kaliks mayor, dan bersatu membentuk pelvis ginjal tempat terkumpulnya urine. Ureter menghubungkan pelvis ginjal dengan kandung kemih.



b. Pembuluh darah ginjal
Ginjal dilalui oleh sekitar 1200 ml darah per menit. Lebih dari 90% darah yang masuk ke ginjal berada pada korteks, sedangkan sisanya dialirkan ke medula. Arteri renalis dicabangkan dari aorta abdominalis dan bercabang menjadi arteri interlobaris yang berjalan diantara piramid yang selanjutnya membentuk arteria illiaca yang melengkung melintasi batas piramid-piramid tersebut. Arteria illiaca kemudian membentuk arteriola-arteriola interlobularis yang tersusun pararel dalam korteks. Arteriola interlobularis ini selanjutnya membentuk arteriola afferent yang berakhir pada glomerulus. Selanjutnya glomerulus membentuk arteriola efferent yang kemudian bercabang-cabang membentuk sistem portal kapiler yang mengelilingi tubulus. Darah yang mengalir melalui sistem portal ini akan dialirkan kedalam aliran vena, selanjutnya menuju vena illiaca, vena interlobaris dan vena renalis, dan akhirnya mencapai vena kava inferior.

c. Struktur mikroskopik ginjal
Nefron adalah unit fungsional dari ginjal. Setiap ginjal mempunyai 1 juta nefron yang pada dasarnya mempunyai fungsi yang sama. Setiap nefron terdiri dari glomerulus dan tubulus, dinding kapiler glomerulus tersusun dari lapisan sel-sel endotel dan membran basalis, dengan arteriola aferen dan eferent, kapsula Bowman's, tubulus proksimal, ansa Henle, tubulus distal, dan duktus pengumpul.
Fungsi utama dari komponen nefron adalah: glomerulus untuk filtrasi, tubulus proksimal mereabsorbsi Na+, H+, ADH, glukosa, K+, asam amino, Cl-, HCO3-, PO4-, Urea, mensekresi H+ dan substansi asing. Ansa henle: mengantisipasi arus aliran, konsentrasi urine, Na+ direabsorpsi secara pasief, dan Cl- direabsorpsi secara aktif; Cl+ direabsorpsi.

d. Proses terjadinya urine
Jumlah aliran darah pada kedua ginjal sekitar 1200 ml per menit. Sekitar 650 ml cairan ini adalah plasma, dari jumlah ini 125 ml tersaring melalui glomerulus ke kapsula Bowman's. Arteri renalis bercabang langsung pada aorta. Oleh sebab itu darah mengalir ke glomerulus dengan tekanan tinggi. Dorongan filtrasi adalah hasil perbedaan tekanan antara kapiler Bowman's dan rongga Bowman's, permeabilitas dari dinding kapiler, dan perbedaan antara tekanan koloid osmotik di kapsula Bowman dan lumen kapiler.
Darah difiltrasi di glomerulus melalui dinding semi permeabel dan hasilnya terdiri dari air, glukosa (100%), elektrolit, dan sisa metabolisme diteruskan ke tubulus proksimal. Dalam tubulus proksimal hasil filtrasi 60% direabsorbsi, kecuali glukosa (100%), sisa hasil filtrasi yang tidak direabsorbsi diteruskan ke tubulus distal melalui ansa henle. Di tubulus distal dan duktus pengumpul (koligentes) inilah ADH bekerja untuk mereabsorbsi hasil reabsorbsi di tubulus proksimal. Sisa akhir dari proses filtrasi dan reabsorbsi disebut urin. Ginjal menghasilkan 30-50 ml urin/jam yang sementara ditampung di piala ginjal.

e. Fungsi ginjal
Fungsi ekskresi
Mempertahankan osmolaritas plasmasekitar 285 m osmol dengan mengubah-ubah ekskresi air
Mempertahankan kadar masing-masing elektrolit plasma dalam rentang normal
Mempertahankan PH plasma, sekitar 7,4 dengan mengeluarkan kelebihan H dan membentuk kembali HCO3
Mensekkresi produk akhir nitrogen dari metabolisme protein, terutama urea, asam urat, dan kreatinin.

Fungsi ekskresi
Menghasilkan Renin, penting untuk pengaturan tekanan darah
Menghasilkan eritopoitin, factor penting dalam stimulasi produk sel darah merah oleh sumsum tulang
Metabolisme vitamin D menjadi bentuk aktif
Degradasi insulin
Menghasilkan prostaglandin.

3. Etiologi
glomerulonefritis kronic
4. Patofisiologi
Gagal ginjal kronik terjadi setelah sejumlah keadaan yang menghancurkan masa nefron ginjal. Keadaan ini mencakup penyakit parenkim ginjal difus bilateral, juga lesi obstruksi pada duktus urunarius. Mula – mula terjadi beberapa serangan penyakit ginjal terutama menyerang Patogenesis CRF ditunjukkan oleh kerusakkan nefron dengan hilangnya fungsi renal secara progresif. Ketika total GFR menurun dan bersihan menurun, serum urea nitrogen dan bersihan kreatinin meningkat. Sisa nefron yang berfungsi mengalami hipertrofi karena mereka diperlukan untuk menyaring muatan solut yang lebih besar. Salah satu akibatnya adalah hilangnya kemampuan ginjal untuk mengkonsentrasi urin secara adekuat. Dalam usahanya untuk melanjutkan sekresi solut, sejumlah besar urin dikeluarkan, sehingga klien mudah mengalami kehilangan cairan. Tubulus-tubulus secara bertahap kehilangan kemampuan untuk mereabsorbsi elektrolit. Kadang-kadang keadaan ini mengakibatkan terbuangnya garam dimana urin mengandung sejumlah besar sodium, mendorong terjadinya poliuri lebih lanjut. Bersamaan dengan berlanjutnya kerusakkan ginjal dan menurunnya fungsi nefron, maka total GFR menurun lebih lanjut. Dengan demikian tubuh menjadi tak mampu melepaskan air, garam, dan produk-produk sisa lainnya melalui ginjal. Ketika GFR < 10-20 ml/menit, maka uremia tampak secara klinis. Tubuh menjadi lebih terintoksikasi. Akibat dari CRF adalah uremia dan kematian.

5. Tanda dan gejala / manifestasi klinis
a. Sistem perkemihan
Oliguri, anuria, infeksi; sedimen urine mengandung lekosit, eritrosit, penurunan kratinin clearance, hematuri, proteinuri

b. Sistem pernafasan
Edema paru, pneumonia, pleura effusion,nafas Kussmaul, apnea, nafas bau amonia, hiperventilasi.
c. Sistem kardiovakular
Edema, hipertensi, tachycardia, anemia, kongestif jantung, perikarditis, disritmia, kardiomegali, aterosklerosis .
d. Integumen
Kulit kering, pruritus, ekskoriasi, uremic frost, kuku rapuh dan pucat, kulit berwarna seperti tembaga.
e. Elektrolit
Peningkatan kadar kalium, hidrogen, natrium, fosfat dan magnesium, serta penurunan kadar asambicarbonat dan kalsium
f .Sistem pencernaan
Anoreksia, stomatitis, ginggivitis, mual, muntah, diare, konstipasi, hematemesis, esofagitis, gastritis, melena, pembesaran hepar.
g. Metabolik
Peningkatan kadar urea nitrogen dan kadar kreatinin serum, peningkatan asam urat, intoleransi terhadap glukosa, perubahan degradasi insulin, peningkatan trigliserida, asidosis.
h. Sistem persarafan
Perubahan fungsi kognitif dan tingkah laku, perubahan tingkat kesadaran, neuropati perifer, kram pada malam hari, kesemutan pada ekstremitas bawah, apatis, lethargi, kelelahan, sakit kepala, kejang, koma.
i. Hematologi
Anemia, koagulopati, defisit trombosit
j. Sistem muskuloskeletal
Renal osteodistrofi, osteosklerosis, hilangnya massa otot, osteomalaise, fraktur, nyeri tulang, peningkatan alkali fosfatase.

6. Tes Diagnostik
a. Radiologi: foto polos abdomen, IVP, jantung, paru, tulang
b. USG ginjal
c. Renogram
d. Biopsi ginjal
e. CT scan ginjal
f. Laboratorium: Darah; hematologi, BUN, ureum, kreatinin, asam urat, alkali fosfatase, osmolaritas serum, analisa gas darah
g. Urine; urinalisa, CCT, osmolaritas

7. Terapi dan pengelolaan Medik
a. Elektrolit untuk asidosis
b. Terapi untuk hiperkalemi
c. Antikonvulsan
d. Antihipertensi
e. Diuretik
f. Antibiotika
g. Antasida
h. Hormon Androgenik
i. Antiemetik
j. Laksansia
k. Penggantian elektrolit, mineral dan nutrisi
l. Vitamin

8. Komplikasi
a. Hipertensi
b. Hiperkalemia
c. Anemia
d. Asidosis
e. Osteodistrofi ginjal
f. Hiperurisemia
g. Neuropati perifer

B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian menurut pola Gordon
a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
1) Adanya tanda dan gejala yang menyebabkan klien mencari pertolongan kesehatan, seperti; penurunan urin, edema, kelelahan hebat, depresi, kehilangan perhatian pada lingkungan, impoten.
2) Riwayat penyakit ginjal akut/kronik, menjalani terapi ARF, kronik renal insuffisiensi, hipertensi, DM, aterosklerosis, sistemik lupus eritematosus, atau penyakit sistemik lain yang mengenai ginjal.
b. Pola nutrisi dan metabolik.
1) Anoreksia, mual, muntah.
2) Bb menurun karena intake kurang.
3) Bb meningkat karena edema.
4) Rasa tidak enak di mulut.
c. Pola eliminasi
1) Poliuri, nocturia (CRF awal).
2) Oliguri (Fase CRF lanjut).
3) Diare atau konstipasi.
d. Pola aktivitas dan latihan
1) Kelelahan, kelemahan.
2) Konvulsi, kaku otot.
e. Pola tidur dan istirahat
1) Somnolent, insomnia, kegelisahan.
2) Sering mengantuk.
3) Tidur sering terganggu karena kram otot atau kejang betis.
f. Pola persepsi sensori dan kognitif
1) Kehilangan ingatan, perhatian berkurang/menyempit.
2) Kemampuan berpikir abstrak menurun.
3) Kehilangan perhatian untuk lingkungan.
4) Sakit kepala.
g. Pola persepsi diri dan konsep diri
1) Depresi, penurunan harga diri, perubahan konsep diri dan body image.
2) Menurunnya harga diri.
3) Menurunnya tingkat kemandirian dan perawatan diri.
h. Pola peran dan hubungan sesama
1) Tidak dapat bekerja, penurunan kontak sosial dan aktifitas.
i. Pola reproduksi dan seksualitas
1) Wanita; amenore, infertiliti, penurunan libido
2) Pria; impotensi, penurunan libido
j. Pola koping dan toleransi terhadap stres
1) Ketidakefektifan koping individu dan keluarga
2) Mekanisme pertahanan diri; denial, proyeksi, rasionalisasi, displacement
k. Pola Nilai dan kepercayaan
1) Kehilangan kepercayaan kepada pemberi pelayanan kesehatan


2. Diagnosa Keperawatan
a. Kelebihan volume cairan sehubungan dengan ketidakmampuan ginjal untuk menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh sehubungan dengan pembatasan diet yang diperlukan, anoreksia, mual, muntah, dan perubahan sensasi rasa.
c. Penurunan cardiac output sehubungan dengan kelebihan cairan, terapi obat, dan kehilangan darah yang berlebihan.
d. Tidak toleransi dalam beraktifitas sehubungan dengan kelebihan cairan yang kronik dan kelelahan.
e. Gangguan pola tidur sehubungan dengan retensi cairan, CHF, dan uremia.
f. Kerusakkan integritas kulit sehubungan dengan pruritus, iritasi, dan kemungkinan uremic frost.
g. Perubahan membran mukosa mulut sehubungan dengan perubahan kelenjar parotis, pembatasan intake cairan, dan peningkatan kadar ureum.
h. Perubahan proses pikir sehubungan dengan uremia, asidosis metabolik, hipoksia, dan ketidakseimbangan elektrolit, kalsifikasi di otak.
i. Kurang pengetahuan tentang kondisi, proses penyakit, prognosa dan terapi yang diperlukan sehubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang informasi, dan misinterpretasi.
Diagnosa keperawatan yang lain:
a. Kerusakan mobilitas fisik sehubungan dengan renal osteodistrofi, neuropati perifer, paresis atau paralisis, atau koma.
b. Kecemasan sehubungan dengan kurang pengetahuan tentang prosedur dan diagnostik tes dan kurang mengerti tentang proses penyakit.
c.Konstipasi sehubungan dengan penurunan intake cairan dan penurunan konsumsi makanan tinggi serat.
d.Diare sehubungan dengan ketidakseimbangan elektrolit, takut, dan cemas.
e.Ketidakefektifan koping individu sehubungan dengan stress karena penyakit kronik.
f.Gangguan harga diri sehubungan perubahan body image dan peran.
g.Nyeri kronik sehubungan dengan mual, muntah, kram otot, dan kesemutan.
h.Disfungsi seksual sehubungan dengan penurunan libido dan impoten.

3. Perencanaan
a. Kelebihan volume cairan sehubungan dengan ketidakmampuan ginjal untuk menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit.
Hasil yang diharapkan:
Intake dan output seimbang, berat badan stabil, suara nafas dan bunyi jantung normal, tidak ada edema, elektrolit dalam batas normal.

Intervensi
Rasional
-Kaji lokasi edema (sakrum, pretibia, sirkum maleolus, dan dorsum pedis)
Pengumpulan cairan sering terjadi pada lokasi tersebut
-Monitor dan catat intake dan output secara cermat.
Kelebihan cairan dapat terdeteksi.
-Timbang Bb secara teratur dengan waktu dan timbangan yang sama.
Menentukan kelebihan cairan.
-Monitor tekanan darah tiap 4 jam
Kelebihan volume cairan dapat meningkatkan tekanan darah.
-Kaji bunyi nafas dan bunyi jantung.
Kelebihan cairan dapat menyebabkan edema paru.
-Monitor serum elektrolit.
Menentukan keseimbangan cairan dan elektrolit.
-kolaborasi pemberian diuretik.
Mengatasi kelebihan cairan.

b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh sehubungan dengan pembatasan diet yang diperlukan, anoreksia, mual, muntah, dan perubahan sensasi rasa.
Hasil yang diharapkan:
· Pasien mampu menjaga status nutrisi yang adekuat, menjaga berat badan yang ideal sesuai dengan Tb, usia, dan bentuk tubuh.
· Kadar albumin dan Hb dalam batas normal
Intervensi
Rasional
-Kaji status nutrisi pasien.
Menentukan tindakan selanjutnya.
-Timbang Bb secara teratur dengan waktu dan timbangan yang sama.
Mengetahui perkembangan status nutrisi klien
-Kaji dan catat adanya tanda dan gejala malnutrisi.
Indikasi untuk tindakan mencegah malnutrisi.
-Kaji penyebab intake kurang adekuat (anoreksia, mual, muntah, kehilangan sensasi rasa.
Menentukan tindakan yang harus dilakukan untuk mengatasi intake kurang.
-Sajikan makanan dalam keadaan hangat, porsi kecil, dan menarik.
Menambah selera makan.
-Anjurkan pasien untuk memberihkan mulut sebelum dan sesudah makan.
Memberikan rasa enak dan meningkatkan nafsu makan.
-Rujuk ke ahli gizi jika diperlukan.
Modifikasi diet yang sesuai dengan CRF.
-Kolaborasi pemberian antiemetik, vitamin.
Mencegah muntah dan meningkatkan nafsu makan.

c. Penurunan cardiac output sehubungan dengan kelebihan cairan, terapi obat, dan kehilangan darah yang berlebihan.
Hasil yang diharapkan:
Pasien akan menjaga cardiac output, yang ditunjukkan oleh tekanan darah dan HR yang normal untuk pasien, nadi penuh dan pengisian kapiler cepat.
Intervensi
Rasional
-Auskultasi bunyi jantung dan paru. Evaluasi adanya edema perifer/kongesti vaskular dan adanya dispnea.
Tachycardi, irregular HR, tachypnea, dispnea, dan edema/distensi vena jugularis mengindikasikan CHF.
-Kaji adanya/derajat hipertensi, monitor tekanan darah 3 posisi (berbaring, duduk, berdiri)
Hipertensi yang terjadi, karena gangguan pada sistem renin angiotensin aldosteron. Hipotensi ortostatik dapat terjadi karena kekurangan cairan intravaskular, respon terhadap terapi antihipertensi, atau perikardiak uremi tamponade.
-Kaji adanya nyeri dada, catat lokasi, radiasi,
Hipertensi dan CHF dapat menyebabkan miokard infark.
-Evaluasi bunyi jantung, TD, nadi, pengisian kapiler, kongesti vaskular, dan suhu.
Keadaan-keadaan emergensi diantisipasi dengan mengamati komponen tersebut.
-kaji tingkat aktifitas, respon terhadap aktifitas
Kelamahan dapat terjadi pada CHF dan anemia
-Kolaborasi: monitor serum elektrolit dan rontgen dada.
Mengidentifikasi adanya perubahan konduksi jantung dan untuk mengetahui adanya gagal jantung.
-Kolaborasi pemberian antihipertensi.
Menurunkan tahanan sistemik vaskular dan pelepasan renin.

d. Tidak toleransi dalam beraktifitas sehubungan dengan kelebihan cairan yang kronik dan kelelahan.
Hasil yang diharapkan:
Pasien mampu beraktivitas secara bertahap sesuai dengan kemampuan.
Intervensi
Rasional
-Kaji kemampuan akivitas pasien.
Bantuan diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien.
-Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari (higiene, nutrisi, dan eliminasi) jika diperlukan
Memenuhi kebutuhan dasar pasien
-Ajarkan klien untuk melakukan ROM secara bertahap.
Menjaga fungsi pergerakan sendi dan mencegah deformitas.
-Minimalkan latihan yang menyebabkan kelelahan.
Mencegah pasien kelelahan.


-Beri reinforcement untuk aktivitas yang dapat dilakukan klien.
Memberi dukungan pada pasien.

e. Gangguan pola tidur sehubungan dengan retensi cairan, CHF, dan uremia.
Hasil yang diharapkan:
Pasien mampu tidur/istirahat, yang ditunjukkan dengan wajah cerah, rileks.
Intervensi
Rasional
-Kaji pola tidur pasien.
Menentukan tingkat gangguan.
-Hindari melakukan prosedur pada saat pasien tidur, kecuali jika sangat diperlukan.
Mengganggu tidur pasien dan mungkin pasien akan sulit unruk tidur kembali.
-Anjurkan pasien untuk membatasi minum pada malam hari.
Mencegah berkemih sepanjang malam yang dapat mengganggu tidur.
-Batasi asupan minuman yang mengandung kafein.
Kafein dapat menyebabkan orang tetap terjaga.
-Berikan waktu tidur dan istirahat pada siang hari.
Mengganti waktu tidur yang kurang pada malam hari.

f. Kerusakkan integritas kulit sehubungan dengan pruritus, iritasi, dan kemungkinan uremic frost.
Hasil yang diharapkan:
Kulit utuh, hangat, turgor kulit baik, dan tidak ada pruritus.
Intervensi
Rasional
-Kaji kebersihan dan keutuhan kulit (warna, turgor, tekstur, edema, dan temperatur.
Menentukan keadaan kulit pasien.
-Anjurkan pasien untuk tidak menggaruk kulit.
Mencegah infeksi.
-Anjurkan pasien untuk memotong kuku.
Agar tidak melukai kulit, jika pasien menggaruk.
-bantu dan anjurkan pasien untuk merubah posisi tidur.
Mencegah penekanan kulit pada satu area yang terlalu lama.
-Beri cream pelembab jika kulit kering.
Mencegah kekeringan dan menjaga keutuhan kulit.
-Jaga kebersihan dan kerapihan alat tenun.
Mencegah luka akibat gesekan dengan alat tenun.
-Kolaborasi pemberian terapi untuk pruritus.
Mengurangi gatal-gatal pada kulit.

g. Perubahan membran mukosa mulut sehubungan dengan perubahan kelenjar parotis, pembatasan intake cairan, dan peningkatan kadar ureum.
Hasil yang diharapkan:
· Pasien mampu menjaga integritas mukosa membran mulut.
· Pasien mampu mengidentifikasi intervensi yang spesifik untuk meningkatkan kesehatan mukosa mulut.
Intervensi
Rasional
-Inspeksi rongga mulut, kelembaban, kaji adanya peradangan, ulserasi, lekoplakia.
Memberikan gambaran tentang intervensi dan pencegahan terhadap infeksi.
-Berikan cairan sesuai dengan batasan yang dianjurkan.
Mencegah kekeringan mulut akibat tidak adanya intake oral yang lama.
-Berikan perawatan mulut, sediakan permen diantara waktu makan.
Memberikan rasa segar di mulut dan mencegah kekeringan.
-Anjurkan untuk menggosok gigi setelah makan dan sebelum tidur.
Mengurangi pertunbuhan bakteri yang dapat menyebabkan infeksi.
-Anjurkan pasien untuk berhenti merokok dan menghindari obat kumur yang mengandung alkohol.
Substansi ini dapat mengiritasi mukosa dan mempunyai efek kering, menambah ketidaknyamanan.

h. Perubahan proses pikir sehubungan dengan uremia, asidosis metabolik, hipoksia, dan ketidakseimbangan elektrolit, kalsifikasi di otak.
Hasil yang diharapkan:
· Pasien mampu mencapai tingkat mental seperti biasanya.
· Pasien mampu mengidentifikasi cara mengkompensasi gangguan kognitif/defisit memori.
Intervensi
Rasional
-Kaji tingkat gangguan kemampuan pikir, memori, dan orientasi.
Efek uremia dimulai dengan rasa bingung dan mudah tersinggung, dapat berkembang ke perubahan kepribadian.
-Dapatkan data dari orang terdekat mengenai tingkat mental pasien biasanya.
Sebagai perbandingan untuk mengevaluasi perkembangan mental pasien.
-Berikan informasi kepada keluarga pasien tentang keadaan pasien.
Keluarga dapat mengikuti perkembangan pasien.
-Berikan lingkungan yang tenang, atur pemakaian tv, radio, dan kunjungan.
Stimulus lingkungan yang minimal menurunkan overload sensori.
-Reorientasikan terhadap lingkungan, orang, sediakan kalender, jam, dan jendela.
Sebagai petunjuk untuk membantu pemahaman realitas.
-Atur jadwal reguler dalam beraktifitas.
Kebingungan dapat dikurangi dengan aktifitas yang teratur.
-Tingkatkan istirahat yang cukup dan waktu tidur yang tidak terganggu.
Gangguan tidur dapat meningkatkan gangguan kognitif.

i. Kurang pengetahuan tentang kondisi, proses penyakit, prognosa dan terapi yang diperlukan sehubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang informasi, dan misinterpretasi.
Hasil yang diharapkan:
· Pasien dapat mengungkapkan pengertiannya tentang kondisi, proses penyakit dan terapi.
· Pasien dapat berinisiatif merubah pola hidupp yang diperlukan.
· Pasien dapat berpartisipasi dalam regimen terapeutik
Intervensi
Rasional
-Kaji tingkat pengetahuan pasien tentang CRF.
Menentukan informasi yang dibutuhkan klien.
-Jelaskan tentang proses penyakit, prognosa, dan terapi yang dijalankan.
Memberikan pengetahuan berdasarkan tingkat kebutuhan pasien.
-Jelaskan tentang diet pada penderita CRF( makanan yang harus dihindari, dan harus dikonsumsi)
Komplikasi dapat timbul akibat akumulasi zat makanan tertentu(mis: magnesium, fosfat, dan protein).
-Jelaskan tentang gejala memburuknya penyakit (bb bertambah, lethargi, penurunan jumlah urin, edema, peningkatan tekanan darah).
Memberikan gambaran pada pasien untuk memperhatikan dirinya.
-Anjurkan pasien untuk segera ke dokter bila timbul gejala-gejala seperti diatas.
Mendapatkan pertolongan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.
-Jelaskan tentang terapi yang diberikan, dosis, kegunaan dan waktu pemberian.
Pengetahuan tentang obat diperlukan, karena pasien berobat dalam jangka waktu yang lama.
-Anjurkan pasien untuk olahraga secara teratur.
Membantu menjaga tonus otot dan fleksibilitas sendi, serta mengurangi resiko imobilisasi.
-Anjurkan pasien untuk follow up (medikal dan laboratorium) secara teratur.
Memonitor fungsi ginjal dan keseimbangan elektrolit serta pengobatan yang diperlukan
-Anjurkan pasien untuk memelihara kebersihan dan keutuhan kulit.
Mencegah timbulnya infeksi sekunder.

BAB III
PENGAMATAN KASUS

Tn. A.R., 57 tahun, beristri tanpa anak, bekerja sebagai komisaris di sebuah hotel di Bogor, dirawat di unit perawatan Elizabeth sejak 1 hari yang lalu setelah mendapat perawatan di unit gawat darurat. Sejak 1 bulan yang lalu, pasien mengeluh pusing dan sudah berobat ke dokter di Bogor dan mendapat obat Adalat, serta dianjurkan untuk dirawat karena tekanan darahnya 180 sistolik, namun pasien menolak dan hanya beristirahat di rumah. 3 hari yang lalu, kepala bertambah pusing dan pasien kembali ke dokter, tekanan darah mencapai 215 sistolik dan pasien dianjurkan untuk dirawat. Saat pengkajian pasien mengeluh pusing dan kepala terasa berat terutama pada daerah dahi dan belakang kepala, mengeluh mual, dan b.a.k kurang lancar.
Pengamatan secara lengkap dapat diikuti pada lembar catatan perawatan (CP.1 hingga CP.5) pada halaman-halaman berikut.







BAB IV
PEMBAHASAN KASUS

A. PENGKAJIAN
Kasus CRF pada Tn. A.R. yang penulis amati, kemungkinan besar disebabkan oleh hipertensi karena saat pengkajian didapatkan tekanan darah 170/120 mmHg. Namun, sulit untuk menentukan mana yang merupakan penyakit primer, karena hipertensi dapat menyebabkan kerusakan pada ginjal, sebaliknya penyakit ginjal kronik dapat menyebabkan hipertensi atau ikut berperan pada hipertensi melalui mekanisme retensi natrium dan air, pengaruh vasopresor dari sistem renin angiotensin dan mungkin pula melalui defisiensi prostaglandin. Selain ada riwayat hipertensi sejak 7 bulan yang lalu, gejala-gejala yang mendukung adanya CRF pada pasien ini adalah keluhan mual, sering berkemih pada malam hari, aliran kencing tidak lancar dan ada rasa tidak lampias setelah berkemih. Pasien juga mempunyai riwayat kurang minum (5 gelas/hari), lebih banyak duduk dalam bekerja, menyetir mobil sendiri setiap hari (Bogor-Bekasi). Dari hasil laboratorium didapatkan Ureum 104 mg/dl, kreatinin 7,5 mg/dl, Hemoglobin 10,1 g/dl yang menunjukkan telah terjadi gangguan ginjal. Disamping itu dari hasil urin didapatkan pH 5, Berat jenis urin 1025, protein Å, Lekosit 10-15/LPB, Eritrosit 6-8, bakteri Å yang menunjukkan adanya infeksi pada saluran kemih. Dari data-data yang didapat hampir seluruhnya sesuai dengan teori, namun pada pasien ini tidak terdapat edema karena hasil Albumin masih dalam batas normal 3,5 g/dl.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Dari 9 diagnosa keperawatan pada teori yang disarikan dari berbagai sumber, dapat diaplikasikan 2 diagnosa, yaitu:
1. Potensial perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh sehubungan dengan asupan nutrisi yang tidak adekuat akibat mual dan hilangnya sensasi rasa pada mulut.
2. Kurang pengetahuan tentang kondisi, proses penyakit, prognosa, dan terapi yang diperlukan sehubungan dengan kurangnya informasi.
Sedangkan 2 diagnosa lainnya yaitu:
1. Perubahan perfusi jaringan serebral sehubungan dengan peningkatan tekanan vaskular serebral yang ditandai dengan keluhan pusing, tekanan darah 170/120 mmHg.
2. Perubahan pola eliminasi urin sehubungan dengan infeksi saluran kemih yang ditandai dengan aliran kencing kurang lancar, rasa tidak lampias setelah berkemih, serta hasil pemeriksaan urin bakteri Å, lekosit 10-15/LPB.
Sedangkan 7 diagnosa utama lain di teori tidak diangkat, karena belum ada data-data yang cukup menunjang.

C. PERENCANAAN
Perencanaan yang disusun bersama dengan pasien disesuaikan dengan tingkat gangguan yang terjadi. Dengan tingkat kemandirian pasien yang masih cukup tinggi karena pasien masih mampu merawat diri secara adekuat, maka perencanaan pada Tn. A.R. lebih banyak ditekankan pada peningkatan pengetahuan dan pemahaman pasien tentang kondisinya, penyakit yang diderita, tanda gejala lebih lanjut yang dapat timbul, dan prognosa, serta terapi dan komplikasi yang dapat terjadi pada CRF. Selain itu anjuran untuk merubah gaya hidup yang diperlukan yaitu menghindari makan daging kambing dan makan yang asin-asin, melanjutkan kebiasaan olahraga secara teratur dan kontrol ke dokter secara teratur mendapat porsi yang cukup besar.

D. IMPLEMENTASI
Dari semua rencana keperawatan aktual yang disusun hampir seluruhnya dapat dilaksanakan. Sebagian besar implementasi dilaksanakan dalam bentuk penyuluhan dan pembahasan tentang proses penyakit, akibat yang timbul, pilihan pengobatan yang umum dilakukan , pengaturan diet, dan perubahan aktivitas yang harus dilaksanakan pada penderita CRF. Implementasi yang belum dilaksanakan antara lain adalah mengobservasi warna urine, kekeruhan, dan bau urin, karena pasien b.a.k di kamar mandi. Intake output belum diukur secara adekuat karena pasien sedang puasa untuk pemeriksaan USG ginjal, dan karena pasien belum diberi penjelasan tentang pengukuran tersebut.
E. EVALUASI
Selama pengamatan kasus pasien sangat kooperatif dan tampak antusias terhadap penyuluhan yang diberikan oleh perawat. Pasien juga mampu mengungkapkan kembali penjelasan yang telah diberikan oleh perawat dan berjanji akan melaksanakan semua yang dianjurkan. Keluhan pusing masih ada, namun berkurang menurut pasien, meskipun tekanan darah meningkat menjadi 180/110 mmHg. Hal ini mungkin terjadi karena pasien pulang dari pemeriksaan USG yang tempatnya cukup jauh. Pasien mampu menghabiskan 1 tangkup roti setelah pulang dari pemeriksaan USG meskipun masih ada rasa mual. Keluhan kencing tidak lancar masih ada, namun pasien mengatakan sudah terbiasa dengan keadaan tersebut karena sudah 4 bulan mengalaminya.


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Penyakit gagal ginjal kronik adalah kerusakan pada nefron yang progresif, irreversibel, dan dapat menimbulkan kerusakan/berakibat pada semua sistem tubuh. Gagal ginjal dapat timbul dari berbagai penyebab, karena itu pola hidup yang baik sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya penyakit tersebut. Penyakit gagal ginjal kronik tidak dapat disembuhkan, namun penderita gagal ginjal dapat menjaga kualitas hidupnya dengan taat menjalani diet, berobat secara teratur. Bagi yang sudah harus menjalani hemodialisa harus menjalaninya dengan teratur. Pasien CRF harus mendapat penjelasan yang cukup agar dapat terhindar dari komplikasi yang dapat menimbulkan kematian.

B. SARAN
1. Bagi masyarakat agar memperhatikan kesehatannya secara teratur, check up, agar bila menderita sakit dapat terdeteksi secara dini. Bila telah menderita gagal ginjal, penderita harus mentaati diet dan berobat teratur.
2. Bagi petugas kesehatan agar memberikan informasi yang berguna bagi penderita CRF, memberikan pelayanan yang baik dan dukungan pada pasien karena mereka mengalami gangguan secara fisik, mental, dan spiritual.
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Donna D. Ignatavicus, Marilyn Vorner Layne, Medical Surgical Nursing, W.B. Saunders Company, Philadelphia, 1991
Joyce M. Black, M.S.N., R.N., C.P.S.N., Esther Matassarin-Jacobs, Ph.D., R.N., O.C.N., Medical Surgical Nursing Clinical Management for Continuity of care, Fifth Edition, W.B. Saunders, Philadephia, 1997.
June M. Thompson, R.N., M.S., Gertrude Mc Farland, R.N., D.N.Sc., F.A.A.N., Mosby's Manual of Clinical Nursing, 2nd Edition, St. Louis: The CV Mosby Company, 1989.
Marilynn E. Doenges,R.N., BSN, MA, Mary F. Mooerhouse, R.N., CCRN, Alice C Geissler, R.N., BSN,Nursing Care Plan. Edition 3, Philadhelphia: F.A.Davis Company, 1993.
Nancy M. Holloway, R.N., MSN, Medical Surgical Care Plans, Springhouse Corporation, Pennsylvania, 1988.
Soeparman, Sarwono Waspadji, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1996
Sylvia A. Price, Ph.D., R.N., Lorraine McCarty Wilson, Ph.D., R.N., Patofisiologi, Konsep klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 4, Buku 2 EGC, Jakarta, 1995

FRAKTUR HIP

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Hip atau daerah seputar pangkal paha merupakan bagian vital tungkai bawah. Di sana terdapat persendian dengan otot-otot besar kuat. Patahnya tulang hip bisa disebabkan oleh hanya kecelakaan dan juga kontribusi patologis tulang terutama osteoporosis pada manula. Jika terjadi fraktur di daerah hip maka otot yang kuat tersebut dapat terstimulasi untuk berkontraksi yang dapat berakibat perlukaan atau deformitas. Pada kepala sendi pun terdapat pembuluh darah yang cukup besar dan sangat potensial menimbulkan masalah ancaman nekrosis kepala sendi jika terjadi fraktur yang menyebabkan aliran darah terputus dan tidak mendapat penangan segera. Dalam berbagai kasus, seseorang yang mengalami fraktur hip masih dapat berjalan tanpa beban sehingga kemudian rasa nyeri yang menghebat mendorongnya untuk mencari pertolongan medis. Banyak pasien terutama manula menolak untuk percaya bahwa tulangnya patah, mereka yakin sakitnya segera sembuh bila nyeri sudah diatasi.
Penyuluhan bagi keluarga yang mempunyai anggota keluarga yang potensial mengalami cedera cukup penting untuk merubah kondisi lingkungan. Dengan situasi seperti diatas diharapkan perawat mampu mengantisipasi setiap kasus fraktur hip yang ditemui.

B. TUJUAN PENULISAN
Makalah disusun untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas dari berbagai literatur tentang fraktur hip. Dengan mempertimbangkan berbagai aspek terutama aspek keperawatannya, diharapkan dalam menghadapi kasus nyata dilapangan kelak sudah ada konsep yang mendasar dalam menentukan rencana penerapan asuhan keperawatan bagi berbagai kasus fraktur hip.

C. METODA PENULISAN
Metoda penulisan yang dipakai dalam penyusunan makalah ini adalah dengan mempelajari berbagai literatur yang tersedia, kemudian disarikan lewat pembahasan dalam diskusi-diskusi kelompok.

D. SISTEMATIKA PENULISAN
Penyusunan dimulai dengan Bab I pendahuluan yang berisi tentang latar belakang, tujuan, metoda penulisan, dan sistematika penulisan. Pada bab II diuraikan teori serta tentang konsep dasar Fraktur Hip., terapi medik, dan asuhan keperawatannya.


BAB II
KONSEP DASAR

A. KONSEP DASAR MEDIK

1. DEFINISI
Fraktur : Adalah diskontinuitas struktural pada tulang
Hip : Adalah bagian dari tulang panggul yang berartikulasi dengan pangkal tulang femur pada asetabulum
Fraktur Hip : Adalah suatu terminologi yang digunakan untuk menggambarkan fraktur tulang femur pada daerah ujung/pangkal proksimal yang meliputi kepala sendi, leher, dan daerah trochanter. (Sumber: NCP, Susan P.C., 1980, p. 698)

2. ANATOMI FISIOLOGI
Tulang femur terdiri dari :
a. Ujung atas
b. Korpus
c. Ujung bawah
Ujung atas terdiri dari :
· Kaput FemurMassa yang membulat mengarah ke dalam dan keatas, tulang ini halus dan dilapisi dengan kartilago kecuali pada fovea, lubang kecil tempat melekatnya ligamen yang menghubungkan kaput ke area yang besar pada asetabulum dari tulang coxae. Di dalam kaput tersebut terdapat percabangan dari arteri retinakular posterior dan anterior, dan ligamentum teres serta arteri ligamentum teres.
· Kolum(leher) femurKorpus tulang mengarah ke bawah dan ke sebelah lateral menghubungkan kaput dan korpus.
· Trochanter mayor pada sisi lateral dan trochanter minor pada sisi medial merupakan tempat melekatnya otot-otot.
Tulang femur bekerja sebagai alat ungkit dari tubuh sehingga memungkinkan untuk bergerak. Tulang hip dibungkus oleh serabut yang berbentuk kapsul, ligamen, dan otot.
Bagian besar trochanter dalam pergerakannya dibantu oleh otot abduktor dan gerakan rotasinya terbatas. Bagian terkecil dari trochanter dalam pergerakannya dibantu oleh otot ileopsoas.

3. ETIOLOGI
Secara umum fraktur disebabkan oleh :
a. Benturan dan cedera (kecelakaan)
b. Kelemahan/kerapuhan tulang akibat osteoporosis
c. Patah karena letih, patah karena otot tidak dapat mengabsorpsi energi seperti karena berjalan kaki terlalu lama.
Patah tulang panggul lebih sering pada wanita dari pada laki- laki, alasannya :
a. Wanita memiliki tulang panggul lebih lebar yang cenderung mengalami coxa vara(deformitas dari hip dimana sudut antara leher dan batang tulang mengecil).
b. Wanita mengalami perubahan hormon post menopausal dan berhubungan dengan meningkatnya insiden osteoporosis.
c. Harapan hidup wanita lebih panjang dari pria.


4. PATOFISIOLOGI
Dalam beberapa literatur keperawatan medikal bedah diuraikan bahwa fraktur hip digolongkan dalam dua klasifikasi, yaitu:
a. Intra kapsularFraktur terjadi pada daerah yang masih berada dalam lingkup kapsul sendi yang meliputi:1)Fraktur sub kapitalb)Fraktur transervikalc)Fraktur basal leher
b. Ekstra kapsularFraktur terjadi di luar kapsul sendi panggul pada daerah sekitar 5 sentimeter di bawah trochanter minor. Fraktur ini juga disebut dengan fraktur intertrochanteric.
Suplai darah kepada kaput femoris oleh arteri retunakular sangat penting. Penyaluran makanan ke pembuluh periosteal dan batang femur berlanjut ke trochanter dan ke bawah kolom femoris. Aliran darah ini bervariasi menurut umur. Pada fraktur di luar dan di dalam sendi panggul, suplai darah ke bagian kepala femur naik keatas melalui bagian leher sering terganggu terutama pada fraktur intra kapsular. Bila suplai darah terputus total maka dapat terjadi kematian atau nekrosis jaringan tulang kepala femur(kaput femoris), disebut Avascular necrosis.

5. TANDA DAN GEJALA
a. Nyeri hebat pada daerah fraktur.
b. Tak mampu menggerakkan kaki.
c. Terjadi pemendekan karena kontraksi/spasmus otot-otot paha.
d. Eksternal rotasi pada tungkai tersebut.
e. Tanda-tanda lain sesuai dengan tanda fraktur pada umumnya, yaitu:
1) Nyeri bertambah hebat jika ditekan/raba
2) Perubahan bentuk/posisi berlebihan bila dibandingkan dengan keadaan normal.
3) Ada/tidak kulit yang terluka/terbuka di daerah fraktur.
4) Teraba panas pada jaringan yang sakit karena peningkatan vaskularisasi di daerah tersebut.
5) Pulsa/nadi pada daerah distal melemah/berkurang.
6) Kehilangan sensasi pada daerah distal karena jepitan saraf oleh fragmen tulang.
7) Krepitasi jika digerakkan (jangan melakukan pembuktian lebih lanjut jika pasti ada fraktur)
8) Perdarahan.
9) Hematoma, edema karena extravasasi darah dan cairan jaringan.
10) Tanda-tanda shock akibat cedera berat, kehilangan darah, atau akibat nyeri hebat.
11) Keterbatasan mobilisasi.
12) Terbukti fraktur lewat foto rontgen

6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan darah lengkapDilakukan untuk persiapan pre operasi. Dapat menunjukkan tingkat kehilangan darah hingga cedera (pemeriksaaan Hb dan Hct)Nilai leukosit meningkat sesuai respon tubuh terhadap cedera.
2. Golongan darah dan cross matchDilakukan sebagai persiapan transfudi darah jika kehilangan darah yang bermakna akibat cedera atau tindakan pembedahan.
3. Pemeriksaan kimia darah.Sebagai persiapan pre operatif untuk mengkaji ketidak seimbangan akibat cedera yang dapat menimbulkan masalah pada saat intra operasi (misalnya, ketidak seimbangan potassium dapat meningkatkan iritasi cardiac selama anestesi) BUN creatinin untuk evaluasi fungsi ginjal.
4. Masa pembekuan dan perdarahan (clotting time, bleeding time) sebagai persiapan pre operasi, biasanya normal jika tak ada gangguan perdarahan. Pada pasien lanjut usia dapat diberikan terapi antikoagulan segera setelah post operasi untuk memperkecil terjadinya tromboemboli.
5. Pemeriksaan urine.Sebagai evaluasi awal fungsi ginjal.
6. Pemeriksaan X-ray dada.Sebagai evaluasi tingkat cedera, persiapan pre operasi, atau mengetahui kondisi selama perawatan pembedahan, dll.(misalnya, kardiomegali atau gagal jantung kongestif).
7. EKGSebagai persiapan operasi maupun untuk mengevaluasi apakah terdapat juga cedera pada jantung (misalnya kontusio cardiac) disamping trauma/cedera pada hip.

7. KOMPLIKASI
Kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi pada fraktur hip adalah:
1. Shock dan perdarahan. Pada saat terjadinya cedera atau segera sesudah operasi
2. Komplikasi immobilitas. Terutama pada usia lanjut, antara lain: a. Pneumoniab. Thromboplebitisc. Emboli pulmonal
3. Penyembuhan terlambat, non-union. Sering pada fraktur intrakapsular sembuh lebih lambat bila dibanding dengan fraktur ekstra kapsular karena adanya gangguan suplai darah.
4. Aseptic necrosis kepala femur. Merupakan komplikasi fraktur femur proksimal an dislokasi traumatik pada hip.
5. Deformitas, malposisi femur, arthritis sekunder. Displasemen fragmen tulang dapat menyebabkan deformitas, sedangkan trauma menyebabkan arthritis.
6. Masalah post operatif dengan alat-alat fiksasi internal. Fiksasi internal bisa melemah, patah, atau pindah tempat yang menyebabkan kerusakan jaringan lunak. Untuk ini perlu pembedahan ulang.
7. Ekstrim eksternal/internal rotasi dan adduksi.
Sedangkan komplikasi lain yang dapat terjadi karena immobilisasi dan post operasi adalah:
1. Atelektasis
2. Infeksi Luka
3. Stasis atau infeksi saluran kemih
4. Kejang pada otot

8. TERAPI / PENGELOLAAN MEDIK
Pemilihan alat fiksasi tergantung lokasi fraktur, potensial nekrosis avascular pada kepala sendi femur, dan kesukaan dokter yang merawat. Fraktur intrakapsular dengan impaksi tanpa displasemen dapat disembuhkan cukup dengan bed rest saja. Jenis tindakan untuk jenis fraktur yang lain adalah sebagai berikut :
1. Stable plate and screw fixation : Dengan status non-weight bearing selama 6 minggu sampai 3 bulan
2. Telescoping nail fixation : Dengan status minimal weight bearing sampai partial weight bearing selama 6 minggu sampai 3 bulan.
3. Prosthetic implant : Biasanya digunakan protesis Austin Moore atau protesis bi-polar untuk mengganti leher dan kepala sendi. Harus menjalani restriksi posisi dari 2 minggu sampai 2 bulan dan restriksi partial weight bearing sampai sekitar 2 bulan.
4. Closed reduction and external fixation (reduksi tertutup dengan fiksasi eksternal) dilakukan jika kondisi umum pasien tidak mengijinkan untuk menjalani pembedahan.(Med.Sur.Nursing, Barbara C.long)

B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN

1. Pengkajian
a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatanPada orang-orang lanjut usia sering disertai riwayat kesehatan seperti penyakit jantung, diabetes, hipertensi, yang bisa menyebabkan jatuh.
b. Pola aktivitas dan latihan.
- Ada riwayat jatuh ketika sedang beraktifitas atau kecelakaan lain.
- Pada fraktur femur pangkal proximal kadang masih dapat berjalan tetapi tidak dapat menahan beban.
- Pada fraktur batang femur biasanya tidak kuat berdiri/menahan beban.
- Ada perubahan bentuk atau pemendekan pada tungkai yang terkena.
c. Pola persepsi kognitif.
- Biasanya mengeluh nyeri hebat pada lokasi tungkai yang terkena.
- Mengeluh kesemutan atau baal pada lokasi tungkai yang terkena.
d. Pola nilai kepercayaan.
- Pada umumnya pasien menyatakan tidak percaya bahwa cederanya berat.
- Pada pasien lanjut usia dengan tegas menyangkal dan akan segera sembih bila nyeri dapat diatasi tanpa pembedahan.



2. DIAGNOSA KEPERAWATAN:
Preoperatif :
a. Nyeri sehubungan dengan:- Spasmus otot- Pergerakan fragmen tulang, edema, dan luka jaringan lunak- Traksi/alat immobilisasi- Stress, kecemasan (NCP, M.E. Doenges)
b. Potensial komplikasi preoperatif sehubungan dengan keadaan perlukaan(fraktur) akibat trauma (NCP, Nancy H.)
c. Kurang pengetahuan sehubungan dengan kurang informasi tentang prosedur operasi(Med.Sur.Nsg.,Barbara C. Long)

Post operatif :
a. Nyeri sehubungan dengan prosedur operasi (Med.Sur.Nsg.,Barbara C. Long)
b. Gangguan mobilitas fisik sehubungan dengan perubahan status extremitas bawah sesudah operasi perbaikan. (Med.Sur.Nsg.,Barbara C. Long)
c. Potensial komplikasi post operasi sehubungan dengan- Keadaan perlukaan akibat trauma- Intervensi pembedahan- Imobilitas (NCP, Nancy H.)
d. Potensial infeksi sehubungan dengan gangguan integritas kulit (Med.Sur.Nsg., Donna, Marylin)
e. Potensial gangguan perawatan di rumah sehubungan dengan situasi ketergantungan (Med.Sur.Nsg.,Barbara C. Long)
f. Kurang pengetahuan sehubungan dengan perubahan tingkat aktivitas yang boleh dilakukan dan perawatan di rumah (NCP, Nancy H.)


3. DISCHARGE PLANNING:
· Persiapan Perawatan Di Rumah. Pasien lanjut usia dengan fraktur hip biasanya mendapat rujukan rehabilitasi. Perawat harus mengkomunikasikan rencana asuhan kepada fasilitas yagn akan melanjutkan rehabilitasi. Pasien tidak boleh dipulangkan untuk tinggal sendiri di rumah karena membutuhkan bantuan selama proses penyambuhan. Perawat mengkaji struktur rumah atas adanya barrier terhadap mobilitas pasien (mis. tangga, dll.). Pasien harus mampu bergerak bebas dengan alat bantu di dalam rumah.
· Penyuluhan pasien /keluarga. Perawat menyediakan instruksi tertulis tentang cara merawat diri. Keluarganya mendapat penyuluhan tentang cara menjaga/merawat bagian yang sakit. Perawatan luka di rumah dapat diatur sesuai perjanjian dengan RS atau referal ke instansi lain. Pasien harus mengetahui cara meningkatkan penyembuhan, mencegah komplikasi, mengenali tanda-tanda komplikasi, dan kapan dan dimana harus menghubungi tenaga kesehatan jika komplikasi terjadi.
· Persiapan Psikososial. Perawat mengatur perawatan lanjut di rumah, mis. konsultasi bagi pasien dengan depresi. Jika ada kerusakan jaringan yang parah maka perawat harus realistik dan menolong klien mengerti bahwa penyembuhan memerlukan waktu cukup lama, terutama jika terjadi infeksi. Keparahan dan penanganan yang kompleks dapat merongrong kondisi mental pasien dan keluarganya. Konseling kerja kadang diperlukan untuk membantu pasien mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kondisinya.
Sumber-sumber Pelayanan Kesehatan. Pasien dengan cedera berat memerlukan perawatan lanjut di rumah oleh perawat komiunitas. Perawat mengidentifikasi jika manula memerlukan tenaga pembantu di rumah dan mengaturnya. Sangat penting bagi perawat untuk mengkomunikasikan kebutuhan pasien kepada perawat/pengasuh yang melanjutkan perawatan di rumah. Tenaga fisioterapi diperlukan dalam rehabilitasi. Tenaga terapist okupasi diperlukan untuk mengkaji lingkungan, retraining aktivitas harian adaptasi agar lebih mandiri.

4. PERENCANAAN

Nyeri sehubungan dengan:
· Spasmus otot
· Pergerakan fragmen tulang, edema, dan luka jaringan lunak
· Traksi/alat immobilisasi
· Stress, kecemasan (NCP, M.E. Doenges)
HYD:
· Memverbalisasikan berkurangnya nyeri
· Menunjukkan sikap yang relaks, mampu berpartisipasi dalam aktivitas/tidur/istirahat dengan sesuai.
Intervensi
Rasional
1. Pertahankan immobilisasi pada sisi paha yang fraktur
Displasemen tulang, pelebaran luka, dan nyeri hebat dapat terjadi
2. Evaluasi laporan nyeri/ketidak nyamanan, lokasi dan karakteristik, intensitas(skala 0-10), tanda nyeri nonverbal (perubahan TTV, dan emosi/tingkah laku)
Berpengaruh terhadap pemilihan dan efektivitas intervensi. Tingkat kecemasan berpengaruh dalam persepsi/reaksi terhadap nyeri.
3. Dorong pasien untuk mendiskusikan masalah sehubungan dengan perlukaan.
Luka dapat sembuh atau memburuk dipengaruhi oleh sikap pasien terhadap lukanya
4. Jelaskan prosedur sebelum memulai
Pasien siap mental dlm beraktifitas dan mampu mengendalikan ketidak nyamanan.
5. Berikan medikasi sebelum akivitas keperawatan
Relaksasi otot diperlukan untuk partisipasi aktivitas
6. Laksanakan aktif/pasif ROM dengan pengawasan
Kekuatan dan mobilitas memudahkan penyembuhan inflamasi daerah luka.
7. Dorong penggunaan tehnik manajemen stress: tehnik pernafasan, dll)
fokus perhatian, meningkatkan kemampuan pengendalian nyeri yang dapat berlangsung untuk waktu lama.
8. Identifikasi aktivitas yang sesuai dengan pasien dan dan kesukaannya
Kebosanan, ketegangan, mengganggu self esteem, dan pola koping.
9. Kolaborasi: Berikan medikasi yg sesuai: narkotik/non-narkotik: AINSberikan narkotik sesuai jadwal selama 3-5 hari
Nyeri dan/atau spasmus otot menambah ketidak nyamanan

Potensial komplikasi preoperatif sehubungan dengan keadaan perlukaan(fraktur) akibat trauma (NCP, Nancy H.)
HYD:
Sebelum pembedahan :
· Respirasi normal atau jika abnormal masalahnya teratasi
· Menunjukkan tanda-tanda vital yang stabil
· Perdarahan teratasi
· Temuan neurovaskular dalam batas yang diharapkan
· Memverbalisasikan berkurangnya rasa nyeri
· Mendapat penyuluhan dan persiapan operasi
Intervensi
Rasional
1. Pastikan adekuasi pernafasan. Auskulatasi paru, laporkan temuan yang patologi kepada dokter, dan siap untuk memberikan dukungan respirasi jika diperlukan.
Kecelakaan ber-impak tinggi dengan fraktur femur mempunyai insiden tinggi trauma multisistem, termasuk pernafasan, jantung dan sistem saraf pusat.
2. Kaji adanya tanda-tanda perdarahan, dan pertahankan volume sirkulasi. Laporkan kenaikan denyut nadi, penurunan tekanan darah, pucat, berkeringat, atau penurunan kesadaran. Berikan dan pertahankan masukan cairan intravena. Jika fraktur terbuka dengan perdarahan aktif lakukan tekanan langsung pada luka dan laporkan dokter.
Fraktur femur mempunyai hubungan bermakna dengan kehilangan darah karena mempunyai pembuluh darah yang cukup besar. Parameter yang disebut adalah sebagai tanda shock dan memerlukan intervensi segera. Cairan intravena untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan mengganti volume darah yang hilang.
3. Kaji status neurovaskular ekstremitas. Perhatikan jika denyut tak ada, bercak pada kulit, cianosis, parestesis, atau rasa baal. Bandingkan denyut nadi secara bilateral. Laporkan adanya defisit segera kepada dokter. Hindari pergerakan yang tidak perlu.
Pembuluh darah dan syaraf pada fraktur dapat diperparah oleh fragmen tulang, edema, dan deformitas. pergeraka dapat memperparah perlukaan. Perfusi yang tidak adekuat dapat mengakibatkan gangguan fungsi permanen.
4. Kendalikan nyeri®lihat DP nyeri

5. Jika fraktur terbuka, pastikan pencegahan tetanus dan infeksi sudah dipertimbangkan sebelum operasi. Balut luka secara steril
Luka terbuka sangat besar potensi infeksi tetanus dan lainnya. Balutan steril meminimalkan kontaminasi bakteria lainnya lebih lanjut.
6. Siapkan pasien untuk menjalani pembedahan




Nyeri sehubungan dengan prosedur operasiHYD:
· Pasien menyatakan merasa nyaman
· Pasien mampu melaksanakan aktivitas post operasi


Intervensi
Rasional
1. Kaji tingkat nyeri pasien dan evaluasi respon pasien thd tindakan pemberian rasa nyaman yang sudah dilakukan.
Data subyektif dan obyektif penting dalam mengatasi rasa nyeri post operasi dan menentukan manajemennya.
2. Ajarkan tehnik relaksasi yang sesuai
Relaksasi mempermudah istirahat dan memperbaiki respon terhadap nyeri
3. Gunakan tehnik pengurangan nyeri lainnya yang sesuai. Mis. gosok punggung, pengaturan posisi.
Perubahan stimulasi pada kulit dapat menghasilkan pengurangan nyeri.
4. Kolaborasi: pemberian analgesik (biasanya narkotik) sesuai jadwal pada masa segera sesudah operasi
Biasanya perlu diberikan narkotik 48-72jam pertama post operasi. Analgesi memepunyai efek lebih besar jika diberikan sebelum nyeri menjadi parah.
5. Kolaborasi: gunakan analgesik yang lebih ringan sesuai order jika nyeri sudah berkurang.
Nyeri dapat dikendalikan dengan analgesik lebih ringan (dengan efek samping sedikit) jika nyeri sudah berkurang.

Potensial komplikasi post operasi sehubungan dengan
· Keadaan perlukaan akibat trauma
· Intervensi pembedahan
· Imobilitas
HYD:
Dalam 24 jam post operasi di ruangan:
· Tanda-tanda dalam batas normal
· Tak ada perdarahan berlebihan, gangguan neurovaskular, atau infeksi
· Nyeri terkendali
· Dapat melaksanakan nafas dalam dan batuk efektif
· Mempertahankan posisi yang tepat
Dalam 24 jam post operasi:
· Melaksanakan latihan yang diperbolehkan
· Tak ada tanda dan gejala tromboemboli
· Memverbalisasikan pembatasan posisi
· Makan dan minum cukup secara oral jika mengijinkan.

Intervensi
Rasional
1. Kaji tanda-tanda vital sesuai protokol post pembedahan atau lebih sering jika tidak stabil. Cek pembalut dan drain atas adanya perdarahan. Laporkan adanya abnormalitas tanda vital, perdarahan berlebihan pada balutan, drain, adanya edema, atau ecchymosis. Kaji cedera yang berhubungan jika cedera melibatkan trauma pada bagian lain.
Seperti yang telah disebutkan dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Takikardia dan hipotensi merupakan petunjuk tidak adekuatnya penggantian cairan, kehilangan darah karena cedera dan pembedahan, atau cedera lain yang tak terdeteksi.
2. Kaji status neurovaskular sekurang-kurangnya 1 jam sekali. Perhatikan melemahnya atau tak adanya denyut nadi, bercak kulit, cianosis, parestesia, baal, atau bertambahnya edema post operatif yang signifikan. Waspadai sindroma kompartemen: nyeri progresif yang yang dapat diperberat dengan peregangan, defisit sensori, paralisis, bengkakan keras, atau menurunnya denyut nadi distal. Hubungi dokter segara jika status pasien memburuk.
Pengkajian neurovaskular memastikan penyesuaian intervensi. Peningkatan edema dapat menekan struktur vaskular dan mengganggu oksigenisasi jaringan. Diperlukan tindakan segera untuk memperbaiki sirkulasi. Sindroma kompartemen terjadi pembengkakan otot yang memperburuk sirkulasi dan menimbulkan iskemia. Ini dapat terjadi segera sesudah operasi atau beberapa hari sesudahnya. Untuk itu diperlukan tindakan fasciotomy.
3. Pertahankan kepatenan infus dan berikan cairan sesuai order sekurangnya 24 jam pertama post operasi
Infus berperan untuk mengganti cairan yang hilang karena perdarahan, status NPO, ancaman dehidrasi, atau kehilangan jaringan pada pembedahan, juga sebagai jalur untuk pemberian obat intravena.
4. Berikan antibiotik sesuai order, observasi daerah luka, dan laporkan adanya peningkatan pembengkakan, eritema, demam, cairan purulen, atau tanda-tanda infeksi lainnya.
Antibiotik biasanya diberikan sesudah operasi, terutama pasien dengan fraktur terbuka, mencegah osteomyelitis. Perubahan kadang diperlukan untuk mengantisipasi adanya mikroorganisme patologis lain
5. Cegah komplikasi yang berhubungan dengan imobilitasi :
Imobilitas merupakan predisposisi bagi komplikasi post operasi.
· Dorong pelaksanaan ROM ® lihat Pada DP Gangguan mobilitas fisik
Latihan yang sesuai mengurangi stasis vena dan menjaga tonus otot
· Gunakan stoking antiembolic sesuai order dokter

· Sediakan pegangan untuk membantu gerak pasien
Pegangan berguna untuk bergerak

· Dorong pelaksanaan nafas dalam dan batuk efektif tiap jam pada saat pasien tidak tidur
Mencegah infeksi pernafasan dan akumulasi cairan.
· Pastikan kecukupan intake cairan jika tak ada kontra indikasi. Catat intake dan output.
Mempertahankan hidrasi, mengencerkan sekret, fungsi renal, dan infeksi sal. Kemih
6. Observasi tanda dan gejala tromboemboli:

· Emboli lemak: takikardia, dispnea, nyeri pleuritik, pucat dan cianosis, petechiae, wheezing, nausea, syncope, lemas, perubahan mental, perubahan ECG, atau demam. Daerah yang sakit teraba dingin, kaku, dan pucat
Emboli lemak terjadi lebih sering pada fraktur tulang panjang (3hari pertama). Mekanisme fisiologiknya tak diketahui. Emboli dapat terjadi di paru, jantung, otak, atau ekstremitas.
· Emboli paru: nyeri pulmonal mendadak, dispnea, takikardia, batuk, henoptisis, cemas, syncope, perubahan ECG, hipotensi, atau demam
Emboli paru biasanya terjadi belakangan antara 10-24 hari sesudah cedera
· Tromboplebitis: positif Homman’s sign Å, nyeri pada betis, bengkak, atau kemerahan pada tungkai.Laporkan setiap tanda dan gejala diatas segera kepada dokter.
Biasa terjadi pada tungkai sebagai akibat pembentukan bekuan dan menyumbat vena superfiisial maupun vena besar.
Intervensi segera perlu dilakukan karena komplikasi dapat mengancam kehidupan.
7. Pertahankan imobilisasi yang tepat pada bagian yang sakit tergantung tempat fraktur dan jenis pembedahan. Umumnya hindari adduksi, rotasi eksternal, fleksi hip mendadak.
Pergerakan tersebut dapat menyebabkan displasemen dan mempengaruhi proses penyembuhan.
8. Observasi dan lapor segera jika mendadak terjadi: Nyeri hebat, pemendekan atau rotasi pada sisi tungkai yang sakit, atau spasmus otot yang persisten.
Merupakan tanda dislokasi atau nekrosis kepala sendi. Diperlukan intervensi segera untuk mencegah kerusakan permanen.
9. Dorong intake nutrisi adekuat, terutama makanan kaya protein, vitamin, dan mineral.
Proses penyembuhan memerlukan tambahan nutrisi. Defisit vitamin dan mineral menghambat penyembuhan dan dapat menyebabkan osteomalasia.

Gangguan mobilitas fisik sehubungan dengan perubahan status extremitas bawah sesudah operasi perbaikan.(Med.Sur.,Barbara C. Long)
HYD:
· Pasien mendemonstrasikan tingkat mobilitas optimal dengan alat adaptive dengan pembatasan aktivitas yang dianjurkan pada saat pulang dari RS.
· Tak terjadi cedera selama dirawat di RS

Intervensi
Rasional
1. Ajak pasien melaksanakan latihan nafas dalam dan batuk efektif tiap 1-2 jam sampai ambulasi penuh
Jika dilaksanakan dengan tepat dan interval yang benar, latihan pulmonal dapat mencegah atelektasis dan pnemonia.
2. Dorong pasien untuk melaksanakan secara aktif: dorsifleksi, palantar fleksi, setting quadrisep isometrik dan gluteal, dan aktif ROM pada bagian yang tidak sakit 2x/hari sampai awal ambulasi
Latihan meningkatkan venous return, mencegah pembentukan trombus, dan menolong mempertahakan tonus otot
3. Dapatkan dari dokter mengenai batas gerakan dan pembebanan berat yang diperbolehkan, dan perlu diingat pedoman berikut ini:
· Fleksi hip biasanya dibatasi max. 90° selama 2-3 bulan
· Adduksi melebihi midline dilarang selama 2-3 bulan.
· Rotasi internal dan external secara ekstrem dilarang selama 2-3 bulan
· Partial weight bearing pada bagian yang sakit dengan bantuan walker atau kruk biasanya diobservasi selama 2-3 bulan
Restriksi dalam pengaturan posisi dirancang untuk mencegah dislokasi protesa atau kepala sendi pada hip
4. Alih posisi pasien dari punggung ke sisi tubuh yang tidak sakit tiap 2jam atau p.r.n.
Alih/pengaturan posisi dapat meningkatkan sirkulasi, usaha bernafas, dan aktivitas otot.
5. Ketika alih posisi, tahan kaki yang dioperasi dalam posisi abduksi, gunakan bantal untuk mempertahankan posisi abduksi 30° jika alih posisi sudah dilakukan.
Mencegah adduksi tungkai bawah
6. Bantu pasien berjalan mempergunakan alat ambulasi yang tepat. Mulai ambulasi pada hari pertama atau kedua post operasi dan tingkatkan frekuensi ambulasi maupun jarak yang dapat ditoleransi pasien.
Aktivitas post operasi yang awal, termasuk jalan, dapat mempercepat recovery (pemulihan) dan mencegah komplikasi post operatif.
7. Mulai duduk ketika pasien menunjukkan pengendalian yang cukup pada bagian yang sakit untuk duduk dalam batas fleksi yang danjurkan
Dipersiapkan untuk pulang dan meyakinkan pasien dapat duduk dalam batas fleksi anjuran
8. Naikkan permukaan tempat duduk dengan bantal untuk mempertahankan sudut hip dalam batas anjuran.
Membatasi fleksi tak lebih dari 90°

Potensial infeksi sehubungan dengan gangguan integritas kulit (Med.Sur.Nsg., Donna, Marylin)
HYD:
Pasien tidak akan mengalami infeksi luka operasi.
· Tak ada tanda dan gejala infeksi luka
· Mengalami penyembuhan tanpa komplikasi
Intervensi
Rasional
1. Inspeksi balutan operasi atas pengeluaran cairan, catat jenis dan banyaknya
Cairan purulen menunjukkan adanya infeksi luka
2. Monitor dan ukur cairan drainase, misalnya hemovac (jaga suction tetap bertekanan untuk mencegah pembentukan hematoma)
Drain mengeluarkan exudat yang bisa menjadi medium bagi pertumbuhan kuman.
3. Setelah melepas pembalut, inspeksi insisi terhadap adanya kemerahan, pembengkakan, dan hangat.
Tanda inflamasi dapat menunjukkan adanya proses infeksi
4. Ganti balutan dengan tehnik aseptik.
Keadaan steril mengurangi peluang infeksi.
5. Monitor TTV tiap 4 jam
Kenaikan suhu dan nadi menunjukkan adanya infeksi.

Kurang pengetahuan sehubungan dengan kurang informasi tentang prosedur operasi(Med.Sur.,Barbara C. Long)
HYD:
· Pasien dapat menjelaskan isi penyuluhan oleh perawat tentang persiapan operasi, operasi dan perawatan post operasi
· Pasien menyatakan berkurangnya rasa cemas yang berhubungan dengan miskonsepsi tentang pembedahan dan masa pemulihan

Intervensi
Rasional
1. Kaji kebutuhan instruksi dan berikan sesuai kebutuhan.
2. Sediakan informasi tertulis mengenai pembedahan jika institusi menyediakan
3. Bahas instruksi pre operatif dengan pasien dan keluarganya sebelum pembedahan
4. Evaluasi pemahaman pasien mengenai informasi yang sudah diberikan
Pemahaman prosedur pembedahan dan perawatan post operatif dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan keinginan untuk sembuh dan pulih bagi pasien sesudah tindakan pembedahan.


Potensial gangguan perawatan di rumah sehubungan dengan situasi ketergantungan (Med.Sur.,Barbara C. Long)
HYD: Pasien dan keluarganya menyatakan puas dengan rencana yang diatur untuk mempermudah perawatan di rumah.
Intervensi
Rasional
1. Diskusikan dengan pesien dan keluarganya mengenai rencana mereka untuk perawatan di rumah
2. Tentukan bersama pasien apa yang harus dilakukan untuk diri sendiri untuk pulang ke rumah.
3. Tentukan dengan pasien jenis peralatan dan pelayanan yang diperlukan yang dibutuhkan untuk di rumah(mis. kruk, walker, peninggian toilet, fisioterapi, dan lai-lain)
4. Kaji perkembangan pasien secara reguler untuk memastikan apakah kemampuan fungsionalnya sesuai untuk pelaksanaan renca di atas.
5. Libatkan bagian lain yang sesuai (mis. bagian sosial medik) untuk mendapatkan bantuan jika pasien pada awalnya belum mampu melaksanakan rencana yang sudah ditentukan untuk di rumah.
Rencana pulang yang adekuat dapat memberikan hasil optimal untuk mencapai pelaksanaan rehabilitasi di rumah dan mendapat bantuan sesuai dengan yang di butuhkan.

Kurang pengetahuan sehubungan dengan perubahan tingkat aktivitas yang boleh dilakukan dan perawatan di rumah (NCP, Nancy H.)
HYD:
Pada saat pulang pasien akan:
· Menyatakan dan mendemonstrasikan pemahaman tentang pengaturan posisi, pembatasan gerak, atau perawatan luka
· Menyatakan pemahamannya tentang jenis diet dan pengobatan yang harus dijalani
· Dapat mengidentifikasi tanda dan gejala komplikasi
· Mendapat keperluan untuk referal dan follow-up.

Intervensi
Rasional
1. Berikan penyuluhan kepada pasien dan keluarganya tentang : pengaturan posisi, pembatasan aktivitas, cara pemakaian kruk/walker, diet, komplikasi, dan medikasi/pengobatan. Perhatikan rekomendasi dokter dan laksanakan penyuluhan sepanjang masa perawatan di rumah sakit
Rekomendasi perawatan di rumah bervariasi tergantung keadaan fraktur dan pembedahan, umur dan kondisi pasien, dan kondisi kesehatan yang sudah ada sebelumnya. Pasien biasanya lebih responsif terhadap instruksi yang berulang dan berkelanjutan selama dirawat di rumah sakit dari pada memberikan sejumlah besar informasi dalam waktu yang sama.
2. Kaji sumber-sumber untuk perawatan di rumah, dan buat rujukan-rujukan yang sesuai.
Tergantung kepada faktor-faktor yang disebutkan di atas dan sistem pendukung dalam keluarga. Kadang pasien memerlukan bantuan medis dan perawatan, atau follow-up lainnya untuk memastikan pemulihan tanpa komplikasi






Referensi
Joan Luckman, R.N., M.A., Karen C. Sorensen, R.N., M.N., Medical-Surgical Nursing: A psychohysiological Approach, Philadelphia: W.B. Saunders Company, 1987
Wilma J. Phipps, PH.D., R.N., F.A.A.N., Barbara C. Long M.S.N., R.N., Medical-Surgical Nursing: Concept and Clinical Practice, fourth edition, Missouri: Mosby-Year Book, Inc, 1991
Donna D. Ignatavicius, Marylin V.B., Medical Surgical Nursing: A Nursing Process Approach, Pensylvania: WB Saunders Company, 1991.
Nancy M. Holloway, RN, MSN, CCRN, CEN., Medical Surgical Care Plan. Pennsylvania: Springhouse Corporation, 1988
John Gibson, MD, Anatomi dan Fisiologi Modern Untuk Perawat, Edisi ke 2, Jakarta, 1995
Marilynn E. Doenges, Mary F. Mooerhouse, Nursing Care Plan. Edition 3, Philadhelphia: F.A.Davis Company, 1993


ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DIABETES MILITUS DENGAN ULCUS




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari sering kita dengar tentang penyakit Diabetes Militus atau penyakit yang sering disebut pula penyakit gula, diabetes militus adalah suatu penyakit kronik yang kompleks, yang melibatkan kelainan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak dan berkembangnya komplikasi makrovaskular dan neurologi.
Diabetes militus menjadi masalah kesehatan yang serius di seluruh dunia, diperkirakan sekitar 15,7 juta orang terkena diabetes militus di Amerika Serikat dan diperkirakan dari jumlah tersebut sebanyak 5,9% dari populasi penduduk AS terkena DM. DM memberikan kontribusi lebih dari 162.000 kematian pada tahun 1996. DM menjadi penyebab kematian nomor 7 di Amerika Serikat, DM menjadi penyebab utama pada kasus kebutaan, lebih dari 60-75% orang dengan DM mempunyai hypertensi.
Meningkatnya penderita DM berkaitan erat dengan pola dan gaya hidup yang berubah ditambah dengan kemajuan zaman. DM dapat terjadi pada tingkat semua usia dapat berakibat fatal bahkan kematian. Insiden tertinggi terjadi pada usia 20-70 tahun (buku Metsu Donna, hal 1593). Penderita penyakit diabetes tidak dapat disembuhkan tetapi penderita dapat mempertahankan pola hidup normal dengan diet, latihan obat. Penderita DM kadang sedang mengabaikan sakitnya dan tidak disiplin dalam mengikuti proses pengobatan. Untuk itu dalam penanganan kasus pasien dengan DM diperlukan ketepatan dalam pengobatan perawatan dan pencegahan. Di sini pentingnya peranan perawat dalam menekankan penyuluhan dan memberikan dorongan dan support pada pasien dengan diabetes militus.
Pasien diabetes militus pada golongan geriatri menurut seorang perawat untuk lebih peka perhatian dalam proses keperawatan, karena dengan turunnya sistim tubuh ditambah dengan komplikasi yang ditimbulkan oleh DM maka dapat memperburuk keadaan pasien. Dalam hal ini sebagai perawat membantu pasien seoptimal mungkin memberi penyuluhan, diet, latihan serta pencegahan komplikasi yang lain.

B. Tujuan Penulian
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Memperoleh pengalaman dalam merawat pasien dengan penyakit Diabetes Militus serta dapat memberikan asuhan keperawatan.
2. memperdalam anatomi fisiologi dan patologi yang merupakan dasar dalam melakukan kajian dan intervensi dalam keperawatan, yang sudah diperoleh dalam perkuliahan.

C. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah studi lapangan langsung pada penderita diabetes militus di unit Elisabet RS. Carolus dan studi kepustakaan dengan menggunakan literatur yang mendukung.

D. Sistematika Penulisan
Dalam menyusun makalah ini kami membuat sistematika penulisan sebagai berikut: penulisan makalah ini diawali dengan kata pengantar dan daftar isi. Pada bab I pendahuluan terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan. Pada bab II diuraikan tentang tinjauan teoritis yang terdiri dari definisi anatomi, fisiologi, etiologi, patofisiologi, tanda dan gejala, tes diagnostik, therapy/pengolahan medik dan komplikasi, sedangkan konsep dasar keperawatan berisi tentang pengkajian dan perencanaan. Bab III berisi tentang pengamatan kasus penulis. Bab IV mengenai pembahasan kasus yang didasarkan pada perbandingan antara teori yang didapat di perkuliahan. Bab V kesimpulan yang merupakan bab terakhir dan sebagai penutup daftar pustaka.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. KONSEP DASAR MEDIK
1. Definisi
Diabetes Militus adalah suatu penyakit kronik yang kompleks, yang melibatkan kelainan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein dan berkembangnya komplikasi makrovaskular dan neurologi (Perawatan Medical Bedah, Barbara C, Long 1989).

2. Anatomi Fisiologi
Orang dengan metabolisme yang normal mampu mempertahankan kadar glukosa dalam darah, antara 70 – 110 mg/dl. Jika darah kelebihan glukosa maka akan disimpan dalam hati dan sel-sel otak dengan bantuan insulin. Selama keadaan puasa kadar gula dalam darah dipertahankan maka glukosa akan dilepaskan (glikogenolisis) dan glukosa yang baru dibentuk dari asam amino, laktat dan gliserol yang berasal dari trigliserida (glukoneogenesis). Normalisasi glukosa darah diatur oleh hormon-hormon.
Ada lima hormon yang terlibat dalam regulasi kadar darah, yaitu hormon-hormon pankreas, insulin merupakan satu-satunya hormon yang menurunkan glukosa dalam darah dan empat lainnya (glukagon, growth hormon, epinephrin dan glukokortikoid) semuanya meningkatkan kadar gula dalam darah. Insulin dan glukagon diproduksi dalam pankreas. Insulin disekresi oleh sel Beta pankreas sedangkan hormon glukagon diproduksi oleh sel Alfa.

Insulin dan fungsinya :
Insulin akan mengendalikan kadar glukosa yang akan membantu tubuh dalam menggunakan glukosa dan lemak dimana apabila keadaan gula darah meningkat sel Beta langerhans pankreas akan mengeluarkan hormon insulin yang berfungsi :
- Memacu glukosa masuk ke sel.
- Menghentikan pemecahan glikogen menjadi glukosa.
- Memacu enzim yang merubah glukosa menjadi glikogen dan lemak.
Kerja glukagon :
Hormon glukagon bekerja atau mempunyai fungsi sebaliknya dimana jika glukosa dalam darah turun, maka sel alfa langerhans pankreas akan mengeluarkan hormon glukagon yang berfungsi dalam :
- Meningkatkan glikogen menjadi glukosa.
- Meningkatkan proses glikoneogenesis
3. Etiologi
- Kelainan fungsi/jumlah sel beta yang bersifat genetik, penyebab genetik ini sering terjadi baik pada DM tipe 1 dan tipe 2.
- Faktor lingkungan
Lingkungan dapat menyebabkan atau mengubah integritas dan fungsi sel beta pada individu yang rentan. Faktor-faktor tersebut :
a. Agen yang menyebabkan infeksi seperti virus, Cocksackie dan virus penyakit gondok.
b. Diit, pemasukan kalori, karbohidrat dan gula yang diproduksi secara berlebihan.
c. Obesitas.
d. Kehamilan.

- Gangguan sistem imun, gangguan sistem ini dapat dilakukan oleh
a. Auto imunitas disertai pembentukan sel-sel anti body pankreas yang akan menyebabkan kerusakan sel-sel pankreas insulin.
b. Peningkatan kepekaan terhadap kerusakan sel beta oleh virus.
- Penyakit kelainan dari beberapa kelenjar endokrin misalnya :
a. Kelenjar pankreas : tempat pembuatan insulin.
b. Kelenjar hypopisis : memproduksi hormon yang merangsang kerja pankreas.
c. Kelenjar adrenal : membantu metabolisme karbohidrat mengeluarkan glukosa dari hari yang kerjanya lebih aktif jika dalam keadaan stress.
d. Kelenjar tyroid : menghasilkan hormon yang membantu proses metabolisme.
Dari etiologi yang ada di atas pada penyakit DM pada type I dan type II belum diketahui secara pasti dan dari beberapa kasus yang terjadi kemungkinan penyebabnya adalah :
Type I (IDDM) 10-15% dari kasus :
- Faktor genetik.
- Kerusakan sel beta pankreas.
- Infeksi virus.
- Auto imun.
Type II (NIDDM) 80% kasus :
- Faktor genetik.
- Obesitas
- Kurang aktif.
- Faktor lingkungan.
- Pengaruh obat-obatan (diuretik, anti conuulsan, dll).

4. Patofisiologi
Dalam keadaan normal, jika terdapat insulin asupan glukosa (produksi glukosa) yang melebihi kebutuhan kalori akan disimpan sebagai glikogen dalam sel-sel hati dan otot proses ini disebut glikogenesis untuk mencegah hyperglikemia (kadar glukosa darah lebih dari 110 mg/dl jika terjadi kekurangan insulin karena produksi terganggu atau tidak diproduksi kemungkinan terjadi karena :
- Kekurangan produksi insulin oleh sel Beta
- Reseptor insulin pada sel kurang berfungsi.
Defisiensi insulin akan menyebabkan glukosa tidak dapat masuk dalam sel melalui siklus krebs dan akan mengakibatkan sel akan mengoksidasi lemak dan protein dari jaringan adiposa. Karena pemecahan jaringan menyebabkan kehabisan persediaan makanan protein dan lemak, maka tubuh akan menjadi kurus dan pemecahan ini menghasilkan zat sisa berupa urea dan keton sehingga menimbulkan ketoasidosis. Glukosa dalam darah meningkat jumlahnya sehingga terjadi Hyperglikemi yang berakibat tekanan osmotik meningkat dan menarik cairan intrasel dalam darah. Apabila kadar gula darah tinggi melebihi 180 mg/dl akan mengganggu ambang batas dari ginjal sehingga terjadi glikosuria. Tekanan osmotik gula dalam darah akan menghambat reabsorbsi di tubulus yang mengakibatkan polyuri akibatnya sel kekurangan cairan maka terjadi dehidrasi dan timbul polydipsia atau banyak minum.




5. Klasifikasi Diabetes Militus
a. Tipe I : Insulin Dependent Diabetes Militus (IDDM)
Pada tipe I insulin endogen kurang jumlahnya karena tidak berfungsinya sel beta yang memproduksi insulin, kurang berfungsinya reseptor insulin dan gangguan jalannya glykolisis yang akan menghasilkan energi untuk tubuh. Dengan demikian sel-sel dalam keadaan kekurangan/kelaparan, sementara dalam darah kelebihan glukosa.
Bagian tubuh yang mengalami kekurangan menjadi krisis dan mulai mensekresi beberapa hormon (glucagon, ephinefrin, norephinefrin, growth hormon dan cortisol). Hormon-hormon ini mencoba menciptakan/menjaga hemeostasis tubuh dengan mempercepat tersedianya glukosa melalui penggunaan sumber-sumber energi alternatif seperti dalam proses ini; Kekurangan insulin à terjadi penurunan glikogenesis à peningkatan glikogenesis à penurunan glukoneogenesis à penurunan glikolisis à peningkatan lipolisis.
IDDM didiagnosa bila kadar gula puasa > 140 g/dl. Bila lebih dari 200 mg/dl biasanya ada zat keton dalam darah dan urine. Adanya glukosa dalam darah (hiperglikemi) menyebabkan ketidakseimbangan cairan dan eletrolit yang pada akhirnya menimbulkan 3 gejala klasik (three polys) : polyuria, polydipsia dan polyphagia.

b. Tipe II : Non – Insulin Dependent Diabetes Militus (NIDDM)
Pada NIDDM sel beta pankreas kurang mampu mensintesa dan melepaskan insulin. Jumlah yang disekresi tidak sebanding dengan jumlah yang dibutuhkan. Situasi ini meungkin menyebabkan produksi insulin menurun, kelebihan pemasukan karbohidrat atau peningkatan glukosa hepatic.
Klien dengan tipe ini sering berespon lebih baik dari oral agent untuk merangsang pankreas untuk meningkatkan sintesis dan pelepasan insulin. Klien lain dengan NIDDM mungkin mempunyai darah normal lebih tinggi dari level insulin yang menandakan gejala diabet. NIDDM mengalami kerusakan dasar tersendiri yang dipengaruhi oleh beberapa aspek dari proses tersebut yang menekan insulin pada reseptor membran sel. Masalah yang menyebabkan kerusakan dapat berhubungan dengan defisiensi jumlah atau aktivitas reseptor.
Beberapa individu membuat auto anti bodi atau reseptor insulin, pada saat anti bodi dibangkitkan melawan selaput sel reseptor insulin pasien akan mempunyai tingkat insulin dalam darah yang berlebihan dengan peningkatan glukosa darah. Dalam situasi ini walaupun insulin mencukupi tetapi sel reseptor insulin ditutup. Dengan jumlah insulin yang sesuai dengan kebutuhan dari luar mungkin membantu situasi ini.

6. Komplikasi
a. Komplikasi akut
1. IDDM
- Hypoglikemi
Gejala : berkeringat, gemetar, sakit kepala, palpitasi.
- Diabetik ketoasidosis : kadar insulin sangat menurun, pasien menderita hiperglikemi, glukosuria, penurunan lipogenesis dan peningkatan oksidasi asam lemak disertai pembentukan keton.


2. NIDDM
- Hypoglikemi
- Diabatik ketoasidosis
- Hiperosmolar Hiperglikemi: non ketotik koma (KHHN)
b. Komplikasi vaskular Jangka Panjang
1. Mikroangiopati. Lesi spesifik diabetik yang menyerang kapiler dan artenol retina (retinapati diabetik), glomenilus ginjal (nefropati diabetik).
2. Makroangiopati à arterosklerosis à penyumpatan vaskular à menyerang extremitas à ganggren, arteri koronari, aorta à angina, MCI

7. Tanda dan Gejala
a. Awal :
- Poli uri
- Poli dipsi
- Poli phagia
b. Lanjut :
- Penurunan berat badan yang cepat
- Cepat lelah
- Pruritus
- Pendangan kabur
- Nyeri pada extremitas
- Kesemutan

8. Test Diagnostik
- Glukosa darah meningkat 200-100 mg/dl atau lebih.
- Asam plasma positive secara mencolok.
- Asam lemak bebas : kadar lipid dan kolesterol meningkat.
- Osmolitas serum meningkat biasanya kurang dari 330 mosm/l.
- Elektrolit : Natrium : mungkin normal, menurun atau meningkat.
Kalium : normal atau peningkatan semu selanjutnya akan menurun.
Fosfor : lebih sering menurun.
- Hb dan Ht meningkat karena diuresis dan dehidrasi.
- AGD biasanya pH rendah penurunan pada HCO3 kompensasi alkolisis respiration.
- Trombosit darah mungkin meningkat leukositas, hemokonsentrasi merupakan respon stress.
- Kadar insulin pada tipe I sedikit atau tidak ada, tipe ke 2 normal atau meningkat.
- Urine : gula dan setor positif, berat jenis osmolalitas meungkin meningkat.
- Gangguan vaskularisasi, katarak.
- EKG disritmia karena ketidakseimbangan kalium.

9. Pengobatan
Pengobatan diabetes ada 3 faktor :
c. Diit
Tujuannya : mencegah obesitas, mengendalikan kadar gula, menetapkan diit yang seimbang dan cukup.
Pedoman-pedoman diit :
- Harus memenuhi kebutuhan kalori untuk aktivitas orang dewasa.
- Asupan kalori sesuai dengan berat badan dan kondisi pasien.
- Konsisten dalam waktu dan distribusi kalori, protein karbohidrat lemak, pada setiap makanan.
- Perencanaan diit yang diberikan harus melihat pribadi pasien, gaya hidup, aktivitas obat-obatan hypoglikemi.
d. Aktivitas latihan
Fungsi latihan :
- Menurunkan kadar gula darah akibat metabolisme darah yang meningkat.
- Menurunkan dan mempertahankan berat badan dalam keadaan seimbang.
Komponen latihan :
- Fitness, kelenturan otot, aerobic.
Pedoman program latihan bagi penderita DM :
- Jenis latihan, tahapan latihan, den frekuensi latihan.
e. Insulin
Insulin diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan hidup (pada tipe 1) dan untuk mengobati pasien DM pada tipe 2 yang tidak dapat mencapai kadar gula darah yang diharapkan dengan cara lain-lain.
Hal yang penting pada pemberian insulin :
- Waktu on set, puncak dan durasi kerja insulin.
- Aviabilitas makanan atau glukosa yang adequat saat insulin bekerja.
- Memonitor kadar gula darah dalam pasien.
- Memonitor tanda-tanda hipoglikemi pada pasien.
- Bagian integral dari pengelolaan DM adalah mendidik pasien sehingga memiliki rasa tanggung jawab dan tubuh akan perawatan diri.
Insulin merupakan agen hipoglikemi fisiologis yang diberikan menurunkan infeksi selain insulin ada juga obat anti diabetik oral berupa tablet.

B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Pola persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan :
Tipe I :
- Riwayat keluarga
- Kehilangan BB
- Umur di bawah 30 tahun
- Gejala-gejala akut.
Tipe II :
- Riwayat keluarga
- Kemungkinan obesitas
- Umur di atas 30 tahun
- Gejala yang muncul bertahap.
b. Pola Nutrisi Metabolik
Tipe I :
- Rasa haus meningkat.
- Rasa lapar meningkat.
- Kadang-kadang mual.
- Muntah.
- Kehilangan BB.
- Keringat berlebihan.
- Kulit basah, pruritus.

Tipe II :
- Dapat ditemukan rasa haus dan lapar.
- Riwayat diet (tinggi kalori, tinggi protein).
- Peningkatan BB.
- Penyembuhan luka lama.
c. Pola Eliminasi
Tipe I :
- Poliuria.
- Dapat terjadi konstipasi dan diare.
- Glukosuria.
Tipe II :
- Dapat muncul keluhan poliuria.
- Dapat terjadi juga konstipasi/diare.
- Glukosuria.
- Pemakaian obat-obatan.
d. Pola Aktivitas dan Latihan
Tipe I :
- Keluhan tiba-tiba lemas.
- Atropi otot.
Tipe II :
- Keluhan secara bertahap lemas dan cepat lelah.
- Riwayat latihan fisik tidak teratur.
e. Pola Tidur dan Istirahat
Tipe I :
- Gangguan tidur karena nocturia.
Tipe II :
- Nocturia, menguap setelah makan.
f. Pola Persepsi dan Kognitif
Tipe I :
- Bisa muncul keluhan pusing atau hipotensi orthostatik.
- Pruritis.
Tipe II :
- Mengeluh gatal, akut, UTI/vaginitas.
- Penyembuhan luka lama.
- Penglihatan kabur (myopia).
- Kram otot, nyeri abdomen.
- Ekstremitas: kesemutan, nyeri dan kram.
g. Pola Persepsi dan Konsep Diri
- Mekanisme koping tidak efektif.
- Gangguan harga diri.
- Gangguan peran.
h. Pola Peran dan Hubungan dengan Sesama.
- Mencari hubungan dengan sesama klien DM.
- Hubungan suami-istri.
i. Pola Reproduksi dan Seksualitas.
- Libido menurun.
- Impotensi

Pemeriksaan fisik
Kardiovaskular : - Tachicardia
- Postural hipotensi
- Synkope
Pulmonary : - Pernafasan kusmaul jika ada ketoasidosis.

Gastrointestinal : - Perut tegang.
- Bising usus berkurang.
Integumen : - Luka lama sembuh.
- Infeksi kulit.
- Kulit kering, hangat, merah.
Neurologis : - Mudah tersinggung, bingung.
Genito Urinario : - Cairan vagina.
- Infeksi vagina.
- Iritasi perineum.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Hyperglikemia berhubungan dengan tidak adekuatnya insulin (tipe I) dan insulin yang resisten (tipe II).
b. Potensial/aktual kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan osmotik diuresis (penyebab hiperglikemi).
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan intake peroral, kekurangan insulin.
d. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan pemasukan glukosa (karbohidrat) peroral berlebihan.
e. Kurang pengetahuan berhubungan dengan adanya diagnosa yang kompleks dan proses penyakit kronik.
f. Kelemahan tubuh berhubungan dengan penurunan produksi metabolik energi, perubahan kimiawi dalam tubuh yakni insufisiensi insulin, peningkatan kebutuhan tubuh karena hipermetabolik atau infeksi.
g. Tidak toleransi beraktivitas yang berhubungan dengan immobilisasi dan kelemahan fisik.
h. Perubahan persepsi sensori yang berhubungan dengan ketidakseimbangan glukosa/insulin dan elektrolit.
i. Potensial/aktual terjadi perlukaan dan infeksi yang berhubungan dengan tingginya kadar gula darah, penurunan fungsi leukosit, perubahan sirkulasi.
3. Rencana Tindakan
1. Hyperglikemi berhubungan dengan tidak adekuatnya insulin (type I ) dan insulin type II).
Hasil yang diharapkan :
- Mencegah atau meminimalkan komplikasi saat tindakan pengobatan atau mengontrol metabolisme glukosa.
Rencana tindakan :
a. Berikan insulin (IV, IM, SC) atau hipoglikosa oral.
R/ : Insulin akan mengikat pada sel yang akan menyebabkan menurunnya glukoneogenesis.
b. Beri dan pertahankan pemberian cairan melalui IV biasanya normal NaCl 0,9%. Kaji membran mukosa yang kering, turgor kulit, nyeri abdomen dan tanda dehidrasi.
R/ : Hiperglikemi akan menyebabkan dehidrasi karena hiperosmolar. Air ditarik dari sel ke sistem vaskuler yang kemudian menjadi urine untuk memelihara hemeostasis. Cairan NaCl sebagai cairan yang baik untuk mencegah elevasi lebih lanjut dari gula darah untuk mengganti sodium pada ketoasidosis. Pencatatan intake output cairan yang akurat merupakan hal yang penting untuk memantau fungsi ginjal.
c. Monitor tingkat glukosa, kadar aceton dalam urine dan catat BD urine setiap hari.
R/ : Pemeriksaan tingkat glukosa yang sering dilakukan sangat penting untuk memonitor respon pasien secara individu.
d. Amati tanda/gejala hipo/hiperglikemi: pucat, bingung, banyak keringat, sakit kepala.
R/ : Reaksi insulin dapat terjadi secara tiba-tiba. Jika pada saat didiagnosa pasien tidak sadar akan adanya tanda dan gejala, tidak terawat, mungkin reaksi dari hypoglikemi tersebut akan berakibat fatal
2. Potensial/aktual kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan osmotik diuresis (penyebab hiperglikemi).
Hasil yang diharapkan :
- Tanda vital stabil dan dalam batas normal pasien.
- Intake output cairan seimbang.
- Kulit lembab dengan turgor baik.
- Gula elektrolit darah dalam batas normal.
- Kapilari refill baik, nadi perifer tertatur.
- Tidak ada ekspresi lelah atau lemah.
Rencana tindakan :
a. Kaji riwayat pasien yang berhubungan dengan lamanya/intensitas muntah, urinari yang berlebihan.
R/ : Membantu menilai seluruh kekurangan volume dan gejala-gejala.
b. Monitor tanda-tanda vital, perhatikan perubahan tekanan darah ostostatik.
R/ : Hipovolemi dapat ditunjukkan dengan hipotensi dan tachycardia.
c. Observasi suhu, warna/kelembaban kulit.
R/ : Demam dengan kulit kering menunjukkan dehidrasi.
d. Kaji nadi perifer, kapilari refill, turgor kulit, dan membran mukosa.
R/ : Indikator dari tingkat dehidrasi dan kecukupan volume sirkulasi.
e. Monitor intake dan output, perhatikan penurunan jumlah urine.
R/ : Memberikan penilaian yang kontinue mengenai kebutuhan pengganti volume, fungsi ginjal dan keefektifan terapi.
f. Ukur berat badan setiap hari.
R/ : Menilai status cairan/kecukupan cairan saat ini.
g. Beri cairan 2500 ml/hari bila memungkinkan.
R/ : Demam dengan kulit kering menunjukkan dehidrasi.
h. Beri lingkungan yang nyaman.
R/ : Hidrasi panas yang dapat mengurangi cairan.
i. Kaji perubahan mental dan sensori.
R/ : Perubahan mental disebabkan glukosa yang tinggi atau rendah, elektrolit yang tidak normal, asidosis, penurunan perfusi serebral atau hipoksia.
j. Kaji keluhan mual, muntah, nyeri abdomen dan ketegangan perut.
R/ : Kekurangan cairan dan elektrolit mengubah gerakan gaster yang sering menyebabkan muntah dan mengurangi cairan dan elektrolit.
k. Amati kelemahan, edema, peningkatan berat badan, nadi, distensi vaskuler.
R/ : Pergantian cairan yang cepat menyebabkan overload dan kegagalan jantung.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan intake peroral, kekurangan insulin.
Hasil yang diharapkan :
- Berat badan pasien dalam batas normal atau naik.
- Memantau gula dalam darah dan urine secara mandiri.
- Memilih menu sesuai anjuran ahli gizi.
- Menentukan jenis makanan selingan dan memakannya hanya jika dibutuhkan sebelum latihan.
Rencana tindakan :
a. Kaji pola makan pasien dan program diet yang dilaksanakan.
R/ : Menentukan tindakan selanjutnya.
b. Timbang berat badan pasien tiap 4 hari.
R/ : Mengetahui jumlah nutrisi yang masuk.
c. Beri lingkungan yang nyaman saat pasien makan.
R/ : Lingkungan yang nyaman dapat memberi support untuk kenyamanan pasien.
d. Kaji dan catat keluhan pasien (mual danmuntah).
R/ : Untuk mengetahui tingkat nafsu makan pasien.
e. Kolaborasi dengan petugas diet.
R/ : Diet yang sesuai dapat untuk mencegah terjadinya hyperglikemia dan hypoglikemia.
f. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian therapi.
R/ : Mempercepat proses penyembuhan.
4. Perubahan nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan pemasukan glukosa (karbohidrat) peroral berlebihan.
Hasil yang diharapkan :
- Memilih makanan dan makanan selingan yang sesuai anjuran ahli gizi.
- Mengungkapkan pemahamannya tentang hubungan antara obesitas dan diabetes.
- Memantau gula darah sesuai jadwal.
- Memelihara pencatatan pemasukan diet dan tingkat aktivitas.
- Dapat mendemonstrasikan adanya perubahan gaya hidup.
Rencana tindakan :
a. Kaji status dasar nutrisi: tinggi badan, berat badan dan tingkat aktivitas.
R/ : Untuk mengetahui jumlah kebutuhan kalori yang dibutuhkan.
b. Jelaskan pada pasien tentang hubungan penambahan berat badan dnegan penyakitnya (Diabetes Militus).
R/ : Meningkatkan pengetahuan pasien dan mengurangi kecemasan.
c. Kolaborasi dengan petugas diet.
R/ : Diet yang sesuai dapat mencegah komplikasi.
d. Monitor kadar glukosa dalam darah sebelum pemberian glukosa.
R/ : Mengetahui pemberian terapi yang tepat.
e. Kaji status intake makanan : bila mengalami kesulitan makan memodifikasi pemberikan makan (glukosa) ke dalam tubuh (IV).
R/ : Mengetahui dan mempertahankan kecukupan glukosa dalam tubuh.
f. Kaji adanya gangguan aktivitas rutin dan latihan yang sudah diprogram.
R/ : Mengetahui tingkat proses penyakit.
5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan adanya diagnosa yang kompleks dan proses penyakit kronik.
Hasil yang diharapkan :
- Dapat menjelaskan kembali tentang penyakit, komplikasi dan pencegahannya.
- Memulai rencana diet dengan ahli diet.
- Dapat mendemonstrasikan cara pemantauan gula darah dan penyuntikan insulin.
Rencana tindakan :
a. Ajarkan pengelolaan meliputi arti insulin atau pengobatan secara oral bila terjadi hypoglikemi. Demonstrasikan teknik menyuntik, catat perputaran lokasi injeksi. Faktor pengobatan lain : diet dan latihan, pasien dan keluarga mengenal tanda-tanda hypoglikemia, ajarkan gejala-gejala yang ada libatkan keluarga.
R/ : Pasien mengerti pentingnya perawatan diabetes militus di rumah. Observasi teknik menyuntik dan perputaran letak penyuntikan untuk mencegah terjadinya scar jaringan. Kebutuhan pengobatan akan bertambah bila terjadi infeksi dan pemasukan kalori yang berlebihan.
b. Koordinir peran serta pasien dan keluarga dalam rencana pengobatan dan diet. Perhatikan jika pasien kelebihan berat badan.
R/ : Peran serta pasien dan keluarga dalam rencana diet dapat membantu pelaksanaan di rumah.
c. Ajarkan cara memeriksa kadar glukosa dalam urine dan darah. Perhatikan pasien dalam melakukan cara tersebut.
R/ : Keberhasilan management di rumah akan meningkatkan kamauan pasien untuk bisa memonitor diri sendiri.
d. Utamakan pentingnya kesinambungan aktivitas dan latihan sehari-hari.
R/ : Latihan akan merangsang metabolisme karbohidrat menolong dan mengontrol untuk pencegahan dan memperkecil komplikasi.
6. Kelemahan tubuh berhubungan dengan penurunan produksi metabolik energi, perubahan kimiawi dalam tubuh yakni insufisiensi insulin, peningkatan kebutuhan tubuh karena hipermetabolik atau infeksi..
Hasil yang diharapkan :
- Pasien menunjukkan peningkatan energi.
- Menunjukkan kemampuan untuk terlibat dalam aktivitas.

Rencana tindakan :
a. Diskusikan dengan pasien tentang kebutuhan aktivitas. Rencanakan dengan pasien dan identifikasi aktivitas yang kurang menimbulkan kelelahan.
R/ : Penjelasan dapat menjadi motivasi untuk mengembangkan aktivitas yang sesuai karena pasien merasa lemah pada permulaan.
b. Tentukan aktivitas dengan periode istirahat atau ada waktu untuk tidur.
R/ : Mencegah kelelahan yang berlebihan.
c. Monitor nadi, pernafasan, tekanan darah sebelum dan sesudah latihan/aktivitas.
R/ : Indikasi toleransi tingkat fisiologi.
d. Diskusikan cara menghemat energi bila mandi, bekerja, berjalan, dan lain-lain.
R/ : Pasien dapat menyelesaikan dengan lebih mengurangi eneri yang dikeluarkan.
e. Libatkan pasien dalam aktivitas bila toleransi.
R/ : Mengembangkan rasa percaya diri sesuai kemampuan yang ditoleransi.
f. Anjurkan pasien mengungkapkan perasaannya tentang hospitalisasi dan penyakitnya secara umum.
R/ : Mengidentifikasi dan fasilitasi pemecahan masalah.
g. Nyatakan perasaan pasien secara normal.
R/ : Mengenal reaksi pasien secara normal dapat membantu untuk menyelesaikan masalah.
h. Dorong pasien untuk membuat keputusan tentang perawatan, ambulasi, waktu untuk aktivitas.
R/ : Komunikasi bersama pasien tentang pengontrolan dapat mengurangi perawatan yang berlebihan.
7. Tidak toleransi beraktivitas yang berhubungan dengan immobilisasi dan kelemahan fisik.
Hasil yang diharapkan :
- Aktivitas kembali normal.
- Kebutuhan sehari-hari terpenuhi.
Rencana tindakan :
a. Bantu pasien pergerakan ROM 2 – 4 jam sehari.
R/ : Mencegah kekakuan otot.
b. Rubah posisi tiap 2 jam.
R/ : Kelancaran vaskularisasi dan mencegah kerusakan kulit.
c. Dorong pasien untuk latihan aktif dan sediakan alat bantu bila mungkin.
R/ : Alat bantu memudahkan pergerakan dan pergantian posisi.
d. Anjurkan untuk melakukan aktivitas secara bertahap.
R/ : Memonitor tingkat aktivitas.
e. Pantau respon fisiologis terhadap tingkat aktivitas seperti tekanan darah, pernafasan, HR.
R/ : Untuk perbandingan dengan nilai normal.
f. Beri dukungan/dorongan emosional.
R/ : Membantu memperbaiki konsep diri dan memotivasi untuk melakukan kegiatan harian.
g. Libatkan pasien dalam perawatan.
R/ : Pengambilan keputusan untuk pemulihan.
h. Ajarkan cara perawatan diri yang dapat dilakukan secara maksimal.
R/ : Mendorong pasien untuk tidak terus bergantung pada orang lain.
i. Bantu pasien memenuhi kebutuhan nutrisi, hygiene dan eliminasi
R/ : Memenuhi kebutuhan dasar.
8. Perubahan persepsi sensori yang berhubungan dengan ketidakseimbangan glukosa/insulin dan elektrolit.
Hasil yang diharapkan :
- Terpeliharanya status mental.
- Mengenali dan mengamati kerusakan sensori.
Rencana tindakan :
a. Monitor tanda vital dan status mental.
R/ : Sebagai dasar untuk perbandingan dari nilai yang abnormal, seperti suhu yang tinggi mempengaruhi mental.
b. Tanyakan kepada pasien nama, kebutuhan, tempat, orang, waktu. Berikan penjelasan singkat, bicara secara perlahan dan ucapan biasa.
R/ : Mengurangi kebingungan dan bantu pasien untuk mengadakan kontak yang realita.
c. Rencanakan waktu perawatan untuk tidak mengganggu waktu istirahat.
R/ : Peningkatan waktu istirahat, mengurangi kelelahan dan dapat mengarahkan perhatian.
d. Bantu pasien dalam rutinitas yang dimungkinkan. Ajak pasien untuk partisipasi dalam aktivitas keseharian bila dimungkinkan.
R/ : Membantu pasien dalam melihat realita dan mengarahkan orientasi pada lingkungan.
e. Hindari pasien dari injury (restrain), bila kesadarannya terganggu atau menurun.
R/ : Pasien disorientasi cenderung injury, khususnya pada malam hari dan indikasi untuk memberi tindakan pencegahan.
f. Kaji kejelasan penglihatan atau visual.
R/ : Edema retina, perdarahan, katarak, atau paralisis dari otot ekstraokuler dapat menentukan terapi untuk memperbaiki kerusakan penglihatan atau peningkatan perawatan yang diberikan.
g. Kaji keluhan dari paresthesia, nyeri dan rasa kebal atau hilang rasa.
R/ : Neuropathy peripheral, khususnya pada kaki atau paha, muncul kegelisahan yang hebat, disorientasi, sensari peragaan dapat menjadi resiko injuri dan perbandingan.
h. Sediakan kasur angin, kompres hangat tangan dan kaki, hindari dari pemaparan yang sangat dingin atau panas atau gunakan selimut hangat.
R/ : Berkurangnya kegelisahan dan potensial injuri.
i. Bantu pasien untuk ambulasi atau pergantian posisi.
R/ : Meningkatkan keselamatan pasien, khususnya bila pasien dalam keadaan syok.
9. Potensial/aktual terjadi perlukaan dan infeksi yang berhubungan dengan tingginya kadar gula darah, penurunan fungsi lekosit elektrolit, perubahan sirkulasi.
Hasil yang diharapkan :
- Kulit utuh.
- Tidak terjadi infeksi pada kulit.
- Tidak ada keluhan gatal dan kesemutan/baal.
Rencana tindakan :
a. Observasi tanda-tanda infeksi, pengeringan luka, pus, urine keruh, sputum.
R/ : Pasien mungkin mengalami infeksi, keadaan ketoasidosis, infeksi nosokomial.
b. Anjurkan selalu cuci tangan yang bersih baik staf maupun pasien.
R/ : Mengurangi resiko saling kontaminasi.
c. Gunakan teknik aseptik untuk prosedur injeksi, perawatan dan pemberian obat.
R/ : Untuk meminimalkan resiko infeksi.
d. Observasi keadaan kulit (gatal, rasa baal).
R/ : Mengetahui keadaan kulit dan tindakan selanjutnya.
e. Anjurkan pasien untuk tidak menggaruk kulit, bila gatal cukup dengan mengusap/massage yang halus.
R/ : Garukan dapat menimbulkan luka.
f. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian dari bahan katun.
R/ : Bahan katun memberi rasa sejuk dan menyerap keringat.
g. Anjurkan pasien untuk menjaga kebersihan tubuh dengan cara mandi dua kali sehari, gunakan sabun dan air hanya.
R/ : Melancarkan sirkulasi.
h. Beri lotion pada kulit.
R/ : Mengurangi kekeringan pada kulit dan memberikan kelembaban.

BAB III
PENGAMATAN KASUS

Pada Tn. D usia 67 tahun masuk RS St. Carolus di Unit Elisabet Kamar 403 pada tanggal 13-01-2001, dengan diagnosa medik Ulcus Gangren berhubungan dengan Diabates Militus. Pasien masuk dengan kesadaran compos mentis. Keadaan umum tampak sakit sedang, serta ada luka di daerah jempol kaki kiri sejak 1 bulan yang lalu dengan diameter + 2 cm dan bengkak serta kemerahan pada sekitar luka hampir seluruh pergelangan kaki. Pasien sebelumnya dirawat di RS. Sumbawa tanggal 3-01-2001 karena tidak ada perbaikan, keluarga membawa ke RS. Sint Carolus.
Dari hasil pengkajian dengan wawancara diambil data dari pasien dan anak pasien yang tinggal di Jakarta. Pasien dalam berkomunikasi tidak lancar berbahasa Indonesia sehingga harus diterjemahkan oleh anak pasien, sedangkan anak pasien selama ini tidak pernah bersama pasien karena pasien tinggal di daerah Sumbawa dengan istrinya.
Pasien tidak pernah sakit/dirawat sebelumnya, baru mengetahui penyakitnya karena berobat ke dokter sehubungan dengan luka yang tidak sembuh-sembuh.

BAB IV
PEMBAHASAN KASUS

Setelah penulis membandingkan antara studi kepustakaan yang dipelajari dan mengadakan pengamatan kasus di Unit Elisabet ternyata banyak kesamaan dan perbedaan yang terjadi.
Dari konsep medik yang ada etiologi dari pasien ini/kasus lapangan kemungkinan adanya faktor genetik karena adik pasien menderita penyakit Diabetes Militus. Pada kasus ini sudah mengalami komplikasi vaskular jangka panjang makrovaskular berupa Ulcus dan juga pasien juga menderita jantung koroner. Pasien mengetahuinya 13 hari yang lalu saat di RS. Sumbawa.
Dari tandan dan gejala yang sama dengan teori kepustakaan: poliuria, polidipsi, pruritus pada daerah lipatan paha. Adapun yang berbedar pada kasus ini adalah: poliphagia karena menurut pasien pasien tidak suka ngemil dan makan 3 kali sehari tetapi setiap pagi pasien harus makan/sarapan. Gejala cepat lelah ini kemungkinan besar karena usia yang sudah tua dan pasien suka berjalan-jalan olahraga sebelum sakit.
Pandangan kabur ini tidak ada pasien karena dari hasil pemeriksaan fisik pasien dapat membaca papan nama perawat dan mengenali wajah perawat dengan jelas. Pasien mengatakan tidak pernah nyeri pada extremitas, kesemutan dan rasa baal. Pemeriksaan Dx yang berbeda pada kasus ini: ureum, kreatinin kemungkinan karena pasien sudah berusia 67 tahun untuk mengetahui fungsi ginjal.
Dari konsep keperawatan yang ada pada pengkajian menurut teori kepustakaan yang tidak sama dengan kasus ini: tidak terjadi penurunan BB, poliphagia, nausea, konstipasi/diare, pusing. Pengkajian yang lain menurut teori hampir semua sama.
Dari diagnosa keperawatan pada kasus ini diangkat menurut hasil pengkajian yang ada yaitu :
- Resiko tinggi hyperglikemi berhubungan dengan tidak adequatnya insulin.
- Gangguan eliminasi urine BAK berhubungan dengan penurunan kontrol sprinter.
- Kerusakan integritas kulit : ulcus berhubungan dengan gangguan vaskular.
- Keterbatasan aktivitas merawat diri, hygiene, toileting berhubungan dengan kelemahan.
- Kurang pengetahuan berhubungan dengan adanya diagnosa yang kompleks dan proses penyakit kronik.
Pada perencanaan yang sudah dilakukan belum dapat terlaksana seluruhnya karena waktu yang terlalu singkat dan dalam memberikan penyuluhan belum dapat terlaksana semua karena pasien sedang pikun dan tidak begitu mengerti bahasa Indonesia bila penyuluhan terlalu banyak/panjang.
Dari hasil evaluasi semua masalah belum dapat teratasi seluruhnya karena waktu yang terlalu singkat.

DAFTAR PUSTAKA

Barbara C. Long. Perawatan Medikal Bedah. Ikatan alumni Pendidikan Keperawatan Padjajaran. Bandung : 1996.
Holloway Nancy M. Medikal Surgical Care Plans. Spring House : Pennsylvania.
Soeparman, Sarwono Waspadji. 1990. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2. Jakarta : FKUI.
Carpenito, Linda Juall. 1997. Diagnosa Keperawatan. Edisi 6. Penerbit : Buku Kedokteran EGC.
Susan M. T, Mary M. C, Eleanor Varga P, Majorie F.W. Standar Perawatan Pasien, Proses Perawatan, Diagnosis dan Evaluasi, Edisi V, Alih Bahasa, Yasmin Asih, Christantie, Indah H, Silvana E. EGC. Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta, 1998.
Lewis, Heitkemper, Dirksen, Medical Surgical Nursing, Assesment and Management of Clinical Problem, Fifth Edition. Volume II.