Minggu, 18 Mei 2008

FRAKTUR

BAB II
TINJAUAN TEORITIS


A. Konsep Dasar Medik
1. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kesinambungan/ kontinuitas tulang yang terjadi karena adanya tekanan pada tulang yang lebih besar daripada kekuatan tulang untuk menahan tekanan tersebut. ( Lukman and Surensen’s, Medical Surgical Nursing )
Fraktur radius : fraktur yang terjadi pada tulang radius.
Fraktur ulna : fraktur yang terjadi pada tulang ulna.
2. Anatomi Fisiologi
Diafisis/korpus merupakan bagian tengah tulang yang berbentuk silindris. Bagian ini terdiri dari korteks tulang yang mempunyai kekuatan yang besar sekali. Metafisis adalah bagian tulang yang melebar dekat ujung tulang. Daerah ini sebagian besar terdiri dari trabekula tulang/tulang spongiosa dan mengandung sumsum tulang. Sumsum ini terdapat juga di bagian epifisis dan diafisis tulang. Bagian ini juga menyangga sendi dan merupakan tempat perlekatan tendon dan ligamen yang cocok. Lempeng epifisis merupakan daerah pertumbuhan longitudinal pada anak-anak. Bagian ini akan menghilang pada pematangan tulang. Bagian epifisis yang letaknya dekat sendi tulang panjang bersatu dengan metafisis sehingga pertumbuhan memanjang tulang terhenti. Seluruh tulang diliputi oleh lapisan fibrosa yang disebut periosteum, yang mengandung sel-sel yang dapat berfloriferasi, yang berperanan dalam proses pertumbuhan transversal tulang panjang. Lokasi dan potensi pembuluh-pembuluh inilah yang menentukan juga berhasil tidaknya proses penyembuhan tulang sesudah fraktur.
Fungsi tulang :
a. Menahan jaringan tubuh dan memberi bentuk kepada kerangka tubuh
b. Melindungi organ-organ tubuh
c. Untuk pergerakan (otot melekat kepada tulang untuk berkontraksi dan bergerak)
d. Merupakan untuk menyimpan mineral ( calsium )
e. Tempat pembuatan sel darah merah


3. Etiologi
Penyebab paling umum fraktur biasanya disebabkan oleh :
a. Benturan/trauma langsung pada tulang, antara lain kecelakaan lalu lintas, jatuh.
b. Kelemahan /kerapuhan struktur tulang akibat gangguan/penyakit primer seperti osteoporosis/kanker tulang bermetastase.
4. Patofisiologi
Jika tulang patah maka periosteum dan pembuluh darah pada korteks, sumsum, dan jaringan lunak sekitarnya mengalami gangguan/kerusakan. Perdarahan terjadi dari ujung tulang yang rusak dan dari jaringan lunak ( otot ) yang ada di sekitarnya. Hematoma terbentuk pada kanal medullary antara ujung fraktur tulang dan bagian bawah periosteum. Jaringan nekrotik ini menstimulasi respon inflamasi yang kuat ( intensif ) yang dicirikan oleh vasodilatasi, eksudasi plasma dan lekosit, infiltrasi oleh sel darah putih lainnya. Tahap awal ini membangun/membentuk dasar penyembuhan tulang.
5. Tanda dan Gejala
a. Nyeri hebat pada daerah fraktur. Nyeri bertambah hebat jika ditekan/diraba.
b. Tidak mampu menggerakkan lengan.
c. Spasmus otot.
d. Adanya rotasi pada lengan tersebut.
e. Perubahan bentuk/posisi berlebihan bila dibandingkan dengan keadaan normal.
f. Ada/tidak ada kulit yang terluka/terbuka di daerah fraktur
g. Kehilangan sensasi pada daerah distal karena jepitan saraf oleh fragmen tulang.
h. Krepitasi jika digerakkan.
i. Perdarahan.
j. Hematoma.
k. Shock.
l. Keterbatasan mobilisasi.
6. Klasifikasi.
a. Menurut bentuk patah tulang.
· Fraktura complet, pemisahan komplit dari tulang menjadi dua fragmen.
· Fraktura incomplet, patah sebagian dari tulang tanpa pemisahan.
· Simple atau cosed fraktura, tulang patah, kulit utuh.
· Fraktura complikata, tulang yang patah menusuk kulit, tulang terlihat.
· Fraktur tanpa perubahan posisi, tulang patah, posisi pada tempatnya yang normal.
· Fraktur dengan perubahan posisi, ujung tulang yang patah berjauhan dari tempat patah.
· Commuited fraktura, tulang patah menjadi beberapa fragmen.
· Impacted ( telescoped ) fraktura, salah satu ujung tulang yang patah menancap pada yang lain.
b. Menurut garis patah tulang.
· Greenstick, retak pada sebelah sisi dari tulang ( sering terjadi pada anak dengan tulang yang lembek ).
· Transverse, patah menyilang.
· Oblique, garis patah miring.
· Spiral, patah tulang melingkari tulang.
Pemeriksaan Diagnostik
a. Foto rontgen pada daerah yang dicurigai fraktur.
b. Pemeriksaan lainnya yang juga merupakan persiapan operasi, antara lain :
· Darah lengkap
· Golongan darah
· Masa pembekuan dan perdarahan
· Pemeriksaan rontgen dada
· EKG
Therapi
Jenis tindakan untuk fraktur antara lain :
a. Pemakaian traksi untuk mencapai alignment dengan memberi beban seminimal mungkin pada daerah distal.
b. Manipulasi dengan closed reduction and external fixation ( Reduksi tertutup + fiksasi eksternal ), digunakan gips sebagai fiksasi eksternal, dilakukan jika kondisi umum pasien tidak mengijinkan untuk menjalani pembedahan.
c. Prosedur operasi dengan open reduksi dan internal fixation ( ORIF ) . Dilakukan pembedahan dan dipasang fiksasi internal untuk mempertahankan posisi tulang ( misalnya : sekrup, plat, kawat, paku ). Alat ini bisa dipasang di sisi manapun di dalam tulang.
Jika keadaan luka sangat parah dan tidak beraturan maka kadang dilakukan juga debridement untuk memperbaiki keadaan jaringan lunak di sekitar fraktur.
Komplikasi.
a. Shock dan perdarahan.
b. Infeksi.
c. Komplikasi immobilisasi, terutama pada usia lanjut, antara lain : pneumonia, thromboplebitis, emboli.
d. Osteomylitis, terjadi beberapa bulan/beberapa tahun sesudah fraktur ( biasanya fraktur terbuka ).

Tahap-tahap pertumbuhan tulang pada penyembuhan fraktur tulang adalah :
a. Hematoma formation ( pembentukan hematom ).
Karena pembuluh darah cidera, maka terjadi perdarahan pada daerah fraktur. Darah menumpuk dan mengeratkan ujung-ujung tulang yang patah.
b. Fibrin Meskwork ( pembentukan fibrin ).
Hematoma menjadi terorganisir karena fibroblast masuk lokasi cidera, membentuk fibrin meskwork ( gumpalan fibrin ). Berdinding sel darah putih pada lokasi, melokalisir radang.
c. Inflasi oeteoblast
osteoblast masuk kedaerah fibrosis untuk mempertahankan penyambungan tulang. Pembuluh darah berkembang mengalirkan nutrisi untuk pembentukan kolagen ( collgen ). Untaian kolagen terus disatukan dengan kalsium.
e. Callus formation ( pembentukan callus ).
· Osteoblast terus membuat jala untuk membangun tulang.
· Osteoblast merusakkan tulang mati dan mebantu mensintesa tulang baru.
· Collagen menjadi kuat dan terus menyatu dengan deposit kalsium.
d. Remodeling
Pada tahap terakhir ini calls yang berlebihan diabsorbsi dan tulang trabecular terbentuk pada garis cidera.
Faktor-faktor yang dapat menghambat pertumbuhan callus :
a. Union atau penyambungan tulang lambat, yang terjadi bila patah tulang tidak sembuh dalam periode penyembuhan, disebabkan oleh :
· Callus putus atau remuk karena aktivitas berlebihan.
· Edema pada lokasi fraktur, menghambat penyaluran nutrisi ke lokasi fraktur.
· Immonbilisasi yang tidak efisien
· Ifeksi pada lokasi fraktur.
· Kondisi gizi yang buruk.
b. Non union, bila penyembuhan luka tidak terjadi dalam waktu yang lama, disebabkan oleh:
· Terlalu banyak tulang yang rusak pada cidera sehingga tidak ada yang menjembatani fragmen.
· Terjadi nekrose tulang karena tidak ada aliran darah.
· Anemi, ketidak seimbangan endokrin atau penyebab sistemik yang lain.

B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN.
1. Pengkajian.
a. Pola Persepsi dan Pemeliharaan Kesehatan.
· Kebiasaan beraktifitas tanpa pengamanan memadai.
· Adanya kegiatan yang beresiko cidera.
· Adanya riwayat penyakit yang bisa menyebabkan jatuh
b. Pola Nutrisi Metabolik
· Adanya gangguan nafsu makan karena nyeri.
c. Pola Tidur dan Istirahat.
· Pola tidur berubah/terganggu karena nyeri.
d. Pola Aktivitas dan Latihan.
· Ada riwayat jatuh/terbentur ketika sedang beraktivitas/kecelakaan lain.
· Tidak kuat menahan beban.
· Ada Perubahan bentuk/pemendekan pada bagian yang fraktur.
e. Pola Persepsi Kognitif.
· Biasanya mengeluh nyeri pada daerah fraktur.
· Mengeluh kesemutan/baal pada lokasi fraktur.
· Kurang pemahaman tentang keadaan luka dan prosedur tindakan.
f. Pola Konsep Diri dan Persepsi Diri.
· Adanya ungkapan ketidakberdayaan karena keadaan cedera.
· Rasa kuatir akan dirinya : tidak mampu beraktivitas seperti sebelumnya.
g. Pola Hubungan Peran.
· Merasa tidak tertolong.
· Kecemasan akan tidak mampu menjalankan kewajiban memenuhi kebutuhan keluarga.
h. Pola Mekanisme Koping dan Toleransi Terhadap Stress.
· Ekspresi wajah sedih.
· Merasa terasing di rumah sakit.
· Kaji kecemasan pasien.
2. Diagnosa Keperawatan.
Pre operasi
a. Nyeri berhubungan dengan spasme otot, kerusakan sekunder terhadap fraktur.
b. Ketidakmampuan beraktifitas berhubungan dengan fraktur dan cidera jaringan sekitarnya.
c. Resiko tinggi terjadi infeksi berhubungan dengan fraktur terbuka, kerusakan jaringa lunak.
d. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri.

Post Operasi.
a. Nyeri berhubungan dengan luka oiperasi.
b. Resiko tinggi terjadinya komplikasi post operasi berhubungan dengan immobilisasi.
c. Ketidak mampuan beraktifitas berhubungan dengan pemasangan traksi, gips dan fiksasi.
d. Resiko tinggi terjadi infeksi berhubungan dengan luka post operasi
e. Kurang pengetahuan pasien tentang perubahan tingkat aktifitas yang boleh dilakukan dan perawatannya saat dirumah.
f. Gangguan harga diri berhubungan dengan perubahan peran, perubahan bentuk fisik atau tubuh.

3. Perencanaan.
Pre operasi
a. Nyeri berhubungan dengan spasme otot, kerusakan sekunder terhadap fraktur
Hasil yang diharapkan :
n Nyeri berkurang atau terkontrol.
n Pasien mengatakan nyeri berkurang
n Ekspresi wajah tenang.
Intervensi :
1. Observasi tanda-tanda vital ( TD, S, N, P ).
Rasional :
Peningkatan tanda-tanda vital menunjukan adanya nyeri.
2. Kaji keluhan nyeri pasien : lokasi, intensitas, karakteristik.
Rasional :
Menentukan tindakan yang tepat sesuai kebutuhan pasien.
3. Beri posisi yang nyaman sesuai anatomi tubuh manusia
Rasional :
Posisi sesuai anatomi tubuh membantu rileksasi sehingga mengurangi rangsang nyeri.
4. Ajarkan tehnik relaksasi napas dalam.
Rasional :
Napas dalam mengendorkan ketegangan syaraf sehingga membantu mengurangi rangsang nyeri.
5. Beri therapi analgesik sesuai program medik.
Rasional :
Analgesik menghambat pembentukan prostaglandin pada otak dan jaringan perifer.
b. Ketidak mampuan beraktifitas berhubungan dengan fraktur dan cidera jaringan sekitar.
Hasil yang diharapkan :
n Kebutuhan hygiene, nutrisi dan eliminasi terpenuhi.
n Pasien dapat melakukan aktifitas secara bertahap sesuai kemampuan pasien dan sesuai program medik.
Intervensi :
1. Kaji tingkat kemampuan beraktivitas pasien.
Rasional :
Menentukan intervensi yang tepat sesuai deangan kebutuhan pasien.
2. Observasi tanda-tanda vital ( TD, S, N, P ).
Rasional :
Sebagai data dasar dalam melakukan tindakan keperawatan.
3. Bantu pasien dalam pemenuhan kebutuhan yang tidak dapat dilakukan sendiri.
Rasional :
Kerja sama antara perawat dan pasien mengefektifkan tercapainya hasil dari tindakan keperawatan.
4. Dekatkan alat-alat yang dibutuhkan klien.
Rasional :
Pasien dapat memenuhi kebutuhan yang dapat dilakukan sendiri dengan cepat.
5. Libatkan keluarga dalam membantu pemenuhan kebutuhan pasien.

c. Resiko tinggi terjadi infeksi berhubungan dengan fraktur terbuka, kerusakan jaringan lunak.
Hasil yang di harapkan :
n Infeksi tidak terjadi
n Tidak ada kemerahan, pus, peradangan.
n Leukosit dalam batas normal.
n Tanda-tanda vital stabil
Intervensi :
1. Obsevasi tanda-tanda vital ( S, TD, N, P ).
Rasional :
Peningkatan tanda-tanda vital menunjukan adanya infeksi.
2. Jaga daerah luka tetap bersih dan kering.
Rasional :
Luka yang kotor dan basah menjadi media yang baik bagi perkembangbiakan bakteri.
3. Tutup daerah luka dengan kasa steril.
Rasional :
Kasa steril menghambat masuknya kuman ke dalam luka.
4. Rawat luka fraktur dengan tehnik aseptik.
Rasional :
Mencegah dan menghambat perkembangbiakan bakteri
5. Beri therapi antibiotik sesuai program medis.
Rasional :
Antibiotik menghambat hidup dan berkembangbiaknya bakteri.

Post operasi.
a. Nyeri berhubungan dengan luka operasi.
Hasil yang diharapkan :
n Nyeri berkurang sampai dengan hilang.
n ekspresi wajah tenang.
Intervensi :
1. Observasi tanda-tanda vital ( TD, S, N, P ).
Rasional :
Peningkatan tanda-tanda vital menunjukan adanya nyeri.
2. Kaji keluhan, lokasi, intensitas dan karakteristik nyeri.
Rasional :
Menentukan tindakan yang tepat sesuai kebutuhan pasien.
3. Ajarkan tehnik relaksasi napas dalam.
Rasional :
Napas dalam dapat mengendorkan ketegangan sehingga dapat mengurangi rangsang nyeri.
4. Beri posisi yang nyaman pada tulang yang fraktur sesuai anatomi.
Rasional :
Posisi anatomi memberi rasa nyaman dan melancarkan sirkulasi darah.
5. Beri therapi analgesik sesuai program medik.
Rasional :
Analgesik menghambat dan menekan rangsang nyeri ke otak.


b. Ketidakmampuan beraktifitas berhubungan dengan pemasangan traksi, gips atau fiksasi.
Hasil yang diharapkan :
n Kebutuhan hygiene, nutrisi, dan eliminasi terpenuhi.
n Pasien dapat melakukan aktifitas secara bertahap sesuai kemampuan pasien dan sesuai program medik.
Intervensi :
1. Observasi tanda-tanda vital ( TD, S, N, P ).
Rasional :
Sebagai data dasar untuk menentukan tindakan keperawatan.
2. Kaji tingkat kemampuan pasien dalam beraktifitas secara mandiri.
Rasional :
Menentukan tindakan keperawatan sesuai kondisi pasien.
3. Bantu pasien dalam pemenuhan kebutuhan hygiene, nutrisi, eliminasi yang tidak dapat dilakukan sendiri.
Rasional :
Kerjasama antara perawat dan pasien yang baik mengefektifkan pencapaian hasil dari tindakan keperawatan yang dilakukan.
4. Dekatkan lat-alat dan bel yang dibutuhkan klien.
Rasioanal :
Pasien dapat segera memenuhi kebutuhan yang dapat dilakukan sendiri.
5. Libatkan keluarga dalam membantu pemenuhan kebutuhan pasien.
Rasional :
Kerjasama antara perawat dan keluarga pasien akan membentu dalam mencapai hasil yang diharapkan.
6. Anjurkan dan bantu klien untuk mobilisasi fisik secara bertahap sesuai kemampuan pasien dan sesuai program medik.
Rasional :
Mobilisasi dini secara bertahap membantu dalam proses penyembuhan.

c. Resiko tinggi terjadi komplikasi post operasi berhubungan dengan immobilisasi.
Hasil yang diharapkan :
n Komplikasi setelah operasi tidak terjadi.
Intervensi :
1. Kaji keluhan pasien.
Rasional :
Mengetahui masalah pasien.
2. Observasi tanda-tanda vital ( TD, N ).
Rasional :
Untuk mendeteksi adanya tanda-tanda awal dari komplikasi.
3. Anjurkan dan ajarkan latihan akatif dan pasif.
Rasional :
Meningkatkan pergerakan sehingga dapat melancarkan aliran darah.
4. Kolaborasi dengan dokter.
Rasional :
Mengetahui dan mendapatkan penanganan dengan tepat.

d. Resiko tinggi terjadi infeksi berhubungan dengan luka post opersai.
Hasil yang diharapkan :
n Infeksi post operasi tidak terjadi.
n Pasien tidak mengalami infeksi tulang.
Intervensi :
1. Observasi tanda-tanda vital ( TD, N, S, P).
Rasional :
Peningkatan tanda-tanda vital menunjukan adanya infeksi.
2. Rawat luka operasi dengan tehnik anti septik
Rasional :
Mencegah dan menghambat berkembangbiaknya bakteri.
3. Tutup daerah luka dengan kasa steril.
Rasional :
Kasa steril menghambat masuknya kuman kedalam luka.
4. Jaga daerah luka tetap bersih dan kering.
Luka yang kotor dan basah menjadi media yang baik bagi perkembangbiakan bakteri.
5. Beri therapi antibiotik sesuai dengan program medik.
Rasional :
Antibiotik menghambat hidup dan berkembangbiaknya bakteri.
e. Kurang pengetahuan tentang perubahan tingkat aktivitas yang boleh dilakukan dan perawatan di rumah b.d kurang informasi
Hasil yang diharapkan:
Pasien dapat mengetahui aktivitas yang boleh dilakukan dan perawatannya saat di rumah.
Intervensi:
1. Kaji tingkat pengetahuan pasien tentang penatalaksanaan perawatan di rumah
Rasional :
untuk mengukur sejauh mana tingkat pengetahuan pasien tentang penatalaksanaan di rumah.
2. Ajarkan dan anjurkan pasien untuk melakukan latihan pasif dan aktif secara teratur
Rasional :
Dengan latihan aktif dan pasif diharapkan dapat mencegah terjadinya kontraktur pada tulang
3. Berikan kesempatan pada pasien untuk dapat bertanya
Rasional :
Hal kurang jelas dapat diklarifikasikan kembali
4. Anjurkan pasien untuk mentaati terapi dan kontrol tepat waktu
Rasional :
Mencegah kedaan yang dapat memperburuk keadaan fraktur
5. Anjurkan pasien untuk tidak mengangkat beban berat pada tangan yang fraktur
Rasional :
Mencegah stress tulang

4. Discharge planning:
a. Anjurkan pasien untuk meneruskan latihan aktif dan pasif yang telah diperoleh selama pasien dirawat di Rumah Sakit
b. Anjurkan pasien untuk tidak mengangkat beban berat pada tangan yang fraktur, bila memang terpaksa lebih baik dengan menggeser saja.
c. Anjurkan pasien untuk mentaati terapi pengobatan dan kontrol tepat waktu.
d. Anjurkan pasien untuk mengkonsumsi TKTP, tinggi kalsium, tinggi vitamin untuk proses penyembuhan tulang.






BAB III
PENGAMATAN KASUS

Nama pasien Tn. S. berusia 28 tahun, beragama Islam, keturunan suku betawi, dirawat di ruang Lukas unit bedah RS Sint. Carolus pada tanggal 4 Agustus 2.000, dengan diagnosa medik Comser + post ORIF plate screw atas indikasi fraktur radius ulna kanan. Pasien sudah dioperasi, pasien sudah berkeluarga dan mempunyai satu orang anak wanita, pasien bekerja sebagai sales, untuk aktifitasnya menggunakan motor.
Pasien tampak sakit sedang, tidak terdapat alat-alat medik pada dirinya seperti infus dan oksigen, terdapat balutan pada daerah luka operasi di lengan kanan dan di daerah dahi, daerah balutan cukup bersih. Pasien dapat memenuhi kebutuhanya sendiri tanpa harus dibantu oleh perawat atau orang lain, seperti kebutuhan akan kebersihan dirinya, makan, minum dan eliminasi. Pasien mengeluh nyeri pada daerah operasi dan kaki daerah lutut kiri dengan intensitas 2, rasa sakit menetap tetapi tidak begitu dirasakan, pasien juga mempunyai perasaan tidak enak dengan keluarganya karena keadaannya, serta tidak mengerti tentang aktivitas yang boleh dilakukan sepulang dari rumah sakit.
Dari hasil CT scan tidak tampak lesi di parenkim otak, tidak ada masa effect, sistem ventrikel normal , simetris dan letak di tengah. Batang otak dan otak kecil baik, tak tampak fraktur pada tulang cranium,. Hasil Rontgen setelah operasi fraktur pada pasien radius dan ulna kanan bagian distal, terpasang plate dan screw dengan kedudukan baik.
Dari hasil laboratorium tanggal 4 Agustus 2000 didapat Hb 11,6 g/dl, Ht : 35%, leuko : 16.400, kalium 3.1 mmol/L. Dari hasil observasi didapat TD : 120/80 mmHg , nadi : 80 X/mnt, Pernapasan :18 x/mnt, suhu 36,2 C. Pasien juga mendapat therapi obat-obatan berupa mefinal 3 x 500mg , Nonflamin 3X1 , Becom-z 1x1 dan mendapat cefotaxime 2X1gr.
Dengan melihat hasil pengkajian post operasi, hasil rontgen, hasil laboratorium dan hasil observasi, maka penulis mengangkat 3 (tiga) masalah keperawatan pada pasien ini antara lain : Nyeri b.d luka , gangguan harga diri b.d merasa menjadi beban keluarga dan kurang pengetahuan tentang aktivitas yang boleh dilakukan b.d kurang informasi . untuk kajian secara lengkap pada pasien ini dapat dilihat pada pengkajian sampai dengan evaluasi.



















BAB V
KESIMPULAN

Setelah penulis mengadakan pengawasan langsung pada pasien dengan fraktur radius ulna di unit Lukas serta mempelajari sumber-sumber di perpustakaan dapat disimpulkan bahwa fraktur radius ulna adalah terputgusnya kesinambungan/kontinuitas tulang yang terjadi karena adanya tekanan pada tulang lebih besar daripada kekuatan tulang untuk menahan tekanan tersebut, lokasi fraktur tersebut terjadi pada tulang radius dan ulna. Secara umum fraktur dapat disebabkan oleh karena kelemahan atau kerapuhan dari struktur tulang. Komplikasi yang dapat terjadi adalah shock, perdarahan, infeksi, komplikasi immobilisasi ,terutama pada usia lanjut seperti pneumoni, thromboplebitis, emboli, selain itu dapat juga terjadi osteomyelitis. Sehiungga kita diharapkan mengetahui cara perawatan serta usaha untuk meningkatkan kesembuhan pasien.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk pasien yang akan pulang dari RS agar mereka dapat menjaga supaya keadaannya tidak bertambah parah ( terjadi infeksi dan penyembuhan fraktur lama ). Dalam hal ini peran kita sebagai perawat professional sangat diperlukan dalam memberikan penyuluhan yaitu dengan menganjurkan pasien untuk untuk mengistirahatkan bagian yang fraktur, menghindari mengangkat benda berat dan bila terpaksa lebih baik dengan metode/cara menggeser daripada mengangkat.










BAB IV
PEMBAHASAN KASUS

Setelah memperhatikan beberapa literatur dan pengematan kasus di bangsal mengenai fraktur radius ulna, penulis mencoba memberikan pembahasan dan mengemukakan perbandingan antara teori dan pengematan, bahwa pada kasus fraktur radius ulna pada TN. S. disebabkan oleh trauma langsung pada tulang radius ulna. Karakteristik munculnya tanda dan gejala sesuai dengan yang ada pada konsep keperawatan.
Dari semua diagnosa yang ada pada pasien semuanya ada pada diagnosa yang berada pada teori, dan dari masalah yang ada pada teori tidak semuanya berada pada pasien, diantaranya adalah :
1. Ketidakmampuan beraktifitas berhubungan dengan pemasangan fiksasi dari dalam berupa plate screw, masalah ini tidak kami angkat karena walaupun pasien menggunakan fiksasi berupa plate screw, pasien dapat melakukan aktifitas seperti berjalan, mandi, makan, minum, dan berpakaian tanpa bantuan orang lain atau perawat.
2. Resiko tinggi terjadi infeksi berhubungan dengan luka operasi, masalah ini juga tidak kami angkat, hal ini disebabkan karena pada pasien kami dari sejak terjadinya fraktur sampai dengan pengkajian tidak ada tanda-tanda yang menjurus kearah terjadinya infeksi, luka balutan setelah operasi cukup bersih, tidak ada darah yang merembes dan suhu badan pasien tidak panas.
3. Resiko tinggi terjadinya komplikasi post operasi berhubungan dengan immobilisasi. Masalah ini juga tidak kami angkat, hal ini dikarenakan pada pasien kami dapat berjalan jadi tidak bedrest di tempat tidur, selain itu pasien juga cukup kooperatif dengan selalu menggerakkan atau menggenggam jari-jarinya sehingga peredaran darah khususnya pada daerah yang fraktur atau yang mendapat balutan dapat mengalir dengan lancar.
Pada pasien ini selain diagnosa fraktur pada radius ulna juga terdapat diagnosa comser. Hal ini juga disebabkan karena bagian kepalanya terbentur akibat terjatuh dari motor, yang juga sempat tidak sadar, muntah tidak ada. Dan dari hasil CT scan tidak menunjukkan adanya kelainan, tidak ada fraktur pada tulang cranium. Pada saat pengkajian pasien sudah tidak merasa pusing dan tidak ada keluhan pada kepalanya. Oleh karena itu masalah pada pasien ini yang berhubungan dengan diagnosa comser tidak kami angkat karena tidak ada keluhan pada pasien ini yang menjurus pada comser.
Perencanaan yang disusun dapat disesuaikan dengan tingkat perubahan yang terjadi. Penekanan diberikan pada bantuan untuk mengurangi rasa nyeri, meningkatkan rasa harga diri pasien, dan meningkatkan pengetahuan pasien dalam hal melakukan aktivitas yang boleh dilakukan setelah pulang dari RS.
Hal ini dapat diperhatikan melalui pendekatan, pendidikan dan penyuluhan yang dapat diterapkan langsung kepada pasien. Penyuluhan yang dapat diberikan kepada pasien yaitu dengan menganjurkan untuk mengistirahatkan bagian yang fraktur guna mencegah bertambahnya bagian yang menderita ± 12 minggu, menganjurkan untuk menghindari mengangkat benda yang berat, bila terpaksa lebih baik digeser daripada diangkat.
Setelah mengadakan pengkajian, menentukan diagnosa keperawatan, serta mengimplementasikan dari rencana keperawatan, bahwa pada saat evaluasi tidak semua rencana dilaksanakan. Hal ini disebabkan karena keterbatasan waktu. Dengan demikian tidak semua masalah keperawatan yang ada pada pasien dapat teratasi sampai selesai.





















DAFTAR PUSTAKA

Brunner and Sudarth. Medical Surgica Nursing. Sixth Edition. Sydney: J.B Lippincot
Company, 1988.
Carpenito, Lynda Juall. Diagnosa Keperawatan, cetakan I. Edisi 6. EGC, Jakarta
1998
Donna, ignatavicus, Marilyn Warner Bayne. Medical Surgical Nursing. A Nursing
Proses Approach. W B Saunders Company : Philadelphia,1991.
Joan Lucman, R. N. M. A., Karen C. Sorensen. R. N. M. N. Medical Surgical Nur-
sing: A Psychohysiological Approach, Philadelpia, W. B. Saunders Company,
1987
John Gibson, MD, Anatomi dan Fisiologi Modern untuk Perawat, alih bahasa : Ni Luh
Gede Yasmin Asih, SKp, edisi kedua, cetaakan I, EGC : Jakarta, 1995.
Long, C. Barbara. Perawatan Medical Bedah. Suatu pendekatan keperawatan 2. Ce-
takan I. Jilid I. Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran, 1996.
Nancy M. Holloway. Medical Surgical Care Plans. Springhouse Corporation,
Pennsylvania,1997.
Price, Sylvia Anderson. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit. Edisi
kedua. Penerbit EGC : Jakarta, 1991.

GE

BAB II
KONSEP DASAR


A. KONSEP DASAR MEDIK
1. Definisi
Gastroenteritis (GE) atau diare akut adalah peradangan pada lambung dan usus yang dapat ditunjukan dengan muntah dan diare. (Padiatric Nursing, Carring for Children, Jane ball, Ruth Bindler, 1995,512)

2. Anatomi Fisiologi
Sistem gastrointestinal (sistem pencernaan, saluran pencernaan) yang mempunyai peran utama dalam pemenuhan nutrisi ke seluruh tubuh. Prosesnya mencakup respon baik fisiologis maupun psikologis untuk mendapatkan makanan, saluran cerna (pemecahan makanan secara fisik ataupun kimia menjadi molekul – molekul yang lebih kecil), absrobsi (penyerapan makanan dari saluran cerna ke sirkulasi darah), dan pembungan/eliminasi (pelepasan sisa pencernaan dari tubuh). Saluran pencernaan tersebut meliputi: mulut, esofagus, lambung, dan usus halus dan usus besar. Setelah diabsorbsi, sisanya akan dibuang melalui anus. (lihat gambar 1).










Gambar 1 anatomi sistem gastrointestinal. (sumber: Spien–Chard–Hawe Bernard. Pediatric Nursing Care 1990, 668).

Lambung
Lambung terbagi atas tiga bagian yaitu fundus, korpus, dan pilorus. Kedua ujung lambung terdapat masing – masing satu spinkter. Spinkter cardiae berfungsi untuk memasukan dan mencegah makanan keluar dari lambung dan spinkter pyloric menegelurkan kimus dari lambung menuju duodenum dan mencegah kembali ke lambung. Lambung berfungsi untuk menampung, mencampur, dan mengosongkan kimus ke duodenum. Kurang lebih 90% air diabsorbsi di lambung. Lambung mengeluarkan enzim pepsin, lipase, dan amilase untuk mencerna kimus setelah itu, kimus akan menuju duodenum untuk mengalami pencernaan lebih lanjut untuk diabsorbsi.

Usus halus
Usus halus terdiri dari jejenum, duodenum, dan ileum. Kimus yang masuk ke usus halus akan dicerna . karena gerakan segmentasi, makanan akan bercampur. Pada usus halus akan terjadi absorbsi nutrien, elektrolit, dan sedikit air.

Usus besar
Usus besar merupakan tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 1,5 meter dan terbentang antara sekum sampai kanalis ani. Diameter usus besar lebih besar daripada usus halus, rata – rata sekitar 6,5 cm, tetapi makin dekat anus diameternya makin kecil. Usus besar memiliki 4 lapisan morfologik seperti juga bagian usus lainnya. Akan tetapi ada beberapa gambaran yang khas pada usus besar. Lapisan otot longitudinal usus besar tidak sempurna tetapi terkumpul dalam 3 pita yang dinamakan taenis koli. Taenia bersatu pada sigmoid distal, dengan demikian rektum mempunyai satu lapisan otot longitudinal yang lengkap. Panjang taenis lebih pendek daripada usus, hal ini menyebabkan usus tertarik dan berkerut membentuk kantong – kantong kecil yang dinamakan haustra. Lapisan mukosa usus besar jauh lebih tebal daripada mukosa usus halus dan tidak mengandung vili atau rugae.
Kriptus Lieberkuhn (kelenjar intestinal) terletak lebih dalam dan mempunyai banyak sel goblet daripada usus halus. Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan sejalan dengan suplai darah yang diterima. Arteria mesenterika superior memperdarahi belahan bagian kanan (sekum, kolon asendens dan duapertiga proksimal kolon transversum), dan arteria mesenterika inferior memperdarahi belahan kiri (sepertiga distal kolon transversum, kolon desendens dan sigmoid, dan bagian proksimal rektum). Suplai darah tambahan untuk rektum adalah melalui arteria sakralis media dan arteria hemoroidalis inferior dan media yang dicabangkan dari arteria iliaka interna dan aorta abdominalis. (lihat gambar 2).














Gambar 2 penampang mukosa usus. (sumber: Whaley and Wong’s. Nursing Care of Infant and Children. 1999, 1536).


Alir balik vena dari kolon dan rektum superior melalui vena mesenterika superior dan inferior dan vena hemoroidalis superior yaitu bagian dari sistem portal yang mengalirkan darah ke hati.Usus besar mempunyai berbagai fungsi yang semuanya berkaitan dengan proses akhir isi usus. Fungsi usus besar yang paling penting adalah mengabsorbsi air dan elektrolit, yang sudah hampir lengkap pada kolon bagian kanan. Kolon sigmoid berfungsi sebagai reservoir yang menampung massa feses yang sudah dehidrasi sampai defekasi berlangsung. Kolon mengabsorbsi 800 ml air/hari. Kapsitas absorbsi usus besar adalah 2000 ml/hari. Bila jumlah dilampaui, misalnya karena adanya kiriman yang berlebihan dari ileum, maka akan terjadi diare. Pencernaan yang terjadi di usus besar diakibatkan oleh bakteri. Usus besar mensekresikan mukus alkali yang tidak mengandung enzim, mukus ini bekerja untuk melumasi dan melindungi mukosa. Bakteri usus besar mensintesis vitamin K dan beberapa vitamin B. Pembusukan oleh bakteri dan sisa-sisa protein menjadi asam amino dan zat-zat yang lebih sederhana seperti peptida, indol, skatol, fenol, dan asam lemak. Propulsi feses ke rektum mengakibatkan distensi dinding rektum dan merangsang refleks defekasi.

3. Etiologi
Penyebab diare pada anak – anak mempunyai banyak perbedaan pada setiap kasus. Secara spesifik, etiologinya tidak selalu diidentifikasi. Mekanisme umumnya adalah penurunan kapasitas absorbsi dari usus yang mengalami inflamasi, penurunan permukaan area absorbsi, atau rangsangan pada saraf parasimpatetik. Beberapa faktor yang diduga dapat meyebabkan diare adalah:
a. Faktor infeksi
1. Infeksi enteral; infeksi saluran pencernaan makanan yang merupakan penyebab utama diare pada anak, terdiri dari:
· Infeksi bakteri: Vibrio, E. Coli, Salmonella, Shigella, Campy-lobacter, yersinia, Aeromonas, dsb.
· Infeksi virus: Enterovirus, Adenovirus, Rotavirus, Astrovirus, dsb.
· Infeksi parasit: Cacing (Ascaris, Trichuris, Oxyuris, Strongy-loides); protozoa (Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, trichomonas hominis), Jamur (Candida albicans)
2. Infeksi parenteral ialah infeksi di luar alat pencernaan makanan seperti: otitis media akuta, tonsilitis/tonsilofaringitis, bronkopneu-monia, ensefalitis, dsb. Keadaan ini terutama pada bayi dan anak berumur dibawah 2 tahun.
b. Faktor malabsorbsi
1) Malabsorbsi karbohidrat: disakarida (intoleransi laktosa, maltosa dan sukrosa); monosakarida 9intoleransi glukosa, fruktosa, dan galaktosa).
2) Malabsorbsi lemak
3) Malabsorbsi protein
c. Faktor makanan
Makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan
d. Faktor psikologis
Rasa takut dan cemas (jarang, tetapi dapat terjadi pada anak yang lebih besar
e. Faktor obat-obatan (zat besi, antibiotika)
f. Penyakit kolon (kolitis, NEC, enterokolitis)
g. Pembedahan (pada usus besar)

4. Patofisiologi
Diare disebabkan karena ketidaknormalan absorbsi air dan elektrolit. Transport air dan elektrolit ini terjadi di dalam sistem pencernaan meningkat pada usia anak – anak. Mukosa usus pada anak kecil lebih permiabel daripada anak besar. Karena pada anak kecil dengan peningkatan osmolalitas menimbulkan diare, banyak cairan dan elektrolit akan hilang pada anak yang lebih besar. Diare dapat disebabkan karena proses patologik.
Organisme masuk pada mukosa epitel, berkembang biak pada usus dan menempel pada mukosa usus serta melepaskan enterotoksin yang dapat menstimulasi cairan dan elektrolit keluar dari sel mukosa. Infeksi virus ini menyebabkan destruksi pada mukosa sel dari vili usus halus yang dapat menyebabkan penurunan kapasitas absorbsi cairan dan elektrolit.. Interaksi antara toksin dan epitel, usus menstimulasi enzim Adenilsiklase dalam membran sel dan mengubah cyclic AMP yang menyebabkan peningkatan sekresi air dan elektrolit. Proses ini disebut diare sekretorik. Pada proses invasi dan pengrusakan mukosa usus, organisme menyerang enterocytes (sel dalam epitelium) sehingga menyebabkan peradangan dan kerusakan pada mukosa usus. Pada pemeriksaan histologi, bakteri dapat menyebabkan ulserasi superfisial pada usus dan dapat berkembang biak di sel epitel. Sedangkan bila bakteri menembus dinding usus melalui plague peyeri di ileum maka akan diikuti dengan multiplikasi organisme intraselular dan organisme mencapai sirkulasi sistemik.


Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare ialah:
a. Gangguan osmotik, akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit ke dalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus untuk mengeluarkan-nya sehingga timbul diare.
b. Gangguan sekresi, akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada dinding usus akan terjadi peningkatan sekresi, air dan elektrolit ke dalam rongga usus dan selanjutnya timbul diare karena terdapat peningkatan isi rongga usus.
c. Gangguan motilitas usus. Hiperperistaltik akan mengakibatkan berku-rangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan, sehingga timbul diare. Sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan, selanjutnya timbul diare.

5. Tanda dan gejala
a. Anak menjadi cengeng
b. Gelisah
c. Suhu tubuh biasanya meningkat
d. Nafsu makan berkurang
e. Diare, tinja cair, mungkin disertai lendir/darah
f. Tinja berwarna kehijau – hijauan karena bercampur empedu
g. Anus dan daerah skitarnya lecet karena sering diare
h. Mual, muntah
i. Gejala dehidrasi: berat badan turun, turgor berkurang, mata dan ubun-ubun besar menjadi cekung (pada bayi), selaput lendir bibir dan mulut serta kulit tampak kering, diuresis berkurang.

6. Tes Diagnostik
a. Pemeriksaan tinja, makroskopis dan mikroskopis: ditemukan kuman sepesifik.
b. Biakan tinja dan uji resistensi, jika diperlukan.
c. Analisa gas darah: base axcess rendah.
d. Pemeriksaan serum elektrolit, natrium, kalium: terjadi penurunan.
7. Terapi Medik
Prinsip utama penanganan Gastroenteritis adalah:
a. Menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit
b. Mengembalikan fungsi normal sistem pencernaan
c. Mencegah penyebaran infeksi pada orang yang kontak dengan anak diare.

Dasar pengobatan diare adalah:
a. Pemberian cairan: jenis cairan, cara memberikan cairan, jumlah pemberiannya: disesuaikan dengan kebutuhan cairan per usia.
b. Dietetik (cara pemberian makanan)
c. Obat – obatan.

Untuk dehidrasi ringan sampai sedang, anak diberi rehidrasi oral seperti Pedialyte, Ricelyte, atau Lytren untuk bayi dan anak yang masih kecil. Gatorade diberikan untuk anak yang lebih besar. Minuman yang mengandung karbonat dan gula sebaiknya tidak diberikan karena fermentasi gula dalam saluran pencernaan dapat menyebabkan peningkatan gas, distensi abdomen, dan meningkatkan frekuensi diare.
Untuk dehidrasi berat, rehidrasi dengan pemberian cairan intravena yang sesuai untuk mengkoreksi ketidakseimbangan yang spesifik. Anak dipuasakan untuk mengistirahatkan usus. Bila dehidrasi sudah teratasi dan diare sudah berkurang, anak dapat mulai makan bertahap.
Bila diare disebabkan oleh bakteri/parasit, maka therapi antibiotika diberikan. Absorbent seperti Donnagel dan Kaopectate dapat merubah bentuk tinja, tetapi tidak dapat menurunkan jumlah kehilangan cairan.

8. Komplikasi
a) Dehidrasi: (ringan, sedang, berat, hipotonik, isotonik, atau hipertonik), karena kehilangan cairan dan elektrolit akibat diare dan atau muntah.
b) Kejang hipovolemik: sebagai manifestasi dari kekurangan cairan intraseluler.
c) Hipokalemia: (dengan gejala meteorismus, hipotoni otot, lemah, bradikardia, perubahan EKG) akibat kekurangan kalium, karena diare dan muntah.
d) Hipoglikemia: sel kekurangan glukosa akibat tiddak ada suply glukosa ke sel karena malabsorbsi, kerusakan vili mukosa usus dan defisiensi enzim laktase
e) Malnutrisi energi protein: akibat muntah dan diare yang lama atau kronik.



B. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian
a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
1) Kebersihan pada anak
2) Kebiasaan mencuci tangan sebelum makan
3) Kebersihan lingkungan
4) Kebiasaan jajan makanan yang dijajakan di tempat terbuka
5) Pengetahuan keluarga tentang diare
6) Upaya yang dilakukan keluarga bila anak diare
b. Pola nutrisi dan metabolik
1) Pemberian makanan pada anak
2) Jenis makanan yang diberikan
3) Adanya kemerahan/lecet pada daerah sekitar anus
4) Hasil analisa gas darah, serum elketrolit, dan pemeriksaan hematologi lainnya.
c. Pola eliminasi
1) Kebiasaan b.a.b
2) Adanya diare (karakteristik faeces:ada darah/lendir, warna, frekuensi)
d. Pola tidur dan istirahat.
1) Perubahan pola tidur karena diare
e. Pola persepsi dan kognitif
1) Adanya keluhan nyeri pada perut
2) Anak rewel,cengeng, gelisah

f. Pola peran dan hubungan sesama
1) Anak ingin selalu dekat dengan ibu/orang tuanya
g. Pola koping dan toleransi terhadap stress
1) Anak cengeng/sering menangis

2. Diagnosa Keperawatan
a. Diare berhubungan dengan perubahan motilitas gastrointestinal
b. Kurang volume cairan berhubungan dengan diare dan muntah
c. Hipertemia berhubungan dengan proses infeksi pada usus
d. Kecemasan orang tua berhubungan dengan diare pada anak
e. Kurang pengetahuan orang tua mengenai proses penyakit, pencegahan dan tindakan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi
f. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kontak kulit dengan faeces dan tindakan membersihkan.


3. Perencanaan
a. Diare berhubungan dengan perubahan motilitas gastrointestinal.
Hasil yang diharapkan:
Fungsi gastrointestinal kembali normal.

Rencana tindakan:
Intervensi
Rasional
1. Observasi tanda – tanda vital dasar dan monitor tiap 2 – 4 jam.
2. Observasi jumlah faeces, konsistensi, bau, dan frekuensi b.a.b
3. Periksa darah samar pada faeces
4. Monitor hasil faeces kultur dan adanya telur cacing/parasit
5. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan anak.
6. Isolasi anak sampai penyebab diare diketahui
7. Bantu anak b.a.b dan membersihkannya.


8. Berikan rehidrasi oral dan cairan intravena. Batasi intake makanan.
9. Beritahu pada dokter bila diare menetap atau ada perubahan karakteristik.
1. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dan merubah fungsi vital tubuh
2. Membantu dalam diagnosa dan dalam memonitor status kesehatan anak
3. Defekasi yang sering dan kuman dapat menyebabkan perdarahan.
4. Pemberitahuan hasil yang cepat pada dokter dapat mempercepat pengobatan.
5. Membantu pencegahan transmisi mikroorganisme.

6. Mencegah pemaparan pada pasien lain dan perawat.
7. Anak mungkin lemah, tidak dapat menahan b.a.b, atau cemas dan membutuhkan pertolongan untuk menggunakan kamar mandi
8. Menyediakan kebutuhan cairan dan nutrien ketika usus beristirahat.

9. Memberikan intervensi dengan segera.

b. Kurang volume cairan berhubungan dengan diare dan muntah
Hasil yang diharapkan:
Anak mempunyai keseimbangan cairan dan elektrolit yang normal yang ditandai dengan hasil laboratorium dan pemeriksaan dokter yang normal.

Rencana tindakan:
Intervensi
Rasional
1. Monitor intake output dan catat setiap b.a.k





2. Bandingkan berat badan sebelum masuk dan berat badan saat ini. Timbangberat badan tiap hari.

3. Kaji tingkat kesadaran, tur-gor kulit, membran mukosa, warna kulit dan suhu, pengisian kapiler, mata, dan ubun-ubun setiap 4 jam.

4. Kaji adanya muntah


5. Berikan cairan per oral dan pengganti elektrolit jika tolerate.
6. Berikan dan pertahankan pemberian cairan intravena jika diberikan.
1. Memonitor output yang berlebihan dibandingkan dengan input . Tanpa urine dalam waktu yang lama merupakan indikator penurunan fungsi ginjal. Anak seharusnya memproduksi i ml urine/kg/bb/jam.
2. Derajat dehidrasi dapat diketahui dari peresentase penurunan berat badan. Penimbangan setiap hari membantu dalam menentukan kemajuan rehidrasi.
3. Menentukan derajat rehidrasi dan keadekuatan intervensi.




4. Muntah yang berlebihan disertai diare menyebabkan anak kehilangan cairan.
5. Memberikan pengganti cairan dan elektrolit yang essensial.

6. Penggunaan penggantian cairan intravena didasarkan pada derajat dehidrasi, IWL dan hasil elektrolit.

c. Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi pada usus.
Hasil yang diharapkan:
Suhu badan normal (36 0C – 37 0C).

Rencana tindakan:
Intervensi
Rasional
1. Monotor tanda-tanda vital: suhu, nadi
1. Manifestasi infeksi antara lain, peningkatan suhu dan denyut nadi
2. Periksa faeces kultur


3. Batasi aktivitas/tirah ba-ring
2. Dengan mengetahui penyebab penya-kit, dapat digunakan sebagai landasan therapi yang tepat
3. Mengurangi penggunaan energi un-tuk aktivitas, sehingga energi diguna-kan untuk proses penyembuhan infeksi
4. Berikan therapi anti-biotika sesuai dengan program medik
4. Antibiotika yang sesuai sangat efektif untuk mengatasi infeksi, sehingga terjadi penurunan suhu tubuh
5. Berikan antipiterika dan evaluasi suhu tubuh
5. Antipiretika mempengaruhi pusat pengatur suhu (hipothalamus).

d. Kecemasan orang tua berhubungan dengan diare pada anak.
Hasil yang diharapkan:
· Orang tua memverbalisasikan kecemasannya.
· Kecemasan orang tua berkurang ditandai dengan sikap lebih santai dan aktif membantu perawatan anaknya.

Rencana tindakan:
Intervensi
Rasional
1. Kaji tingkat kecemasan orang tua.
1. Dasar untuk menentukan jenis intervensi yang diperlukan.
2. Dorong orang tua untuk memverbalisasikan kecemasannya, dengarkan dengan penuh perhatian setiap keluhannya
2. Verbalisasi kecemasan membantu orang tua dan perawat untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menjadi penyebabnya.
3. Berikan penjelasan atas setiap rencana tindakan yang akan dilakukan terhadap anak.
3. Ketidaktahuan orang tua akan rencana yang akan dilakukan terhadap anaknya dapt meningkatkan kecemasan
4. Dorong orang tua untuk ikut terlibat dalam asuhan anaknya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki-nya.
4. Keterlibatan orang tua memberikan perasaan berdaya bahwa mereka sedang membantu mengatasi sakit anaknya.
5. Informasikan terus menerus kepada orang tua tentang perkembangan/kemajuan yang dicapai oleh anak.
5. Mengetahui tingkat kemajuan yang dicapai dalam penanganan mem-perkuat keyakinan orang tua akan perjalanan kesembuhan anaknya.
6. Yakinkan orang tua bahwa sakit yang dialami anaknya pada umumnya dapat disembuhkan dan berikan penjelasan yang realistis tentang keadaan anaknya.
6. Gambaran umum tentang kesem-buhan perlu bagi orang tua, namun demikian perawat harus tetap berpegang pada realita agar orang tua siap menghadapi segala ke-mungkinan yang dapat terjadi.

e. Kurang pengetahuan orang tua mengenai proses penyakit, pencegahan dan tindakan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi.
Hasil yang diharapkan:
Orang tua dapat menjelaskan kembali penjelasan dari perawat tentang higiene perorangan dan lingkungan, pola pemberian makanan, kebersihan alat – alat makan dan pencegahan serta pertolongan diare.

Rencana tindakan:
Intervensi
Rasional
1. Jelaskan tentang cara pence-gahan diare dengan menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan
2. Anjurkan orang tua untuk berkonsultasi dengan dokter yang merawat.
3. Beri tambahan penjelasan bila ibu kurang jelas dengan keterangan dokter.


4. Demonstrasikan cara mera-wat anak diare selama di rumah sakit.
5. Libatkan ibu dalam pera-watan anaknya.

6. Anjurkan ibu untuk selalu cuci tangan yang bersih sebelum dan sesudah kontak dengan anak.
1. Merupakan dasar untuk membe-rikan informasi yang dibutuhkan.


2. Mencegah terulangnya diare


3. Mendapatkan informasi yang akurat tentang penyebab dan program pengobatan. Penjelasan dari perawat mungkin lebih mudah dimengerti oleh ibu.
4. Memberi contoh pada ibu cara perawatan yang baik.

5. Mempertahankan kedekatan ibu dengan anaknya dan ibu dapat berpartisipasi dalam perawatan
6. Kontak penyakit diare banyak terjadi karena kelalaian mencuci tangan

f. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kontak kulit dengan faeces yang berulang.
Hasil yang diharapkan:
Daerah perianal anak berwarna merah muda dan utuh.

Rencana tindakan:
Intervensi
Rasional
1. Kaji adanya kerusakan/iritasi kulit sekitar perineum.
1. Pengkajian awal dan intervensi dapat mencegah kondisi yang lebih buruk.
Tindakan pencegahan:
2. Ganti popok tiap 2 jam atau kalau perlu

2. Meminimalkan kontak kulit dengan zat kimia iritan dari faese dan urine
3. Gunakan popok kain
3. Meminimalkan iritasi mekanik dan kimia dari popok disposibel
4. Cuci daerah sekitar anus setelah ngompol/buang air besar
4. Membersihkan sisa-sisa faeces jika ada.
5. Berikan baby salf
5. Memberikan barier dan menjaga keutuhan kulit atau kulit yang kemerahan menjadi ekskoriasi.

HYPERTENSI

BAB I
P E N D A H U L U A N



A. Latar Belakang
Semakin berkembangnya IPTEK dan kemajuan ekonomi, berpengaruh pula pada perubahan budaya makan. Masyarakat kita belum dapat memahami akibat dari mengkonsumsi lemak dan protein secara berlebihan, yang dapat memberikan dampak negatif terhadap kesehatan dan gizi kelompok tertentu.
Berdasarkan hasil penelitian :Gizi Lebih” dan “Obesitas” pada orang dewasa di 12 kota Madya yahun 1995, menunjukkan bahwa prevalensi obesitas pada wanita hampir dua kali lipat dibandingkan dengan pria yaitu 14,7% pada wanita dan 7,4% pada pria. Kategori umum kelompok ini berkisar antara 41 – 45 tahun.
Dengan adanya kemudahan dalam transportasi membuat orang pada zaman sekarang ini mengurangi aktivitas nya. Hal ini mendukung terjadinya kegemukkan atau obesitas.
Dengan adanya peningkatan konsumsi lemak, garam yang berlebihan, kebiasaan merokok, mengkonsumsi alkohol, megurangi aktivitas, masalah psikologis seperti stres, akan berakibat fatal seperti hipertensi dan penyakit cardiovaskuler lainnya, di mana saling terkait satu sama lainnya. Individu yang diketahui menderita hipertensi sejak dini mempunyai resiko lebih sedikit dibanding yang menderita hipertensi dalam jangka waktu lama. Oleh karena itu, mendeteksi atau pengontrolan hipertensi secara dini dapat mengurangi resiko tersebut.

B. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Mendapatkan pengalaman secara nyata dalam merawat pasien hipertensi.
2. Menerapkan secara langsung konsep – konsep yang telah dipelajari dari perkulaha MA> 217 II.
3. Memperoleh informasi/gambaran pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien hipertensi.
4. Memenuhi tugas yang diberikan staff pengajar MA. 217 II.

C. Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, untuk memperoleh data dan informasi yang menunjang penulis menggunakan dasar studi kepustakaan berupa literatur – literatur yang berhubungan dengan penyakit hipertensi, studi kasus, dan perawatan secara langsung kepada pasien di Unit Fransiskus.

D. Sistematika Penulisan
Makalah ini disusun secara sistematis sebagai berikut: BAB I (bab pendahuluan) yang terdiri dari latar belakang penulisan, tujuan, metode, dan sistematika penulisan makalah. BAB II berisikan tinjauan hipertensi secara teoritis, yang tersusun berurutan, konsep dasar medik yang menjelaskan definisi dari hipertensi, anatomi fisiologis sistem peredaran darah, penyebab hieprtensi, patologis, tanda dan gejala, pemeriksaan diagnostik, terapi, dan komplikasi. Selain itu, pada bab ini dipaparkan juga tentang konsep dasar pengelolaan penderita hipertensi dari segi keperawatan yang meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, dan intervensi (tindakkan keperawatan).
BAB III berisikan ringkasan data yang pasien (Pengamatan kasus). BAB IV merupakan penbahasan hasil pengamatan dan penerapan asuhan keperawatan pada pasien. Penulisan makalah ini secara keseluruhan terangkum dalam bab rangkuman (BAB V). Penulisan makalah diakhiri dengan daftar kepustakaan yang pergunakan oleh penulis sebagai rujukan.

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Dasar Medik

1. Definisi
Hipertensi adalah suatu keadaan di mana terjadi peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 160 mmHg dan atau tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg, yang terjadi pada seseorang paling sedikit tiga waktu yang berbeda (WHO 1978, Mahendra dan Karya 1985).

2. Anatomi dan Fisiologis
Sistem Cardivaskuler
Jantung terletak di dalam rongga mediastinum. Sistem cardivaskuler terdiri dari:
1. Jantung
2. Pembuluh darah
3. Darah
Jantung adalah organ tubuh yang berfungsi:
• Pemompa darah
• Penyalur O2, nutrisi, dan mengikat CO2 serta sisa – sisa metabolisme.

Simtem peredaran darah (sirkulasi) dalam tubuh mempunyai sifat sebagai berikut:
Sirkulasi Sistemik
Yaitu:
1. Mengalirkan darah ke berbagai organ
2. Memenuhi kebutuhan organ tubuh yang berbeda
3. Memerlukan tekanan permulaan yang besar
4. Banyak mengalami tahanan
5. Kolom hidrostatik panjang


Sirkulasi Pulmonal:
1. Banyak mengalirkan darah ke paru – paru
2. Hanya berfungsi untuk paru – paru
3. Mempunyai tekanan permulaan yang rendah
4. Hanya sedikit mengalami tahanan
5. Kolom hidrostatik pendek

Sirkulasi Koroner:
Sirkulasi ini meliputi permukaan jantung dan membawa O2 untuk miokard melalui cabang – cabang intramiokard yang kecil – kecil. Aliran darah koroner dapat meningkat karena peningkatan:
• Aktivitas
• Denyut jantung
• Rangsang sistem saraf simpatis

Faktor – faktor yang mempengaruhi kerja jantung:
1. Beban awal (Preload)
Adalah beban di mana otot – otot jantung diregangkan sebelum ventrikel berkontraksi. Tinggi rendahnya beban awal tergantung pada:
• Obat – obatan: kebocoran/insufisiensi mitral
• Stenosis mitral
• Volume sirkulasi
• Vasokontriktor: menyebabkan tekanan meningkat
• Vasodilator : menyebabkan tekanan menurun.
2. Beban akhir
Resistensi yang harus diatasi waktu darah dikeluarkan dari ventrikel. Penyebab tinggi – rendahnya:
• Stenosis aorta
• Vasokontriksi perifer
• Polisitemia
• Obat – obatan.
3. Kontraktilitas
Kontraksi jantung yang mempengaruhi isi sekuncup. Faktor yang mempengaruhi:
• Obat – obatan digitalis (memperlambat kerja jantung)
• Depresan fisiologik
• Depresan farmakologik
• MCI
Konsumsi oksigen jantung.
Proses metabolisme jantung bersifat aerobi yang ditentukan oleh:
• Tegangan intramiokard
• Kontraksi miokard
• Frekuensi denyut jantung
• Tekanan sistolik
• Volume ventrikel.



















Gambar 1 Sistem Sirkulasi Darah
Syaifuddin, Drs B.Ac. (Anatomi Fisiologi Untuk Siswa Perawat. Edisi Revisi. 1995,67).

































Gambar 2 Peredaran Darah Besar Dan Kecil Pada Tubuh Manusia
Syaifuddin, Drs B.Ac. (Anatomi Fisiologi Untuk Siswa Perawat. Edisi Revisi. 1995,71).

3. Etiologi
Hipertensi terbagi dalam dua klasifikasi utama:
1. Hipertensi Essensial (Primer atau Idiopatik 90%).
Penyebabnya tidak diketahui dengan pasti, namun sejumlah kekuatan homeostatis saling mempengaruhi. Diperkirakan mekanisme cairan tubuh dan mekanisme pengontrol tekanan. Herediter dapat juga memegang peranan penting.
2. Hipertensi sekunder (10%)
Terjadi akibat:
• Penggunaan kontrasepsi oral
• Penyakit pharenkim renal atau vaskuler renalis
• Gangguan endokrin
• Coarctation aorta (penyempitan aorta congenital)
• Neurogenik: tumor otak, ensefalitis, gangguan psikiatri, luka bakar, peningkatan volume intravaskuler.
• Faktro resiko lain: kegemukan
• Pemasukkan lemak saturasi tinggi
• Pemasukkan garam banyak
• Merokok cigaret
• Stres

4. Patofisiologis
Tekanan arteri sistemik dihasilkan dari curah jantung dan tahanan perifer, sehingga semua faktor yang mempengaruhi curah jantung dan tahanan perifer akan mempengaruhi tekanan darah.
Secara formulasi, tekanan darah sama dengan curah jantung dikali tahanan perifer. Curah jantung ditentukan oleh isi sekuncup dan denyut jantung. Pengontrolan tahanan perifer dipertahankan oleh sistem saraf otonom dan sirkulasi hormon.

Ada empat sistem pengontrolan yang berperan dalam mempertahankan tekanan darah, yaitu:
1. Sistem Baroreseptor
Baroreseptor atrial terdapat pada sinus carotis, arkus aorta, dan dinding ventrikel kiri. Baroreseptor ini memonitor tingkat tekanan atrial. Sistem baroreseptor menandakan peningkatan tekanan arterial setelah pertengahan vagal dengan memperlamabt cardiac dan vasodilatasi serta tekanan simpatetik menurun. Karena itu kontrol refleks dari peredaran meningkatkan tekanan arterial sistemik bila ini turun, dan berkurang bila ini naik. Sebab sebenarnya mengapa kontrol ini tidak berhasil pada hipertensi tidak diketahui? Ada bukti untuk mendapatkan kembali kepekaan baroreseptor yang meningkat sensitifitasnya sehingga tekanan yang naik tidak cukup dirasakan walaupun tidak ada penurunan darah.

2. Pengaturan Volume Cairan Tubuh.
Perubahan dalam volume cairan tubuh mempengaruhi tekanan arterial sistemik. Bila tubuh mengandung kelebihan garam dan air, tekanan darah naik, karena mekanisme fisiologis yang rumit dan berubah.
Pengembalian pembuluh darah balik ke jantung dengan menghasilkan kenaikkan produksi jantung. Bila ginjal cukup berfungsi, kenaikkan dalam tekanan arterial sistemik menghasilkan diuresis dan penurunan tekanan. Kedaan patologis yang merubah garis perbatasan tekanan di mana ginjal mengeluarkan garam dan air yang merubah tekanan arterial sistemik.

3. Ginjal dan Angiotensin.
Keduanya memegang peranan dalam pengaturan tekanan darah. Ginjal menghasilkan Reni. Reni ini adalah suatu enzim yang bekerja pada dasar plasma protein untuk menjadikan angiotensin oleh enzim perubah dalam paru – paru untuk membentuk angiotensin II, kemudian angiotensin III. Angiotensin II dan III mempunyai daya vasokontriksi kuat terhadap pembuluh darah dan merupakan mekanisme kontrol untuk pelepasan aldosteron.
Aldosteron pada hipertensi paling nyata dalam aldosteronisme primer. Dengan meningkatnya kegiatan sistem saraf simpatik, angiotensin II dan III menunjukkan efek penghambatan pada ekskresi sodium dan akibatnya tekanan darah naik. Sekresi Renin yang tidak baik merupakan penyebab dari peningkatan tahanan perifer vaskuler dan hipertensi essensial.

4. Autoregulasi Vaskuler.
Adalah suatu proses yang membuat penyebaran jaringan dalam tubuh agak tetap. Bila arus berubah, proses autoregulasi harus mengurangi daya tahan vaskuler sebagai hasil peningkatan. Autoregulasi merupakan mekanisme penting yang menyebabkan hipertensi bersamaan dengan kelebihan air dan garam.

Pada umumnya hipertensi diklasifikasikan berdasarkan nilai diastolik:
90 – 104 mmHg : hipertensi ringan
104 – 114 mmHg : hipertensi sedang
> 115 mmHg : hipertensi berat
> 130 mmHg : hipertensi maligna.

Pada penderita hipertensi, curah jantung pada umumnya normal. Kelainannya terutama pada peninggian tahanan perifer, yang disebabkan karena vasokontriksi arterial akibat naiknya tonus otot polos pembuluh darah.
Pada kasus lama, dijumpai perubahan struktural pada pembuluh darah arterial yaitu penebalan tunika intima dan hiprtropi tunika medial yang menyebabkan tekanan darah sukar dikendalikan. Karena naiknya tahanan perifer membuat kerja jantung semakin berat yang berakibat hipertropi ventrikel kiri.
Bila sudah melampaui batas yaitu sel – sel jantung mengalami hipertropi dan jumlah yang mengalami hiperplasi yang menyebabkan sirkulasi darah dalam otot jantung tidak mencukupi. Akibatnya terjadi anoksia jaringan.
Akibat hipertropi dan hiperplasi adalah dilatasi ventrikel kiri yang berakhir dengan dekompensasi jantung. Bila keadaan ini berlangsung terus akan terjadi hipertropi dan dilatasi jantung kanan. Gejala – gejala dekompensasi jantung kanan lebih menyolok dibanding gejala dekompensasi jantung kiri. Hal ini disebabkan terjadinya obstruksi aliran ke atrium kanan sebagai hipertropi ventrikel kiri yang hebat. Bila terjadi dekompensasi jantung kiri dan kanan, sering menyebabkan tekanan darah akan meninggi. Hal ini terjadi karena anoksia jaringan otak akibat terjadinya vasokontriksi arterial sistemik yang meningkatkan tekanan darah.

5. Tanda dan Gejala
• Tekanan darah sistolik > 160 mmHg, diastolik > 90 mmHg.
• Tachicardia
• Heart rate meningkat
• Palpitasi
• Sakit kepala
• Pusing
• Merasa tegang
• Mata berkunang – kunang
• Tremor
• Wajah terasa panas, merah
• Ingin tidur terus
• Lemah
• Kadang epitaksis
• Mudah tersinggung
• Banyak keringat
• Mula, muntah
• Gelisah
• Edema

6. Test Diagnostik.
1. Foto thorax : pembesaran ventrikel kiri
2. IVP : kelainan pada hipertensi renovaskuler.
3. Pada pasien hipertensi yang mengalami gangguan fungsi ginjal:
• Urine: protein (+), sel darah merah (+)
• Ureum darah meningkat
• Creatinin meningkat
• Trigliserida
• Kolesterol
4. EKG
Kelainan yang ditemukan pada hipertropi ventrikel kiri:
• Aksis deviasi ke kiri counter clockwise rotation
• Depresi ST pada hantaran I, serta voltage atau T terbalik pada hantaran I dan II.
• RI + SIII lebih dari 25 mm.

7. Terapi / Pengelolaan Medik.
1. Tirah baring
2. Diet rendah garam, rendah lemak, rendah kalori.

Diet Rendah Garam I (200 – 400 mg Na):
• Bahan makanan dengan tinggi Natrium dihindarkan
• Dimasak tidak menggunakan garam
• Diberikan pada penderita hipertensi berat, sedang, dan ascites

Diet Rendah Garam II (600 – 800 mg Na):
• Dimasak dengan menggunakan ¼ sendok the garam dapur
• Bahan makanan yang tinggi Natrium dihindarkan
• Diberikan pada penderita hipertensi berat, sedang, dan ascites


Diet Rendah Garam III (1000 – 1200 mg Na):
• Dimasak dengan menggunakan ½ sendok the garam dapur
• Diberikan pada penderita dengan hipertensi ringan.

3. Terapi Medik (obat – obatan):
• Angiotensin Coverting Enzim (ACE) Inhibitor: captopril, ramipril
• Beta Adrenergic Blocker: nifediphine, nicordiphine.
• Alfa Adrenergic yang bekerja pada sentral: methypoda, clonidine, hydrocchlorida.
• Diuretika: furosemide, chlortholidone, hidrochloro-thiazide.
• Anti Adrenergic yang bekerja pada perifer: reserpin, guanadel

8. Komplikasi.
a. Jantung: penyakit jantung koroner angina
b. Hipertropi ventrikel kiri (kelainan anatomis)
c. Decompensasi cordis (kelainan fungsi)
d. Otak: perdarahan otak/stroke
e. Infark cerebri
f. Perubahan patologis ginjal
g. Pembuluh darah perifer
h. Retina: pecah pembuluh darah retina.


B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Pola persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan.
• Kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung garam berlebihan, lemak, dan gorengan.
• Kebiasaan merokok: jenis, jumlah yang dihabiskan dalam sehari, cara menghisap.
• Kebiasaan mengkonsumsi alkohol
• Kebiasaan olah raga: bentuk, jenis, frekuensi, dan lamanyan melakukan aktivitas.
• Pengelolaan stres dalam menghadapi masalah.
• Pemahaman dan pengetahuan pasien tentang penyakit.
• Lingkungan rumah dan sekitar yang mendukung adanya stres.
b. Pola nutrisi metabolik.
• Mengkonsumsi makanan yang berlemak, asinan, dan gorengan.
• Peningkatan berat badan yang tidak seimbang dengan tinggi badan dan umur.
• Epitaksis
• Banyak keringat
• Mual, muntah
• Edema
c. Pola eliminasi
Pola b.a.k (teratur atau tidak, warna, frekuensi, nyeri, tahanan/mengejan). Pola b.a.b (teratur/tidak, frekuensi, warna, bau, nyeri, mengejan).
d. Pola aktivitas dan latihan.
• Rasa tidak enak badan, lemas, cepat lelah sebelu/sesudah aktivitas.
• Bedrest
• Denyut jantung cepat dan lemah
• Pernapasan cepat, dangkal, dalam
• Tekanan darah tinggi.
e. Persepsi kognitif dan sensorik.
• Nyeri kepala, pusing: lama, intensitas, frekuensi, dan cara mengatasi, ke mana mencari bantuan, menolong/tidak.
• Nyeri atau kabur pada mata.
f. Pola reproduksi dan seksualitas.
Apakah memakai kontrasepsi oral.
g. Pola mekanisme coping dan toleransi terhadap stres.
Cara mengatasi permasalahan dalam sehari – hari.



2. Diagnosa Keperawatan
1. Kecemasan yang berhubungan dengan gejala yang ada, kemungkinan cacat berat, meninggal dunia, lingkungan baru.
2. Sakit kepala yang berhubungan dengan peninggian tekanan pembuluh darah otak.
3. Gangguan perfusi jaringan: sistemik yang berhubungan dengan peningkatan tahanan pembuluh darah perifer.
4. Gangguan persepsi sensorik penglihatan yang berhubungan dengan perubahan retina (karena penurunan aliran darah ke otak, spasme arterial retina dan efek hipertensi terhadap pembuluh darah retina).
5. Tidak toleransi dalam beraktivitas yang berhubungan dengan menurunnya oksigen jaringan (karena perfusi jaringan yang tidak adekuat).
6. Ketidakmampuan merawat diri yang berhubungan dengan tidak toleransi dalam beraktivitas.
7. Kurang pengetahuan pasien tentang proses penyakit hipertensi, pengobatan, efek samping obat, prinsip pengontrolan diet, dan komplikasi.
8. Kerusakan fisik yang berhubungan dengan proses penyakit dan komplikasi: iskemia otak atau ensefalopati hipertensi.
9. Kerusakan fisik yang berhubungan dengan komplikasi iskemia jantung.


3. Perencanaan.
1. Kecemasan yang berhubungan dengan gejala yang ada, kemungkinan cacat berat, meninggal dunia, lingkungan baru.
Hasil yang diharapkan:
Pasien akan mengalami penurunan kecemasan yang ditandai dengan:
• Pergerakkan tubuh dan ekspresi wajah rileks.
• Pernyataan rasa takut/cemas berkurang.
• Mengatakan mengerti tentang kegiatan rutin rumah sakit.

Rencana Tindakkan:
a. Kaji tingkat dari tanda fisik dan ungkapan verbal.
b. Kaji kemampuan coping yang efektif.
c. Bina hubungan saling percaya dengan pasien dan keluarga.
d. Dengarkan dan beri kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan perasaannya.
e. Beri penjelasan yang dibutuhkan pasien tentang apa yang diperlukan serta orientasikan dengan lingkungan.
f. Anjurkan kepada keluarga untuk memberi dukungan kepada pasien.
g. Ciptakan lingkungan yang tenang.
h. Infirmasikan kepada pasien tentang tanda dan gejala yang dialami seperti: sakit kepala, pusing, mual, muntah, ketenganan akan teratasi bila tekanan darah terkontrol.
i. Beri dukungan terhadap kemampuan penyesuaian yang efektif.
j. K/P. kolaborasi dengan tenaga medik.
2. Sakit kepala yang berhubungan dengan peninggian tekanan pembuluh darah otak.
Hasil yang diharapkan:
• Pasien mengungkapkan sakit kepala berkurang / hi-lang.
• Tekanan darah dalam batas normal.
• Ekspresi wajah rileks.
• Partisipasi dalam beraktivitas.

Rencana Tindakan:
a. Kaji tanda verbal dan non verbal terhadap sakit kepala: jenis, lokasi, intensitas waktu.
b. Bantu pasien dalam upaya mengurangi rasa sakit kepala dengan:
• Tirah baring
• Hindari perubahan posisi secara mendadak
• Ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman
• Ajarkan teknik relaksasi
c. Kaji keluhan pasien
d. Observasi tanda – tanda vital: tekanan darah.
e. Beri obat anti hipertensi sesuai dengan program medik.

3. Perubahan perfusi jaringan: sistemik yang berhubungan dengan peningkatan tahanan pembuluh darah perifer.
Hasil yang diharapkan:
Pasien akan memelihara perfusi jaringan sistemik secara adekuat yang ditandai dengan:
• Tekanan darah dan nadi berkurang sampai normal.
• Pernapasan 16 – 20 kali per menit.
• Kulit hangat dan warna kulit normal
• Nadi periferteraba
• Waktu capillary refill kurang dari 3 detik
• Pengeluaran urine di atas 30 cc/jam.

Rencana Tindakkan:
a. Monitor dan lapor gejala penurunan perfusi jaringan sistemik seperti: peningkatan tensi, HR, gelisah, bingung, pucat, cyanosis.
b. Lakukan cara – cara untuk mengurangi tahanan pembuluh darah dan tingkatkan perfusi sistemik: pemberian obat anti hipertensi sesuai dengan program medik, lakukan cara – cara untuk mengurangi rangsangan simpatis, yaitu:
• Tindakkan untuk mengurangi rasa cemas
• Tindakkan untuk meningkatkan rasa nyaman
• Tindakkan untuk meningkatkat pemenuhan kebutuhan istirahat
• Batasi makanan dan cairan yang mengandung kopi, teh, coklat
c. Batasi garam, lemak, dan kolesterol sesuai diet.
d. Ukur dan catat cairan yang masuk dan keluar setiap jam.
e. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian: obat – obatan anti hipertensi, anti diuretika.

4. Gangguan persepsi sensorik: penglihatan yang berhubungan dengan perubahan retina.
Hasil yang diharapkan:
Pasien tidak menunjukkan gangguan penglihatan yang semakin buruk dan terhindar dari kecelakaan akibat gangguan penglihatan.

Rencana Tindakkan:
a. Kaji penglihatan pasien dengan pemeriksaan bagian fundus mata, apakah ada kerusakkan vaskuler retina seperti:
• Perdarahan retina
• Eksudat pada retina
• Edema palpebra
b. Pantau gejala – gejala antara lain penglihatan yang kabur, kebutaan setengah/total, informasikan bila penglihatan makin memburuk
c. Observasi tekanan darah
d. Bila penglihatan pasien terganggu:
• Orientasikan pada lingkungan sekitarnya
• Pasang pagar tempat tidur, penerangan cukup, dekatkan bel
• Letakkan barang – barang kebutuhan pasien di tempat yang terjangkau
• Bantu pasien dalam pemenuhan kebutuhan sehari - hari
e. Laksanakan program medik: pemberian obat anti hipertensi dan pantau efeknya.
5. Tidak toleransi dalam beraktivitas yang berhubungan dengan menurunnya oksigenisasi jaringan.
Hasil yang diharapkan:
• Tidak menunjukkan tanda – tanda kelelahan dan lemah
• Toleransi dalam beraktivitas meningkat
• Pasien dapat melakukan aktivitas tanpa disertai sesak napas

Rencana Tindakkan:
a. Jelaskan kepada pasien pentingnya istirahat
b. Batasi aktivitas
c. Batasi jumlah dan waktu kunjungan
d. Bantu pasien dalam perawatan diri yang dibutuhkan
e. Tingkatkan pemasukkan nutrisi yang optimal
f. Pantau adanya tanda – tanda toleransi terhadap aktivitas, seperti: pasien tidak menunjukkan kelelahan/kelemahan, senang melakukan aktivitas, tekanan darah dalam batas – batas yang sesuai dengan keadaan pasien.
g. Tingkatkan aktivitas secara bertahap
h. Kaji toleransi pasien terhadap peningkatan aktivitas dan gunakan tanda dan gejala sebagai indikator adanya aktivitas yang berlebihan, seperti:
• Nadi meningkat lebih dari 20 kali permenit
• Meningkatnya tekanan darah, tekanan sistolik di atas 40 mmHg atau diastolik di atas 20 mmHg
• Dyspnea atau nyeri dada
• Pusing atau sinkop
• Banyak keringat
i. Anjurkan pasien untuk menghentikan semua aktivitas yang menyebabkan nyeri dada, pusing, sesak napas
j. Laksanakan program medik: pemberian obat anti hipertensi dan awasi efek sampingnya.

6. Ketidakmampuan merawat diri yang berhubungan dengan tidak toleransi dalam beraktivitas.
Hasil yang diharapka:
Pasien menunjukkan partisipasi dalam perawatan dirinya.

Rencana Tindakkan:
a. Kaji faktor yang menyebabkan pasien tidak mampu melakukan perawatan diri: kelemahan, kelelahan, pusing, gangguan penglihatan.
b. Diskusikan kepada pasien tentang rencana untuk memenuhi kebutuhan fisik sehari – hari
c. Motivasi pasien terhadap aktivitas perawatan dirinya
d. Berikan waktu yang adekuat untuk membantu pasien memenuhi aktivitas perawatan dirinya
e. Berikan umpan balik yang positif terhadap semua yang dicapai dalam memenuhi aktivitas perawatan dirinya
f. Jelaskan kepada keluarga pentingnya memberi motivasi kepada pasien untuk mempertahankan kemandirian secara optimal dengan melakukan aktivitas yang dapat ditoleransinya.

7. Kurang pengetahuan pasien tentang proses penyakit hipertensi, pengobatan, efek samping obat, prinsip pengontrolan diet, dan komplikasi.
Hasil yang diharapkan:
• Pasien mengungkapkan pengertian tentang proses penyakit hipertensi dan efek fisiologisnya.
• Pasien menunjukkan kemampuan mengatur diet sesuai dengan instruksi tim gizi.
• Pasien menunjukkan perilaku yang menunjang pengobatan dan pengontrolan efek penyakit.


Rencana Tindakkan:
a. Kaji tingkat pengetahuan pasien tentang proses penyakit hipertensi, pengobatan, efek samping obat, prinsip pengontrolan diet, dan komplikasi.
b. Beri penjelasan mengenai hipertensi dan efek fisiologisnya.
c. Informasikan tentang faktor resiko yang perlu dihindari yaitu: obesitas, kurang aktivitas fisik, pemasukkan lemak jenuh, stres. Aktivitas untuk mengurangi stres antara lain: mendengarkan musik, jalan – jalan, mengungkapkan perasaannya, melakukan teknik relaksasi.
d. Jelaskan obat – obata yang diberikan: nama obat, kerja obat, dosis obat, dan efek samping.
e. Ajarkan pasien memantau tekanan darahnya (bila mempunyai tensimeter)
f. Beri dukungan pada pasien dan keluarga dalam menyesuaikan diri pada penanganan jangka panjang dan dalam kesediaannya untuk melaporkan bila ada gejala seperti: sakit dada, sulit bernapas, sakit kepala, kelemahan otot, peningkatan tekanan darah secara tiba – tiba, perubahan penglihatan

8. Kerusakan fisik yang berhubungan dengan proses penyakit dan komplikasi iskemia otak/ensefalopati, hipertensi.
Hasil yang diharapkan:
Pasien akan mempertahankan aliran darah otak yang adekuat yang ditandai dengan:
• Tidak pusing/sinkop
• Tidak sakit kepala
• Tidak mual, muntah
• Orientasi dan kesadaran baik
• Reaksi pupil dan cahaya normal
• Fungsi motorik dan sensorik normal.
Rencana Tindakkan:
a. observasi tanda – tanda vital dan tingkat kesadaran pasien
b. pantau dan laporkan tanda dan gejala edema serta iskemia otak seperti: pusing, penglihatan kabur, sakit kepala, mual dan muntah, menurunnya kesadaran, parestesi, kelemahan otot, paralisis, kejang.
c. Lakukan cara – cara untuk mencegah peningkatan tekanan intrakranial:
• Tirah baring, hindari merubah posisi secara tiba – tiba
• Lakukan tindakkan untuk mengurangi kecemasan
• Cegah konstipasi dengan cara: diet tinggi serat, buah – buahan/sayuran, pemasukkan cairan maksimal bila tidak ada kontra indikasi.
• Atur posisi kepala dan leher dengan tepat.
• Pantau efek dari terapi obat vasodilator.
d. Bila tanda dan gejala edema otak/iskemia otak terjadi:
• Lanjutkan tindakkan di atas
• Posisi kepala ditinggikan 20 – 30 derajat
• Pantau dan informasikan ke dokter bila gejala dan tanda makin memburuk
• Pasang pengaman tempat tidur
• Patau efek terapi diuretika dan corticos-teroid.

BAB III
PEMBAHASAN KASUS


Setelah mempelajari teori tentang “Keperawatan Pada Pasien Dengan Hipertensi”, serta membandingkannya dengan kasus nyata yang pernah penulis temukan, maka penulis mencoba membuat suatu pembahasan yang penulis lihat dari segi kesesuaian antara teori dan kasus nyata dari adanya pengkajian, tanda gejala sampai dengan evaluasi.
Perbedaan yang timbul antara teori dan kasus nyata merupakan hal yang umum. Tidak semua gejala yang ada dalam teori dirasakan oleh pasien, seperti yang terjadi pada kasus yang pernah penulis temukan, dimana penulis menemukan tanda dan gejala yang timbul seperti sakit kepala, mata kabur, tegang tengkuk, palpitasi, gelisah. Sehingga berdasarkan literatur yang penulis baca, penyakit hipertensi pada pasien termasuk dalam golongan Pre hipertensi di mana tekanan disistoliknya antara 120-139 mmHg.
Dilihat dari faktor pencetus dari hipertensi yang diderita oleh pasien yang pernah saya temukan adalah kebiasaan mengkonsumsi makanan yang asin, berlemak, kebiasaan merokok (18 batang/hari), sedangkan faktor keturunan bukan merupakan faktor utama tetapi merupakan faktor pendukung.
Tidak semua diagnosa keparawatan yang ada dalam BAB Tinjauan Teoritis diaplikasikan oleh penulis. Pada saat pengkajian penulis hanya mangangkat masalah berdasarkan data dan masalah pasien. Salah satu diagnosa keperawatan yang muncul adalah ketidakpatuhan terhadap pengontrolan diet, pegobatan yang berhubungan dengan kurangnya motivasi diri. Penulis menganggap bahwa hal ini perlu karena bila pasien tidak mempunyai motivasi dalam mematuhi diet, maka segala tindakkan yang dilakukan oleh perawat akan sia-sia. Untuk itu perawat perlu meningkatkan motivasi pasien dalam mengikuti program diet yang ada.
Di dalam penegakkan rencana tindakkan, perawat perlu mengikutsertakan pasien karena hal ini sangat bergantung pada pasien itu sendiri.
BAB IV
KESIMPULAN

Setelah mempelajari teori kasus tentang hipertensi, penulis memberikan intisari bahwa pengontrolan terhadap tekanan darah sangatlah penting karena bila tekanan darah terus naik, maka akan memberi dampak kepada kerja jantung sehingga jantung harus bekerja lebih berat, dan dapat pula terjadi berbagai macam komplikasi terhadap jantung itu sendiri maupun pada organ lain, seperti angina pectoris, iskemia jantung, stroke/cerebro vasculer disease.
Penyakit ini dapat dicegah sedini mungkin dengan cara makan makanan yang bebas garam, berhenti mengkonsumsi makanan yang berlemak, menurunkan berat badan (bagi yang berat badannya berlebih), peningkatan kegiatan olah raga sebagai program kesehatan jasmani.
Keberhasilan pengobatan penyakit ini sangat bergantung pada motivasi dari pasien sendiri dalam merubah gaya hidup, dan kebiasaan yang kurang baik di samping support dari keluarga.
Peran perawat dalam meningkatkan kesehatan pasien sangat dibutuhkan terutama dalam hal penyuluhan, pendidikan kesehatan, serta pentingnya persiapan perawatan di rumah. Perawat perlu bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain sehingga dapat mencapai suatu kesinambungan kesehatan yang sangat diperlukan bagi masa depan pasien.



BAB III
PENGAMATAN KASUS


Pasien Tn. B. (48 tahun), seorang bapak dengan 5 orang anak. Pasien menderita hipertensi sejak 4 tahun yang lalu. Tensi tertinggi 270/130 mmHg, terendah 170/110 mmHg. Pasien mengatakan, sejak seminggu yang lalu sakit kepala menjalar sampai ke tengkuk dan terasa tegang. Intensitasnya antara 3 – 4. Pasien langsung berobat ke dokter praktek, tensi 270/130 mmHg dan diberi obat Adalat 1 tablet. Karena pasien tambah lemas akhirnya dibawa ke RS Sint Carolus melalui UGD dan dianjurkan untuk dirawat. Kajian keperawatan secara lengkap dapat dilihat pada kajian keperawatan sampai dengan evaluasi.


9. Kerusakkan fisik yang berhubungan dengan komplikasi iskemia jantung: angina/miokard infark.
Hasil yang diharapkan:
Pasien tidak menunjukkan iskemia miokardial yang ditandai dengan:
• Tidak ada nyeri
• Pernapasan 16 – 20 kali per menit
• Enzim jantung dalam batas normal
• EKG normal
Rencana Tindakkan:
a. Observasi tanda – tanda vital dan pantau tanda dan gejala iskemia miokardial seperti:
• Nyeri dada yang tiba – tiba
• Dyspnea
• Mual dan muntah
b. Lakukan tindakkan untuk mencegah iskemia miokardial
c. Terapkan cara – cara untuk mengurangi tekanan pembuluh darah dan tingkatkan perfusi jaringan sistemik dengan cara:
• Kurangi tahanan vaskuler dan kontrol tekanan darah
• Kurangi kerja jantung
• Beri terapi oksigen sesuai program medik
• Beri posisi setengah duduk
• Beri makan dalam porsi kecil tapi sering.
d. Kolaborasi dengan dokter bila diperlukan EKG dan pemeriksaan enzim jantung.



DAFTAR KEPUSTAKAAN


Capernito, Lynda Juall. 1998. Diagnosa Keperawatan. Edisi 6. Alih Bahasa Yasmin Asih, SKp. Jakarta: EGC.

Daftar Obat Indonesia. Edisi 8. (1994). Jakarta: Penerbit Grafoka Jaya.

MIMS Indonesia. (1998). Jakarta: Medi Media.

Rahayu, Lebi Sri dan Ahmad Faridisi. 1999. Didnakes. Edisi 30. Jakarta:

Soeparman dan Sarwono Waspadji. 1990. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I dan II. Jakarta: FKUI.

Sistem Cardiovasculer Hipertensi. Seri VI. (1996). Jakarta: Panitia S.A.K. Komisi PK. Sint Carolus.

CVA-CVD

BAB I
PENDAHULUAN



A. LATAR BELAKANG
Cerebrovascular Accident (CVA) adalah penyakit yang paling umum dijumpai pada sistem persyarafan. Seiring dengan meningkatnya tingkat sosial ekonomi kejadian cerebrovascular accident pun menempatkan diri sebagai salah satu penyebab kematian yang harus diwaspadai. Usaha untuk meminimalkan dampak dari gejala sisa yang ditimbulkannya pun memerlukan perhatian khusus. Selain itu dibutuhkan kesabaran, ketekunan, dan kerjasama yang baik dan berkesinambungan antara pasien, keluarga dan tenaga kesehatan untuk mengoptimalkan tingkat keberdayaan pasien paska CVA dalam menjalani rehabilitasinya.

B. TUJUAN
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memperoleh pengalaman nyata dalam merawat pasien dengan cerebrovascular accident di ruang perawatan unit Carolus sesuai dengan konsep dasar keperawatan yang telah diperoleh dari perkuliahan serta .

C. METODA PENULISAN
Metoda penulisan yang dipakai dalam penyusunan makalah ini adalah dengan mempelajari literatur-literatur yang tersedia, diskusi-diskusi kelompok, serta perawatan dan pengamatan langsung pada pasien dengan CVA di unit keperawatan Carolus.

D. SISTEMATIKA PENULISAN
Penyusunan dimulai dengan Bab I pendahuluan yang berisi tentang latar belakang, tujuan, metoda penulisan, dan sistematika penulisan. Pada bab II diuraikan teori serta tentang konsep dasar cerebrovascular accident, terapi medik, dan asuhan keperawatannya. Bab III merupakan pengamatan kasus langsung. Bab IV adalah pembahasan kasus CVA dengan membandingkan antara teori dasar dengan pelaksanaan asuhan keperawatan pada kasus nyata. Bab V merupakan kesimpulan dari seluruh materi yang dibahas dari awal penyusunan hingga akhir.
BAB II
KONSEP DASAR

A. DEFINISI
Cerebrovascular accident (CVA) adalah suatu abnormalitas struktural atau fungsional otak yang diakibatkan oleh interupsi suplai darah dari pembuluh yang menuju ke otak.

B. ANATOMI FISIOLOGI
Pada pembahasan CVA anatomi fisiologi yang dibahas ditekankan kepada struktur dan fungsi saraf pusat (otak, spinal cord, dan bagian-bagiannya).
Otak dibagi menjadi lima bagian utama (S. A. Price, L. A. Wilson. Patofisiologi, Konsep klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 4, EGC, Jakarta, 1995, hlm.902) :
1. Telensefalon (endbrain)
Hemisfer serebri:
a. Korteks serebri
b. Rinensefalon : sistem limbik
c. Basal Ganglia
1) Nukleus kaudatus
2) Nukleus lentikularis (putamen, globus palidus)
3) Klaustrum
4) Amigdala
2. Diensefalon (interbrain)
a. Epitalamus
b. Talamus
c. Subtalamus
e. Hipotalamus
3. Mesensefalon (midbrain)
a. Korpora kuadrigemina
1) Kolikulus superior
2) Kolikulus inferior
b. Tegmentum
1) Nukleus ruber
2) Substantia nigra
c. Pedinkulus serebri
4. Metensefalon (afterbrain)
a. Pons
b. Serebelum
5. Mielensefalon (narrowbrain)
Medula oblongata
*) Otak depan = telensefalon + diensefalon
Otak belakang = metensefalon + mielensefalon
Otak dan medula spinalis dilindungi oleh tulang tengkorak, tulang belakang, dan oleh tiga jaringan penyambung yaitu pia mater, araknoid, dan dura mater. Masing-masing merupakan lapisan yang terpisah dan kontinyu
Pia mater berhubungan langsung dengan otak dan jaringan spinal, dan mengikuti kontur struktur eksternal otak dan jaringan spinal. Pia mater merupakan jaringan vaskular dimana pembuluh-pembuluh darahnya berjalan menuju struktur dalam susunan saraf pusat (SSP) untuk memberikan nutrisi kepada jaringan saraf.
Araknoid adalah membran fibrosa tipis, halus, dan avaskular. Diantara araknoid dan pia mater terdapat rongga subaraknoid di mana terdapat arteria, vena serebral dan trabekula araknoid, dan cairan serebrospinal yang membasahi SSP.
Dura mater merupakan suatu jaringan liat, tidak elastis, dan mirip kulit sapi yang melekat pada bagian dalam tulang tengkorak.
SUPLAI DARAH OTAK DAN MEDULA SPINALIS
Suplai darah dijamin oleh dua pasang arteria yaitu arteria vertebralis dan arteria karotis interna yang cabang-cabangnya beranostomosis membentuk sirkulus arteriosus serebri Willis. Aliran vena otak tak selalu paralel dengan suplai darah arteria. Pembuluh vena meninggalkan otak melalui melalui sinus dura yang besar dan kembali ke sirkulasi umum melalui vena jugularis interna.
Suplai Darah Dari Arteria Karotis:
· Arteria karotis eksterna bercabang ke arteria meningea media memperdarahi wajah dan salah satu cabangnya ke dura mater.
· Arteria karotis interna bercabang ke arteria serebri media masuk ke rongga sub araknoid dan arteria oftalmika yang memperdarahi mata
· Arteria serebri anterior memberi suplai darah ke struktur-struktur seperti nukleus kaudatus dan putamen basal ganglia, bagian-bagian kapsula interna dan korpus kalosum, bagian-bagian lobus frontalis dan parietalis serebri termasuk korteks somestetik dan korteks motorik. Bial arteria serebri anterior mengalami sumbatan pada cabang utamanya maka akan terjadi hemiplegia kontralateral yang lebih berat pada kaki dari pada lengan.
· Arteria serebri media mensuplai darah untuk bagian lobus temporalis, parietalis, dan frontalis korteks serebri. Korteks auditorius, somestetik, motorik, dan pra motorik disuplai oleh arteria ini
Suplai Darah Dari Arteria Vertebrobasilaris
Arteria vertebralis kiri dan kanan berasal dari arteria subklavia sisi yang sama. Arteria vertebralis masuk rongga tengkorak melalui foramen magnum. Keduanya bersatu membentuk arteria basilaris. Setelah naik ke atas lalu mensuplai darah pada medula oblongata, pons, serebelum, otak tengah dan sebagian diensefalon, sebagian lobus oksipitallis dan temporalis, aparatus koklearis, dan vestibular.
Arteria-Arteria Konduksi Penembus
Pada umumnya arteria-arteria serebri mempunyai fungsi konduksi atau penembus. Arteria konduksi (a. karotis interna, serebri interior, media dan posterior; arteria vertebro-basilaris; dan cabang-cabang utama di arteri ini) membentuk suatu jalinan pembuluh yang luas yang meliputi permukaan otak
FUNGSI-FUNGSI
1. Korteks Serebri
· Korteks motorik primer: Mengontrol gerakan volunter otot rangka pada sisi kolateral, terdapat gambaran proyeksi motorik dari berbagai bagian tubuh (homunculus motorik). Lesi pada daerah ini dapat menyebabkan gangguan respon motorik kontralateral
· Korteks sensorik primer: Penerima sensasi umum, menerima impuls sensori dari kulit, otot sendi, tendo di sisi kolateral. Terdapat homunkulus sensorik yang merupakan proyeksi sensorik kolateral. Lesi pada bagian ini menyebabkan gangguan sensasi kolateral.
· Korteks visual primer: Lesi pada bagian ini menyebabkan gangguan lapangan pandang dan halusinasi visual.
· Korteks auditorik primer: Lesi pada bagian ini dapat menyebabkan gangguan pendengaran.
· Area penciuman/penghidu: Sebagai sensor penciuman. Lesi pada bagian ini menyebabkan ketidak mampuan menghidu (anosmia) dan halusinasi olfaktoris.
· Area Asosiasi: Sebagai kontrol aktivitas mental tinggi misalnya berbicara dan menulis. Kerusakan pada bagian ini akan menimbulkan ganggguan sesuai dengan tempat kerusakan.
2. Basal Ganglia
· Mengkordinasi gerakan agar menjadi lembut, luwes, indah, mantap, tepat, lambat.
· Bekerja sebelum gerakan dimulai dengan mengatur dan merencanakan sebagai konversi dari pikiran sehingga menjadi gerakan yang disalurkan melalui talamus ke korteks.
· Lesi pada daerah ini dapat menimbulkan gangguan fungsi motorik hipo/hiper kinetik dalam bentuk diskinesia, tardive diskinesia, akathisia.
3. Rinensefalon
· Mengendalikan perilaku makan. Bersama dengan talamus mengendalikan perilaku seksual, emosi, dan motivasi
· Efek otonomi, pengendalian tekanan darah dan pernafasan. Mengatur gerakan menelan, menjilat dan lai-lain
4. Talamus
· Terminal akhir pengiriman impuls sensorik untuk kemudian dipahami, pengaturan suasana perasaan, dan pusat awas waspada
· Kenaikan aktivitas impuls ke talamus menyebabkan tidak mengantuk, apabila aktivitas impuls menurun maka rasa mengantuk segera timbul, bahkan jika terjadi total blok impuls dapat jatuh ke keadaan koma.
5. Hipotalamus
· Kordinasi dan integrasi susunan saraf otonom seperti irama jantung, vasomotor, termoregulator, peristaltik usus dan lambung
· Memproduksi releasing hormon
· Pengaturan lapar dan haus, kontraksi kandung kemih, dan tekanan darah
6. Otak Tengah
Pusat refleks penting untuk visual dan auditorik, keseimbangan dan gerakan mata, saraf kranial III dan IV
7. Pons
Tempat saraf kranial nomor VI, VII, II, vestibularis, dan koklearis. Lesi di bagian ini dapat menimbulkan hemiplegia
8. Medula oblongata
Pusat pengaturan gerak, pengukuran jarak, arah gerak, sikap tubuh, pengendalian gerak

TABEL RINGKASAN FUNGSI-FUNGSI SARAF KRANIAL

Saraf Kranial
Komponen
Fungsi
I
Olfaktorius
Sensorik
Penciuman / penghiduan
II
Optikus
Sensorik
Penglihatan
III
Okulomotorius
Motorik
Mengangkat kelopak mata
Konstriksi pupil
Sebagian besar gerakan ekstraokular
IV
Troklearis
Motorik
Gerakan mata ke bawah dan ke dalam
VI
Abdusens
Motorik
Deviasi mata ke lateral
V
Trigeminus
Motorik
Otot temporalis dan maseter; gerakan rahang ke lateral


Sensorik
Kulit wajah, 2/3 depan kulit kepala; mukosa mata; mukosa hidung dan rongga mulut, lidah dan gigi
Refleks kornea atau refleks mengedip; komponen sensorik dibawa oleh saraf kranial V, respon motorik melalui saraf kranial VII
VII
Fasialis
Motorik
Otot-otot ekspresi wajah termasuk otot dahi, sekeliling mata serta mulut
Lakrimasi dan salivasi


Sensorik
Pengecapan duapertiga depan lidah (manis, asam, asin)
VIII
Vestibulo-koklearis

- Vestibularis
Sensorik
Keseimbangan

- Koklearis
Sensorik
Pendengaran
IX
Glosofaringeus
Motorik
Faring: menelan, refleks muntah
Parotis; salivasi


Sensorik
Faring, lidah posterior, termasuk rasa pahit
X
Vagus
Motorik
Faring, laring: menelan, refleks muntah, fonasi; visera abdomen


Sensorik
Faring, laring: refleks muntah; visera leher, toraks, dan abdomen
XI
Asesorius
Motorik
Otot sternokleidomastoideus dan bagian atas otot trapezius; pergerakan kepala dan bahu
XII
Hipoglosus
Motorik
Pergerakan lidah
C. ETIOLOGI
1. Trombus
a. Atherosclerosis arteri intra/extra kranial
b. Penonjolan oleh perdarahan intra serebral
c. Arteritis karena penyakit kolagen/bakteri
d. Hiperkoagulasi (misalnya Polisitemia)
2. Emboli
a. Kerusakan katup o.k. penyakit jantung rematik
b. Infark miokard
c. Fibrilasi atrial
d. Endokarditis bakterial/non bakterial yang menyebabkan terbentuknya gumpalan di endokardium
3. Perdarahan
a. Perdarahan intraserebral o.k. hipertensi
b. Perdarahan subaraknoid
c. Ruptur aneurisma
d. Malformasi arterio-vena
e. Hipokoagulasi (diskrasia darah)
4. Hipoksia general
Hipotensi berat, henti jantung paru, depresi berat output jantung akibat disritmia
5. Hipoksia terlokalisir
a. Spasmus arteri serebral berhubungan dengan perdarahan subaraknoid.
b. Vasokonstriksi arteri serebral berhubungan dengan sakit kepala migrain





D. PATOFISIOLOGI
Otak sangat bergantung kepada oksigen dan tidak memiliki persediaan oksigen. Dengan demikian, jika terjadi hipoksia, metabolisme serebral segera berubah, kematian sel dan kerusakan permanen dapat terjadi dalam 3 - 10 menit. Kondisi apapun yang merubah perfusi serebral akan menyebabkan hipoksia atau anoksia. Pada awalnya hipoksia menyebabkan iskemia. Iskemia jangka pendek (kurang dari 5 - 10 menit) menyebabkan defisit temporer. Iskemia jangka panjang menyebabkan kematian sel permanen dan terjadi infark serebral. Edema serebral yang menyertai dapat memperburuk defisit neurologik yang tampak pada pasien.Bagian defisit permanent dapat tidak diketahui jika pasien didapati mengalami disfungsi serebral menyeluruh (koma). Disfungsi menyeluruh dapat merupakan akibat dari iskemia menyeluruh yang berdampak pada daerah otak yang lebih luas daripada area infark dan edema serebral itu sendiri.
E. TANDA DAN GEJALA
- Perubahan tonus otot (flasid/spastik); paralisis (hemiplegia); kelemahan umum.
- Gangguan penglihatan; gangguan sensoris kulit, kesemutan
- Perubahan tingkat kesadaran.( apatis s.d. koma)
- Hipertensi; disritmia; perubahan EKG;
- Perubahan pola berkemih: inkontinen, anuria
- Kesulitan mengunyah dan menelan, cemas, gelisah
- Aphasia, kaku kuduk, perubahan reaksi pupil
- Pusing; mudah lelah; sulit beristirahat; tak ada nafsu makan; mual/muntah; hilang rasa pada lidah, pipi, dan tenggorokan
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Angiografi Serebral: Menolong menentukan penyebab stroke yang lebih spesifik. Misalnya, perdarahan atau obstruksi arteria, menunjukkan tempat oklusi maupun ruptur.
2. Computerized Tomography Brain Scan (CT Scan): Menunjukkan adanya edema, hematoma, iskemia, dan infark. Catatan: dapat juga tidak segera menunjukkan semua perubahan.
3. Pungsi Lumbal: Tekanan normal, biasanya jelas pada trombosis serebral, emboli, dan TIA (transient ischemic attack). Peningkatan tekanan dan adanya darah pada cairan dapat menunjukkan adanya perdarahan sub arakniod dan intra serebral. Level protein total dapat naik pada kasus-kasus trombosis sehubungan dengan proses inflamasi.
4. MRI (magnetic resonance imaging): Menunjukkan area infark, perdarahan, malformasi arterio-vena
5. Ultrasonografi Doppler: Mengidentifikasi penyakit arterio-vena. Misalnya, Masalah pada sistem carotis (aliran darah / adanya plak atherosklerosis).
6. EEG (electroencephalography): Mengidentifikasi masalah berdasarkan kepada gelombang listrik otak dan dapat menunjukkan area yang spesifik dari lesi.
7. X-rays Tengkorak: Dapat menunjukkan pergeseran kelenjar pineal ke sisi yang lain dari massa yang berekspansi; Kalsifikasi pada carotis interna dapat terlihat pada trombosis serebral; kalsifikasi partial pada dinding pembuluh yang mengalami aneurysma dapat terlihat pada perdarahan sub araknoid.
G. TERAPI / PENGELOLAAN MEDIK
- Pemberian terapi intravena: nutrisi dan cairan
- Sonde Lambung: nutrisi
- Pemberian oksigen
- Antikoagulan: warfarin sodium (Coumadin); heparin, agent anti platelet; dipyridamole (Persantin)
- Anti fibrolitik: aminocaproic acid (Amicar)
- Anti hipertensif
- Vasodilator periferal: cyclandelate (cyclospasmol); papaverin; isoxsuprine (vasodilan)
- Steriod, dexamethason
- Phenitoin(dilantin), phenobarbital
- Stool softener
- Operasi, endartrektomi, microvascular bypass
- Monitor studi laboratorium: prothrombin/PTT time, Dilantin level.
- Muscle relaxant, anti spasmodik.
H. Pengkajian
1. Data Subyektif
Di bawah ini merupakan data subyektif pada pasien dengan cerebrovascular accident:
a. Pemahaman pasien tentang penyakit dan gejala-gejalanya
b. Karakteristik munculnya gejala-gejala
c. Adanya sakit kepala, jenis dan lokasinya
d. Adanya defisit sensoris
e. Kemampuan visual: adanya diplopia, pandangan kabur.
f. Kemampuan untuk berpikir dengan jernih
g. Gejala-gejala lain yang menyertai
2. Data Obyektif
a. Kekuatan motorik: paresis atau plegia yang biasa terjadi
b. Perubahan tingkat kesadaran, termasuk koma
c. Tanda-tanda peningkatan tekanan intra kranial
d. Status pernafasan
e. Kemampuan verbal, adanya aphasia

I. Diagnosa keperawatan
1. Perubahan perfusi jaringan serebral sehubungan dengan interupsi aliran darah ke otak:
- gangguan oklusif
- Perdarahan
- vasospasmus serebral
- edema serebral
2. Gangguan mobilitas fisik sehubungan dengan keterlibatan neuromuskular:
- kelemahan, parestesia
- paralisis hipotonik/flaccid (awal)
- paralisis spastik
3. Gangguan komunikasi verbal dan / atau tertulis sehubungan dengan:
- gangguan sirkulasi serebral
- gangguan neuromuskular
- kehilangan tonu/kontrol otot wajah/mulut
- kelemahan secara umum / kelelahan
4. Perubahan persepsi sensoris sehubungan dengan:
- berubahnya resepsi sensoris, transmisi, integrasi (trauma atau defisit neurologik)
- stress psikologik (menyempitnya lapangan persepsi karena kecemasan)
5. Ketidak mampuan merawat diri : mandi, membersih-kan diri, bab, bak sehubungan dengan:
- kelemahan neuro muskuler, penurunan kekuatan dan ketahanan, hilangnya kendali dan kordinasi otot
- kelemahan persepsi/kognitif
- nyeri,ketidaknyamanan
- depresi
6. Resiko gangguan menelan sehubungan dengan kelemahan neuro muskuler
7. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan pengobatan/perawatan sehubungan dengan:
- kurang informasi
- keterbatasan kognitif, misinterpretasi informasi, ketidak mampuan mengingat.
- tidak mengetahui sumber informasi.
J. Prioritas dan Perencanaan
PRIORITAS KEPERAWATAN
1. Tingkatkan kecukupan perfusi serebral dan oksigenisasi
2. Cegah dan meminimalkan komplikasi dan ketidak mampuan permanen
3. Bantu pasien untuk meningkatkan kemandirian dalam aktivitas harian
4. Dukung proses koping dan integrasi dari perubahan ke konsep diri.
5. Berikan informasi tentang proses penyakit / prognosa, pengobatan/perawatan dan rehabilitasi yang dibutuhkan.



PERENCANAAN
1. Perubahan perfusi jaringan serebral sehubungan dengan interupsi aliran darah ke otak:
- gangguan oklusif
- Perdarahan
- vasospasmus serebral
- edema serebral
Hasil yang diharapkan:
- Kesadaran, kognitif, dan fungsi motorik / sensorik membaik dan dipertahankan
- Menunjukkan stabilitas tanda-tanda vital dan tidak adanya tanda-tanda kenaikan tekanan intra kranial
Intervensi
Rasional
-Tentukan faktor2 yang berhubungan dengan situasi/penyebab indi vidual untuk koma / penurunan perfusi serebral dan potensi-al peningkatan T.I.K.
Mempengaruhi pilihan intervensi, perawatan di ruang umum atau di unit perawatan kritis
-Monitor/catat status neurologik secara berkala dan bendingkan dengan data dasar
Melihat trend dan potensial kenaikan TIK dan penentuan lokasi, luas, progres kerusak-an dan resolusi
-Monitor tanda2 vital. Mis: Hipertensi / hipotensi, denyut jantung dan irama, murmur, respirasi
Variabel untuk menilai faktor-faktor yang berpengaruh, TIK, dan penentuan tindakan yang akan diambil
-Evaluasi pupil, ukuran, bentuk, simetrisitas, dan reaksinya terhadap cahaya
Menilai saraf kranial II dan III, keseimbangan antara saraf simpatik dan para simpatik
-Catat perubahan penglihatan. Mis, kabur, lapangan persepsi pandangan dan kedalaman
Perubahan merefleksikan area yang otak yang terkena, penentuan keamanan, dan pilihan tindakan keperawatan
-Kaji fungsi-fungsi yang lebih tinggi, termasuk kemampuan wicara jika pasien sadar
Perubahannya merupakan indikator lokasi / tingkat kerusakan dan dapat mengindikasikan kenaikan TIK
-Naikkan sedikit posisi kepala dan dalam posisi netral
Mengurangi tekanan arteri dengan meningkatkan drainase vena dan dapat memperbaiki sirkulasi / perfusi serebral
-Beri tirah baring; lingkungan tenang; batasi pengunjung / aktivitas seperlunya. Beri periode istirahat antara prosedur, dan batasi lamanya prosedur
Stimulasi & aktivitas kontinyu dpt menaikkan TIK, istirahat dan ketenangan diperlukan untuk mencegah perdarahan ulang (pada kasus-kasus perdarahan)
-Cegah mengejan waktu BAB atau menahan nafas
Valsava maneuver menaikkan TIK potensi perdarahan ulang
-Kaji kaku kuduk, kejang otot, kegelisahan, iritabilitas, kejadian kejang
Indikator iritasi meningeal terutama pada perdarahan. Kejang menunjukkan kenaikkan TIK
- Kolaborasi: Suplemen oksigen, antikoagulan (tidak pada hipertensi)
Mengurangi hipoksemia yg dapat menyebabkan vasodilatasi serebral dan meningkatkan edema. Memperbaiki aliran darah serebral (jika trombosis)

2. Gangguan mobilitas fisik sehubungan dengan terganggunya neuromuskular:
- kelemahan, parestesia
- paralisis hipotonik/flaccid (awal)
- paralisis spastik
Hasil yang diharapkan :
- Mempertahankan posisi optimal dari fungsi yang ditunjukkan dengan tidak adanya kontraktur, footdrop
- Mempertahankan / meningkatnya kekuatan dan fungsi pada bagian tubuh yang terkena
- Mendemonstrasikan tehnik / tingkah laku yang menuju kembali ke aktivitas semula
- Mempertahankan integritas kulit
Intervensi
Rasional
-Kaji kemampuan fungsional sesuai dengan kelemahan yang terjadi
Mengidentifikasi kemam -puan/kekurangan, me-nyediakan informasi yang sesuai, menentu-kan pemilihan inter-vensi
-Rubah posisi minimal tiap 2 jam
mengurangi resiko iskemia jaringan / kerusakan
-Tengkurapkan pasien 1-2 kali sehari jika pasien tolerate
Mempertahankan eksten-si panggul, tapi dapat meningkatkan kecemasan karen sulit bernafas
-Mulai aktif pasif ROM segera setelah pasien masuk RS
Mencegah atrofi otot, meningkatkan sirkula-si, dan mencegah kon-traktur (jangan berle-bihan à perdarahan lagi)
-Evaluasi kebutuhan posisi pada paralisis spastik :
Kontraktur fleksi terjadi karena otot fleksor lebih kuat daripada ekstensor
*Taruh bantal dibawah ketiak
Mencegah adduksi pundak dan fleksi siku
*Naikkan lengan dan tangan
Meningkatkan aliran balik dan mencegah edema
* Taruh benda bulat keras dalam genggaman
Benda keras menurunkan stimulasi fleksi jari dan tetap dalam posisi fungsional
*Letakkan lutut dan panggul pada posisi extensi
Mempertahankan posisi yang fungsional
*Pertahankan tungkai pada posisi netral
Mencegah rotasi pang-gul keluar (eksternal)
-Observasi bagian yang lemah: warna, edema, atau tanda lain gangguan sirkulasi
Jaringan edema lebih mudah cedera dan proses penyembuhannya lebih lama
-Kolaborasi: Kasur angin, kasur air, atau tempat tidur khusus
Mengurangi tekanan pada bagian yang menonjol dan mencegah kerusakan
-Kolaborasi: konsul fisioterapi
Menentukan program individual
-Kolaborasi: Berikan relaxant, antispasmodik, dll sesuai order
Diperlukan untuk menghilangkan spastisitas pada bagian yang lemah
3. Gangguan komunikasi verbal dan / atau tertulis sehubungan dengan:
- gangguan sirkulasi serebral
- gangguan neuromuskular
- kehilangan tonu/kontrol otot wajah/mulut
- kelemahan secara umum / kelelahan
Hasil yang diharapkan :
Intervensi
Rasional
-Kaji jenis/tingkat disfungsi, pemahaman pasien terhadap kata-kata atau sulit berbicara, bedakan aphasia dengan disartria, berikan feedback jika ada kesalahan
Menentukan tingkat dan area otak yang terkena. Menentukan cara berkomunikasi. Pasien kadang tidak sadar atas kesalahan verbalnya
-Minta pasien untuk mengikuti perintah sederhana. Mis, “tutup mata” “tunjuk pintu”, tunjuk obyek dan tanyakan namanya, minta pasien untuk mengucapkan kata sederhana “bom” top” dll
Menguji aphasia reseptif maupun ekspresif. Mengidentifikasi sisi / komponen mana yang mengalami kelemahan.
-Berikan metode alter-natif dalam berkomuni kasi. Mis, menulis, gambar. Berikan petunjuk visual (mis, bahasa tubuh, gambar)
Memenuhi kebutuhan komunikasi berdasarkan kebutuhan dan situasi individual
-Dorong keluarga / pe-ngunjung untuk terus berusaha berkomuni-kasi dengan pasien, mis, membaca surat, diskusi keluarga
Mengurang isolasi sosial dan meningkatkan pencapaian komunikasi yang lebih efektif
-Hargai kemampuan pasien sebelum sakit, jangan menjawab dengan kata-kata yang merendahkan
Membuat pasien merasa berharga karena kemam-puan intelektualnya masih tetap ada
-Kolaborasi: Konsul / rujuk ke speech terapist


4. Perubahan persepsi sensoris sehubungan dengan:
- berubahnya resepsi sensoris, transmisi, integrasi (trauma atau defisit neurologik)
- stress psikologik (menyempitnya lapangan persepsi karena kecemasan)
Hasil yang diharapkan :
- Tingkat kesadaran dan fungsi persepsi kembali / dipertahankan ke tingkat semula
- Mengetahui perubahan kemampuan dan adanya gejala sisa
- Mendemonstrasikan tingkah laku mengkompensasi / mengatasi defisit yang ada
Intervensi
Rasional
-Ulas patologi dari kondisi individual
Kewaspadaan terhadap tipe/area yang terkena membantu mengkaji kelemahan spesifik dan perencanaan intervensi
-Evaluasi defisit penglihatan
Mengganggu kemampuan pasien mengantisipasi / mengenal lingkungan dan meningkatkan resiko cedera
-Dekati pasien dari sisi mata yang tidak terganggu
Dapat mengetahui adanya orang / objek, mencegah kaget
-Sederhanakan ling-kungan, kurangi perlengkapan yang tidak perlu
Menurunkan stimulasi visual dan mengurangi kebingungan terhadap keadaan lingkungan
-Kaji kewaspadaan sensoris, mis: pembedaan dingin-panas, tajam-tumpul, rasa posisi, rasa sendi
Penurunan kemampuan sensoris dan rasa gerak mempengaruhi keseimbangan dan posisi maupun pergerakan yang tepat. Mengganggu ambulasi dan beresiko cedera
-Stimulasi rasa sentuh an. Mis, beri benda, genggam, latihan menyentuh dinding / sisi tempat tidur
Membantu retraining jalur sensoris dan integrasi respsi dan interpretasi dari stimulus
-Lindungi terhadap suhu ekstrim, kaji bahaya lingkungan, anjurkan mengetes air hangat dengan bagian yang sehat
Meningkatkan keamanan, mernurunkan resiko cedera
-Reorientasikan pasien secara berkala terhadap lingkungan, staf, dan prosedur
Membantu pasien dalam mengidentifikasi tidak konsistensinya resepsi dan integrasi dari stimulus. Mengurangi distorsi persepsi terhadap realitas
5. Ketidak mampuan merawat diri : mandi, membersihkan diri, b.a.b., b.a.k. sehubungan dengan:
- kelemahan neuro muskuler, penurunan kekuatan dan ketahanan, hilangnya kendali dan kordinasi otot
- kelemahan persepsi/kognitif
- nyeri,ketidaknyamanan
- depresi
Hasil yang diharapkan :
- Dapat mendemonstrasikan tehnik/perubahan gaya hidup untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri
- Mampu melaksanakan aktivitas perawatan diri sesuai dengan tingkat kemampuannya
- Dapat mengidentifikasi sumber-sumber yang dapat memberikan bantuan yang diperlukan
Intervensi
Rasional
-Kaji kemampuan dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari
Membantu perencanaan / mengantisipasi pemenuhan kebutuhan individu
-Hindari melakukan hal-hal yang bisa dilakukan pasien, berikan bantuan seperlunya
Mencegah dependensi, mempercepat kembalinya kemampuan dan percaya diri
-Pertahankan sikap mendukung. Beri cukup waktu bagi pasien untuk menyelesaikan tugasnya
Pasien membutuhkan empati tetapi harus mengetahui bahwa pera wat akan tetap konsis-ten dalam membantu
-Berikan feedback positif terhadap usaha dan keberhasilan
Menambah rasa mampu, kemandirian, dan mendorong pasien untuk terus berusaha
-Gunakan alat yg dimo-difikasi. Mis, garpu, sikat gigi panjang, bangku mandi, dll
Memampukan pasien untuk pengelolaan diri, kemandirian, dan percaya diri
-Kaji kemampuan pasien untuk mengutarakan kebutuhannya dalam menggunakan urinal, bedpan. Antar pasien ke kamar mandi secara periodik untuk melatih eliminasi
Ada gangguan neurogenik kandung kemih kadang tak mampu mengutarakn kebutuhan berkemih. Tapi pada perkembangan penyembuhan biasanya kembali seperti semula
-Identifikasi kebiasa-an eliminasi sebelum-nya dan mengupayakan kebiasaan normal. Berikan diit rendah serat, banyak minum, tingkatkan aktivitas
Membantu retraining dan kemandirian, mencegah konstipasi dan impaksi faeces
-Kolaborasi: beri supositoria / pelembek tinja
Dapat diperlukan pada awal latihan retraining
-Kolaborasi: Konsultasi dengan fisioterapis, okupasional terapis
Memberikan bantuan ah-li dalam mengembangkan rencana dan menentukan alat yang diperlukan


6. Resiko gangguan menelan sehubungan dengan kelemahan neuro muskuler
Hasil yang diharapkan :
- Mendemonstrasikan metode makan yang tepat dengan situasi individual dan aspirasi tercegah
- Berat badan yang diharapkan dapat dipertahankan
Intervensi
Rasional
-Kaji kemampuan dan patologi dlm menelan, tingkat paralisis, wajah, lidah, kemampu an menjaga jln nafas. Timbang sec. berkala
Intervensi nutrisi dan pilihan makanan ditentukan oleh faktor-faktor tersebut
-Tingkatkan efektivi-tas menelan. Mis.nya:

*Bantu pasien dengan dukungan kepala
Melawan hiperekstensi, mencegah aspirasi dan meningkatkan kemampuan menelan
*Atur pasien dengan posisi kepala tinggi sebelum dan sesudah makan
Gravitasi membantu menelan dan mencegah aspirasi
*Stimulasi bibir untuk menutup atau buka mulut secara manual dengan tekanan ringan pada dagu jika diperlukan
Membantu retraining sensoris dan meningkatkan kontrol muskular
*Letakkan makan pada sisi mulut yang tidak lemah
Memberikan stimulasi sensoris (termasuk rasa) yang dapat mendo rong usaha menelan dan meningkatkan intake makanan
*Beri makan perlahan dengan lingkungan tenang
Pasien dapat berkonsen trasi dalam mekanisme makan tanpa gangguan eksternal
*Mulai masukan oral dari yang encer / semiliquid
Makanan lembut mudah di kendalikan dan mengurangi resiko aspirasi
*Dorong pasien untuk minum menggunakan sedotan
Memperkuat otot fasial dan pengunyah dan mengurangi resiko aspirasi
*Dorong keluarga untuk membawa makanan kesukaan
Menstimulasi usaha makan dan meningkatkan intake makanan
*Pertahankan intake-output yang akurat. Catat hitungan kalori
Jika usaha menelan kurang baik makan perlu dipikirkan metode lain
*Kolaborasi: Beri cairan intra vena / NGT
Diperlukan untuk mengganti cairan dan nutrisi jika pasien tak dapat memenuhi secara oral

7. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan pengobatan/perawatan sehubungan dengan:
- kurang informasi
- keterbatasan kognitif, misinterpretasi informasi, ketidak mampuan mengingat.
- tidak mengetahui sumber informasi.
Hasil yang diharapkan :
- Berpartisipasi dalam proses belajar
- Dapat menjelaskan kondisinya/prognosisnya dan rangkaian pengobatan yang harus dijalani
- Memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan
Intervensi
Rasional
-Evaluasi jenis / tingkat gangguan persepsi sensoris yang terjadi
Defisit mempengaruhi pemilihan metoda belajar dan isi / kompleksitas instruksi
-Ulas keterbatasan yang ada dan diskusi-kan rencana / potensi pengembalian aktivi-tas(termasuk seksual)
Meningkatkan pemahaman, memberikan dan menciptakan harapan kembali ke kehidupan yang lebih normal
-Ulas dan dorong program pengobatan. Identifikasi cara meneruskan program sesudah keluar RS
Aktivitas, keterbatasan dan kebutuhan terapi di kordinasi dengan dasar interdisiplin untuk mencegah komplikasi
-Diskusikan rencana pemenuhan kebutuhan
Variasi tingkat bantuan tergantung tergantung situasi individual
-Sediakan instruksi dan jadwal tertulis untuk aktivitas, pengobatan, dan fakta-fakta penting
Memberikan dorongan secara visual dan pedoman jika sudah keluar dari rumah sakit
-Dorong pasien untuk melihat daftar / catatan daripada bergantung kepada daya ingat
Memberikan bantuan untuk mendukung daya ingat dan meningkatkan perbaikan level kognitif
-Anjurkan pasien untuk mengurangi stimulasi lingkungan, terutama pada saat aktivitas kognitif
Terlalu banyak stimulus dapat memperburuk perubahan proses berpikir
-Anjurkan pasien untuk mencari bantuan dalam pemecahan masalah dan memvalidasi keputusan yang telah dibuatnya
Beberapa pasien (teru-tama CVA kanan) dapat mengalami kelemahan “judgement” dan tingkah laku impulsif, lemahan dalam mengambil keputusan yang tepat
-Identifikasi tanda dan gejala yang memer lukan tindak lanjut seperti, perubahan visual, motor, fungsi sensoris, perubahan mentasi, sakit kepala berat
Evaluasi dan intervensi dini mengurangi resiko komplikasi dan kehilang an fungsi yang lebih parah
-Identifikasi faktor-faktor resiko indivi-dual(mis, hipertensi, obesitas, merokok, atherosclerosis, oral kontrasepsi) dan perubahan gaya hidup yang diperlukan
Meningkatkan kesehatan dan mencegah terulang-nya serangan stroke disaat berikutnya
-Tekankan pentingnya perawatan lanjutan oleh tim rehabili-tasi. Mis, fisio / okupasi/speech/vocational terapist
Kerja yang baik pada akhirnya dapat mencapai sisa defisit yang sangat minimal

BAB III
PENGAMATAN KASUS

RINGKASAN :
Seorang laki-laki 45 tahun, beristri dengan dua orang anak, bekerja sebagai penjaga keamanan di sebuah hotel berbintang lima di Jakarta, dirawat di Unit Perawatan Carolus sejak tanggal 8 Oktober 1997 setelah mendapatkan perawatan di unit Gawat Darurat. Sejak satu hari yang lalu secara mendadak kepala pening dan tak mampu berjalan maupun beraktivitas mempergunakan lengan dan tungkai kirinya. Pasien mengaku pernah dirawat di Unit Elisabeth 14 bulan yang lalu karena sakit hipertensi tetapi berhenti berobat sejak 8 bulan yang lalu dan berdiet garam hanya di rumah saja, di kantor tidak. Pasien juga menyatakan menderita penyakit kencing manis sejak setahun yang lalu, dikendalikan dengan diet sedikit makan nasi, banyak makan kentang tetapi sekarang tidak lagi. Saat pengkajian Keadaan umum tampak sakit sedang, pasien hanya mempu berbaring, lengan dan tungkai kiri masih dapat bergerak tetapi lemah dan tidak dapat dikontrol, konjungtiva bulbi kiri lateral kemerahan, keluahan pusing sementara tidak ada, tekanan darah 190/100 mmHg.
Pengamatan kasus secara lengkap dapat diikuti pada halaman-halaman berikutnya.
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS

Pengkajian

Kasus CVA pada Tn. HLPK penyebabnya sangat jelas karena hipertensi. Hal ini sangat jelas dari riwayat hipertensi yang dimilikinya dengan tekanan darah maksimum 260/100mmHg. Diagnosa medis sudak pasti dengan ditemukannya perdarahan pada basal ganglia dari hasil CT scan otak. Pasien sudah mengetahui penyakitnya karena pernah dirawat 14 bulan yang lalu tapi mengabaikannya sejak 8 bulan yang lalu. Karakteristik munculnya gejala sesuai dengan yang ada pada konsep dasar pengkajian yaitu kelemahan lengan dan tungkai kiri yang didahului oleh rasa pening secara mendadak. Perubahan fungsi sensoris pun terjadi pada ekstremitas kiri yang tak dapat merasakan tusukan jarum maupun rasa posisi. Mata kiri serasa melihat garis-garis yang berkelok-kelok. Tidak terjadi defisit pada kemampuan kognitif dan wicara karena perdarahan yang terjadi bukan di daerah serebrum tapi lebih dominan di basal ganglia sehingga gangguan yang terjadi pun seperti yang diuraikan pada pengamatan. Tingkat kesadaran masih kompos mentis, refleks pupil kiri kana masih baik dan simetris, tapi pada 2 hari berikutnya pasien menunjukkan gejala-gejala apprehension karena mungkin perdarahan belum berhenti seketika desakan lokal dan TIK masih dapat meningkat
B. Diagnosa Keperawatan
Dari 7 kemungkinan diagnosa keperawatan yang disarikan dari Nursing Care Plan. Edisi ke 3 th.93 oleh: Marilynn E. Doenges, Mary F. Mooerhouse. Dapat diaplikasikan sebanyak 4 diagnosa yaitu
1. Perubahan perfusi serebral
2. Ketidakmampuan/defisit merawat diri
3. Perubahan persepsi sensori: rabaan dan penglihatan, dan;
4. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan pengobatan penyakit.
Sedangkan 3 diagnosa sisanya yaitu :
1. Gangguan mobilitas fisik. Tidak diaplikasikan karena pasien masih sadar penuh dan beberapa rencana tindakannya dapat di gabungkan pada implementasi ketidak mampuan merawat diri.
2. Gangguan komunikasi verbal. Tidak diaplikasikan karena data pendukungnya tidak sampai muncul sesuai dengan tingkat perubahan perfusi yang terjadi.
3. Resiko gangguan menelan dapat diabaikan karena tanda dan gejala gangguan menelan tidak ada sama sekali.


C. Perencanaan
Perencanaan yang disusun dapat disesuaikan dengan tingkat perubahan patofisiologi yang terjadi. Penekanan diberikan kepada bantuan untuk melaksanakan aktivitas harian yang meliputi perawatan diri dan mengantisipasi reiko keparahan. Pendidikan / penuluhan mendapat porsi yang cukup besar karena sesuai dengan hasil pengkajian, kondisi sekarang ini lebih banyak di akibatkan oleh kurang pedulinya pasien dan keluarganya atas penyakit yang sudah diketahui. Penyuluhan agar pasien dan keluarganya lebih mempunyai motivasi dalam mengikuti petunjuk tenaga kesehatan menjadi sangat penting karena jika pasien mendapat serangan yang ketiga maka gejala sisanya dapat lebih buruk seperti yang diuraikan dalam teori.
D. Implementasi
Dari semua rencana aktual yang disusun sebagian dapat dilaksanakan. Pengkajian status neurologi untuk mengobservasi proses patologis penyakit untuk untuk mengantisipasi dampaknya dilaksanakan sepenuhnya. Bantuan merawat diri disesuaikan dengan ketidak mampuan pasien untuk mempergunakan ekstremitas kiri secara penuh. Penyuluhan dilaksanakan dengan memanfaatkan saat-saat ketika pasien dan keluarga menunjukkan reaksi ingin tahu yang cukup besar.
E. Evaluasi
Pada perjalanan perawatan, gejala pusing menjadi dominan sesuai dengan perubahan perfusi yang terjadi. Terapi medis terus berganti-ganti karena ternyata tekanan darah pasien sangat persisten pada nilai 190/100 mmHg. Kecurigaan pada gangguan ginjal kronik belum tegak karena konsultasi kepada urologist belum terlaksanan. Penyuluhan membuahkan hasil dengan makin pedulinya pasien dan istrinya terhadap setiap keterangan yang diberikan dan inisiatif bertanya yang cukup besar. Perbaikan perfusi serebral mulai tampak ketika dilakukan follow-up 1 minggu kemudian pasien sudah mulai merasakan sentuhan pada bagian yang lemah, pengendalian dan rasa gerak sudah ada walaupun belum kuat sekali. Nilai kekuatan otot sudah mencapai 5 tapi dokter masih belum mengijinkan pasien untuk menjalani fisioterapi karena tekanan darah masih tinggi
BAB V
KESIMPULAN DAN PENUTUP
A. KESIMPULAN
Cerebrovascular accident mempunya dampak yang sangat besar terhadap perjalanan hidup pasien selanjutnya selanjutnya. Pasien dengan gejala sisa minimal cenderung mengabaikan penyakitnya karena merasa setelah mengalami serangan ternyata bisa mendapatkan kembali fungsinya seperti semula. Pada serangan berikutnya seperti yang dialami Tn. HLPK kesadaran baru tumbuh yang dimanifestasikan dengan ungkapan-ungkapan penyesalan mengapa tidak mengikuti anjuran tenaga kesehatan pada waktu dirawat terdahulu. Walaupun agak terlambat, momentum ini bisa dimanfaatkan oleh tenaga kesehatan untuk memberikan pendidikan atau suplai informasi yang sesuai dengan keadaan individualnya.
Perawat harus mampu membantu menjelaskan informasi yang sudah diberikan oleh dokter agar pasien mampu melaksanakan perubahan pola hidup sehari-hari ke arah yang lebih efisien dalam mengantisipasi serangan berikutnya. Pada pasien dengan hipertensi, jika keadaan tekanan darahnya dapat dikendalikan dalam batas yang aman maka peluang untuk mendapat serangan berikutnya menjadi sangat kecil.
Tindakan-tindakan supportive harus mendapat prioritas agar pasien dan keluarganya mempunyai motivasi yang lebih tinggi dalam merawat dirinya, menyadari keterbatasan yangterjadi, dan mampu melaksanakan aktivitas yang optimum sesuai dengan tingkat kemampuannya.
B. PENUTUP
Lewat proses pengamatan kasus dan penyusunan makalah ini, kami menyadari bahwa merawat pasien dengan CVA merupakan proses yang cukup rumit karena diperlukan pemahaman yang cukup tentang sistem persyarafan, dampak psikofisiologis yang menurunkan semangat pun harus mendapatkan perhatian yang cukup.
Masih ada pola-pola yang tidak bisa ditangani karena keterbatasan pengetahuan dan pengambilan keputusan, seperti pola nutrisi, pola tidur dan istirahat. Hal ini tidak terjangkau bukan karena ketidak pedulian, dalam kenyataannya suasana aktual dalam merawat yang sesungguhnya membuat pengambilan keputusan menjadi kurang jeli dan menyeluruh.
Semoga pada kesempatan berikutnya kami berharap sudah mampu mengantisipasi kekurangan-kekurangan yang terjadi sebelumnya.
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Wilma J. Phipps, PH.D., R.N., F.A.A.N., Barbara C. Long M.S.N., R.N., Medical-Surgical Nursing, Concept and Clinical Practice, fourth edition, Missouri: Mosby-Year Book, Inc, 1991
Joan Luckman, R.N., M.A., Karen C. Sorensen, R.N., M.N., Medical-Surgical Nursing: A psychohysiological Approach, Philadelphia: W.B. Saunders Company, 1987
Sylvia A. Price, Lorraine A. Wilson. Patofisiologi, kKonsep klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 4, EGC, Jakarta, 1995
Marilynn E. Doenges, Mary F. Mooerhouse, Nursing Care Plan. Edition 3, Philadhelphia: F.A.Davis Company, 1993