tag:blogger.com,1999:blog-51285036389955479492024-02-20T01:17:13.839-08:00PETER UUNUUNhttp://www.blogger.com/profile/03809401118170400297noreply@blogger.comBlogger12125truetag:blogger.com,1999:blog-5128503638995547949.post-28844195371688613522008-05-18T06:47:00.000-07:002008-05-18T06:50:59.733-07:00FRAKTUR<div align="center"><strong>BAB II<br />TINJAUAN TEORITIS</strong></div><div align="justify"><br /><br />A. Konsep Dasar Medik<br />1. Definisi<br /> Fraktur adalah terputusnya kesinambungan/ kontinuitas tulang yang terjadi karena adanya tekanan pada tulang yang lebih besar daripada kekuatan tulang untuk menahan tekanan tersebut. ( Lukman and Surensen’s, Medical Surgical Nursing )<br />Fraktur radius : fraktur yang terjadi pada tulang radius.<br />Fraktur ulna : fraktur yang terjadi pada tulang ulna.<br />2. Anatomi Fisiologi<br /> Diafisis/korpus merupakan bagian tengah tulang yang berbentuk silindris. Bagian ini terdiri dari korteks tulang yang mempunyai kekuatan yang besar sekali. Metafisis adalah bagian tulang yang melebar dekat ujung tulang. Daerah ini sebagian besar terdiri dari trabekula tulang/tulang spongiosa dan mengandung sumsum tulang. Sumsum ini terdapat juga di bagian epifisis dan diafisis tulang. Bagian ini juga menyangga sendi dan merupakan tempat perlekatan tendon dan ligamen yang cocok. Lempeng epifisis merupakan daerah pertumbuhan longitudinal pada anak-anak. Bagian ini akan menghilang pada pematangan tulang. Bagian epifisis yang letaknya dekat sendi tulang panjang bersatu dengan metafisis sehingga pertumbuhan memanjang tulang terhenti. Seluruh tulang diliputi oleh lapisan fibrosa yang disebut periosteum, yang mengandung sel-sel yang dapat berfloriferasi, yang berperanan dalam proses pertumbuhan transversal tulang panjang. Lokasi dan potensi pembuluh-pembuluh inilah yang menentukan juga berhasil tidaknya proses penyembuhan tulang sesudah fraktur.<br />Fungsi tulang :<br />a. Menahan jaringan tubuh dan memberi bentuk kepada kerangka tubuh<br />b. Melindungi organ-organ tubuh<br />c. Untuk pergerakan (otot melekat kepada tulang untuk berkontraksi dan bergerak)<br />d. Merupakan untuk menyimpan mineral ( calsium )<br />e. Tempat pembuatan sel darah merah<br /><br /><br />3. Etiologi<br />Penyebab paling umum fraktur biasanya disebabkan oleh :<br />a. Benturan/trauma langsung pada tulang, antara lain kecelakaan lalu lintas, jatuh.<br />b. Kelemahan /kerapuhan struktur tulang akibat gangguan/penyakit primer seperti osteoporosis/kanker tulang bermetastase.<br />4. Patofisiologi<br /> Jika tulang patah maka periosteum dan pembuluh darah pada korteks, sumsum, dan jaringan lunak sekitarnya mengalami gangguan/kerusakan. Perdarahan terjadi dari ujung tulang yang rusak dan dari jaringan lunak ( otot ) yang ada di sekitarnya. Hematoma terbentuk pada kanal medullary antara ujung fraktur tulang dan bagian bawah periosteum. Jaringan nekrotik ini menstimulasi respon inflamasi yang kuat ( intensif ) yang dicirikan oleh vasodilatasi, eksudasi plasma dan lekosit, infiltrasi oleh sel darah putih lainnya. Tahap awal ini membangun/membentuk dasar penyembuhan tulang.<br />5. Tanda dan Gejala<br />a. Nyeri hebat pada daerah fraktur. Nyeri bertambah hebat jika ditekan/diraba.<br />b. Tidak mampu menggerakkan lengan.<br />c. Spasmus otot.<br />d. Adanya rotasi pada lengan tersebut.<br />e. Perubahan bentuk/posisi berlebihan bila dibandingkan dengan keadaan normal.<br />f. Ada/tidak ada kulit yang terluka/terbuka di daerah fraktur<br />g. Kehilangan sensasi pada daerah distal karena jepitan saraf oleh fragmen tulang.<br />h. Krepitasi jika digerakkan.<br />i. Perdarahan.<br />j. Hematoma.<br />k. Shock.<br />l. Keterbatasan mobilisasi.<br />6. Klasifikasi.<br />a. Menurut bentuk patah tulang.<br />· Fraktura complet, pemisahan komplit dari tulang menjadi dua fragmen.<br />· Fraktura incomplet, patah sebagian dari tulang tanpa pemisahan.<br />· Simple atau cosed fraktura, tulang patah, kulit utuh.<br />· Fraktura complikata, tulang yang patah menusuk kulit, tulang terlihat.<br />· Fraktur tanpa perubahan posisi, tulang patah, posisi pada tempatnya yang normal.<br />· Fraktur dengan perubahan posisi, ujung tulang yang patah berjauhan dari tempat patah.<br />· Commuited fraktura, tulang patah menjadi beberapa fragmen.<br />· Impacted ( telescoped ) fraktura, salah satu ujung tulang yang patah menancap pada yang lain.<br />b. Menurut garis patah tulang.<br />· Greenstick, retak pada sebelah sisi dari tulang ( sering terjadi pada anak dengan tulang yang lembek ).<br />· Transverse, patah menyilang.<br />· Oblique, garis patah miring.<br />· Spiral, patah tulang melingkari tulang.<br />Pemeriksaan Diagnostik<br />a. Foto rontgen pada daerah yang dicurigai fraktur.<br />b. Pemeriksaan lainnya yang juga merupakan persiapan operasi, antara lain :<br />· Darah lengkap<br />· Golongan darah<br />· Masa pembekuan dan perdarahan<br />· Pemeriksaan rontgen dada<br />· EKG<br />Therapi<br />Jenis tindakan untuk fraktur antara lain :<br />a. Pemakaian traksi untuk mencapai alignment dengan memberi beban seminimal mungkin pada daerah distal.<br />b. Manipulasi dengan closed reduction and external fixation ( Reduksi tertutup + fiksasi eksternal ), digunakan gips sebagai fiksasi eksternal, dilakukan jika kondisi umum pasien tidak mengijinkan untuk menjalani pembedahan.<br />c. Prosedur operasi dengan open reduksi dan internal fixation ( ORIF ) . Dilakukan pembedahan dan dipasang fiksasi internal untuk mempertahankan posisi tulang ( misalnya : sekrup, plat, kawat, paku ). Alat ini bisa dipasang di sisi manapun di dalam tulang.<br />Jika keadaan luka sangat parah dan tidak beraturan maka kadang dilakukan juga debridement untuk memperbaiki keadaan jaringan lunak di sekitar fraktur.<br />Komplikasi.<br />a. Shock dan perdarahan.<br />b. Infeksi.<br />c. Komplikasi immobilisasi, terutama pada usia lanjut, antara lain : pneumonia, thromboplebitis, emboli.<br />d. Osteomylitis, terjadi beberapa bulan/beberapa tahun sesudah fraktur ( biasanya fraktur terbuka ).<br /><br />Tahap-tahap pertumbuhan tulang pada penyembuhan fraktur tulang adalah :<br />a. Hematoma formation ( pembentukan hematom ).<br /> Karena pembuluh darah cidera, maka terjadi perdarahan pada daerah fraktur. Darah menumpuk dan mengeratkan ujung-ujung tulang yang patah.<br />b. Fibrin Meskwork ( pembentukan fibrin ).<br />Hematoma menjadi terorganisir karena fibroblast masuk lokasi cidera, membentuk fibrin meskwork ( gumpalan fibrin ). Berdinding sel darah putih pada lokasi, melokalisir radang.<br />c. Inflasi oeteoblast<br />osteoblast masuk kedaerah fibrosis untuk mempertahankan penyambungan tulang. Pembuluh darah berkembang mengalirkan nutrisi untuk pembentukan kolagen ( collgen ). Untaian kolagen terus disatukan dengan kalsium.<br />e. Callus formation ( pembentukan callus ).<br />· Osteoblast terus membuat jala untuk membangun tulang.<br />· Osteoblast merusakkan tulang mati dan mebantu mensintesa tulang baru.<br />· Collagen menjadi kuat dan terus menyatu dengan deposit kalsium.<br />d. Remodeling<br /> Pada tahap terakhir ini calls yang berlebihan diabsorbsi dan tulang trabecular terbentuk pada garis cidera.<br />Faktor-faktor yang dapat menghambat pertumbuhan callus :<br />a. Union atau penyambungan tulang lambat, yang terjadi bila patah tulang tidak sembuh dalam periode penyembuhan, disebabkan oleh :<br />· Callus putus atau remuk karena aktivitas berlebihan.<br />· Edema pada lokasi fraktur, menghambat penyaluran nutrisi ke lokasi fraktur.<br />· Immonbilisasi yang tidak efisien<br />· Ifeksi pada lokasi fraktur.<br />· Kondisi gizi yang buruk.<br />b. Non union, bila penyembuhan luka tidak terjadi dalam waktu yang lama, disebabkan oleh:<br />· Terlalu banyak tulang yang rusak pada cidera sehingga tidak ada yang menjembatani fragmen.<br />· Terjadi nekrose tulang karena tidak ada aliran darah.<br />· Anemi, ketidak seimbangan endokrin atau penyebab sistemik yang lain.<br /><br />B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN.<br />1. Pengkajian.<br />a. Pola Persepsi dan Pemeliharaan Kesehatan.<br />· Kebiasaan beraktifitas tanpa pengamanan memadai.<br />· Adanya kegiatan yang beresiko cidera.<br />· Adanya riwayat penyakit yang bisa menyebabkan jatuh<br />b. Pola Nutrisi Metabolik<br />· Adanya gangguan nafsu makan karena nyeri.<br />c. Pola Tidur dan Istirahat.<br />· Pola tidur berubah/terganggu karena nyeri.<br />d. Pola Aktivitas dan Latihan.<br />· Ada riwayat jatuh/terbentur ketika sedang beraktivitas/kecelakaan lain.<br />· Tidak kuat menahan beban.<br />· Ada Perubahan bentuk/pemendekan pada bagian yang fraktur.<br />e. Pola Persepsi Kognitif.<br />· Biasanya mengeluh nyeri pada daerah fraktur.<br />· Mengeluh kesemutan/baal pada lokasi fraktur.<br />· Kurang pemahaman tentang keadaan luka dan prosedur tindakan.<br />f. Pola Konsep Diri dan Persepsi Diri.<br />· Adanya ungkapan ketidakberdayaan karena keadaan cedera.<br />· Rasa kuatir akan dirinya : tidak mampu beraktivitas seperti sebelumnya.<br />g. Pola Hubungan Peran.<br />· Merasa tidak tertolong.<br />· Kecemasan akan tidak mampu menjalankan kewajiban memenuhi kebutuhan keluarga.<br />h. Pola Mekanisme Koping dan Toleransi Terhadap Stress.<br />· Ekspresi wajah sedih.<br />· Merasa terasing di rumah sakit.<br />· Kaji kecemasan pasien.<br />2. Diagnosa Keperawatan.<br /> Pre operasi<br />a. Nyeri berhubungan dengan spasme otot, kerusakan sekunder terhadap fraktur.<br />b. Ketidakmampuan beraktifitas berhubungan dengan fraktur dan cidera jaringan sekitarnya.<br />c. Resiko tinggi terjadi infeksi berhubungan dengan fraktur terbuka, kerusakan jaringa lunak.<br />d. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri.<br /><br /> Post Operasi.<br />a. Nyeri berhubungan dengan luka oiperasi.<br />b. Resiko tinggi terjadinya komplikasi post operasi berhubungan dengan immobilisasi.<br />c. Ketidak mampuan beraktifitas berhubungan dengan pemasangan traksi, gips dan fiksasi.<br />d. Resiko tinggi terjadi infeksi berhubungan dengan luka post operasi<br />e. Kurang pengetahuan pasien tentang perubahan tingkat aktifitas yang boleh dilakukan dan perawatannya saat dirumah.<br />f. Gangguan harga diri berhubungan dengan perubahan peran, perubahan bentuk fisik atau tubuh.<br /><br />3. Perencanaan.<br /> Pre operasi<br />a. Nyeri berhubungan dengan spasme otot, kerusakan sekunder terhadap fraktur<br /> Hasil yang diharapkan :<br />n Nyeri berkurang atau terkontrol.<br />n Pasien mengatakan nyeri berkurang<br />n Ekspresi wajah tenang.<br />Intervensi :<br />1. Observasi tanda-tanda vital ( TD, S, N, P ).<br /> Rasional :<br /> Peningkatan tanda-tanda vital menunjukan adanya nyeri.<br />2. Kaji keluhan nyeri pasien : lokasi, intensitas, karakteristik.<br /> Rasional :<br /> Menentukan tindakan yang tepat sesuai kebutuhan pasien.<br />3. Beri posisi yang nyaman sesuai anatomi tubuh manusia<br /> Rasional :<br /> Posisi sesuai anatomi tubuh membantu rileksasi sehingga mengurangi rangsang nyeri.<br />4. Ajarkan tehnik relaksasi napas dalam.<br /> Rasional :<br /> Napas dalam mengendorkan ketegangan syaraf sehingga membantu mengurangi rangsang nyeri.<br />5. Beri therapi analgesik sesuai program medik.<br /> Rasional :<br /> Analgesik menghambat pembentukan prostaglandin pada otak dan jaringan perifer.<br />b. Ketidak mampuan beraktifitas berhubungan dengan fraktur dan cidera jaringan sekitar.<br /> Hasil yang diharapkan :<br />n Kebutuhan hygiene, nutrisi dan eliminasi terpenuhi.<br />n Pasien dapat melakukan aktifitas secara bertahap sesuai kemampuan pasien dan sesuai program medik.<br />Intervensi :<br />1. Kaji tingkat kemampuan beraktivitas pasien.<br />Rasional :<br />Menentukan intervensi yang tepat sesuai deangan kebutuhan pasien.<br />2. Observasi tanda-tanda vital ( TD, S, N, P ).<br />Rasional :<br />Sebagai data dasar dalam melakukan tindakan keperawatan.<br />3. Bantu pasien dalam pemenuhan kebutuhan yang tidak dapat dilakukan sendiri.<br />Rasional :<br />Kerja sama antara perawat dan pasien mengefektifkan tercapainya hasil dari tindakan keperawatan.<br />4. Dekatkan alat-alat yang dibutuhkan klien.<br />Rasional :<br />Pasien dapat memenuhi kebutuhan yang dapat dilakukan sendiri dengan cepat.<br />5. Libatkan keluarga dalam membantu pemenuhan kebutuhan pasien.<br /><br />c. Resiko tinggi terjadi infeksi berhubungan dengan fraktur terbuka, kerusakan jaringan lunak.<br />Hasil yang di harapkan :<br />n Infeksi tidak terjadi<br />n Tidak ada kemerahan, pus, peradangan.<br />n Leukosit dalam batas normal.<br />n Tanda-tanda vital stabil<br />Intervensi :<br />1. Obsevasi tanda-tanda vital ( S, TD, N, P ).<br />Rasional :<br />Peningkatan tanda-tanda vital menunjukan adanya infeksi.<br />2. Jaga daerah luka tetap bersih dan kering.<br />Rasional :<br />Luka yang kotor dan basah menjadi media yang baik bagi perkembangbiakan bakteri.<br />3. Tutup daerah luka dengan kasa steril.<br />Rasional :<br />Kasa steril menghambat masuknya kuman ke dalam luka.<br />4. Rawat luka fraktur dengan tehnik aseptik.<br />Rasional :<br />Mencegah dan menghambat perkembangbiakan bakteri<br />5. Beri therapi antibiotik sesuai program medis.<br />Rasional :<br />Antibiotik menghambat hidup dan berkembangbiaknya bakteri.<br /><br />Post operasi.<br />a. Nyeri berhubungan dengan luka operasi.<br />Hasil yang diharapkan :<br />n Nyeri berkurang sampai dengan hilang.<br />n ekspresi wajah tenang.<br />Intervensi :<br />1. Observasi tanda-tanda vital ( TD, S, N, P ).<br /> Rasional :<br /> Peningkatan tanda-tanda vital menunjukan adanya nyeri.<br />2. Kaji keluhan, lokasi, intensitas dan karakteristik nyeri.<br /> Rasional :<br /> Menentukan tindakan yang tepat sesuai kebutuhan pasien.<br />3. Ajarkan tehnik relaksasi napas dalam.<br /> Rasional :<br /> Napas dalam dapat mengendorkan ketegangan sehingga dapat mengurangi rangsang nyeri.<br />4. Beri posisi yang nyaman pada tulang yang fraktur sesuai anatomi.<br /> Rasional :<br /> Posisi anatomi memberi rasa nyaman dan melancarkan sirkulasi darah.<br />5. Beri therapi analgesik sesuai program medik.<br /> Rasional :<br /> Analgesik menghambat dan menekan rangsang nyeri ke otak.<br /><br /><br />b. Ketidakmampuan beraktifitas berhubungan dengan pemasangan traksi, gips atau fiksasi.<br />Hasil yang diharapkan :<br />n Kebutuhan hygiene, nutrisi, dan eliminasi terpenuhi.<br />n Pasien dapat melakukan aktifitas secara bertahap sesuai kemampuan pasien dan sesuai program medik.<br />Intervensi :<br />1. Observasi tanda-tanda vital ( TD, S, N, P ).<br /> Rasional :<br /> Sebagai data dasar untuk menentukan tindakan keperawatan.<br />2. Kaji tingkat kemampuan pasien dalam beraktifitas secara mandiri.<br /> Rasional :<br /> Menentukan tindakan keperawatan sesuai kondisi pasien.<br />3. Bantu pasien dalam pemenuhan kebutuhan hygiene, nutrisi, eliminasi yang tidak dapat dilakukan sendiri.<br /> Rasional :<br /> Kerjasama antara perawat dan pasien yang baik mengefektifkan pencapaian hasil dari tindakan keperawatan yang dilakukan.<br />4. Dekatkan lat-alat dan bel yang dibutuhkan klien.<br /> Rasioanal :<br /> Pasien dapat segera memenuhi kebutuhan yang dapat dilakukan sendiri.<br />5. Libatkan keluarga dalam membantu pemenuhan kebutuhan pasien.<br /> Rasional :<br /> Kerjasama antara perawat dan keluarga pasien akan membentu dalam mencapai hasil yang diharapkan.<br />6. Anjurkan dan bantu klien untuk mobilisasi fisik secara bertahap sesuai kemampuan pasien dan sesuai program medik.<br /> Rasional :<br /> Mobilisasi dini secara bertahap membantu dalam proses penyembuhan.<br /><br />c. Resiko tinggi terjadi komplikasi post operasi berhubungan dengan immobilisasi.<br />Hasil yang diharapkan :<br />n Komplikasi setelah operasi tidak terjadi.<br />Intervensi :<br />1. Kaji keluhan pasien.<br /> Rasional :<br /> Mengetahui masalah pasien.<br />2. Observasi tanda-tanda vital ( TD, N ).<br /> Rasional :<br /> Untuk mendeteksi adanya tanda-tanda awal dari komplikasi.<br />3. Anjurkan dan ajarkan latihan akatif dan pasif.<br /> Rasional :<br /> Meningkatkan pergerakan sehingga dapat melancarkan aliran darah.<br />4. Kolaborasi dengan dokter.<br /> Rasional :<br /> Mengetahui dan mendapatkan penanganan dengan tepat.<br /><br />d. Resiko tinggi terjadi infeksi berhubungan dengan luka post opersai.<br /> Hasil yang diharapkan :<br />n Infeksi post operasi tidak terjadi.<br />n Pasien tidak mengalami infeksi tulang.<br />Intervensi :<br />1. Observasi tanda-tanda vital ( TD, N, S, P).<br /> Rasional :<br /> Peningkatan tanda-tanda vital menunjukan adanya infeksi.<br />2. Rawat luka operasi dengan tehnik anti septik<br /> Rasional :<br /> Mencegah dan menghambat berkembangbiaknya bakteri.<br />3. Tutup daerah luka dengan kasa steril.<br /> Rasional :<br /> Kasa steril menghambat masuknya kuman kedalam luka.<br />4. Jaga daerah luka tetap bersih dan kering.<br /> Luka yang kotor dan basah menjadi media yang baik bagi perkembangbiakan bakteri.<br />5. Beri therapi antibiotik sesuai dengan program medik.<br /> Rasional :<br /> Antibiotik menghambat hidup dan berkembangbiaknya bakteri.<br />e. Kurang pengetahuan tentang perubahan tingkat aktivitas yang boleh dilakukan dan perawatan di rumah b.d kurang informasi<br /> Hasil yang diharapkan:<br /> Pasien dapat mengetahui aktivitas yang boleh dilakukan dan perawatannya saat di rumah.<br /> Intervensi:<br />1. Kaji tingkat pengetahuan pasien tentang penatalaksanaan perawatan di rumah<br /> Rasional :<br />untuk mengukur sejauh mana tingkat pengetahuan pasien tentang penatalaksanaan di rumah.<br />2. Ajarkan dan anjurkan pasien untuk melakukan latihan pasif dan aktif secara teratur<br /> Rasional :<br />Dengan latihan aktif dan pasif diharapkan dapat mencegah terjadinya kontraktur pada tulang<br />3. Berikan kesempatan pada pasien untuk dapat bertanya<br /> Rasional :<br />Hal kurang jelas dapat diklarifikasikan kembali<br />4. Anjurkan pasien untuk mentaati terapi dan kontrol tepat waktu<br /> Rasional :<br />Mencegah kedaan yang dapat memperburuk keadaan fraktur<br />5. Anjurkan pasien untuk tidak mengangkat beban berat pada tangan yang fraktur<br /> Rasional :<br />Mencegah stress tulang<br /><br />4. Discharge planning:<br />a. Anjurkan pasien untuk meneruskan latihan aktif dan pasif yang telah diperoleh selama pasien dirawat di Rumah Sakit<br /> b. Anjurkan pasien untuk tidak mengangkat beban berat pada tangan yang fraktur, bila memang terpaksa lebih baik dengan menggeser saja.<br /> c. Anjurkan pasien untuk mentaati terapi pengobatan dan kontrol tepat waktu.<br /> d. Anjurkan pasien untuk mengkonsumsi TKTP, tinggi kalsium, tinggi vitamin untuk proses penyembuhan tulang.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB III<br />PENGAMATAN KASUS<br /><br /> Nama pasien Tn. S. berusia 28 tahun, beragama Islam, keturunan suku betawi, dirawat di ruang Lukas unit bedah RS Sint. Carolus pada tanggal 4 Agustus 2.000, dengan diagnosa medik Comser + post ORIF plate screw atas indikasi fraktur radius ulna kanan. Pasien sudah dioperasi, pasien sudah berkeluarga dan mempunyai satu orang anak wanita, pasien bekerja sebagai sales, untuk aktifitasnya menggunakan motor.<br /> Pasien tampak sakit sedang, tidak terdapat alat-alat medik pada dirinya seperti infus dan oksigen, terdapat balutan pada daerah luka operasi di lengan kanan dan di daerah dahi, daerah balutan cukup bersih. Pasien dapat memenuhi kebutuhanya sendiri tanpa harus dibantu oleh perawat atau orang lain, seperti kebutuhan akan kebersihan dirinya, makan, minum dan eliminasi. Pasien mengeluh nyeri pada daerah operasi dan kaki daerah lutut kiri dengan intensitas 2, rasa sakit menetap tetapi tidak begitu dirasakan, pasien juga mempunyai perasaan tidak enak dengan keluarganya karena keadaannya, serta tidak mengerti tentang aktivitas yang boleh dilakukan sepulang dari rumah sakit.<br /> Dari hasil CT scan tidak tampak lesi di parenkim otak, tidak ada masa effect, sistem ventrikel normal , simetris dan letak di tengah. Batang otak dan otak kecil baik, tak tampak fraktur pada tulang cranium,. Hasil Rontgen setelah operasi fraktur pada pasien radius dan ulna kanan bagian distal, terpasang plate dan screw dengan kedudukan baik.<br /> Dari hasil laboratorium tanggal 4 Agustus 2000 didapat Hb 11,6 g/dl, Ht : 35%, leuko : 16.400, kalium 3.1 mmol/L. Dari hasil observasi didapat TD : 120/80 mmHg , nadi : 80 X/mnt, Pernapasan :18 x/mnt, suhu 36,2 C. Pasien juga mendapat therapi obat-obatan berupa mefinal 3 x 500mg , Nonflamin 3X1 , Becom-z 1x1 dan mendapat cefotaxime 2X1gr.<br /> Dengan melihat hasil pengkajian post operasi, hasil rontgen, hasil laboratorium dan hasil observasi, maka penulis mengangkat 3 (tiga) masalah keperawatan pada pasien ini antara lain : Nyeri b.d luka , gangguan harga diri b.d merasa menjadi beban keluarga dan kurang pengetahuan tentang aktivitas yang boleh dilakukan b.d kurang informasi . untuk kajian secara lengkap pada pasien ini dapat dilihat pada pengkajian sampai dengan evaluasi. <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB V<br />KESIMPULAN<br /><br />Setelah penulis mengadakan pengawasan langsung pada pasien dengan fraktur radius ulna di unit Lukas serta mempelajari sumber-sumber di perpustakaan dapat disimpulkan bahwa fraktur radius ulna adalah terputgusnya kesinambungan/kontinuitas tulang yang terjadi karena adanya tekanan pada tulang lebih besar daripada kekuatan tulang untuk menahan tekanan tersebut, lokasi fraktur tersebut terjadi pada tulang radius dan ulna. Secara umum fraktur dapat disebabkan oleh karena kelemahan atau kerapuhan dari struktur tulang. Komplikasi yang dapat terjadi adalah shock, perdarahan, infeksi, komplikasi immobilisasi ,terutama pada usia lanjut seperti pneumoni, thromboplebitis, emboli, selain itu dapat juga terjadi osteomyelitis. Sehiungga kita diharapkan mengetahui cara perawatan serta usaha untuk meningkatkan kesembuhan pasien.<br />Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk pasien yang akan pulang dari RS agar mereka dapat menjaga supaya keadaannya tidak bertambah parah ( terjadi infeksi dan penyembuhan fraktur lama ). Dalam hal ini peran kita sebagai perawat professional sangat diperlukan dalam memberikan penyuluhan yaitu dengan menganjurkan pasien untuk untuk mengistirahatkan bagian yang fraktur, menghindari mengangkat benda berat dan bila terpaksa lebih baik dengan metode/cara menggeser daripada mengangkat.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB IV<br />PEMBAHASAN KASUS<br /><br /> Setelah memperhatikan beberapa literatur dan pengematan kasus di bangsal mengenai fraktur radius ulna, penulis mencoba memberikan pembahasan dan mengemukakan perbandingan antara teori dan pengematan, bahwa pada kasus fraktur radius ulna pada TN. S. disebabkan oleh trauma langsung pada tulang radius ulna. Karakteristik munculnya tanda dan gejala sesuai dengan yang ada pada konsep keperawatan.<br /> Dari semua diagnosa yang ada pada pasien semuanya ada pada diagnosa yang berada pada teori, dan dari masalah yang ada pada teori tidak semuanya berada pada pasien, diantaranya adalah :<br />1. Ketidakmampuan beraktifitas berhubungan dengan pemasangan fiksasi dari dalam berupa plate screw, masalah ini tidak kami angkat karena walaupun pasien menggunakan fiksasi berupa plate screw, pasien dapat melakukan aktifitas seperti berjalan, mandi, makan, minum, dan berpakaian tanpa bantuan orang lain atau perawat.<br />2. Resiko tinggi terjadi infeksi berhubungan dengan luka operasi, masalah ini juga tidak kami angkat, hal ini disebabkan karena pada pasien kami dari sejak terjadinya fraktur sampai dengan pengkajian tidak ada tanda-tanda yang menjurus kearah terjadinya infeksi, luka balutan setelah operasi cukup bersih, tidak ada darah yang merembes dan suhu badan pasien tidak panas.<br />3. Resiko tinggi terjadinya komplikasi post operasi berhubungan dengan immobilisasi. Masalah ini juga tidak kami angkat, hal ini dikarenakan pada pasien kami dapat berjalan jadi tidak bedrest di tempat tidur, selain itu pasien juga cukup kooperatif dengan selalu menggerakkan atau menggenggam jari-jarinya sehingga peredaran darah khususnya pada daerah yang fraktur atau yang mendapat balutan dapat mengalir dengan lancar. <br /> Pada pasien ini selain diagnosa fraktur pada radius ulna juga terdapat diagnosa comser. Hal ini juga disebabkan karena bagian kepalanya terbentur akibat terjatuh dari motor, yang juga sempat tidak sadar, muntah tidak ada. Dan dari hasil CT scan tidak menunjukkan adanya kelainan, tidak ada fraktur pada tulang cranium. Pada saat pengkajian pasien sudah tidak merasa pusing dan tidak ada keluhan pada kepalanya. Oleh karena itu masalah pada pasien ini yang berhubungan dengan diagnosa comser tidak kami angkat karena tidak ada keluhan pada pasien ini yang menjurus pada comser.<br /> Perencanaan yang disusun dapat disesuaikan dengan tingkat perubahan yang terjadi. Penekanan diberikan pada bantuan untuk mengurangi rasa nyeri, meningkatkan rasa harga diri pasien, dan meningkatkan pengetahuan pasien dalam hal melakukan aktivitas yang boleh dilakukan setelah pulang dari RS.<br /> Hal ini dapat diperhatikan melalui pendekatan, pendidikan dan penyuluhan yang dapat diterapkan langsung kepada pasien. Penyuluhan yang dapat diberikan kepada pasien yaitu dengan menganjurkan untuk mengistirahatkan bagian yang fraktur guna mencegah bertambahnya bagian yang menderita ± 12 minggu, menganjurkan untuk menghindari mengangkat benda yang berat, bila terpaksa lebih baik digeser daripada diangkat.<br /> Setelah mengadakan pengkajian, menentukan diagnosa keperawatan, serta mengimplementasikan dari rencana keperawatan, bahwa pada saat evaluasi tidak semua rencana dilaksanakan. Hal ini disebabkan karena keterbatasan waktu. Dengan demikian tidak semua masalah keperawatan yang ada pada pasien dapat teratasi sampai selesai.<br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Brunner and Sudarth. Medical Surgica Nursing. Sixth Edition. Sydney: J.B Lippincot<br /> Company, 1988.<br />Carpenito, Lynda Juall. Diagnosa Keperawatan, cetakan I. Edisi 6. EGC, Jakarta<br /> 1998<br />Donna, ignatavicus, Marilyn Warner Bayne. Medical Surgical Nursing. A Nursing<br /> Proses Approach. W B Saunders Company : Philadelphia,1991.<br />Joan Lucman, R. N. M. A., Karen C. Sorensen. R. N. M. N. Medical Surgical Nur-<br /> sing: A Psychohysiological Approach, Philadelpia, W. B. Saunders Company, <br /> 1987<br />John Gibson, MD, Anatomi dan Fisiologi Modern untuk Perawat, alih bahasa : Ni Luh<br /> Gede Yasmin Asih, SKp, edisi kedua, cetaakan I, EGC : Jakarta, 1995.<br />Long, C. Barbara. Perawatan Medical Bedah. Suatu pendekatan keperawatan 2. Ce-<br /> takan I. Jilid I. Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran, 1996.<br />Nancy M. Holloway. Medical Surgical Care Plans. Springhouse Corporation,<br /> Pennsylvania,1997.<br />Price, Sylvia Anderson. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit. Edisi<br /> kedua. Penerbit EGC : Jakarta, 1991.</div>UUNhttp://www.blogger.com/profile/03809401118170400297noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5128503638995547949.post-90314183013546636982008-05-18T06:45:00.000-07:002008-05-18T06:46:55.499-07:00GE<div align="center"><strong>BAB II<br />KONSEP DASAR<br /></strong> </div><div align="justify"><br /><br />A. KONSEP DASAR MEDIK<br />1. Definisi<br /> Gastroenteritis (GE) atau diare akut adalah peradangan pada lambung dan usus yang dapat ditunjukan dengan muntah dan diare. (Padiatric Nursing, Carring for Children, Jane ball, Ruth Bindler, 1995,512)<br /><br />2. Anatomi Fisiologi<br /> Sistem gastrointestinal (sistem pencernaan, saluran pencernaan) yang mempunyai peran utama dalam pemenuhan nutrisi ke seluruh tubuh. Prosesnya mencakup respon baik fisiologis maupun psikologis untuk mendapatkan makanan, saluran cerna (pemecahan makanan secara fisik ataupun kimia menjadi molekul – molekul yang lebih kecil), absrobsi (penyerapan makanan dari saluran cerna ke sirkulasi darah), dan pembungan/eliminasi (pelepasan sisa pencernaan dari tubuh). Saluran pencernaan tersebut meliputi: mulut, esofagus, lambung, dan usus halus dan usus besar. Setelah diabsorbsi, sisanya akan dibuang melalui anus. (lihat gambar 1).<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Gambar 1 anatomi sistem gastrointestinal. (sumber: Spien–Chard–Hawe Bernard. Pediatric Nursing Care 1990, 668).<br /><br />Lambung<br />Lambung terbagi atas tiga bagian yaitu fundus, korpus, dan pilorus. Kedua ujung lambung terdapat masing – masing satu spinkter. Spinkter cardiae berfungsi untuk memasukan dan mencegah makanan keluar dari lambung dan spinkter pyloric menegelurkan kimus dari lambung menuju duodenum dan mencegah kembali ke lambung. Lambung berfungsi untuk menampung, mencampur, dan mengosongkan kimus ke duodenum. Kurang lebih 90% air diabsorbsi di lambung. Lambung mengeluarkan enzim pepsin, lipase, dan amilase untuk mencerna kimus setelah itu, kimus akan menuju duodenum untuk mengalami pencernaan lebih lanjut untuk diabsorbsi.<br /><br />Usus halus<br />Usus halus terdiri dari jejenum, duodenum, dan ileum. Kimus yang masuk ke usus halus akan dicerna . karena gerakan segmentasi, makanan akan bercampur. Pada usus halus akan terjadi absorbsi nutrien, elektrolit, dan sedikit air.<br /><br />Usus besar<br />Usus besar merupakan tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 1,5 meter dan terbentang antara sekum sampai kanalis ani. Diameter usus besar lebih besar daripada usus halus, rata – rata sekitar 6,5 cm, tetapi makin dekat anus diameternya makin kecil. Usus besar memiliki 4 lapisan morfologik seperti juga bagian usus lainnya. Akan tetapi ada beberapa gambaran yang khas pada usus besar. Lapisan otot longitudinal usus besar tidak sempurna tetapi terkumpul dalam 3 pita yang dinamakan taenis koli. Taenia bersatu pada sigmoid distal, dengan demikian rektum mempunyai satu lapisan otot longitudinal yang lengkap. Panjang taenis lebih pendek daripada usus, hal ini menyebabkan usus tertarik dan berkerut membentuk kantong – kantong kecil yang dinamakan haustra. Lapisan mukosa usus besar jauh lebih tebal daripada mukosa usus halus dan tidak mengandung vili atau rugae.<br /> Kriptus Lieberkuhn (kelenjar intestinal) terletak lebih dalam dan mempunyai banyak sel goblet daripada usus halus. Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan sejalan dengan suplai darah yang diterima. Arteria mesenterika superior memperdarahi belahan bagian kanan (sekum, kolon asendens dan duapertiga proksimal kolon transversum), dan arteria mesenterika inferior memperdarahi belahan kiri (sepertiga distal kolon transversum, kolon desendens dan sigmoid, dan bagian proksimal rektum). Suplai darah tambahan untuk rektum adalah melalui arteria sakralis media dan arteria hemoroidalis inferior dan media yang dicabangkan dari arteria iliaka interna dan aorta abdominalis. (lihat gambar 2).<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Gambar 2 penampang mukosa usus. (sumber: Whaley and Wong’s. Nursing Care of Infant and Children. 1999, 1536).<br /><br /><br /> Alir balik vena dari kolon dan rektum superior melalui vena mesenterika superior dan inferior dan vena hemoroidalis superior yaitu bagian dari sistem portal yang mengalirkan darah ke hati.Usus besar mempunyai berbagai fungsi yang semuanya berkaitan dengan proses akhir isi usus. Fungsi usus besar yang paling penting adalah mengabsorbsi air dan elektrolit, yang sudah hampir lengkap pada kolon bagian kanan. Kolon sigmoid berfungsi sebagai reservoir yang menampung massa feses yang sudah dehidrasi sampai defekasi berlangsung. Kolon mengabsorbsi 800 ml air/hari. Kapsitas absorbsi usus besar adalah 2000 ml/hari. Bila jumlah dilampaui, misalnya karena adanya kiriman yang berlebihan dari ileum, maka akan terjadi diare. Pencernaan yang terjadi di usus besar diakibatkan oleh bakteri. Usus besar mensekresikan mukus alkali yang tidak mengandung enzim, mukus ini bekerja untuk melumasi dan melindungi mukosa. Bakteri usus besar mensintesis vitamin K dan beberapa vitamin B. Pembusukan oleh bakteri dan sisa-sisa protein menjadi asam amino dan zat-zat yang lebih sederhana seperti peptida, indol, skatol, fenol, dan asam lemak. Propulsi feses ke rektum mengakibatkan distensi dinding rektum dan merangsang refleks defekasi.<br /><br />3. Etiologi<br /> Penyebab diare pada anak – anak mempunyai banyak perbedaan pada setiap kasus. Secara spesifik, etiologinya tidak selalu diidentifikasi. Mekanisme umumnya adalah penurunan kapasitas absorbsi dari usus yang mengalami inflamasi, penurunan permukaan area absorbsi, atau rangsangan pada saraf parasimpatetik. Beberapa faktor yang diduga dapat meyebabkan diare adalah:<br />a. Faktor infeksi<br />1. Infeksi enteral; infeksi saluran pencernaan makanan yang merupakan penyebab utama diare pada anak, terdiri dari:<br />· Infeksi bakteri: Vibrio, E. Coli, Salmonella, Shigella, Campy-lobacter, yersinia, Aeromonas, dsb.<br />· Infeksi virus: Enterovirus, Adenovirus, Rotavirus, Astrovirus, dsb.<br />· Infeksi parasit: Cacing (Ascaris, Trichuris, Oxyuris, Strongy-loides); protozoa (Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, trichomonas hominis), Jamur (Candida albicans)<br />2. Infeksi parenteral ialah infeksi di luar alat pencernaan makanan seperti: otitis media akuta, tonsilitis/tonsilofaringitis, bronkopneu-monia, ensefalitis, dsb. Keadaan ini terutama pada bayi dan anak berumur dibawah 2 tahun.<br />b. Faktor malabsorbsi<br />1) Malabsorbsi karbohidrat: disakarida (intoleransi laktosa, maltosa dan sukrosa); monosakarida 9intoleransi glukosa, fruktosa, dan galaktosa).<br />2) Malabsorbsi lemak<br />3) Malabsorbsi protein<br />c. Faktor makanan<br />Makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan<br />d. Faktor psikologis<br />Rasa takut dan cemas (jarang, tetapi dapat terjadi pada anak yang lebih besar<br />e. Faktor obat-obatan (zat besi, antibiotika)<br />f. Penyakit kolon (kolitis, NEC, enterokolitis)<br />g. Pembedahan (pada usus besar)<br /><br />4. Patofisiologi<br /> Diare disebabkan karena ketidaknormalan absorbsi air dan elektrolit. Transport air dan elektrolit ini terjadi di dalam sistem pencernaan meningkat pada usia anak – anak. Mukosa usus pada anak kecil lebih permiabel daripada anak besar. Karena pada anak kecil dengan peningkatan osmolalitas menimbulkan diare, banyak cairan dan elektrolit akan hilang pada anak yang lebih besar. Diare dapat disebabkan karena proses patologik.<br /> Organisme masuk pada mukosa epitel, berkembang biak pada usus dan menempel pada mukosa usus serta melepaskan enterotoksin yang dapat menstimulasi cairan dan elektrolit keluar dari sel mukosa. Infeksi virus ini menyebabkan destruksi pada mukosa sel dari vili usus halus yang dapat menyebabkan penurunan kapasitas absorbsi cairan dan elektrolit.. Interaksi antara toksin dan epitel, usus menstimulasi enzim Adenilsiklase dalam membran sel dan mengubah cyclic AMP yang menyebabkan peningkatan sekresi air dan elektrolit. Proses ini disebut diare sekretorik. Pada proses invasi dan pengrusakan mukosa usus, organisme menyerang enterocytes (sel dalam epitelium) sehingga menyebabkan peradangan dan kerusakan pada mukosa usus. Pada pemeriksaan histologi, bakteri dapat menyebabkan ulserasi superfisial pada usus dan dapat berkembang biak di sel epitel. Sedangkan bila bakteri menembus dinding usus melalui plague peyeri di ileum maka akan diikuti dengan multiplikasi organisme intraselular dan organisme mencapai sirkulasi sistemik.<br /><br /><br />Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare ialah:<br />a. Gangguan osmotik, akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit ke dalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus untuk mengeluarkan-nya sehingga timbul diare.<br />b. Gangguan sekresi, akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada dinding usus akan terjadi peningkatan sekresi, air dan elektrolit ke dalam rongga usus dan selanjutnya timbul diare karena terdapat peningkatan isi rongga usus.<br />c. Gangguan motilitas usus. Hiperperistaltik akan mengakibatkan berku-rangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan, sehingga timbul diare. Sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan, selanjutnya timbul diare.<br /><br />5. Tanda dan gejala<br />a. Anak menjadi cengeng<br />b. Gelisah<br />c. Suhu tubuh biasanya meningkat<br />d. Nafsu makan berkurang<br />e. Diare, tinja cair, mungkin disertai lendir/darah<br />f. Tinja berwarna kehijau – hijauan karena bercampur empedu<br />g. Anus dan daerah skitarnya lecet karena sering diare<br />h. Mual, muntah<br />i. Gejala dehidrasi: berat badan turun, turgor berkurang, mata dan ubun-ubun besar menjadi cekung (pada bayi), selaput lendir bibir dan mulut serta kulit tampak kering, diuresis berkurang.<br /><br />6. Tes Diagnostik<br />a. Pemeriksaan tinja, makroskopis dan mikroskopis: ditemukan kuman sepesifik.<br />b. Biakan tinja dan uji resistensi, jika diperlukan.<br />c. Analisa gas darah: base axcess rendah.<br />d. Pemeriksaan serum elektrolit, natrium, kalium: terjadi penurunan.<br />7. Terapi Medik<br />Prinsip utama penanganan Gastroenteritis adalah:<br />a. Menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit<br />b. Mengembalikan fungsi normal sistem pencernaan<br />c. Mencegah penyebaran infeksi pada orang yang kontak dengan anak diare.<br /><br />Dasar pengobatan diare adalah:<br />a. Pemberian cairan: jenis cairan, cara memberikan cairan, jumlah pemberiannya: disesuaikan dengan kebutuhan cairan per usia.<br />b. Dietetik (cara pemberian makanan)<br />c. Obat – obatan.<br /><br /> Untuk dehidrasi ringan sampai sedang, anak diberi rehidrasi oral seperti Pedialyte, Ricelyte, atau Lytren untuk bayi dan anak yang masih kecil. Gatorade diberikan untuk anak yang lebih besar. Minuman yang mengandung karbonat dan gula sebaiknya tidak diberikan karena fermentasi gula dalam saluran pencernaan dapat menyebabkan peningkatan gas, distensi abdomen, dan meningkatkan frekuensi diare.<br /> Untuk dehidrasi berat, rehidrasi dengan pemberian cairan intravena yang sesuai untuk mengkoreksi ketidakseimbangan yang spesifik. Anak dipuasakan untuk mengistirahatkan usus. Bila dehidrasi sudah teratasi dan diare sudah berkurang, anak dapat mulai makan bertahap.<br /> Bila diare disebabkan oleh bakteri/parasit, maka therapi antibiotika diberikan. Absorbent seperti Donnagel dan Kaopectate dapat merubah bentuk tinja, tetapi tidak dapat menurunkan jumlah kehilangan cairan.<br /><br />8. Komplikasi<br />a) Dehidrasi: (ringan, sedang, berat, hipotonik, isotonik, atau hipertonik), karena kehilangan cairan dan elektrolit akibat diare dan atau muntah.<br />b) Kejang hipovolemik: sebagai manifestasi dari kekurangan cairan intraseluler.<br />c) Hipokalemia: (dengan gejala meteorismus, hipotoni otot, lemah, bradikardia, perubahan EKG) akibat kekurangan kalium, karena diare dan muntah.<br />d) Hipoglikemia: sel kekurangan glukosa akibat tiddak ada suply glukosa ke sel karena malabsorbsi, kerusakan vili mukosa usus dan defisiensi enzim laktase<br />e) Malnutrisi energi protein: akibat muntah dan diare yang lama atau kronik.<br /><br /><br /><br />B. Konsep Keperawatan<br />1. Pengkajian<br />a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan<br />1) Kebersihan pada anak<br />2) Kebiasaan mencuci tangan sebelum makan<br />3) Kebersihan lingkungan<br />4) Kebiasaan jajan makanan yang dijajakan di tempat terbuka<br />5) Pengetahuan keluarga tentang diare<br />6) Upaya yang dilakukan keluarga bila anak diare<br />b. Pola nutrisi dan metabolik<br />1) Pemberian makanan pada anak<br />2) Jenis makanan yang diberikan<br />3) Adanya kemerahan/lecet pada daerah sekitar anus<br />4) Hasil analisa gas darah, serum elketrolit, dan pemeriksaan hematologi lainnya.<br />c. Pola eliminasi<br />1) Kebiasaan b.a.b<br />2) Adanya diare (karakteristik faeces:ada darah/lendir, warna, frekuensi)<br />d. Pola tidur dan istirahat.<br />1) Perubahan pola tidur karena diare<br />e. Pola persepsi dan kognitif<br />1) Adanya keluhan nyeri pada perut<br />2) Anak rewel,cengeng, gelisah<br /><br />f. Pola peran dan hubungan sesama<br />1) Anak ingin selalu dekat dengan ibu/orang tuanya<br />g. Pola koping dan toleransi terhadap stress<br />1) Anak cengeng/sering menangis<br /><br />2. Diagnosa Keperawatan<br />a. Diare berhubungan dengan perubahan motilitas gastrointestinal<br />b. Kurang volume cairan berhubungan dengan diare dan muntah<br />c. Hipertemia berhubungan dengan proses infeksi pada usus<br />d. Kecemasan orang tua berhubungan dengan diare pada anak<br />e. Kurang pengetahuan orang tua mengenai proses penyakit, pencegahan dan tindakan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi<br />f. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kontak kulit dengan faeces dan tindakan membersihkan.<br /><br /><br />3. Perencanaan<br />a. Diare berhubungan dengan perubahan motilitas gastrointestinal.<br />Hasil yang diharapkan:<br />Fungsi gastrointestinal kembali normal.<br /><br />Rencana tindakan:<br />Intervensi<br />Rasional<br />1. Observasi tanda – tanda vital dasar dan monitor tiap 2 – 4 jam.<br />2. Observasi jumlah faeces, konsistensi, bau, dan frekuensi b.a.b<br />3. Periksa darah samar pada faeces<br />4. Monitor hasil faeces kultur dan adanya telur cacing/parasit<br />5. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan anak.<br />6. Isolasi anak sampai penyebab diare diketahui<br />7. Bantu anak b.a.b dan membersihkannya.<br /><br /><br />8. Berikan rehidrasi oral dan cairan intravena. Batasi intake makanan.<br />9. Beritahu pada dokter bila diare menetap atau ada perubahan karakteristik.<br />1. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dan merubah fungsi vital tubuh<br />2. Membantu dalam diagnosa dan dalam memonitor status kesehatan anak<br />3. Defekasi yang sering dan kuman dapat menyebabkan perdarahan.<br />4. Pemberitahuan hasil yang cepat pada dokter dapat mempercepat pengobatan.<br />5. Membantu pencegahan transmisi mikroorganisme.<br /><br />6. Mencegah pemaparan pada pasien lain dan perawat.<br />7. Anak mungkin lemah, tidak dapat menahan b.a.b, atau cemas dan membutuhkan pertolongan untuk menggunakan kamar mandi<br />8. Menyediakan kebutuhan cairan dan nutrien ketika usus beristirahat.<br /><br />9. Memberikan intervensi dengan segera.<br /><br />b. Kurang volume cairan berhubungan dengan diare dan muntah<br />Hasil yang diharapkan:<br />Anak mempunyai keseimbangan cairan dan elektrolit yang normal yang ditandai dengan hasil laboratorium dan pemeriksaan dokter yang normal.<br /><br />Rencana tindakan:<br />Intervensi<br />Rasional<br />1. Monitor intake output dan catat setiap b.a.k<br /><br /><br /><br /><br /><br />2. Bandingkan berat badan sebelum masuk dan berat badan saat ini. Timbangberat badan tiap hari.<br /><br />3. Kaji tingkat kesadaran, tur-gor kulit, membran mukosa, warna kulit dan suhu, pengisian kapiler, mata, dan ubun-ubun setiap 4 jam.<br /><br />4. Kaji adanya muntah<br /><br /><br />5. Berikan cairan per oral dan pengganti elektrolit jika tolerate.<br />6. Berikan dan pertahankan pemberian cairan intravena jika diberikan.<br />1. Memonitor output yang berlebihan dibandingkan dengan input . Tanpa urine dalam waktu yang lama merupakan indikator penurunan fungsi ginjal. Anak seharusnya memproduksi i ml urine/kg/bb/jam.<br />2. Derajat dehidrasi dapat diketahui dari peresentase penurunan berat badan. Penimbangan setiap hari membantu dalam menentukan kemajuan rehidrasi.<br />3. Menentukan derajat rehidrasi dan keadekuatan intervensi.<br /><br /><br /><br /><br />4. Muntah yang berlebihan disertai diare menyebabkan anak kehilangan cairan.<br />5. Memberikan pengganti cairan dan elektrolit yang essensial.<br /><br />6. Penggunaan penggantian cairan intravena didasarkan pada derajat dehidrasi, IWL dan hasil elektrolit.<br /><br />c. Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi pada usus.<br />Hasil yang diharapkan:<br />Suhu badan normal (36 0C – 37 0C).<br /><br />Rencana tindakan:<br />Intervensi<br />Rasional<br />1. Monotor tanda-tanda vital: suhu, nadi<br />1. Manifestasi infeksi antara lain, peningkatan suhu dan denyut nadi<br />2. Periksa faeces kultur<br /><br /><br />3. Batasi aktivitas/tirah ba-ring<br />2. Dengan mengetahui penyebab penya-kit, dapat digunakan sebagai landasan therapi yang tepat<br />3. Mengurangi penggunaan energi un-tuk aktivitas, sehingga energi diguna-kan untuk proses penyembuhan infeksi<br />4. Berikan therapi anti-biotika sesuai dengan program medik<br />4. Antibiotika yang sesuai sangat efektif untuk mengatasi infeksi, sehingga terjadi penurunan suhu tubuh<br />5. Berikan antipiterika dan evaluasi suhu tubuh<br />5. Antipiretika mempengaruhi pusat pengatur suhu (hipothalamus).<br /><br />d. Kecemasan orang tua berhubungan dengan diare pada anak.<br />Hasil yang diharapkan:<br />· Orang tua memverbalisasikan kecemasannya.<br />· Kecemasan orang tua berkurang ditandai dengan sikap lebih santai dan aktif membantu perawatan anaknya.<br /><br />Rencana tindakan:<br />Intervensi<br />Rasional<br />1. Kaji tingkat kecemasan orang tua.<br />1. Dasar untuk menentukan jenis intervensi yang diperlukan.<br />2. Dorong orang tua untuk memverbalisasikan kecemasannya, dengarkan dengan penuh perhatian setiap keluhannya<br />2. Verbalisasi kecemasan membantu orang tua dan perawat untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menjadi penyebabnya.<br />3. Berikan penjelasan atas setiap rencana tindakan yang akan dilakukan terhadap anak.<br />3. Ketidaktahuan orang tua akan rencana yang akan dilakukan terhadap anaknya dapt meningkatkan kecemasan<br />4. Dorong orang tua untuk ikut terlibat dalam asuhan anaknya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki-nya.<br />4. Keterlibatan orang tua memberikan perasaan berdaya bahwa mereka sedang membantu mengatasi sakit anaknya.<br />5. Informasikan terus menerus kepada orang tua tentang perkembangan/kemajuan yang dicapai oleh anak.<br />5. Mengetahui tingkat kemajuan yang dicapai dalam penanganan mem-perkuat keyakinan orang tua akan perjalanan kesembuhan anaknya.<br />6. Yakinkan orang tua bahwa sakit yang dialami anaknya pada umumnya dapat disembuhkan dan berikan penjelasan yang realistis tentang keadaan anaknya.<br />6. Gambaran umum tentang kesem-buhan perlu bagi orang tua, namun demikian perawat harus tetap berpegang pada realita agar orang tua siap menghadapi segala ke-mungkinan yang dapat terjadi.<br /><br />e. Kurang pengetahuan orang tua mengenai proses penyakit, pencegahan dan tindakan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi.<br />Hasil yang diharapkan:<br />Orang tua dapat menjelaskan kembali penjelasan dari perawat tentang higiene perorangan dan lingkungan, pola pemberian makanan, kebersihan alat – alat makan dan pencegahan serta pertolongan diare.<br /><br />Rencana tindakan:<br />Intervensi<br />Rasional<br />1. Jelaskan tentang cara pence-gahan diare dengan menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan<br />2. Anjurkan orang tua untuk berkonsultasi dengan dokter yang merawat.<br />3. Beri tambahan penjelasan bila ibu kurang jelas dengan keterangan dokter.<br /><br /><br />4. Demonstrasikan cara mera-wat anak diare selama di rumah sakit.<br />5. Libatkan ibu dalam pera-watan anaknya.<br /><br />6. Anjurkan ibu untuk selalu cuci tangan yang bersih sebelum dan sesudah kontak dengan anak.<br />1. Merupakan dasar untuk membe-rikan informasi yang dibutuhkan.<br /><br /><br />2. Mencegah terulangnya diare<br /><br /><br />3. Mendapatkan informasi yang akurat tentang penyebab dan program pengobatan. Penjelasan dari perawat mungkin lebih mudah dimengerti oleh ibu.<br />4. Memberi contoh pada ibu cara perawatan yang baik.<br /><br />5. Mempertahankan kedekatan ibu dengan anaknya dan ibu dapat berpartisipasi dalam perawatan<br />6. Kontak penyakit diare banyak terjadi karena kelalaian mencuci tangan<br /><br />f. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kontak kulit dengan faeces yang berulang.<br />Hasil yang diharapkan:<br />Daerah perianal anak berwarna merah muda dan utuh.<br /><br />Rencana tindakan:<br />Intervensi<br />Rasional<br />1. Kaji adanya kerusakan/iritasi kulit sekitar perineum.<br />1. Pengkajian awal dan intervensi dapat mencegah kondisi yang lebih buruk.<br />Tindakan pencegahan:<br />2. Ganti popok tiap 2 jam atau kalau perlu<br /><br />2. Meminimalkan kontak kulit dengan zat kimia iritan dari faese dan urine<br />3. Gunakan popok kain<br />3. Meminimalkan iritasi mekanik dan kimia dari popok disposibel<br />4. Cuci daerah sekitar anus setelah ngompol/buang air besar<br />4. Membersihkan sisa-sisa faeces jika ada.<br />5. Berikan baby salf<br />5. Memberikan barier dan menjaga keutuhan kulit atau kulit yang kemerahan menjadi ekskoriasi.<br /><br /> </div>UUNhttp://www.blogger.com/profile/03809401118170400297noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5128503638995547949.post-85202450330864449422008-05-18T06:41:00.000-07:002008-05-18T06:44:10.667-07:00HYPERTENSI<div align="center"><strong>BAB I<br />P E N D A H U L U A N</strong></div><br /><div align="justify"><br /><br />A. Latar Belakang<br />Semakin berkembangnya IPTEK dan kemajuan ekonomi, berpengaruh pula pada perubahan budaya makan. Masyarakat kita belum dapat memahami akibat dari mengkonsumsi lemak dan protein secara berlebihan, yang dapat memberikan dampak negatif terhadap kesehatan dan gizi kelompok tertentu.<br />Berdasarkan hasil penelitian :Gizi Lebih” dan “Obesitas” pada orang dewasa di 12 kota Madya yahun 1995, menunjukkan bahwa prevalensi obesitas pada wanita hampir dua kali lipat dibandingkan dengan pria yaitu 14,7% pada wanita dan 7,4% pada pria. Kategori umum kelompok ini berkisar antara 41 – 45 tahun.<br />Dengan adanya kemudahan dalam transportasi membuat orang pada zaman sekarang ini mengurangi aktivitas nya. Hal ini mendukung terjadinya kegemukkan atau obesitas.<br />Dengan adanya peningkatan konsumsi lemak, garam yang berlebihan, kebiasaan merokok, mengkonsumsi alkohol, megurangi aktivitas, masalah psikologis seperti stres, akan berakibat fatal seperti hipertensi dan penyakit cardiovaskuler lainnya, di mana saling terkait satu sama lainnya. Individu yang diketahui menderita hipertensi sejak dini mempunyai resiko lebih sedikit dibanding yang menderita hipertensi dalam jangka waktu lama. Oleh karena itu, mendeteksi atau pengontrolan hipertensi secara dini dapat mengurangi resiko tersebut.<br /><br />B. Tujuan<br />Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:<br />1. Mendapatkan pengalaman secara nyata dalam merawat pasien hipertensi.<br />2. Menerapkan secara langsung konsep – konsep yang telah dipelajari dari perkulaha MA> 217 II.<br />3. Memperoleh informasi/gambaran pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien hipertensi.<br />4. Memenuhi tugas yang diberikan staff pengajar MA. 217 II.<br /><br />C. Metode Penulisan<br /> Dalam penulisan makalah ini, untuk memperoleh data dan informasi yang menunjang penulis menggunakan dasar studi kepustakaan berupa literatur – literatur yang berhubungan dengan penyakit hipertensi, studi kasus, dan perawatan secara langsung kepada pasien di Unit Fransiskus.<br /><br />D. Sistematika Penulisan<br /> Makalah ini disusun secara sistematis sebagai berikut: BAB I (bab pendahuluan) yang terdiri dari latar belakang penulisan, tujuan, metode, dan sistematika penulisan makalah. BAB II berisikan tinjauan hipertensi secara teoritis, yang tersusun berurutan, konsep dasar medik yang menjelaskan definisi dari hipertensi, anatomi fisiologis sistem peredaran darah, penyebab hieprtensi, patologis, tanda dan gejala, pemeriksaan diagnostik, terapi, dan komplikasi. Selain itu, pada bab ini dipaparkan juga tentang konsep dasar pengelolaan penderita hipertensi dari segi keperawatan yang meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, dan intervensi (tindakkan keperawatan).<br /> BAB III berisikan ringkasan data yang pasien (Pengamatan kasus). BAB IV merupakan penbahasan hasil pengamatan dan penerapan asuhan keperawatan pada pasien. Penulisan makalah ini secara keseluruhan terangkum dalam bab rangkuman (BAB V). Penulisan makalah diakhiri dengan daftar kepustakaan yang pergunakan oleh penulis sebagai rujukan.<br /><br />BAB II<br />TINJAUAN TEORITIS<br /><br />A. Konsep Dasar Medik<br /><br />1. Definisi<br /> Hipertensi adalah suatu keadaan di mana terjadi peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 160 mmHg dan atau tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg, yang terjadi pada seseorang paling sedikit tiga waktu yang berbeda (WHO 1978, Mahendra dan Karya 1985).<br /><br />2. Anatomi dan Fisiologis<br />Sistem Cardivaskuler<br />Jantung terletak di dalam rongga mediastinum. Sistem cardivaskuler terdiri dari:<br />1. Jantung<br />2. Pembuluh darah<br />3. Darah<br />Jantung adalah organ tubuh yang berfungsi:<br />• Pemompa darah<br />• Penyalur O2, nutrisi, dan mengikat CO2 serta sisa – sisa metabolisme.<br /><br /> Simtem peredaran darah (sirkulasi) dalam tubuh mempunyai sifat sebagai berikut:<br />Sirkulasi Sistemik<br />Yaitu:<br />1. Mengalirkan darah ke berbagai organ<br />2. Memenuhi kebutuhan organ tubuh yang berbeda<br />3. Memerlukan tekanan permulaan yang besar<br />4. Banyak mengalami tahanan<br />5. Kolom hidrostatik panjang<br /><br /><br />Sirkulasi Pulmonal:<br />1. Banyak mengalirkan darah ke paru – paru<br />2. Hanya berfungsi untuk paru – paru<br />3. Mempunyai tekanan permulaan yang rendah<br />4. Hanya sedikit mengalami tahanan<br />5. Kolom hidrostatik pendek<br /><br />Sirkulasi Koroner:<br /> Sirkulasi ini meliputi permukaan jantung dan membawa O2 untuk miokard melalui cabang – cabang intramiokard yang kecil – kecil. Aliran darah koroner dapat meningkat karena peningkatan:<br />• Aktivitas<br />• Denyut jantung<br />• Rangsang sistem saraf simpatis<br /><br />Faktor – faktor yang mempengaruhi kerja jantung:<br />1. Beban awal (Preload)<br />Adalah beban di mana otot – otot jantung diregangkan sebelum ventrikel berkontraksi. Tinggi rendahnya beban awal tergantung pada:<br />• Obat – obatan: kebocoran/insufisiensi mitral<br />• Stenosis mitral<br />• Volume sirkulasi<br />• Vasokontriktor: menyebabkan tekanan meningkat<br />• Vasodilator : menyebabkan tekanan menurun.<br />2. Beban akhir<br />Resistensi yang harus diatasi waktu darah dikeluarkan dari ventrikel. Penyebab tinggi – rendahnya:<br />• Stenosis aorta<br />• Vasokontriksi perifer<br />• Polisitemia<br />• Obat – obatan.<br />3. Kontraktilitas<br />Kontraksi jantung yang mempengaruhi isi sekuncup. Faktor yang mempengaruhi:<br />• Obat – obatan digitalis (memperlambat kerja jantung)<br />• Depresan fisiologik<br />• Depresan farmakologik<br />• MCI<br />Konsumsi oksigen jantung.<br />Proses metabolisme jantung bersifat aerobi yang ditentukan oleh:<br />• Tegangan intramiokard<br />• Kontraksi miokard<br />• Frekuensi denyut jantung<br />• Tekanan sistolik<br />• Volume ventrikel.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Gambar 1 Sistem Sirkulasi Darah<br />Syaifuddin, Drs B.Ac. (Anatomi Fisiologi Untuk Siswa Perawat. Edisi Revisi. 1995,67).<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Gambar 2 Peredaran Darah Besar Dan Kecil Pada Tubuh Manusia<br />Syaifuddin, Drs B.Ac. (Anatomi Fisiologi Untuk Siswa Perawat. Edisi Revisi. 1995,71).<br /><br />3. Etiologi<br />Hipertensi terbagi dalam dua klasifikasi utama:<br />1. Hipertensi Essensial (Primer atau Idiopatik 90%).<br />Penyebabnya tidak diketahui dengan pasti, namun sejumlah kekuatan homeostatis saling mempengaruhi. Diperkirakan mekanisme cairan tubuh dan mekanisme pengontrol tekanan. Herediter dapat juga memegang peranan penting.<br />2. Hipertensi sekunder (10%)<br />Terjadi akibat:<br />• Penggunaan kontrasepsi oral<br />• Penyakit pharenkim renal atau vaskuler renalis<br />• Gangguan endokrin<br />• Coarctation aorta (penyempitan aorta congenital)<br />• Neurogenik: tumor otak, ensefalitis, gangguan psikiatri, luka bakar, peningkatan volume intravaskuler.<br />• Faktro resiko lain: kegemukan<br />• Pemasukkan lemak saturasi tinggi<br />• Pemasukkan garam banyak<br />• Merokok cigaret<br />• Stres<br /><br />4. Patofisiologis<br /> Tekanan arteri sistemik dihasilkan dari curah jantung dan tahanan perifer, sehingga semua faktor yang mempengaruhi curah jantung dan tahanan perifer akan mempengaruhi tekanan darah.<br /> Secara formulasi, tekanan darah sama dengan curah jantung dikali tahanan perifer. Curah jantung ditentukan oleh isi sekuncup dan denyut jantung. Pengontrolan tahanan perifer dipertahankan oleh sistem saraf otonom dan sirkulasi hormon.<br /><br />Ada empat sistem pengontrolan yang berperan dalam mempertahankan tekanan darah, yaitu:<br />1. Sistem Baroreseptor<br /> Baroreseptor atrial terdapat pada sinus carotis, arkus aorta, dan dinding ventrikel kiri. Baroreseptor ini memonitor tingkat tekanan atrial. Sistem baroreseptor menandakan peningkatan tekanan arterial setelah pertengahan vagal dengan memperlamabt cardiac dan vasodilatasi serta tekanan simpatetik menurun. Karena itu kontrol refleks dari peredaran meningkatkan tekanan arterial sistemik bila ini turun, dan berkurang bila ini naik. Sebab sebenarnya mengapa kontrol ini tidak berhasil pada hipertensi tidak diketahui? Ada bukti untuk mendapatkan kembali kepekaan baroreseptor yang meningkat sensitifitasnya sehingga tekanan yang naik tidak cukup dirasakan walaupun tidak ada penurunan darah.<br /><br />2. Pengaturan Volume Cairan Tubuh.<br /> Perubahan dalam volume cairan tubuh mempengaruhi tekanan arterial sistemik. Bila tubuh mengandung kelebihan garam dan air, tekanan darah naik, karena mekanisme fisiologis yang rumit dan berubah.<br /> Pengembalian pembuluh darah balik ke jantung dengan menghasilkan kenaikkan produksi jantung. Bila ginjal cukup berfungsi, kenaikkan dalam tekanan arterial sistemik menghasilkan diuresis dan penurunan tekanan. Kedaan patologis yang merubah garis perbatasan tekanan di mana ginjal mengeluarkan garam dan air yang merubah tekanan arterial sistemik.<br /><br />3. Ginjal dan Angiotensin.<br /> Keduanya memegang peranan dalam pengaturan tekanan darah. Ginjal menghasilkan Reni. Reni ini adalah suatu enzim yang bekerja pada dasar plasma protein untuk menjadikan angiotensin oleh enzim perubah dalam paru – paru untuk membentuk angiotensin II, kemudian angiotensin III. Angiotensin II dan III mempunyai daya vasokontriksi kuat terhadap pembuluh darah dan merupakan mekanisme kontrol untuk pelepasan aldosteron.<br /> Aldosteron pada hipertensi paling nyata dalam aldosteronisme primer. Dengan meningkatnya kegiatan sistem saraf simpatik, angiotensin II dan III menunjukkan efek penghambatan pada ekskresi sodium dan akibatnya tekanan darah naik. Sekresi Renin yang tidak baik merupakan penyebab dari peningkatan tahanan perifer vaskuler dan hipertensi essensial.<br /><br />4. Autoregulasi Vaskuler.<br /> Adalah suatu proses yang membuat penyebaran jaringan dalam tubuh agak tetap. Bila arus berubah, proses autoregulasi harus mengurangi daya tahan vaskuler sebagai hasil peningkatan. Autoregulasi merupakan mekanisme penting yang menyebabkan hipertensi bersamaan dengan kelebihan air dan garam.<br /><br />Pada umumnya hipertensi diklasifikasikan berdasarkan nilai diastolik:<br />90 – 104 mmHg : hipertensi ringan<br />104 – 114 mmHg : hipertensi sedang<br />> 115 mmHg : hipertensi berat<br />> 130 mmHg : hipertensi maligna.<br /><br /> Pada penderita hipertensi, curah jantung pada umumnya normal. Kelainannya terutama pada peninggian tahanan perifer, yang disebabkan karena vasokontriksi arterial akibat naiknya tonus otot polos pembuluh darah.<br /> Pada kasus lama, dijumpai perubahan struktural pada pembuluh darah arterial yaitu penebalan tunika intima dan hiprtropi tunika medial yang menyebabkan tekanan darah sukar dikendalikan. Karena naiknya tahanan perifer membuat kerja jantung semakin berat yang berakibat hipertropi ventrikel kiri.<br /> Bila sudah melampaui batas yaitu sel – sel jantung mengalami hipertropi dan jumlah yang mengalami hiperplasi yang menyebabkan sirkulasi darah dalam otot jantung tidak mencukupi. Akibatnya terjadi anoksia jaringan.<br /> Akibat hipertropi dan hiperplasi adalah dilatasi ventrikel kiri yang berakhir dengan dekompensasi jantung. Bila keadaan ini berlangsung terus akan terjadi hipertropi dan dilatasi jantung kanan. Gejala – gejala dekompensasi jantung kanan lebih menyolok dibanding gejala dekompensasi jantung kiri. Hal ini disebabkan terjadinya obstruksi aliran ke atrium kanan sebagai hipertropi ventrikel kiri yang hebat. Bila terjadi dekompensasi jantung kiri dan kanan, sering menyebabkan tekanan darah akan meninggi. Hal ini terjadi karena anoksia jaringan otak akibat terjadinya vasokontriksi arterial sistemik yang meningkatkan tekanan darah.<br /><br />5. Tanda dan Gejala<br />• Tekanan darah sistolik > 160 mmHg, diastolik > 90 mmHg.<br />• Tachicardia<br />• Heart rate meningkat<br />• Palpitasi<br />• Sakit kepala<br />• Pusing<br />• Merasa tegang<br />• Mata berkunang – kunang<br />• Tremor<br />• Wajah terasa panas, merah<br />• Ingin tidur terus<br />• Lemah<br />• Kadang epitaksis<br />• Mudah tersinggung<br />• Banyak keringat<br />• Mula, muntah<br />• Gelisah<br />• Edema<br /><br />6. Test Diagnostik.<br />1. Foto thorax : pembesaran ventrikel kiri<br />2. IVP : kelainan pada hipertensi renovaskuler.<br />3. Pada pasien hipertensi yang mengalami gangguan fungsi ginjal:<br />• Urine: protein (+), sel darah merah (+)<br />• Ureum darah meningkat<br />• Creatinin meningkat<br />• Trigliserida<br />• Kolesterol<br />4. EKG<br />Kelainan yang ditemukan pada hipertropi ventrikel kiri:<br />• Aksis deviasi ke kiri counter clockwise rotation<br />• Depresi ST pada hantaran I, serta voltage atau T terbalik pada hantaran I dan II.<br />• RI + SIII lebih dari 25 mm.<br /><br />7. Terapi / Pengelolaan Medik.<br />1. Tirah baring<br />2. Diet rendah garam, rendah lemak, rendah kalori.<br /><br />Diet Rendah Garam I (200 – 400 mg Na):<br />• Bahan makanan dengan tinggi Natrium dihindarkan<br />• Dimasak tidak menggunakan garam<br />• Diberikan pada penderita hipertensi berat, sedang, dan ascites<br /><br />Diet Rendah Garam II (600 – 800 mg Na):<br />• Dimasak dengan menggunakan ¼ sendok the garam dapur<br />• Bahan makanan yang tinggi Natrium dihindarkan<br />• Diberikan pada penderita hipertensi berat, sedang, dan ascites<br /><br /><br />Diet Rendah Garam III (1000 – 1200 mg Na):<br />• Dimasak dengan menggunakan ½ sendok the garam dapur<br />• Diberikan pada penderita dengan hipertensi ringan.<br /><br />3. Terapi Medik (obat – obatan):<br />• Angiotensin Coverting Enzim (ACE) Inhibitor: captopril, ramipril<br />• Beta Adrenergic Blocker: nifediphine, nicordiphine.<br />• Alfa Adrenergic yang bekerja pada sentral: methypoda, clonidine, hydrocchlorida.<br />• Diuretika: furosemide, chlortholidone, hidrochloro-thiazide.<br />• Anti Adrenergic yang bekerja pada perifer: reserpin, guanadel<br /><br />8. Komplikasi.<br />a. Jantung: penyakit jantung koroner angina<br />b. Hipertropi ventrikel kiri (kelainan anatomis)<br />c. Decompensasi cordis (kelainan fungsi)<br />d. Otak: perdarahan otak/stroke<br />e. Infark cerebri<br />f. Perubahan patologis ginjal<br />g. Pembuluh darah perifer<br />h. Retina: pecah pembuluh darah retina.<br /><br /><br />B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN<br />1. Pengkajian<br />a. Pola persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan.<br />• Kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung garam berlebihan, lemak, dan gorengan.<br />• Kebiasaan merokok: jenis, jumlah yang dihabiskan dalam sehari, cara menghisap.<br />• Kebiasaan mengkonsumsi alkohol<br />• Kebiasaan olah raga: bentuk, jenis, frekuensi, dan lamanyan melakukan aktivitas.<br />• Pengelolaan stres dalam menghadapi masalah.<br />• Pemahaman dan pengetahuan pasien tentang penyakit.<br />• Lingkungan rumah dan sekitar yang mendukung adanya stres.<br />b. Pola nutrisi metabolik.<br />• Mengkonsumsi makanan yang berlemak, asinan, dan gorengan.<br />• Peningkatan berat badan yang tidak seimbang dengan tinggi badan dan umur.<br />• Epitaksis<br />• Banyak keringat<br />• Mual, muntah<br />• Edema<br />c. Pola eliminasi<br />Pola b.a.k (teratur atau tidak, warna, frekuensi, nyeri, tahanan/mengejan). Pola b.a.b (teratur/tidak, frekuensi, warna, bau, nyeri, mengejan).<br />d. Pola aktivitas dan latihan.<br />• Rasa tidak enak badan, lemas, cepat lelah sebelu/sesudah aktivitas.<br />• Bedrest<br />• Denyut jantung cepat dan lemah<br />• Pernapasan cepat, dangkal, dalam<br />• Tekanan darah tinggi.<br />e. Persepsi kognitif dan sensorik.<br />• Nyeri kepala, pusing: lama, intensitas, frekuensi, dan cara mengatasi, ke mana mencari bantuan, menolong/tidak.<br />• Nyeri atau kabur pada mata.<br />f. Pola reproduksi dan seksualitas.<br />Apakah memakai kontrasepsi oral.<br />g. Pola mekanisme coping dan toleransi terhadap stres.<br />Cara mengatasi permasalahan dalam sehari – hari.<br /><br /><br /><br />2. Diagnosa Keperawatan<br />1. Kecemasan yang berhubungan dengan gejala yang ada, kemungkinan cacat berat, meninggal dunia, lingkungan baru.<br />2. Sakit kepala yang berhubungan dengan peninggian tekanan pembuluh darah otak.<br />3. Gangguan perfusi jaringan: sistemik yang berhubungan dengan peningkatan tahanan pembuluh darah perifer.<br />4. Gangguan persepsi sensorik penglihatan yang berhubungan dengan perubahan retina (karena penurunan aliran darah ke otak, spasme arterial retina dan efek hipertensi terhadap pembuluh darah retina).<br />5. Tidak toleransi dalam beraktivitas yang berhubungan dengan menurunnya oksigen jaringan (karena perfusi jaringan yang tidak adekuat).<br />6. Ketidakmampuan merawat diri yang berhubungan dengan tidak toleransi dalam beraktivitas.<br />7. Kurang pengetahuan pasien tentang proses penyakit hipertensi, pengobatan, efek samping obat, prinsip pengontrolan diet, dan komplikasi.<br />8. Kerusakan fisik yang berhubungan dengan proses penyakit dan komplikasi: iskemia otak atau ensefalopati hipertensi.<br />9. Kerusakan fisik yang berhubungan dengan komplikasi iskemia jantung.<br /><br /><br />3. Perencanaan.<br />1. Kecemasan yang berhubungan dengan gejala yang ada, kemungkinan cacat berat, meninggal dunia, lingkungan baru.<br />Hasil yang diharapkan:<br />Pasien akan mengalami penurunan kecemasan yang ditandai dengan:<br />• Pergerakkan tubuh dan ekspresi wajah rileks.<br />• Pernyataan rasa takut/cemas berkurang.<br />• Mengatakan mengerti tentang kegiatan rutin rumah sakit.<br /><br />Rencana Tindakkan:<br />a. Kaji tingkat dari tanda fisik dan ungkapan verbal.<br />b. Kaji kemampuan coping yang efektif.<br />c. Bina hubungan saling percaya dengan pasien dan keluarga.<br />d. Dengarkan dan beri kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan perasaannya.<br />e. Beri penjelasan yang dibutuhkan pasien tentang apa yang diperlukan serta orientasikan dengan lingkungan.<br />f. Anjurkan kepada keluarga untuk memberi dukungan kepada pasien.<br />g. Ciptakan lingkungan yang tenang.<br />h. Infirmasikan kepada pasien tentang tanda dan gejala yang dialami seperti: sakit kepala, pusing, mual, muntah, ketenganan akan teratasi bila tekanan darah terkontrol.<br />i. Beri dukungan terhadap kemampuan penyesuaian yang efektif.<br />j. K/P. kolaborasi dengan tenaga medik.<br />2. Sakit kepala yang berhubungan dengan peninggian tekanan pembuluh darah otak.<br />Hasil yang diharapkan:<br />• Pasien mengungkapkan sakit kepala berkurang / hi-lang.<br />• Tekanan darah dalam batas normal.<br />• Ekspresi wajah rileks.<br />• Partisipasi dalam beraktivitas.<br /><br />Rencana Tindakan:<br />a. Kaji tanda verbal dan non verbal terhadap sakit kepala: jenis, lokasi, intensitas waktu.<br />b. Bantu pasien dalam upaya mengurangi rasa sakit kepala dengan:<br />• Tirah baring<br />• Hindari perubahan posisi secara mendadak<br />• Ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman<br />• Ajarkan teknik relaksasi<br />c. Kaji keluhan pasien<br />d. Observasi tanda – tanda vital: tekanan darah.<br />e. Beri obat anti hipertensi sesuai dengan program medik.<br /><br />3. Perubahan perfusi jaringan: sistemik yang berhubungan dengan peningkatan tahanan pembuluh darah perifer.<br />Hasil yang diharapkan:<br />Pasien akan memelihara perfusi jaringan sistemik secara adekuat yang ditandai dengan:<br />• Tekanan darah dan nadi berkurang sampai normal.<br />• Pernapasan 16 – 20 kali per menit.<br />• Kulit hangat dan warna kulit normal<br />• Nadi periferteraba<br />• Waktu capillary refill kurang dari 3 detik<br />• Pengeluaran urine di atas 30 cc/jam.<br /><br />Rencana Tindakkan:<br />a. Monitor dan lapor gejala penurunan perfusi jaringan sistemik seperti: peningkatan tensi, HR, gelisah, bingung, pucat, cyanosis.<br />b. Lakukan cara – cara untuk mengurangi tahanan pembuluh darah dan tingkatkan perfusi sistemik: pemberian obat anti hipertensi sesuai dengan program medik, lakukan cara – cara untuk mengurangi rangsangan simpatis, yaitu:<br />• Tindakkan untuk mengurangi rasa cemas<br />• Tindakkan untuk meningkatkan rasa nyaman<br />• Tindakkan untuk meningkatkat pemenuhan kebutuhan istirahat<br />• Batasi makanan dan cairan yang mengandung kopi, teh, coklat<br />c. Batasi garam, lemak, dan kolesterol sesuai diet.<br />d. Ukur dan catat cairan yang masuk dan keluar setiap jam.<br />e. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian: obat – obatan anti hipertensi, anti diuretika.<br /><br />4. Gangguan persepsi sensorik: penglihatan yang berhubungan dengan perubahan retina.<br />Hasil yang diharapkan:<br />Pasien tidak menunjukkan gangguan penglihatan yang semakin buruk dan terhindar dari kecelakaan akibat gangguan penglihatan.<br /><br />Rencana Tindakkan:<br />a. Kaji penglihatan pasien dengan pemeriksaan bagian fundus mata, apakah ada kerusakkan vaskuler retina seperti:<br />• Perdarahan retina<br />• Eksudat pada retina<br />• Edema palpebra<br />b. Pantau gejala – gejala antara lain penglihatan yang kabur, kebutaan setengah/total, informasikan bila penglihatan makin memburuk<br />c. Observasi tekanan darah<br />d. Bila penglihatan pasien terganggu:<br />• Orientasikan pada lingkungan sekitarnya<br />• Pasang pagar tempat tidur, penerangan cukup, dekatkan bel<br />• Letakkan barang – barang kebutuhan pasien di tempat yang terjangkau<br />• Bantu pasien dalam pemenuhan kebutuhan sehari - hari<br />e. Laksanakan program medik: pemberian obat anti hipertensi dan pantau efeknya.<br />5. Tidak toleransi dalam beraktivitas yang berhubungan dengan menurunnya oksigenisasi jaringan.<br />Hasil yang diharapkan:<br />• Tidak menunjukkan tanda – tanda kelelahan dan lemah<br />• Toleransi dalam beraktivitas meningkat<br />• Pasien dapat melakukan aktivitas tanpa disertai sesak napas<br /><br />Rencana Tindakkan:<br />a. Jelaskan kepada pasien pentingnya istirahat<br />b. Batasi aktivitas<br />c. Batasi jumlah dan waktu kunjungan<br />d. Bantu pasien dalam perawatan diri yang dibutuhkan<br />e. Tingkatkan pemasukkan nutrisi yang optimal<br />f. Pantau adanya tanda – tanda toleransi terhadap aktivitas, seperti: pasien tidak menunjukkan kelelahan/kelemahan, senang melakukan aktivitas, tekanan darah dalam batas – batas yang sesuai dengan keadaan pasien.<br />g. Tingkatkan aktivitas secara bertahap<br />h. Kaji toleransi pasien terhadap peningkatan aktivitas dan gunakan tanda dan gejala sebagai indikator adanya aktivitas yang berlebihan, seperti:<br />• Nadi meningkat lebih dari 20 kali permenit<br />• Meningkatnya tekanan darah, tekanan sistolik di atas 40 mmHg atau diastolik di atas 20 mmHg<br />• Dyspnea atau nyeri dada<br />• Pusing atau sinkop<br />• Banyak keringat<br />i. Anjurkan pasien untuk menghentikan semua aktivitas yang menyebabkan nyeri dada, pusing, sesak napas<br />j. Laksanakan program medik: pemberian obat anti hipertensi dan awasi efek sampingnya.<br /><br />6. Ketidakmampuan merawat diri yang berhubungan dengan tidak toleransi dalam beraktivitas.<br />Hasil yang diharapka:<br />Pasien menunjukkan partisipasi dalam perawatan dirinya.<br /><br />Rencana Tindakkan:<br />a. Kaji faktor yang menyebabkan pasien tidak mampu melakukan perawatan diri: kelemahan, kelelahan, pusing, gangguan penglihatan.<br />b. Diskusikan kepada pasien tentang rencana untuk memenuhi kebutuhan fisik sehari – hari<br />c. Motivasi pasien terhadap aktivitas perawatan dirinya<br />d. Berikan waktu yang adekuat untuk membantu pasien memenuhi aktivitas perawatan dirinya<br />e. Berikan umpan balik yang positif terhadap semua yang dicapai dalam memenuhi aktivitas perawatan dirinya<br />f. Jelaskan kepada keluarga pentingnya memberi motivasi kepada pasien untuk mempertahankan kemandirian secara optimal dengan melakukan aktivitas yang dapat ditoleransinya.<br /><br />7. Kurang pengetahuan pasien tentang proses penyakit hipertensi, pengobatan, efek samping obat, prinsip pengontrolan diet, dan komplikasi.<br />Hasil yang diharapkan:<br />• Pasien mengungkapkan pengertian tentang proses penyakit hipertensi dan efek fisiologisnya.<br />• Pasien menunjukkan kemampuan mengatur diet sesuai dengan instruksi tim gizi.<br />• Pasien menunjukkan perilaku yang menunjang pengobatan dan pengontrolan efek penyakit.<br /><br /><br />Rencana Tindakkan:<br />a. Kaji tingkat pengetahuan pasien tentang proses penyakit hipertensi, pengobatan, efek samping obat, prinsip pengontrolan diet, dan komplikasi.<br />b. Beri penjelasan mengenai hipertensi dan efek fisiologisnya.<br />c. Informasikan tentang faktor resiko yang perlu dihindari yaitu: obesitas, kurang aktivitas fisik, pemasukkan lemak jenuh, stres. Aktivitas untuk mengurangi stres antara lain: mendengarkan musik, jalan – jalan, mengungkapkan perasaannya, melakukan teknik relaksasi.<br />d. Jelaskan obat – obata yang diberikan: nama obat, kerja obat, dosis obat, dan efek samping.<br />e. Ajarkan pasien memantau tekanan darahnya (bila mempunyai tensimeter)<br />f. Beri dukungan pada pasien dan keluarga dalam menyesuaikan diri pada penanganan jangka panjang dan dalam kesediaannya untuk melaporkan bila ada gejala seperti: sakit dada, sulit bernapas, sakit kepala, kelemahan otot, peningkatan tekanan darah secara tiba – tiba, perubahan penglihatan<br /><br />8. Kerusakan fisik yang berhubungan dengan proses penyakit dan komplikasi iskemia otak/ensefalopati, hipertensi.<br />Hasil yang diharapkan:<br />Pasien akan mempertahankan aliran darah otak yang adekuat yang ditandai dengan:<br />• Tidak pusing/sinkop<br />• Tidak sakit kepala<br />• Tidak mual, muntah<br />• Orientasi dan kesadaran baik<br />• Reaksi pupil dan cahaya normal<br />• Fungsi motorik dan sensorik normal.<br />Rencana Tindakkan:<br />a. observasi tanda – tanda vital dan tingkat kesadaran pasien<br />b. pantau dan laporkan tanda dan gejala edema serta iskemia otak seperti: pusing, penglihatan kabur, sakit kepala, mual dan muntah, menurunnya kesadaran, parestesi, kelemahan otot, paralisis, kejang.<br />c. Lakukan cara – cara untuk mencegah peningkatan tekanan intrakranial:<br />• Tirah baring, hindari merubah posisi secara tiba – tiba<br />• Lakukan tindakkan untuk mengurangi kecemasan<br />• Cegah konstipasi dengan cara: diet tinggi serat, buah – buahan/sayuran, pemasukkan cairan maksimal bila tidak ada kontra indikasi.<br />• Atur posisi kepala dan leher dengan tepat.<br />• Pantau efek dari terapi obat vasodilator.<br />d. Bila tanda dan gejala edema otak/iskemia otak terjadi:<br />• Lanjutkan tindakkan di atas<br />• Posisi kepala ditinggikan 20 – 30 derajat<br />• Pantau dan informasikan ke dokter bila gejala dan tanda makin memburuk<br />• Pasang pengaman tempat tidur<br />• Patau efek terapi diuretika dan corticos-teroid.<br /><br />BAB III<br />PEMBAHASAN KASUS<br /><br /><br /> Setelah mempelajari teori tentang “Keperawatan Pada Pasien Dengan Hipertensi”, serta membandingkannya dengan kasus nyata yang pernah penulis temukan, maka penulis mencoba membuat suatu pembahasan yang penulis lihat dari segi kesesuaian antara teori dan kasus nyata dari adanya pengkajian, tanda gejala sampai dengan evaluasi.<br /> Perbedaan yang timbul antara teori dan kasus nyata merupakan hal yang umum. Tidak semua gejala yang ada dalam teori dirasakan oleh pasien, seperti yang terjadi pada kasus yang pernah penulis temukan, dimana penulis menemukan tanda dan gejala yang timbul seperti sakit kepala, mata kabur, tegang tengkuk, palpitasi, gelisah. Sehingga berdasarkan literatur yang penulis baca, penyakit hipertensi pada pasien termasuk dalam golongan Pre hipertensi di mana tekanan disistoliknya antara 120-139 mmHg.<br />Dilihat dari faktor pencetus dari hipertensi yang diderita oleh pasien yang pernah saya temukan adalah kebiasaan mengkonsumsi makanan yang asin, berlemak, kebiasaan merokok (18 batang/hari), sedangkan faktor keturunan bukan merupakan faktor utama tetapi merupakan faktor pendukung.<br /> Tidak semua diagnosa keparawatan yang ada dalam BAB Tinjauan Teoritis diaplikasikan oleh penulis. Pada saat pengkajian penulis hanya mangangkat masalah berdasarkan data dan masalah pasien. Salah satu diagnosa keperawatan yang muncul adalah ketidakpatuhan terhadap pengontrolan diet, pegobatan yang berhubungan dengan kurangnya motivasi diri. Penulis menganggap bahwa hal ini perlu karena bila pasien tidak mempunyai motivasi dalam mematuhi diet, maka segala tindakkan yang dilakukan oleh perawat akan sia-sia. Untuk itu perawat perlu meningkatkan motivasi pasien dalam mengikuti program diet yang ada.<br />Di dalam penegakkan rencana tindakkan, perawat perlu mengikutsertakan pasien karena hal ini sangat bergantung pada pasien itu sendiri.<br />BAB IV<br />KESIMPULAN<br /><br />Setelah mempelajari teori kasus tentang hipertensi, penulis memberikan intisari bahwa pengontrolan terhadap tekanan darah sangatlah penting karena bila tekanan darah terus naik, maka akan memberi dampak kepada kerja jantung sehingga jantung harus bekerja lebih berat, dan dapat pula terjadi berbagai macam komplikasi terhadap jantung itu sendiri maupun pada organ lain, seperti angina pectoris, iskemia jantung, stroke/cerebro vasculer disease.<br />Penyakit ini dapat dicegah sedini mungkin dengan cara makan makanan yang bebas garam, berhenti mengkonsumsi makanan yang berlemak, menurunkan berat badan (bagi yang berat badannya berlebih), peningkatan kegiatan olah raga sebagai program kesehatan jasmani.<br />Keberhasilan pengobatan penyakit ini sangat bergantung pada motivasi dari pasien sendiri dalam merubah gaya hidup, dan kebiasaan yang kurang baik di samping support dari keluarga.<br />Peran perawat dalam meningkatkan kesehatan pasien sangat dibutuhkan terutama dalam hal penyuluhan, pendidikan kesehatan, serta pentingnya persiapan perawatan di rumah. Perawat perlu bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain sehingga dapat mencapai suatu kesinambungan kesehatan yang sangat diperlukan bagi masa depan pasien.<br /><br /><br /><br />BAB III<br />PENGAMATAN KASUS<br /><br /><br /> Pasien Tn. B. (48 tahun), seorang bapak dengan 5 orang anak. Pasien menderita hipertensi sejak 4 tahun yang lalu. Tensi tertinggi 270/130 mmHg, terendah 170/110 mmHg. Pasien mengatakan, sejak seminggu yang lalu sakit kepala menjalar sampai ke tengkuk dan terasa tegang. Intensitasnya antara 3 – 4. Pasien langsung berobat ke dokter praktek, tensi 270/130 mmHg dan diberi obat Adalat 1 tablet. Karena pasien tambah lemas akhirnya dibawa ke RS Sint Carolus melalui UGD dan dianjurkan untuk dirawat. Kajian keperawatan secara lengkap dapat dilihat pada kajian keperawatan sampai dengan evaluasi.<br /><br /><br />9. Kerusakkan fisik yang berhubungan dengan komplikasi iskemia jantung: angina/miokard infark.<br />Hasil yang diharapkan:<br />Pasien tidak menunjukkan iskemia miokardial yang ditandai dengan:<br />• Tidak ada nyeri<br />• Pernapasan 16 – 20 kali per menit<br />• Enzim jantung dalam batas normal<br />• EKG normal<br />Rencana Tindakkan:<br />a. Observasi tanda – tanda vital dan pantau tanda dan gejala iskemia miokardial seperti:<br />• Nyeri dada yang tiba – tiba<br />• Dyspnea<br />• Mual dan muntah<br />b. Lakukan tindakkan untuk mencegah iskemia miokardial<br />c. Terapkan cara – cara untuk mengurangi tekanan pembuluh darah dan tingkatkan perfusi jaringan sistemik dengan cara:<br />• Kurangi tahanan vaskuler dan kontrol tekanan darah<br />• Kurangi kerja jantung<br />• Beri terapi oksigen sesuai program medik<br />• Beri posisi setengah duduk<br />• Beri makan dalam porsi kecil tapi sering.<br />d. Kolaborasi dengan dokter bila diperlukan EKG dan pemeriksaan enzim jantung.<br /><br /><br /><br />DAFTAR KEPUSTAKAAN<br /><br /><br />Capernito, Lynda Juall. 1998. Diagnosa Keperawatan. Edisi 6. Alih Bahasa Yasmin Asih, SKp. Jakarta: EGC.<br /><br />Daftar Obat Indonesia. Edisi 8. (1994). Jakarta: Penerbit Grafoka Jaya.<br /><br />MIMS Indonesia. (1998). Jakarta: Medi Media.<br /><br />Rahayu, Lebi Sri dan Ahmad Faridisi. 1999. Didnakes. Edisi 30. Jakarta:<br /><br />Soeparman dan Sarwono Waspadji. 1990. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I dan II. Jakarta: FKUI.<br /><br />Sistem Cardiovasculer Hipertensi. Seri VI. (1996). Jakarta: Panitia S.A.K. Komisi PK. Sint Carolus.</div>UUNhttp://www.blogger.com/profile/03809401118170400297noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5128503638995547949.post-81565675770946459002008-05-18T06:39:00.001-07:002008-05-18T06:41:17.804-07:00CVA-CVD<div align="center"><strong>BAB I<br />PENDAHULUAN</strong></div><br /><div align="justify"><br /><br />A. LATAR BELAKANG<br /> Cerebrovascular Accident (CVA) adalah penyakit yang paling umum dijumpai pada sistem persyarafan. Seiring dengan meningkatnya tingkat sosial ekonomi kejadian cerebrovascular accident pun menempatkan diri sebagai salah satu penyebab kematian yang harus diwaspadai. Usaha untuk meminimalkan dampak dari gejala sisa yang ditimbulkannya pun memerlukan perhatian khusus. Selain itu dibutuhkan kesabaran, ketekunan, dan kerjasama yang baik dan berkesinambungan antara pasien, keluarga dan tenaga kesehatan untuk mengoptimalkan tingkat keberdayaan pasien paska CVA dalam menjalani rehabilitasinya.<br /><br />B. TUJUAN<br /> Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memperoleh pengalaman nyata dalam merawat pasien dengan cerebrovascular accident di ruang perawatan unit Carolus sesuai dengan konsep dasar keperawatan yang telah diperoleh dari perkuliahan serta .<br /><br />C. METODA PENULISAN<br /> Metoda penulisan yang dipakai dalam penyusunan makalah ini adalah dengan mempelajari literatur-literatur yang tersedia, diskusi-diskusi kelompok, serta perawatan dan pengamatan langsung pada pasien dengan CVA di unit keperawatan Carolus.<br /><br />D. SISTEMATIKA PENULISAN<br /> Penyusunan dimulai dengan Bab I pendahuluan yang berisi tentang latar belakang, tujuan, metoda penulisan, dan sistematika penulisan. Pada bab II diuraikan teori serta tentang konsep dasar cerebrovascular accident, terapi medik, dan asuhan keperawatannya. Bab III merupakan pengamatan kasus langsung. Bab IV adalah pembahasan kasus CVA dengan membandingkan antara teori dasar dengan pelaksanaan asuhan keperawatan pada kasus nyata. Bab V merupakan kesimpulan dari seluruh materi yang dibahas dari awal penyusunan hingga akhir.<br />BAB II<br />KONSEP DASAR<br /><br />A. DEFINISI<br />Cerebrovascular accident (CVA) adalah suatu abnormalitas struktural atau fungsional otak yang diakibatkan oleh interupsi suplai darah dari pembuluh yang menuju ke otak.<br /><br />B. ANATOMI FISIOLOGI<br />Pada pembahasan CVA anatomi fisiologi yang dibahas ditekankan kepada struktur dan fungsi saraf pusat (otak, spinal cord, dan bagian-bagiannya).<br />Otak dibagi menjadi lima bagian utama (S. A. Price, L. A. Wilson. Patofisiologi, Konsep klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 4, EGC, Jakarta, 1995, hlm.902) :<br />1. Telensefalon (endbrain)<br />Hemisfer serebri:<br />a. Korteks serebri<br />b. Rinensefalon : sistem limbik<br />c. Basal Ganglia<br />1) Nukleus kaudatus<br />2) Nukleus lentikularis (putamen, globus palidus)<br />3) Klaustrum<br />4) Amigdala<br />2. Diensefalon (interbrain)<br />a. Epitalamus<br />b. Talamus<br />c. Subtalamus<br />e. Hipotalamus<br />3. Mesensefalon (midbrain)<br />a. Korpora kuadrigemina<br />1) Kolikulus superior<br />2) Kolikulus inferior<br />b. Tegmentum<br />1) Nukleus ruber<br />2) Substantia nigra<br />c. Pedinkulus serebri<br />4. Metensefalon (afterbrain)<br />a. Pons<br />b. Serebelum<br />5. Mielensefalon (narrowbrain)<br />Medula oblongata<br />*) Otak depan = telensefalon + diensefalon<br /> Otak belakang = metensefalon + mielensefalon<br /> Otak dan medula spinalis dilindungi oleh tulang tengkorak, tulang belakang, dan oleh tiga jaringan penyambung yaitu pia mater, araknoid, dan dura mater. Masing-masing merupakan lapisan yang terpisah dan kontinyu<br /> Pia mater berhubungan langsung dengan otak dan jaringan spinal, dan mengikuti kontur struktur eksternal otak dan jaringan spinal. Pia mater merupakan jaringan vaskular dimana pembuluh-pembuluh darahnya berjalan menuju struktur dalam susunan saraf pusat (SSP) untuk memberikan nutrisi kepada jaringan saraf.<br /> Araknoid adalah membran fibrosa tipis, halus, dan avaskular. Diantara araknoid dan pia mater terdapat rongga subaraknoid di mana terdapat arteria, vena serebral dan trabekula araknoid, dan cairan serebrospinal yang membasahi SSP.<br /> Dura mater merupakan suatu jaringan liat, tidak elastis, dan mirip kulit sapi yang melekat pada bagian dalam tulang tengkorak.<br />SUPLAI DARAH OTAK DAN MEDULA SPINALIS<br /> Suplai darah dijamin oleh dua pasang arteria yaitu arteria vertebralis dan arteria karotis interna yang cabang-cabangnya beranostomosis membentuk sirkulus arteriosus serebri Willis. Aliran vena otak tak selalu paralel dengan suplai darah arteria. Pembuluh vena meninggalkan otak melalui melalui sinus dura yang besar dan kembali ke sirkulasi umum melalui vena jugularis interna.<br />Suplai Darah Dari Arteria Karotis:<br />· Arteria karotis eksterna bercabang ke arteria meningea media memperdarahi wajah dan salah satu cabangnya ke dura mater.<br />· Arteria karotis interna bercabang ke arteria serebri media masuk ke rongga sub araknoid dan arteria oftalmika yang memperdarahi mata<br />· Arteria serebri anterior memberi suplai darah ke struktur-struktur seperti nukleus kaudatus dan putamen basal ganglia, bagian-bagian kapsula interna dan korpus kalosum, bagian-bagian lobus frontalis dan parietalis serebri termasuk korteks somestetik dan korteks motorik. Bial arteria serebri anterior mengalami sumbatan pada cabang utamanya maka akan terjadi hemiplegia kontralateral yang lebih berat pada kaki dari pada lengan.<br />· Arteria serebri media mensuplai darah untuk bagian lobus temporalis, parietalis, dan frontalis korteks serebri. Korteks auditorius, somestetik, motorik, dan pra motorik disuplai oleh arteria ini<br />Suplai Darah Dari Arteria Vertebrobasilaris<br /> Arteria vertebralis kiri dan kanan berasal dari arteria subklavia sisi yang sama. Arteria vertebralis masuk rongga tengkorak melalui foramen magnum. Keduanya bersatu membentuk arteria basilaris. Setelah naik ke atas lalu mensuplai darah pada medula oblongata, pons, serebelum, otak tengah dan sebagian diensefalon, sebagian lobus oksipitallis dan temporalis, aparatus koklearis, dan vestibular.<br />Arteria-Arteria Konduksi Penembus<br /> Pada umumnya arteria-arteria serebri mempunyai fungsi konduksi atau penembus. Arteria konduksi (a. karotis interna, serebri interior, media dan posterior; arteria vertebro-basilaris; dan cabang-cabang utama di arteri ini) membentuk suatu jalinan pembuluh yang luas yang meliputi permukaan otak<br />FUNGSI-FUNGSI<br />1. Korteks Serebri<br />· Korteks motorik primer: Mengontrol gerakan volunter otot rangka pada sisi kolateral, terdapat gambaran proyeksi motorik dari berbagai bagian tubuh (homunculus motorik). Lesi pada daerah ini dapat menyebabkan gangguan respon motorik kontralateral<br />· Korteks sensorik primer: Penerima sensasi umum, menerima impuls sensori dari kulit, otot sendi, tendo di sisi kolateral. Terdapat homunkulus sensorik yang merupakan proyeksi sensorik kolateral. Lesi pada bagian ini menyebabkan gangguan sensasi kolateral.<br />· Korteks visual primer: Lesi pada bagian ini menyebabkan gangguan lapangan pandang dan halusinasi visual.<br />· Korteks auditorik primer: Lesi pada bagian ini dapat menyebabkan gangguan pendengaran.<br />· Area penciuman/penghidu: Sebagai sensor penciuman. Lesi pada bagian ini menyebabkan ketidak mampuan menghidu (anosmia) dan halusinasi olfaktoris.<br />· Area Asosiasi: Sebagai kontrol aktivitas mental tinggi misalnya berbicara dan menulis. Kerusakan pada bagian ini akan menimbulkan ganggguan sesuai dengan tempat kerusakan.<br />2. Basal Ganglia<br />· Mengkordinasi gerakan agar menjadi lembut, luwes, indah, mantap, tepat, lambat.<br />· Bekerja sebelum gerakan dimulai dengan mengatur dan merencanakan sebagai konversi dari pikiran sehingga menjadi gerakan yang disalurkan melalui talamus ke korteks.<br />· Lesi pada daerah ini dapat menimbulkan gangguan fungsi motorik hipo/hiper kinetik dalam bentuk diskinesia, tardive diskinesia, akathisia.<br />3. Rinensefalon<br />· Mengendalikan perilaku makan. Bersama dengan talamus mengendalikan perilaku seksual, emosi, dan motivasi<br />· Efek otonomi, pengendalian tekanan darah dan pernafasan. Mengatur gerakan menelan, menjilat dan lai-lain<br />4. Talamus<br />· Terminal akhir pengiriman impuls sensorik untuk kemudian dipahami, pengaturan suasana perasaan, dan pusat awas waspada<br />· Kenaikan aktivitas impuls ke talamus menyebabkan tidak mengantuk, apabila aktivitas impuls menurun maka rasa mengantuk segera timbul, bahkan jika terjadi total blok impuls dapat jatuh ke keadaan koma.<br />5. Hipotalamus<br />· Kordinasi dan integrasi susunan saraf otonom seperti irama jantung, vasomotor, termoregulator, peristaltik usus dan lambung<br />· Memproduksi releasing hormon<br />· Pengaturan lapar dan haus, kontraksi kandung kemih, dan tekanan darah<br />6. Otak Tengah<br />Pusat refleks penting untuk visual dan auditorik, keseimbangan dan gerakan mata, saraf kranial III dan IV<br />7. Pons<br />Tempat saraf kranial nomor VI, VII, II, vestibularis, dan koklearis. Lesi di bagian ini dapat menimbulkan hemiplegia<br />8. Medula oblongata<br />Pusat pengaturan gerak, pengukuran jarak, arah gerak, sikap tubuh, pengendalian gerak<br /><br />TABEL RINGKASAN FUNGSI-FUNGSI SARAF KRANIAL<br /><br />Saraf Kranial<br />Komponen<br />Fungsi<br />I<br />Olfaktorius<br />Sensorik<br />Penciuman / penghiduan<br />II<br />Optikus<br />Sensorik<br />Penglihatan<br />III<br />Okulomotorius<br />Motorik<br />Mengangkat kelopak mata<br />Konstriksi pupil<br />Sebagian besar gerakan ekstraokular<br />IV<br />Troklearis<br />Motorik<br />Gerakan mata ke bawah dan ke dalam<br />VI<br />Abdusens<br />Motorik<br />Deviasi mata ke lateral<br />V<br />Trigeminus<br />Motorik<br />Otot temporalis dan maseter; gerakan rahang ke lateral<br /><br /><br />Sensorik<br />Kulit wajah, 2/3 depan kulit kepala; mukosa mata; mukosa hidung dan rongga mulut, lidah dan gigi<br />Refleks kornea atau refleks mengedip; komponen sensorik dibawa oleh saraf kranial V, respon motorik melalui saraf kranial VII<br />VII<br />Fasialis<br />Motorik<br />Otot-otot ekspresi wajah termasuk otot dahi, sekeliling mata serta mulut<br />Lakrimasi dan salivasi<br /><br /><br />Sensorik<br />Pengecapan duapertiga depan lidah (manis, asam, asin)<br />VIII<br />Vestibulo-koklearis<br /><br />- Vestibularis<br />Sensorik<br />Keseimbangan<br /><br />- Koklearis<br />Sensorik<br />Pendengaran<br />IX<br />Glosofaringeus<br />Motorik<br />Faring: menelan, refleks muntah<br />Parotis; salivasi<br /><br /><br />Sensorik<br />Faring, lidah posterior, termasuk rasa pahit<br />X<br />Vagus<br />Motorik<br />Faring, laring: menelan, refleks muntah, fonasi; visera abdomen<br /><br /><br />Sensorik<br />Faring, laring: refleks muntah; visera leher, toraks, dan abdomen<br />XI<br />Asesorius<br />Motorik<br />Otot sternokleidomastoideus dan bagian atas otot trapezius; pergerakan kepala dan bahu<br />XII<br />Hipoglosus<br />Motorik<br />Pergerakan lidah<br />C. ETIOLOGI<br />1. Trombus<br />a. Atherosclerosis arteri intra/extra kranial<br />b. Penonjolan oleh perdarahan intra serebral<br />c. Arteritis karena penyakit kolagen/bakteri<br />d. Hiperkoagulasi (misalnya Polisitemia)<br />2. Emboli<br />a. Kerusakan katup o.k. penyakit jantung rematik<br />b. Infark miokard<br />c. Fibrilasi atrial<br />d. Endokarditis bakterial/non bakterial yang menyebabkan terbentuknya gumpalan di endokardium<br />3. Perdarahan<br />a. Perdarahan intraserebral o.k. hipertensi<br />b. Perdarahan subaraknoid<br />c. Ruptur aneurisma<br />d. Malformasi arterio-vena<br />e. Hipokoagulasi (diskrasia darah)<br />4. Hipoksia general<br />Hipotensi berat, henti jantung paru, depresi berat output jantung akibat disritmia<br />5. Hipoksia terlokalisir<br />a. Spasmus arteri serebral berhubungan dengan perdarahan subaraknoid.<br />b. Vasokonstriksi arteri serebral berhubungan dengan sakit kepala migrain<br /><br /><br /><br /><br /><br />D. PATOFISIOLOGI<br />Otak sangat bergantung kepada oksigen dan tidak memiliki persediaan oksigen. Dengan demikian, jika terjadi hipoksia, metabolisme serebral segera berubah, kematian sel dan kerusakan permanen dapat terjadi dalam 3 - 10 menit. Kondisi apapun yang merubah perfusi serebral akan menyebabkan hipoksia atau anoksia. Pada awalnya hipoksia menyebabkan iskemia. Iskemia jangka pendek (kurang dari 5 - 10 menit) menyebabkan defisit temporer. Iskemia jangka panjang menyebabkan kematian sel permanen dan terjadi infark serebral. Edema serebral yang menyertai dapat memperburuk defisit neurologik yang tampak pada pasien.Bagian defisit permanent dapat tidak diketahui jika pasien didapati mengalami disfungsi serebral menyeluruh (koma). Disfungsi menyeluruh dapat merupakan akibat dari iskemia menyeluruh yang berdampak pada daerah otak yang lebih luas daripada area infark dan edema serebral itu sendiri.<br />E. TANDA DAN GEJALA<br />- Perubahan tonus otot (flasid/spastik); paralisis (hemiplegia); kelemahan umum.<br />- Gangguan penglihatan; gangguan sensoris kulit, kesemutan<br />- Perubahan tingkat kesadaran.( apatis s.d. koma)<br />- Hipertensi; disritmia; perubahan EKG;<br />- Perubahan pola berkemih: inkontinen, anuria<br />- Kesulitan mengunyah dan menelan, cemas, gelisah<br />- Aphasia, kaku kuduk, perubahan reaksi pupil<br />- Pusing; mudah lelah; sulit beristirahat; tak ada nafsu makan; mual/muntah; hilang rasa pada lidah, pipi, dan tenggorokan<br />F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK<br />1. Angiografi Serebral: Menolong menentukan penyebab stroke yang lebih spesifik. Misalnya, perdarahan atau obstruksi arteria, menunjukkan tempat oklusi maupun ruptur.<br />2. Computerized Tomography Brain Scan (CT Scan): Menunjukkan adanya edema, hematoma, iskemia, dan infark. Catatan: dapat juga tidak segera menunjukkan semua perubahan.<br />3. Pungsi Lumbal: Tekanan normal, biasanya jelas pada trombosis serebral, emboli, dan TIA (transient ischemic attack). Peningkatan tekanan dan adanya darah pada cairan dapat menunjukkan adanya perdarahan sub arakniod dan intra serebral. Level protein total dapat naik pada kasus-kasus trombosis sehubungan dengan proses inflamasi.<br />4. MRI (magnetic resonance imaging): Menunjukkan area infark, perdarahan, malformasi arterio-vena<br />5. Ultrasonografi Doppler: Mengidentifikasi penyakit arterio-vena. Misalnya, Masalah pada sistem carotis (aliran darah / adanya plak atherosklerosis).<br />6. EEG (electroencephalography): Mengidentifikasi masalah berdasarkan kepada gelombang listrik otak dan dapat menunjukkan area yang spesifik dari lesi.<br />7. X-rays Tengkorak: Dapat menunjukkan pergeseran kelenjar pineal ke sisi yang lain dari massa yang berekspansi; Kalsifikasi pada carotis interna dapat terlihat pada trombosis serebral; kalsifikasi partial pada dinding pembuluh yang mengalami aneurysma dapat terlihat pada perdarahan sub araknoid.<br />G. TERAPI / PENGELOLAAN MEDIK<br />- Pemberian terapi intravena: nutrisi dan cairan<br />- Sonde Lambung: nutrisi<br />- Pemberian oksigen<br />- Antikoagulan: warfarin sodium (Coumadin); heparin, agent anti platelet; dipyridamole (Persantin)<br />- Anti fibrolitik: aminocaproic acid (Amicar)<br />- Anti hipertensif<br />- Vasodilator periferal: cyclandelate (cyclospasmol); papaverin; isoxsuprine (vasodilan)<br />- Steriod, dexamethason<br />- Phenitoin(dilantin), phenobarbital<br />- Stool softener<br />- Operasi, endartrektomi, microvascular bypass<br />- Monitor studi laboratorium: prothrombin/PTT time, Dilantin level.<br />- Muscle relaxant, anti spasmodik.<br />H. Pengkajian<br />1. Data Subyektif<br />Di bawah ini merupakan data subyektif pada pasien dengan cerebrovascular accident:<br />a. Pemahaman pasien tentang penyakit dan gejala-gejalanya<br />b. Karakteristik munculnya gejala-gejala<br />c. Adanya sakit kepala, jenis dan lokasinya<br />d. Adanya defisit sensoris<br />e. Kemampuan visual: adanya diplopia, pandangan kabur.<br />f. Kemampuan untuk berpikir dengan jernih<br />g. Gejala-gejala lain yang menyertai<br />2. Data Obyektif<br />a. Kekuatan motorik: paresis atau plegia yang biasa terjadi<br />b. Perubahan tingkat kesadaran, termasuk koma<br />c. Tanda-tanda peningkatan tekanan intra kranial<br />d. Status pernafasan<br />e. Kemampuan verbal, adanya aphasia<br /><br />I. Diagnosa keperawatan<br />1. Perubahan perfusi jaringan serebral sehubungan dengan interupsi aliran darah ke otak:<br />- gangguan oklusif<br />- Perdarahan<br />- vasospasmus serebral<br />- edema serebral<br />2. Gangguan mobilitas fisik sehubungan dengan keterlibatan neuromuskular:<br />- kelemahan, parestesia<br />- paralisis hipotonik/flaccid (awal)<br />- paralisis spastik<br />3. Gangguan komunikasi verbal dan / atau tertulis sehubungan dengan:<br />- gangguan sirkulasi serebral<br />- gangguan neuromuskular<br />- kehilangan tonu/kontrol otot wajah/mulut<br />- kelemahan secara umum / kelelahan<br />4. Perubahan persepsi sensoris sehubungan dengan:<br />- berubahnya resepsi sensoris, transmisi, integrasi (trauma atau defisit neurologik)<br />- stress psikologik (menyempitnya lapangan persepsi karena kecemasan)<br />5. Ketidak mampuan merawat diri : mandi, membersih-kan diri, bab, bak sehubungan dengan:<br />- kelemahan neuro muskuler, penurunan kekuatan dan ketahanan, hilangnya kendali dan kordinasi otot<br />- kelemahan persepsi/kognitif<br />- nyeri,ketidaknyamanan<br />- depresi<br />6. Resiko gangguan menelan sehubungan dengan kelemahan neuro muskuler<br />7. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan pengobatan/perawatan sehubungan dengan:<br />- kurang informasi<br />- keterbatasan kognitif, misinterpretasi informasi, ketidak mampuan mengingat.<br />- tidak mengetahui sumber informasi.<br />J. Prioritas dan Perencanaan<br />PRIORITAS KEPERAWATAN<br />1. Tingkatkan kecukupan perfusi serebral dan oksigenisasi<br />2. Cegah dan meminimalkan komplikasi dan ketidak mampuan permanen<br />3. Bantu pasien untuk meningkatkan kemandirian dalam aktivitas harian<br />4. Dukung proses koping dan integrasi dari perubahan ke konsep diri.<br />5. Berikan informasi tentang proses penyakit / prognosa, pengobatan/perawatan dan rehabilitasi yang dibutuhkan.<br /><br /><br /><br />PERENCANAAN<br />1. Perubahan perfusi jaringan serebral sehubungan dengan interupsi aliran darah ke otak:<br />- gangguan oklusif<br />- Perdarahan<br />- vasospasmus serebral<br />- edema serebral<br />Hasil yang diharapkan:<br />- Kesadaran, kognitif, dan fungsi motorik / sensorik membaik dan dipertahankan<br />- Menunjukkan stabilitas tanda-tanda vital dan tidak adanya tanda-tanda kenaikan tekanan intra kranial<br />Intervensi<br />Rasional<br />-Tentukan faktor2 yang berhubungan dengan situasi/penyebab indi vidual untuk koma / penurunan perfusi serebral dan potensi-al peningkatan T.I.K.<br />Mempengaruhi pilihan intervensi, perawatan di ruang umum atau di unit perawatan kritis<br />-Monitor/catat status neurologik secara berkala dan bendingkan dengan data dasar<br />Melihat trend dan potensial kenaikan TIK dan penentuan lokasi, luas, progres kerusak-an dan resolusi<br />-Monitor tanda2 vital. Mis: Hipertensi / hipotensi, denyut jantung dan irama, murmur, respirasi<br />Variabel untuk menilai faktor-faktor yang berpengaruh, TIK, dan penentuan tindakan yang akan diambil<br />-Evaluasi pupil, ukuran, bentuk, simetrisitas, dan reaksinya terhadap cahaya<br />Menilai saraf kranial II dan III, keseimbangan antara saraf simpatik dan para simpatik<br />-Catat perubahan penglihatan. Mis, kabur, lapangan persepsi pandangan dan kedalaman<br />Perubahan merefleksikan area yang otak yang terkena, penentuan keamanan, dan pilihan tindakan keperawatan<br />-Kaji fungsi-fungsi yang lebih tinggi, termasuk kemampuan wicara jika pasien sadar<br />Perubahannya merupakan indikator lokasi / tingkat kerusakan dan dapat mengindikasikan kenaikan TIK<br />-Naikkan sedikit posisi kepala dan dalam posisi netral<br />Mengurangi tekanan arteri dengan meningkatkan drainase vena dan dapat memperbaiki sirkulasi / perfusi serebral<br />-Beri tirah baring; lingkungan tenang; batasi pengunjung / aktivitas seperlunya. Beri periode istirahat antara prosedur, dan batasi lamanya prosedur<br />Stimulasi & aktivitas kontinyu dpt menaikkan TIK, istirahat dan ketenangan diperlukan untuk mencegah perdarahan ulang (pada kasus-kasus perdarahan)<br />-Cegah mengejan waktu BAB atau menahan nafas<br />Valsava maneuver menaikkan TIK potensi perdarahan ulang<br />-Kaji kaku kuduk, kejang otot, kegelisahan, iritabilitas, kejadian kejang<br />Indikator iritasi meningeal terutama pada perdarahan. Kejang menunjukkan kenaikkan TIK<br />- Kolaborasi: Suplemen oksigen, antikoagulan (tidak pada hipertensi)<br />Mengurangi hipoksemia yg dapat menyebabkan vasodilatasi serebral dan meningkatkan edema. Memperbaiki aliran darah serebral (jika trombosis)<br /><br />2. Gangguan mobilitas fisik sehubungan dengan terganggunya neuromuskular:<br />- kelemahan, parestesia<br />- paralisis hipotonik/flaccid (awal)<br />- paralisis spastik<br />Hasil yang diharapkan :<br />- Mempertahankan posisi optimal dari fungsi yang ditunjukkan dengan tidak adanya kontraktur, footdrop<br />- Mempertahankan / meningkatnya kekuatan dan fungsi pada bagian tubuh yang terkena<br />- Mendemonstrasikan tehnik / tingkah laku yang menuju kembali ke aktivitas semula<br />- Mempertahankan integritas kulit<br />Intervensi<br />Rasional<br />-Kaji kemampuan fungsional sesuai dengan kelemahan yang terjadi<br />Mengidentifikasi kemam -puan/kekurangan, me-nyediakan informasi yang sesuai, menentu-kan pemilihan inter-vensi<br />-Rubah posisi minimal tiap 2 jam<br />mengurangi resiko iskemia jaringan / kerusakan<br />-Tengkurapkan pasien 1-2 kali sehari jika pasien tolerate<br />Mempertahankan eksten-si panggul, tapi dapat meningkatkan kecemasan karen sulit bernafas<br />-Mulai aktif pasif ROM segera setelah pasien masuk RS<br />Mencegah atrofi otot, meningkatkan sirkula-si, dan mencegah kon-traktur (jangan berle-bihan à perdarahan lagi)<br />-Evaluasi kebutuhan posisi pada paralisis spastik :<br />Kontraktur fleksi terjadi karena otot fleksor lebih kuat daripada ekstensor<br />*Taruh bantal dibawah ketiak<br />Mencegah adduksi pundak dan fleksi siku<br />*Naikkan lengan dan tangan<br />Meningkatkan aliran balik dan mencegah edema<br />* Taruh benda bulat keras dalam genggaman<br />Benda keras menurunkan stimulasi fleksi jari dan tetap dalam posisi fungsional<br />*Letakkan lutut dan panggul pada posisi extensi<br />Mempertahankan posisi yang fungsional<br />*Pertahankan tungkai pada posisi netral<br />Mencegah rotasi pang-gul keluar (eksternal)<br />-Observasi bagian yang lemah: warna, edema, atau tanda lain gangguan sirkulasi<br />Jaringan edema lebih mudah cedera dan proses penyembuhannya lebih lama<br />-Kolaborasi: Kasur angin, kasur air, atau tempat tidur khusus<br />Mengurangi tekanan pada bagian yang menonjol dan mencegah kerusakan<br />-Kolaborasi: konsul fisioterapi<br />Menentukan program individual<br />-Kolaborasi: Berikan relaxant, antispasmodik, dll sesuai order<br />Diperlukan untuk menghilangkan spastisitas pada bagian yang lemah<br />3. Gangguan komunikasi verbal dan / atau tertulis sehubungan dengan:<br />- gangguan sirkulasi serebral<br />- gangguan neuromuskular<br />- kehilangan tonu/kontrol otot wajah/mulut<br />- kelemahan secara umum / kelelahan<br />Hasil yang diharapkan :<br />Intervensi<br />Rasional<br />-Kaji jenis/tingkat disfungsi, pemahaman pasien terhadap kata-kata atau sulit berbicara, bedakan aphasia dengan disartria, berikan feedback jika ada kesalahan<br />Menentukan tingkat dan area otak yang terkena. Menentukan cara berkomunikasi. Pasien kadang tidak sadar atas kesalahan verbalnya<br />-Minta pasien untuk mengikuti perintah sederhana. Mis, “tutup mata” “tunjuk pintu”, tunjuk obyek dan tanyakan namanya, minta pasien untuk mengucapkan kata sederhana “bom” top” dll<br />Menguji aphasia reseptif maupun ekspresif. Mengidentifikasi sisi / komponen mana yang mengalami kelemahan.<br />-Berikan metode alter-natif dalam berkomuni kasi. Mis, menulis, gambar. Berikan petunjuk visual (mis, bahasa tubuh, gambar)<br />Memenuhi kebutuhan komunikasi berdasarkan kebutuhan dan situasi individual<br />-Dorong keluarga / pe-ngunjung untuk terus berusaha berkomuni-kasi dengan pasien, mis, membaca surat, diskusi keluarga<br />Mengurang isolasi sosial dan meningkatkan pencapaian komunikasi yang lebih efektif<br />-Hargai kemampuan pasien sebelum sakit, jangan menjawab dengan kata-kata yang merendahkan<br />Membuat pasien merasa berharga karena kemam-puan intelektualnya masih tetap ada<br />-Kolaborasi: Konsul / rujuk ke speech terapist<br /><br /><br />4. Perubahan persepsi sensoris sehubungan dengan:<br />- berubahnya resepsi sensoris, transmisi, integrasi (trauma atau defisit neurologik)<br />- stress psikologik (menyempitnya lapangan persepsi karena kecemasan)<br />Hasil yang diharapkan :<br />- Tingkat kesadaran dan fungsi persepsi kembali / dipertahankan ke tingkat semula<br />- Mengetahui perubahan kemampuan dan adanya gejala sisa<br />- Mendemonstrasikan tingkah laku mengkompensasi / mengatasi defisit yang ada<br />Intervensi<br />Rasional<br />-Ulas patologi dari kondisi individual<br />Kewaspadaan terhadap tipe/area yang terkena membantu mengkaji kelemahan spesifik dan perencanaan intervensi<br />-Evaluasi defisit penglihatan<br />Mengganggu kemampuan pasien mengantisipasi / mengenal lingkungan dan meningkatkan resiko cedera<br />-Dekati pasien dari sisi mata yang tidak terganggu<br />Dapat mengetahui adanya orang / objek, mencegah kaget<br />-Sederhanakan ling-kungan, kurangi perlengkapan yang tidak perlu<br />Menurunkan stimulasi visual dan mengurangi kebingungan terhadap keadaan lingkungan<br />-Kaji kewaspadaan sensoris, mis: pembedaan dingin-panas, tajam-tumpul, rasa posisi, rasa sendi<br />Penurunan kemampuan sensoris dan rasa gerak mempengaruhi keseimbangan dan posisi maupun pergerakan yang tepat. Mengganggu ambulasi dan beresiko cedera<br />-Stimulasi rasa sentuh an. Mis, beri benda, genggam, latihan menyentuh dinding / sisi tempat tidur<br />Membantu retraining jalur sensoris dan integrasi respsi dan interpretasi dari stimulus<br />-Lindungi terhadap suhu ekstrim, kaji bahaya lingkungan, anjurkan mengetes air hangat dengan bagian yang sehat<br />Meningkatkan keamanan, mernurunkan resiko cedera<br />-Reorientasikan pasien secara berkala terhadap lingkungan, staf, dan prosedur<br />Membantu pasien dalam mengidentifikasi tidak konsistensinya resepsi dan integrasi dari stimulus. Mengurangi distorsi persepsi terhadap realitas<br />5. Ketidak mampuan merawat diri : mandi, membersihkan diri, b.a.b., b.a.k. sehubungan dengan:<br />- kelemahan neuro muskuler, penurunan kekuatan dan ketahanan, hilangnya kendali dan kordinasi otot<br />- kelemahan persepsi/kognitif<br />- nyeri,ketidaknyamanan<br />- depresi<br />Hasil yang diharapkan :<br />- Dapat mendemonstrasikan tehnik/perubahan gaya hidup untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri<br />- Mampu melaksanakan aktivitas perawatan diri sesuai dengan tingkat kemampuannya<br />- Dapat mengidentifikasi sumber-sumber yang dapat memberikan bantuan yang diperlukan<br />Intervensi<br />Rasional<br />-Kaji kemampuan dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari<br />Membantu perencanaan / mengantisipasi pemenuhan kebutuhan individu<br />-Hindari melakukan hal-hal yang bisa dilakukan pasien, berikan bantuan seperlunya<br />Mencegah dependensi, mempercepat kembalinya kemampuan dan percaya diri<br />-Pertahankan sikap mendukung. Beri cukup waktu bagi pasien untuk menyelesaikan tugasnya<br />Pasien membutuhkan empati tetapi harus mengetahui bahwa pera wat akan tetap konsis-ten dalam membantu<br />-Berikan feedback positif terhadap usaha dan keberhasilan<br />Menambah rasa mampu, kemandirian, dan mendorong pasien untuk terus berusaha<br />-Gunakan alat yg dimo-difikasi. Mis, garpu, sikat gigi panjang, bangku mandi, dll<br />Memampukan pasien untuk pengelolaan diri, kemandirian, dan percaya diri<br />-Kaji kemampuan pasien untuk mengutarakan kebutuhannya dalam menggunakan urinal, bedpan. Antar pasien ke kamar mandi secara periodik untuk melatih eliminasi<br />Ada gangguan neurogenik kandung kemih kadang tak mampu mengutarakn kebutuhan berkemih. Tapi pada perkembangan penyembuhan biasanya kembali seperti semula<br />-Identifikasi kebiasa-an eliminasi sebelum-nya dan mengupayakan kebiasaan normal. Berikan diit rendah serat, banyak minum, tingkatkan aktivitas<br />Membantu retraining dan kemandirian, mencegah konstipasi dan impaksi faeces<br />-Kolaborasi: beri supositoria / pelembek tinja<br />Dapat diperlukan pada awal latihan retraining<br />-Kolaborasi: Konsultasi dengan fisioterapis, okupasional terapis<br />Memberikan bantuan ah-li dalam mengembangkan rencana dan menentukan alat yang diperlukan<br /><br /><br />6. Resiko gangguan menelan sehubungan dengan kelemahan neuro muskuler<br />Hasil yang diharapkan :<br />- Mendemonstrasikan metode makan yang tepat dengan situasi individual dan aspirasi tercegah<br />- Berat badan yang diharapkan dapat dipertahankan<br />Intervensi<br />Rasional<br />-Kaji kemampuan dan patologi dlm menelan, tingkat paralisis, wajah, lidah, kemampu an menjaga jln nafas. Timbang sec. berkala<br />Intervensi nutrisi dan pilihan makanan ditentukan oleh faktor-faktor tersebut<br />-Tingkatkan efektivi-tas menelan. Mis.nya:<br /><br />*Bantu pasien dengan dukungan kepala<br />Melawan hiperekstensi, mencegah aspirasi dan meningkatkan kemampuan menelan<br />*Atur pasien dengan posisi kepala tinggi sebelum dan sesudah makan<br />Gravitasi membantu menelan dan mencegah aspirasi<br />*Stimulasi bibir untuk menutup atau buka mulut secara manual dengan tekanan ringan pada dagu jika diperlukan<br />Membantu retraining sensoris dan meningkatkan kontrol muskular<br />*Letakkan makan pada sisi mulut yang tidak lemah<br />Memberikan stimulasi sensoris (termasuk rasa) yang dapat mendo rong usaha menelan dan meningkatkan intake makanan<br />*Beri makan perlahan dengan lingkungan tenang<br />Pasien dapat berkonsen trasi dalam mekanisme makan tanpa gangguan eksternal<br />*Mulai masukan oral dari yang encer / semiliquid<br />Makanan lembut mudah di kendalikan dan mengurangi resiko aspirasi<br />*Dorong pasien untuk minum menggunakan sedotan<br />Memperkuat otot fasial dan pengunyah dan mengurangi resiko aspirasi<br />*Dorong keluarga untuk membawa makanan kesukaan<br />Menstimulasi usaha makan dan meningkatkan intake makanan<br />*Pertahankan intake-output yang akurat. Catat hitungan kalori<br />Jika usaha menelan kurang baik makan perlu dipikirkan metode lain<br />*Kolaborasi: Beri cairan intra vena / NGT<br />Diperlukan untuk mengganti cairan dan nutrisi jika pasien tak dapat memenuhi secara oral<br /><br />7. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan pengobatan/perawatan sehubungan dengan:<br />- kurang informasi<br />- keterbatasan kognitif, misinterpretasi informasi, ketidak mampuan mengingat.<br />- tidak mengetahui sumber informasi.<br />Hasil yang diharapkan :<br />- Berpartisipasi dalam proses belajar<br />- Dapat menjelaskan kondisinya/prognosisnya dan rangkaian pengobatan yang harus dijalani<br />- Memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan<br />Intervensi<br />Rasional<br />-Evaluasi jenis / tingkat gangguan persepsi sensoris yang terjadi<br />Defisit mempengaruhi pemilihan metoda belajar dan isi / kompleksitas instruksi<br />-Ulas keterbatasan yang ada dan diskusi-kan rencana / potensi pengembalian aktivi-tas(termasuk seksual)<br />Meningkatkan pemahaman, memberikan dan menciptakan harapan kembali ke kehidupan yang lebih normal<br />-Ulas dan dorong program pengobatan. Identifikasi cara meneruskan program sesudah keluar RS<br />Aktivitas, keterbatasan dan kebutuhan terapi di kordinasi dengan dasar interdisiplin untuk mencegah komplikasi<br />-Diskusikan rencana pemenuhan kebutuhan<br />Variasi tingkat bantuan tergantung tergantung situasi individual<br />-Sediakan instruksi dan jadwal tertulis untuk aktivitas, pengobatan, dan fakta-fakta penting<br />Memberikan dorongan secara visual dan pedoman jika sudah keluar dari rumah sakit<br />-Dorong pasien untuk melihat daftar / catatan daripada bergantung kepada daya ingat<br />Memberikan bantuan untuk mendukung daya ingat dan meningkatkan perbaikan level kognitif<br />-Anjurkan pasien untuk mengurangi stimulasi lingkungan, terutama pada saat aktivitas kognitif<br />Terlalu banyak stimulus dapat memperburuk perubahan proses berpikir<br />-Anjurkan pasien untuk mencari bantuan dalam pemecahan masalah dan memvalidasi keputusan yang telah dibuatnya<br />Beberapa pasien (teru-tama CVA kanan) dapat mengalami kelemahan “judgement” dan tingkah laku impulsif, lemahan dalam mengambil keputusan yang tepat<br />-Identifikasi tanda dan gejala yang memer lukan tindak lanjut seperti, perubahan visual, motor, fungsi sensoris, perubahan mentasi, sakit kepala berat<br />Evaluasi dan intervensi dini mengurangi resiko komplikasi dan kehilang an fungsi yang lebih parah<br />-Identifikasi faktor-faktor resiko indivi-dual(mis, hipertensi, obesitas, merokok, atherosclerosis, oral kontrasepsi) dan perubahan gaya hidup yang diperlukan<br />Meningkatkan kesehatan dan mencegah terulang-nya serangan stroke disaat berikutnya<br />-Tekankan pentingnya perawatan lanjutan oleh tim rehabili-tasi. Mis, fisio / okupasi/speech/vocational terapist<br />Kerja yang baik pada akhirnya dapat mencapai sisa defisit yang sangat minimal<br /><br />BAB III<br />PENGAMATAN KASUS<br /><br />RINGKASAN :<br />Seorang laki-laki 45 tahun, beristri dengan dua orang anak, bekerja sebagai penjaga keamanan di sebuah hotel berbintang lima di Jakarta, dirawat di Unit Perawatan Carolus sejak tanggal 8 Oktober 1997 setelah mendapatkan perawatan di unit Gawat Darurat. Sejak satu hari yang lalu secara mendadak kepala pening dan tak mampu berjalan maupun beraktivitas mempergunakan lengan dan tungkai kirinya. Pasien mengaku pernah dirawat di Unit Elisabeth 14 bulan yang lalu karena sakit hipertensi tetapi berhenti berobat sejak 8 bulan yang lalu dan berdiet garam hanya di rumah saja, di kantor tidak. Pasien juga menyatakan menderita penyakit kencing manis sejak setahun yang lalu, dikendalikan dengan diet sedikit makan nasi, banyak makan kentang tetapi sekarang tidak lagi. Saat pengkajian Keadaan umum tampak sakit sedang, pasien hanya mempu berbaring, lengan dan tungkai kiri masih dapat bergerak tetapi lemah dan tidak dapat dikontrol, konjungtiva bulbi kiri lateral kemerahan, keluahan pusing sementara tidak ada, tekanan darah 190/100 mmHg.<br />Pengamatan kasus secara lengkap dapat diikuti pada halaman-halaman berikutnya.<br />BAB IV<br />PEMBAHASAN KASUS<br /><br />Pengkajian<br /><br /> Kasus CVA pada Tn. HLPK penyebabnya sangat jelas karena hipertensi. Hal ini sangat jelas dari riwayat hipertensi yang dimilikinya dengan tekanan darah maksimum 260/100mmHg. Diagnosa medis sudak pasti dengan ditemukannya perdarahan pada basal ganglia dari hasil CT scan otak. Pasien sudah mengetahui penyakitnya karena pernah dirawat 14 bulan yang lalu tapi mengabaikannya sejak 8 bulan yang lalu. Karakteristik munculnya gejala sesuai dengan yang ada pada konsep dasar pengkajian yaitu kelemahan lengan dan tungkai kiri yang didahului oleh rasa pening secara mendadak. Perubahan fungsi sensoris pun terjadi pada ekstremitas kiri yang tak dapat merasakan tusukan jarum maupun rasa posisi. Mata kiri serasa melihat garis-garis yang berkelok-kelok. Tidak terjadi defisit pada kemampuan kognitif dan wicara karena perdarahan yang terjadi bukan di daerah serebrum tapi lebih dominan di basal ganglia sehingga gangguan yang terjadi pun seperti yang diuraikan pada pengamatan. Tingkat kesadaran masih kompos mentis, refleks pupil kiri kana masih baik dan simetris, tapi pada 2 hari berikutnya pasien menunjukkan gejala-gejala apprehension karena mungkin perdarahan belum berhenti seketika desakan lokal dan TIK masih dapat meningkat<br />B. Diagnosa Keperawatan<br /> Dari 7 kemungkinan diagnosa keperawatan yang disarikan dari Nursing Care Plan. Edisi ke 3 th.93 oleh: Marilynn E. Doenges, Mary F. Mooerhouse. Dapat diaplikasikan sebanyak 4 diagnosa yaitu<br />1. Perubahan perfusi serebral<br />2. Ketidakmampuan/defisit merawat diri<br />3. Perubahan persepsi sensori: rabaan dan penglihatan, dan;<br />4. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan pengobatan penyakit.<br />Sedangkan 3 diagnosa sisanya yaitu :<br />1. Gangguan mobilitas fisik. Tidak diaplikasikan karena pasien masih sadar penuh dan beberapa rencana tindakannya dapat di gabungkan pada implementasi ketidak mampuan merawat diri.<br />2. Gangguan komunikasi verbal. Tidak diaplikasikan karena data pendukungnya tidak sampai muncul sesuai dengan tingkat perubahan perfusi yang terjadi.<br />3. Resiko gangguan menelan dapat diabaikan karena tanda dan gejala gangguan menelan tidak ada sama sekali.<br /><br /><br />C. Perencanaan<br /> Perencanaan yang disusun dapat disesuaikan dengan tingkat perubahan patofisiologi yang terjadi. Penekanan diberikan kepada bantuan untuk melaksanakan aktivitas harian yang meliputi perawatan diri dan mengantisipasi reiko keparahan. Pendidikan / penuluhan mendapat porsi yang cukup besar karena sesuai dengan hasil pengkajian, kondisi sekarang ini lebih banyak di akibatkan oleh kurang pedulinya pasien dan keluarganya atas penyakit yang sudah diketahui. Penyuluhan agar pasien dan keluarganya lebih mempunyai motivasi dalam mengikuti petunjuk tenaga kesehatan menjadi sangat penting karena jika pasien mendapat serangan yang ketiga maka gejala sisanya dapat lebih buruk seperti yang diuraikan dalam teori.<br />D. Implementasi<br /> Dari semua rencana aktual yang disusun sebagian dapat dilaksanakan. Pengkajian status neurologi untuk mengobservasi proses patologis penyakit untuk untuk mengantisipasi dampaknya dilaksanakan sepenuhnya. Bantuan merawat diri disesuaikan dengan ketidak mampuan pasien untuk mempergunakan ekstremitas kiri secara penuh. Penyuluhan dilaksanakan dengan memanfaatkan saat-saat ketika pasien dan keluarga menunjukkan reaksi ingin tahu yang cukup besar.<br />E. Evaluasi<br /> Pada perjalanan perawatan, gejala pusing menjadi dominan sesuai dengan perubahan perfusi yang terjadi. Terapi medis terus berganti-ganti karena ternyata tekanan darah pasien sangat persisten pada nilai 190/100 mmHg. Kecurigaan pada gangguan ginjal kronik belum tegak karena konsultasi kepada urologist belum terlaksanan. Penyuluhan membuahkan hasil dengan makin pedulinya pasien dan istrinya terhadap setiap keterangan yang diberikan dan inisiatif bertanya yang cukup besar. Perbaikan perfusi serebral mulai tampak ketika dilakukan follow-up 1 minggu kemudian pasien sudah mulai merasakan sentuhan pada bagian yang lemah, pengendalian dan rasa gerak sudah ada walaupun belum kuat sekali. Nilai kekuatan otot sudah mencapai 5 tapi dokter masih belum mengijinkan pasien untuk menjalani fisioterapi karena tekanan darah masih tinggi<br />BAB V<br />KESIMPULAN DAN PENUTUP<br />A. KESIMPULAN<br /> Cerebrovascular accident mempunya dampak yang sangat besar terhadap perjalanan hidup pasien selanjutnya selanjutnya. Pasien dengan gejala sisa minimal cenderung mengabaikan penyakitnya karena merasa setelah mengalami serangan ternyata bisa mendapatkan kembali fungsinya seperti semula. Pada serangan berikutnya seperti yang dialami Tn. HLPK kesadaran baru tumbuh yang dimanifestasikan dengan ungkapan-ungkapan penyesalan mengapa tidak mengikuti anjuran tenaga kesehatan pada waktu dirawat terdahulu. Walaupun agak terlambat, momentum ini bisa dimanfaatkan oleh tenaga kesehatan untuk memberikan pendidikan atau suplai informasi yang sesuai dengan keadaan individualnya.<br /> Perawat harus mampu membantu menjelaskan informasi yang sudah diberikan oleh dokter agar pasien mampu melaksanakan perubahan pola hidup sehari-hari ke arah yang lebih efisien dalam mengantisipasi serangan berikutnya. Pada pasien dengan hipertensi, jika keadaan tekanan darahnya dapat dikendalikan dalam batas yang aman maka peluang untuk mendapat serangan berikutnya menjadi sangat kecil.<br /> Tindakan-tindakan supportive harus mendapat prioritas agar pasien dan keluarganya mempunyai motivasi yang lebih tinggi dalam merawat dirinya, menyadari keterbatasan yangterjadi, dan mampu melaksanakan aktivitas yang optimum sesuai dengan tingkat kemampuannya.<br />B. PENUTUP<br /> Lewat proses pengamatan kasus dan penyusunan makalah ini, kami menyadari bahwa merawat pasien dengan CVA merupakan proses yang cukup rumit karena diperlukan pemahaman yang cukup tentang sistem persyarafan, dampak psikofisiologis yang menurunkan semangat pun harus mendapatkan perhatian yang cukup.<br /> Masih ada pola-pola yang tidak bisa ditangani karena keterbatasan pengetahuan dan pengambilan keputusan, seperti pola nutrisi, pola tidur dan istirahat. Hal ini tidak terjangkau bukan karena ketidak pedulian, dalam kenyataannya suasana aktual dalam merawat yang sesungguhnya membuat pengambilan keputusan menjadi kurang jeli dan menyeluruh.<br /> Semoga pada kesempatan berikutnya kami berharap sudah mampu mengantisipasi kekurangan-kekurangan yang terjadi sebelumnya.<br />DAFTAR KEPUSTAKAAN<br /><br />Wilma J. Phipps, PH.D., R.N., F.A.A.N., Barbara C. Long M.S.N., R.N., Medical-Surgical Nursing, Concept and Clinical Practice, fourth edition, Missouri: Mosby-Year Book, Inc, 1991<br />Joan Luckman, R.N., M.A., Karen C. Sorensen, R.N., M.N., Medical-Surgical Nursing: A psychohysiological Approach, Philadelphia: W.B. Saunders Company, 1987<br />Sylvia A. Price, Lorraine A. Wilson. Patofisiologi, kKonsep klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 4, EGC, Jakarta, 1995<br />Marilynn E. Doenges, Mary F. Mooerhouse, Nursing Care Plan. Edition 3, Philadhelphia: F.A.Davis Company, 1993<br /><br /> </div>UUNhttp://www.blogger.com/profile/03809401118170400297noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5128503638995547949.post-72431687332450938312008-05-18T06:37:00.000-07:002008-05-18T06:39:17.430-07:00CRF<div align="center"><br /><strong>BAB I<br />PENDAHULUAN</strong></div><div align="justify"><br /><br />A. LATAR BELAKANG<br /> Dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan semakin majunya teknologi kedokteran, semakin banyak pula masalah kesehatan yang dapat didiagnosa dengan jelas. Salah satu penyakit tersebut adalah gagal ginjal kronik atau kronik renal failure.<br />Gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolismedan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia.<br />Seseorang yang menderita kegagalan ginjal kronis, dalam beberapa keadaan dapat dikendalikan untuk bisa bertahan hidup. Yang terpenting bagi penderita adalah menjalani pengobatan dan diit secara teratur. Adapun terapi akhir yang harus dilakukan apabila upaya konservatif dan pengobatan tidak berhasi, harus dilakukan dialysis yang dapat memakan waktu yang cukup lama dan biaya banyak dan tidak jarang membuat pasien putus asa sehingga tidak melanjutkan pengobatannya, dan bisa menyebabkan kematian.<br />Kira-kira 60 ribu orang setiap tahunnya meninggal akibat CRF (menurut survey di Amerika dari 80 ribu orang yang menderita CRF). Masalah ini perlu penanggulangan yang serius guna mengurangi insiden kematian.<br />Karena angka kejadian yang cukup tinggi dan prognosanya yang buruk, maka sebagai calon tenega perawat professional pemula, penulis merasa tertarik untuk mempelajari kasus ini, sehingga dapat berperan dalam memberikan asuhan keperawatan, dan penyuluhan kepada pasien dan keluarga untuk menjalani program pengobatan maupun perawatan berkelanjutan di Rumah. Selain itu dukungan psikologis maupun spritual sangat penting bagi pasien.<br /><br /><br />B. TUJUAN<br />Penyusunan makalah ini bertujuan untuk :<br />1. Mengetahui dan memahami proses asuhan keperawatan pada pasien dengan CRF<br />2. Mengaplikasikan asuhan keperawatan pada pasien dengan CRF<br />3. Memenuhi tugas terstruktur mata kuliah keperawatan pada pasien dengan CRF<br /><br />C. METODA PENULISAN<br /> Metode penulisan makalah ini adalah<br />1.Studi kepustakaan yaitu dengan berbagai literatur untuk dibaca dan diprlajari tentang masalah penyakit yang berhubungan dengan CRF<br />2.Studi pengamatan kasus, dengan mengadakan pengamatan langsung pada pasien dengan CRF.<br /><br />D. SISTEMATIKA PENULISAN<br /> Dalam penulisan makalah ini digunakan sistematika penulisan yang dimulai dari Bab I mengenai pendahuluan yang berisi tentang latar belakang, tujuan, metoda penulisan, dan sistematika penulisan. Pada bab II diuraikan tentang tinjauan teoritis yang terdiri dari konsep dasar medik serta konsep dasar keperawatan, konsep dasar medik meliputi: definisi, anatomi fisiologi, etiologi, tanda dan gejala, test diagnostik, penatalaksanaan medik, komplikasi,kemudian pada konsep dasar keperawatan dibahas mengenai pengkajian, diagnosa, dan intervensi keperawatan. Sedangkan bab III menguraikan hasil pengamatan kasus langsung di ruangan perawatan. Bab IV merupakan pembahasan kasus chronic renal failure, perbandingan antara teori dasar dengan pelaksanaan asuhan keperawatan pada kasus nyata dan bab V adalah kesimpulan dan pada bagian akhir makalah ini dilampirkan daftar pustaka.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> BAB II<br />TINJAUAN TEORITIS<br /><br />A. Konsep Dasar<br />1. Definisi<br />Chronic renal failure (CRF) atau gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi ginjal yang progresif dan ireversibel, dimana kemampuan tubuh untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah ) (bruner and Suddarth, 2000)<br />Cronik Renal Failure (CRF) adalah kerusakan yang progresif dan ireversibel pada nefron-nefron di kedua ginjal. Prosesnya berkembang sampai sebagian besar nefron yang rusak dan digantikan oleh jaringan scar yang tidak berfungsi (Lewis, Medical Surgical Nursing, 2000)<br /><br />2. Anatomi Fisiologi<br />a.Anatomi Ginjal<br />Ginjal adalah bagian utama dari sistem perkemihan yang juga termasuk didalamnya ureter, kandung kemih dan uretra. Ginjal terletak pada rongga abdomen posterior, dibelakang peritoneum, didepan 2 kosta terahir yaitu di area kanan dan kiri dari columna vertebralis. Ginjal dipertahankan dalam posisi tersebut oleh bantalan lemak yang tebal. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dibandingkan dengan ginjal kiri karena tertekan oleh hepar<br />Pada orang dewasa panjangnya 12-13 cm, lebar 6 cm dan beratnya antara 120-150 gram. Setiap ginjal memiliki korteks di bagian luar dan medula di bagian dalam yang terbagi menjadi piramid-piramid. Papila dari tiap piramid membentuk duktus papilaris Bertini yang selanjutnya menjadi kaliks minor, kaliks mayor, dan bersatu membentuk pelvis ginjal tempat terkumpulnya urine. Ureter menghubungkan pelvis ginjal dengan kandung kemih.<br /><br /><br /><br />b. Pembuluh darah ginjal<br />Ginjal dilalui oleh sekitar 1200 ml darah per menit. Lebih dari 90% darah yang masuk ke ginjal berada pada korteks, sedangkan sisanya dialirkan ke medula. Arteri renalis dicabangkan dari aorta abdominalis dan bercabang menjadi arteri interlobaris yang berjalan diantara piramid yang selanjutnya membentuk arteria illiaca yang melengkung melintasi batas piramid-piramid tersebut. Arteria illiaca kemudian membentuk arteriola-arteriola interlobularis yang tersusun pararel dalam korteks. Arteriola interlobularis ini selanjutnya membentuk arteriola afferent yang berakhir pada glomerulus. Selanjutnya glomerulus membentuk arteriola efferent yang kemudian bercabang-cabang membentuk sistem portal kapiler yang mengelilingi tubulus. Darah yang mengalir melalui sistem portal ini akan dialirkan kedalam aliran vena, selanjutnya menuju vena illiaca, vena interlobaris dan vena renalis, dan akhirnya mencapai vena kava inferior.<br /><br />c. Struktur mikroskopik ginjal<br />Nefron adalah unit fungsional dari ginjal. Setiap ginjal mempunyai 1 juta nefron yang pada dasarnya mempunyai fungsi yang sama. Setiap nefron terdiri dari glomerulus dan tubulus, dinding kapiler glomerulus tersusun dari lapisan sel-sel endotel dan membran basalis, dengan arteriola aferen dan eferent, kapsula Bowman's, tubulus proksimal, ansa Henle, tubulus distal, dan duktus pengumpul.<br />Fungsi utama dari komponen nefron adalah: glomerulus untuk filtrasi, tubulus proksimal mereabsorbsi Na+, H+, ADH, glukosa, K+, asam amino, Cl-, HCO3-, PO4-, Urea, mensekresi H+ dan substansi asing. Ansa henle: mengantisipasi arus aliran, konsentrasi urine, Na+ direabsorpsi secara pasief, dan Cl- direabsorpsi secara aktif; Cl+ direabsorpsi.<br /><br />d. Proses terjadinya urine<br />Jumlah aliran darah pada kedua ginjal sekitar 1200 ml per menit. Sekitar 650 ml cairan ini adalah plasma, dari jumlah ini 125 ml tersaring melalui glomerulus ke kapsula Bowman's. Arteri renalis bercabang langsung pada aorta. Oleh sebab itu darah mengalir ke glomerulus dengan tekanan tinggi. Dorongan filtrasi adalah hasil perbedaan tekanan antara kapiler Bowman's dan rongga Bowman's, permeabilitas dari dinding kapiler, dan perbedaan antara tekanan koloid osmotik di kapsula Bowman dan lumen kapiler.<br />Darah difiltrasi di glomerulus melalui dinding semi permeabel dan hasilnya terdiri dari air, glukosa (100%), elektrolit, dan sisa metabolisme diteruskan ke tubulus proksimal. Dalam tubulus proksimal hasil filtrasi 60% direabsorbsi, kecuali glukosa (100%), sisa hasil filtrasi yang tidak direabsorbsi diteruskan ke tubulus distal melalui ansa henle. Di tubulus distal dan duktus pengumpul (koligentes) inilah ADH bekerja untuk mereabsorbsi hasil reabsorbsi di tubulus proksimal. Sisa akhir dari proses filtrasi dan reabsorbsi disebut urin. Ginjal menghasilkan 30-50 ml urin/jam yang sementara ditampung di piala ginjal.<br /><br /> e. Fungsi ginjal<br />Fungsi ekskresi<br />Mempertahankan osmolaritas plasmasekitar 285 m osmol dengan mengubah-ubah ekskresi air<br />Mempertahankan kadar masing-masing elektrolit plasma dalam rentang normal<br />Mempertahankan PH plasma, sekitar 7,4 dengan mengeluarkan kelebihan H dan membentuk kembali HCO3 <br />Mensekkresi produk akhir nitrogen dari metabolisme protein, terutama urea, asam urat, dan kreatinin.<br /><br />Fungsi ekskresi<br />Menghasilkan Renin, penting untuk pengaturan tekanan darah<br />Menghasilkan eritopoitin, factor penting dalam stimulasi produk sel darah merah oleh sumsum tulang<br />Metabolisme vitamin D menjadi bentuk aktif<br />Degradasi insulin<br />Menghasilkan prostaglandin.<br /><br />3. Etiologi<br />glomerulonefritis kronic<br />4. Patofisiologi<br /> Gagal ginjal kronik terjadi setelah sejumlah keadaan yang menghancurkan masa nefron ginjal. Keadaan ini mencakup penyakit parenkim ginjal difus bilateral, juga lesi obstruksi pada duktus urunarius. Mula – mula terjadi beberapa serangan penyakit ginjal terutama menyerang Patogenesis CRF ditunjukkan oleh kerusakkan nefron dengan hilangnya fungsi renal secara progresif. Ketika total GFR menurun dan bersihan menurun, serum urea nitrogen dan bersihan kreatinin meningkat. Sisa nefron yang berfungsi mengalami hipertrofi karena mereka diperlukan untuk menyaring muatan solut yang lebih besar. Salah satu akibatnya adalah hilangnya kemampuan ginjal untuk mengkonsentrasi urin secara adekuat. Dalam usahanya untuk melanjutkan sekresi solut, sejumlah besar urin dikeluarkan, sehingga klien mudah mengalami kehilangan cairan. Tubulus-tubulus secara bertahap kehilangan kemampuan untuk mereabsorbsi elektrolit. Kadang-kadang keadaan ini mengakibatkan terbuangnya garam dimana urin mengandung sejumlah besar sodium, mendorong terjadinya poliuri lebih lanjut. Bersamaan dengan berlanjutnya kerusakkan ginjal dan menurunnya fungsi nefron, maka total GFR menurun lebih lanjut. Dengan demikian tubuh menjadi tak mampu melepaskan air, garam, dan produk-produk sisa lainnya melalui ginjal. Ketika GFR < 10-20 ml/menit, maka uremia tampak secara klinis. Tubuh menjadi lebih terintoksikasi. Akibat dari CRF adalah uremia dan kematian. <br /><br />5. Tanda dan gejala / manifestasi klinis<br />a. Sistem perkemihan<br />Oliguri, anuria, infeksi; sedimen urine mengandung lekosit, eritrosit, penurunan kratinin clearance, hematuri, proteinuri<br /><br /> b. Sistem pernafasan<br />Edema paru, pneumonia, pleura effusion,nafas Kussmaul, apnea, nafas bau amonia, hiperventilasi.<br /> c. Sistem kardiovakular<br />Edema, hipertensi, tachycardia, anemia, kongestif jantung, perikarditis, disritmia, kardiomegali, aterosklerosis .<br /> d. Integumen<br />Kulit kering, pruritus, ekskoriasi, uremic frost, kuku rapuh dan pucat, kulit berwarna seperti tembaga. <br /> e. Elektrolit<br />Peningkatan kadar kalium, hidrogen, natrium, fosfat dan magnesium, serta penurunan kadar asambicarbonat dan kalsium <br /> f .Sistem pencernaan<br />Anoreksia, stomatitis, ginggivitis, mual, muntah, diare, konstipasi, hematemesis, esofagitis, gastritis, melena, pembesaran hepar.<br /> g. Metabolik<br />Peningkatan kadar urea nitrogen dan kadar kreatinin serum, peningkatan asam urat, intoleransi terhadap glukosa, perubahan degradasi insulin, peningkatan trigliserida, asidosis.<br /> h. Sistem persarafan<br />Perubahan fungsi kognitif dan tingkah laku, perubahan tingkat kesadaran, neuropati perifer, kram pada malam hari, kesemutan pada ekstremitas bawah, apatis, lethargi, kelelahan, sakit kepala, kejang, koma.<br /> i. Hematologi<br />Anemia, koagulopati, defisit trombosit<br /> j. Sistem muskuloskeletal<br />Renal osteodistrofi, osteosklerosis, hilangnya massa otot, osteomalaise, fraktur, nyeri tulang, peningkatan alkali fosfatase.<br /><br /> 6. Tes Diagnostik<br />a. Radiologi: foto polos abdomen, IVP, jantung, paru, tulang<br />b. USG ginjal<br />c. Renogram<br />d. Biopsi ginjal<br />e. CT scan ginjal<br />f. Laboratorium: Darah; hematologi, BUN, ureum, kreatinin, asam urat, alkali fosfatase, osmolaritas serum, analisa gas darah<br />g. Urine; urinalisa, CCT, osmolaritas<br /><br />7. Terapi dan pengelolaan Medik<br />a. Elektrolit untuk asidosis<br />b. Terapi untuk hiperkalemi<br />c. Antikonvulsan<br />d. Antihipertensi<br />e. Diuretik<br />f. Antibiotika<br />g. Antasida<br />h. Hormon Androgenik<br />i. Antiemetik<br />j. Laksansia<br />k. Penggantian elektrolit, mineral dan nutrisi<br />l. Vitamin<br /><br />8. Komplikasi<br />a. Hipertensi<br />b. Hiperkalemia<br />c. Anemia<br />d. Asidosis<br />e. Osteodistrofi ginjal<br />f. Hiperurisemia<br />g. Neuropati perifer<br /><br />B. Konsep Asuhan Keperawatan<br />1. Pengkajian menurut pola Gordon<br />a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan<br />1) Adanya tanda dan gejala yang menyebabkan klien mencari pertolongan kesehatan, seperti; penurunan urin, edema, kelelahan hebat, depresi, kehilangan perhatian pada lingkungan, impoten.<br />2) Riwayat penyakit ginjal akut/kronik, menjalani terapi ARF, kronik renal insuffisiensi, hipertensi, DM, aterosklerosis, sistemik lupus eritematosus, atau penyakit sistemik lain yang mengenai ginjal.<br />b. Pola nutrisi dan metabolik.<br />1) Anoreksia, mual, muntah.<br />2) Bb menurun karena intake kurang.<br />3) Bb meningkat karena edema.<br />4) Rasa tidak enak di mulut.<br />c. Pola eliminasi<br />1) Poliuri, nocturia (CRF awal).<br />2) Oliguri (Fase CRF lanjut).<br />3) Diare atau konstipasi.<br />d. Pola aktivitas dan latihan<br />1) Kelelahan, kelemahan.<br />2) Konvulsi, kaku otot.<br />e. Pola tidur dan istirahat<br />1) Somnolent, insomnia, kegelisahan.<br />2) Sering mengantuk.<br />3) Tidur sering terganggu karena kram otot atau kejang betis.<br />f. Pola persepsi sensori dan kognitif<br />1) Kehilangan ingatan, perhatian berkurang/menyempit.<br />2) Kemampuan berpikir abstrak menurun.<br />3) Kehilangan perhatian untuk lingkungan.<br />4) Sakit kepala.<br />g. Pola persepsi diri dan konsep diri<br />1) Depresi, penurunan harga diri, perubahan konsep diri dan body image.<br />2) Menurunnya harga diri.<br />3) Menurunnya tingkat kemandirian dan perawatan diri.<br />h. Pola peran dan hubungan sesama<br />1) Tidak dapat bekerja, penurunan kontak sosial dan aktifitas.<br />i. Pola reproduksi dan seksualitas<br />1) Wanita; amenore, infertiliti, penurunan libido<br />2) Pria; impotensi, penurunan libido<br />j. Pola koping dan toleransi terhadap stres<br />1) Ketidakefektifan koping individu dan keluarga<br />2) Mekanisme pertahanan diri; denial, proyeksi, rasionalisasi, displacement<br />k. Pola Nilai dan kepercayaan<br />1) Kehilangan kepercayaan kepada pemberi pelayanan kesehatan<br /><br /><br />2. Diagnosa Keperawatan<br />a. Kelebihan volume cairan sehubungan dengan ketidakmampuan ginjal untuk menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit.<br />b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh sehubungan dengan pembatasan diet yang diperlukan, anoreksia, mual, muntah, dan perubahan sensasi rasa.<br />c. Penurunan cardiac output sehubungan dengan kelebihan cairan, terapi obat, dan kehilangan darah yang berlebihan.<br />d. Tidak toleransi dalam beraktifitas sehubungan dengan kelebihan cairan yang kronik dan kelelahan.<br />e. Gangguan pola tidur sehubungan dengan retensi cairan, CHF, dan uremia.<br />f. Kerusakkan integritas kulit sehubungan dengan pruritus, iritasi, dan kemungkinan uremic frost.<br />g. Perubahan membran mukosa mulut sehubungan dengan perubahan kelenjar parotis, pembatasan intake cairan, dan peningkatan kadar ureum.<br />h. Perubahan proses pikir sehubungan dengan uremia, asidosis metabolik, hipoksia, dan ketidakseimbangan elektrolit, kalsifikasi di otak.<br />i. Kurang pengetahuan tentang kondisi, proses penyakit, prognosa dan terapi yang diperlukan sehubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang informasi, dan misinterpretasi.<br />Diagnosa keperawatan yang lain:<br />a. Kerusakan mobilitas fisik sehubungan dengan renal osteodistrofi, neuropati perifer, paresis atau paralisis, atau koma.<br />b. Kecemasan sehubungan dengan kurang pengetahuan tentang prosedur dan diagnostik tes dan kurang mengerti tentang proses penyakit.<br />c.Konstipasi sehubungan dengan penurunan intake cairan dan penurunan konsumsi makanan tinggi serat.<br />d.Diare sehubungan dengan ketidakseimbangan elektrolit, takut, dan cemas.<br /> e.Ketidakefektifan koping individu sehubungan dengan stress karena penyakit kronik.<br /> f.Gangguan harga diri sehubungan perubahan body image dan peran.<br /> g.Nyeri kronik sehubungan dengan mual, muntah, kram otot, dan kesemutan.<br /> h.Disfungsi seksual sehubungan dengan penurunan libido dan impoten.<br /><br />3. Perencanaan<br />a. Kelebihan volume cairan sehubungan dengan ketidakmampuan ginjal untuk menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit.<br />Hasil yang diharapkan:<br />Intake dan output seimbang, berat badan stabil, suara nafas dan bunyi jantung normal, tidak ada edema, elektrolit dalam batas normal.<br /><br />Intervensi<br />Rasional<br />-Kaji lokasi edema (sakrum, pretibia, sirkum maleolus, dan dorsum pedis)<br />Pengumpulan cairan sering terjadi pada lokasi tersebut<br />-Monitor dan catat intake dan output secara cermat.<br />Kelebihan cairan dapat terdeteksi.<br />-Timbang Bb secara teratur dengan waktu dan timbangan yang sama.<br />Menentukan kelebihan cairan.<br />-Monitor tekanan darah tiap 4 jam<br />Kelebihan volume cairan dapat meningkatkan tekanan darah.<br />-Kaji bunyi nafas dan bunyi jantung.<br />Kelebihan cairan dapat menyebabkan edema paru.<br />-Monitor serum elektrolit.<br />Menentukan keseimbangan cairan dan elektrolit.<br />-kolaborasi pemberian diuretik.<br />Mengatasi kelebihan cairan.<br /><br />b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh sehubungan dengan pembatasan diet yang diperlukan, anoreksia, mual, muntah, dan perubahan sensasi rasa.<br />Hasil yang diharapkan:<br />· Pasien mampu menjaga status nutrisi yang adekuat, menjaga berat badan yang ideal sesuai dengan Tb, usia, dan bentuk tubuh.<br />· Kadar albumin dan Hb dalam batas normal<br />Intervensi<br />Rasional<br />-Kaji status nutrisi pasien.<br />Menentukan tindakan selanjutnya.<br />-Timbang Bb secara teratur dengan waktu dan timbangan yang sama.<br />Mengetahui perkembangan status nutrisi klien<br />-Kaji dan catat adanya tanda dan gejala malnutrisi.<br />Indikasi untuk tindakan mencegah malnutrisi.<br />-Kaji penyebab intake kurang adekuat (anoreksia, mual, muntah, kehilangan sensasi rasa.<br />Menentukan tindakan yang harus dilakukan untuk mengatasi intake kurang.<br />-Sajikan makanan dalam keadaan hangat, porsi kecil, dan menarik.<br />Menambah selera makan.<br />-Anjurkan pasien untuk memberihkan mulut sebelum dan sesudah makan.<br />Memberikan rasa enak dan meningkatkan nafsu makan.<br />-Rujuk ke ahli gizi jika diperlukan.<br />Modifikasi diet yang sesuai dengan CRF.<br />-Kolaborasi pemberian antiemetik, vitamin.<br />Mencegah muntah dan meningkatkan nafsu makan.<br /><br />c. Penurunan cardiac output sehubungan dengan kelebihan cairan, terapi obat, dan kehilangan darah yang berlebihan.<br />Hasil yang diharapkan:<br />Pasien akan menjaga cardiac output, yang ditunjukkan oleh tekanan darah dan HR yang normal untuk pasien, nadi penuh dan pengisian kapiler cepat.<br />Intervensi<br />Rasional<br />-Auskultasi bunyi jantung dan paru. Evaluasi adanya edema perifer/kongesti vaskular dan adanya dispnea.<br />Tachycardi, irregular HR, tachypnea, dispnea, dan edema/distensi vena jugularis mengindikasikan CHF.<br />-Kaji adanya/derajat hipertensi, monitor tekanan darah 3 posisi (berbaring, duduk, berdiri)<br />Hipertensi yang terjadi, karena gangguan pada sistem renin angiotensin aldosteron. Hipotensi ortostatik dapat terjadi karena kekurangan cairan intravaskular, respon terhadap terapi antihipertensi, atau perikardiak uremi tamponade.<br />-Kaji adanya nyeri dada, catat lokasi, radiasi,<br />Hipertensi dan CHF dapat menyebabkan miokard infark.<br />-Evaluasi bunyi jantung, TD, nadi, pengisian kapiler, kongesti vaskular, dan suhu.<br />Keadaan-keadaan emergensi diantisipasi dengan mengamati komponen tersebut.<br />-kaji tingkat aktifitas, respon terhadap aktifitas<br />Kelamahan dapat terjadi pada CHF dan anemia<br />-Kolaborasi: monitor serum elektrolit dan rontgen dada.<br />Mengidentifikasi adanya perubahan konduksi jantung dan untuk mengetahui adanya gagal jantung.<br />-Kolaborasi pemberian antihipertensi.<br />Menurunkan tahanan sistemik vaskular dan pelepasan renin.<br /><br />d. Tidak toleransi dalam beraktifitas sehubungan dengan kelebihan cairan yang kronik dan kelelahan.<br />Hasil yang diharapkan:<br />Pasien mampu beraktivitas secara bertahap sesuai dengan kemampuan.<br />Intervensi<br />Rasional<br />-Kaji kemampuan akivitas pasien.<br />Bantuan diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien.<br />-Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari (higiene, nutrisi, dan eliminasi) jika diperlukan<br />Memenuhi kebutuhan dasar pasien<br />-Ajarkan klien untuk melakukan ROM secara bertahap.<br />Menjaga fungsi pergerakan sendi dan mencegah deformitas.<br />-Minimalkan latihan yang menyebabkan kelelahan.<br />Mencegah pasien kelelahan.<br /><br /><br />-Beri reinforcement untuk aktivitas yang dapat dilakukan klien.<br />Memberi dukungan pada pasien.<br /><br />e. Gangguan pola tidur sehubungan dengan retensi cairan, CHF, dan uremia.<br />Hasil yang diharapkan:<br />Pasien mampu tidur/istirahat, yang ditunjukkan dengan wajah cerah, rileks. <br />Intervensi<br />Rasional<br />-Kaji pola tidur pasien.<br />Menentukan tingkat gangguan.<br />-Hindari melakukan prosedur pada saat pasien tidur, kecuali jika sangat diperlukan.<br />Mengganggu tidur pasien dan mungkin pasien akan sulit unruk tidur kembali.<br />-Anjurkan pasien untuk membatasi minum pada malam hari.<br />Mencegah berkemih sepanjang malam yang dapat mengganggu tidur.<br />-Batasi asupan minuman yang mengandung kafein.<br />Kafein dapat menyebabkan orang tetap terjaga.<br />-Berikan waktu tidur dan istirahat pada siang hari.<br />Mengganti waktu tidur yang kurang pada malam hari.<br /> <br />f. Kerusakkan integritas kulit sehubungan dengan pruritus, iritasi, dan kemungkinan uremic frost.<br />Hasil yang diharapkan:<br />Kulit utuh, hangat, turgor kulit baik, dan tidak ada pruritus.<br />Intervensi<br />Rasional<br />-Kaji kebersihan dan keutuhan kulit (warna, turgor, tekstur, edema, dan temperatur.<br />Menentukan keadaan kulit pasien.<br />-Anjurkan pasien untuk tidak menggaruk kulit.<br />Mencegah infeksi.<br />-Anjurkan pasien untuk memotong kuku.<br />Agar tidak melukai kulit, jika pasien menggaruk.<br />-bantu dan anjurkan pasien untuk merubah posisi tidur.<br />Mencegah penekanan kulit pada satu area yang terlalu lama.<br />-Beri cream pelembab jika kulit kering.<br />Mencegah kekeringan dan menjaga keutuhan kulit.<br />-Jaga kebersihan dan kerapihan alat tenun.<br />Mencegah luka akibat gesekan dengan alat tenun.<br />-Kolaborasi pemberian terapi untuk pruritus.<br />Mengurangi gatal-gatal pada kulit.<br /><br />g. Perubahan membran mukosa mulut sehubungan dengan perubahan kelenjar parotis, pembatasan intake cairan, dan peningkatan kadar ureum.<br />Hasil yang diharapkan:<br />· Pasien mampu menjaga integritas mukosa membran mulut.<br />· Pasien mampu mengidentifikasi intervensi yang spesifik untuk meningkatkan kesehatan mukosa mulut.<br />Intervensi<br />Rasional<br />-Inspeksi rongga mulut, kelembaban, kaji adanya peradangan, ulserasi, lekoplakia.<br />Memberikan gambaran tentang intervensi dan pencegahan terhadap infeksi.<br />-Berikan cairan sesuai dengan batasan yang dianjurkan.<br />Mencegah kekeringan mulut akibat tidak adanya intake oral yang lama.<br />-Berikan perawatan mulut, sediakan permen diantara waktu makan.<br />Memberikan rasa segar di mulut dan mencegah kekeringan.<br />-Anjurkan untuk menggosok gigi setelah makan dan sebelum tidur.<br />Mengurangi pertunbuhan bakteri yang dapat menyebabkan infeksi.<br />-Anjurkan pasien untuk berhenti merokok dan menghindari obat kumur yang mengandung alkohol.<br />Substansi ini dapat mengiritasi mukosa dan mempunyai efek kering, menambah ketidaknyamanan.<br /><br />h. Perubahan proses pikir sehubungan dengan uremia, asidosis metabolik, hipoksia, dan ketidakseimbangan elektrolit, kalsifikasi di otak.<br />Hasil yang diharapkan:<br />· Pasien mampu mencapai tingkat mental seperti biasanya.<br />· Pasien mampu mengidentifikasi cara mengkompensasi gangguan kognitif/defisit memori.<br />Intervensi<br />Rasional<br />-Kaji tingkat gangguan kemampuan pikir, memori, dan orientasi.<br />Efek uremia dimulai dengan rasa bingung dan mudah tersinggung, dapat berkembang ke perubahan kepribadian.<br />-Dapatkan data dari orang terdekat mengenai tingkat mental pasien biasanya.<br />Sebagai perbandingan untuk mengevaluasi perkembangan mental pasien.<br />-Berikan informasi kepada keluarga pasien tentang keadaan pasien.<br />Keluarga dapat mengikuti perkembangan pasien.<br />-Berikan lingkungan yang tenang, atur pemakaian tv, radio, dan kunjungan.<br />Stimulus lingkungan yang minimal menurunkan overload sensori.<br />-Reorientasikan terhadap lingkungan, orang, sediakan kalender, jam, dan jendela.<br />Sebagai petunjuk untuk membantu pemahaman realitas.<br />-Atur jadwal reguler dalam beraktifitas.<br />Kebingungan dapat dikurangi dengan aktifitas yang teratur.<br />-Tingkatkan istirahat yang cukup dan waktu tidur yang tidak terganggu.<br />Gangguan tidur dapat meningkatkan gangguan kognitif.<br /><br />i. Kurang pengetahuan tentang kondisi, proses penyakit, prognosa dan terapi yang diperlukan sehubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang informasi, dan misinterpretasi.<br />Hasil yang diharapkan:<br />· Pasien dapat mengungkapkan pengertiannya tentang kondisi, proses penyakit dan terapi.<br />· Pasien dapat berinisiatif merubah pola hidupp yang diperlukan.<br />· Pasien dapat berpartisipasi dalam regimen terapeutik<br />Intervensi<br />Rasional<br />-Kaji tingkat pengetahuan pasien tentang CRF.<br />Menentukan informasi yang dibutuhkan klien.<br />-Jelaskan tentang proses penyakit, prognosa, dan terapi yang dijalankan.<br />Memberikan pengetahuan berdasarkan tingkat kebutuhan pasien.<br />-Jelaskan tentang diet pada penderita CRF( makanan yang harus dihindari, dan harus dikonsumsi)<br />Komplikasi dapat timbul akibat akumulasi zat makanan tertentu(mis: magnesium, fosfat, dan protein).<br />-Jelaskan tentang gejala memburuknya penyakit (bb bertambah, lethargi, penurunan jumlah urin, edema, peningkatan tekanan darah).<br />Memberikan gambaran pada pasien untuk memperhatikan dirinya.<br />-Anjurkan pasien untuk segera ke dokter bila timbul gejala-gejala seperti diatas.<br />Mendapatkan pertolongan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.<br />-Jelaskan tentang terapi yang diberikan, dosis, kegunaan dan waktu pemberian.<br />Pengetahuan tentang obat diperlukan, karena pasien berobat dalam jangka waktu yang lama.<br />-Anjurkan pasien untuk olahraga secara teratur.<br />Membantu menjaga tonus otot dan fleksibilitas sendi, serta mengurangi resiko imobilisasi.<br />-Anjurkan pasien untuk follow up (medikal dan laboratorium) secara teratur.<br />Memonitor fungsi ginjal dan keseimbangan elektrolit serta pengobatan yang diperlukan<br />-Anjurkan pasien untuk memelihara kebersihan dan keutuhan kulit.<br />Mencegah timbulnya infeksi sekunder.<br /><br />BAB III<br />PENGAMATAN KASUS<br /><br /> Tn. A.R., 57 tahun, beristri tanpa anak, bekerja sebagai komisaris di sebuah hotel di Bogor, dirawat di unit perawatan Elizabeth sejak 1 hari yang lalu setelah mendapat perawatan di unit gawat darurat. Sejak 1 bulan yang lalu, pasien mengeluh pusing dan sudah berobat ke dokter di Bogor dan mendapat obat Adalat, serta dianjurkan untuk dirawat karena tekanan darahnya 180 sistolik, namun pasien menolak dan hanya beristirahat di rumah. 3 hari yang lalu, kepala bertambah pusing dan pasien kembali ke dokter, tekanan darah mencapai 215 sistolik dan pasien dianjurkan untuk dirawat. Saat pengkajian pasien mengeluh pusing dan kepala terasa berat terutama pada daerah dahi dan belakang kepala, mengeluh mual, dan b.a.k kurang lancar.<br />Pengamatan secara lengkap dapat diikuti pada lembar catatan perawatan (CP.1 hingga CP.5) pada halaman-halaman berikut. <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> BAB IV<br />PEMBAHASAN KASUS<br /><br />A. PENGKAJIAN<br /> Kasus CRF pada Tn. A.R. yang penulis amati, kemungkinan besar disebabkan oleh hipertensi karena saat pengkajian didapatkan tekanan darah 170/120 mmHg. Namun, sulit untuk menentukan mana yang merupakan penyakit primer, karena hipertensi dapat menyebabkan kerusakan pada ginjal, sebaliknya penyakit ginjal kronik dapat menyebabkan hipertensi atau ikut berperan pada hipertensi melalui mekanisme retensi natrium dan air, pengaruh vasopresor dari sistem renin angiotensin dan mungkin pula melalui defisiensi prostaglandin. Selain ada riwayat hipertensi sejak 7 bulan yang lalu, gejala-gejala yang mendukung adanya CRF pada pasien ini adalah keluhan mual, sering berkemih pada malam hari, aliran kencing tidak lancar dan ada rasa tidak lampias setelah berkemih. Pasien juga mempunyai riwayat kurang minum (5 gelas/hari), lebih banyak duduk dalam bekerja, menyetir mobil sendiri setiap hari (Bogor-Bekasi). Dari hasil laboratorium didapatkan Ureum 104 mg/dl, kreatinin 7,5 mg/dl, Hemoglobin 10,1 g/dl yang menunjukkan telah terjadi gangguan ginjal. Disamping itu dari hasil urin didapatkan pH 5, Berat jenis urin 1025, protein Å, Lekosit 10-15/LPB, Eritrosit 6-8, bakteri Å yang menunjukkan adanya infeksi pada saluran kemih. Dari data-data yang didapat hampir seluruhnya sesuai dengan teori, namun pada pasien ini tidak terdapat edema karena hasil Albumin masih dalam batas normal 3,5 g/dl.<br /><br />B. DIAGNOSA KEPERAWATAN<br />Dari 9 diagnosa keperawatan pada teori yang disarikan dari berbagai sumber, dapat diaplikasikan 2 diagnosa, yaitu:<br />1. Potensial perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh sehubungan dengan asupan nutrisi yang tidak adekuat akibat mual dan hilangnya sensasi rasa pada mulut.<br />2. Kurang pengetahuan tentang kondisi, proses penyakit, prognosa, dan terapi yang diperlukan sehubungan dengan kurangnya informasi.<br /> Sedangkan 2 diagnosa lainnya yaitu:<br />1. Perubahan perfusi jaringan serebral sehubungan dengan peningkatan tekanan vaskular serebral yang ditandai dengan keluhan pusing, tekanan darah 170/120 mmHg.<br />2. Perubahan pola eliminasi urin sehubungan dengan infeksi saluran kemih yang ditandai dengan aliran kencing kurang lancar, rasa tidak lampias setelah berkemih, serta hasil pemeriksaan urin bakteri Å, lekosit 10-15/LPB.<br />Sedangkan 7 diagnosa utama lain di teori tidak diangkat, karena belum ada data-data yang cukup menunjang.<br /><br />C. PERENCANAAN<br />Perencanaan yang disusun bersama dengan pasien disesuaikan dengan tingkat gangguan yang terjadi. Dengan tingkat kemandirian pasien yang masih cukup tinggi karena pasien masih mampu merawat diri secara adekuat, maka perencanaan pada Tn. A.R. lebih banyak ditekankan pada peningkatan pengetahuan dan pemahaman pasien tentang kondisinya, penyakit yang diderita, tanda gejala lebih lanjut yang dapat timbul, dan prognosa, serta terapi dan komplikasi yang dapat terjadi pada CRF. Selain itu anjuran untuk merubah gaya hidup yang diperlukan yaitu menghindari makan daging kambing dan makan yang asin-asin, melanjutkan kebiasaan olahraga secara teratur dan kontrol ke dokter secara teratur mendapat porsi yang cukup besar.<br /><br />D. IMPLEMENTASI<br />Dari semua rencana keperawatan aktual yang disusun hampir seluruhnya dapat dilaksanakan. Sebagian besar implementasi dilaksanakan dalam bentuk penyuluhan dan pembahasan tentang proses penyakit, akibat yang timbul, pilihan pengobatan yang umum dilakukan , pengaturan diet, dan perubahan aktivitas yang harus dilaksanakan pada penderita CRF. Implementasi yang belum dilaksanakan antara lain adalah mengobservasi warna urine, kekeruhan, dan bau urin, karena pasien b.a.k di kamar mandi. Intake output belum diukur secara adekuat karena pasien sedang puasa untuk pemeriksaan USG ginjal, dan karena pasien belum diberi penjelasan tentang pengukuran tersebut.<br />E. EVALUASI<br />Selama pengamatan kasus pasien sangat kooperatif dan tampak antusias terhadap penyuluhan yang diberikan oleh perawat. Pasien juga mampu mengungkapkan kembali penjelasan yang telah diberikan oleh perawat dan berjanji akan melaksanakan semua yang dianjurkan. Keluhan pusing masih ada, namun berkurang menurut pasien, meskipun tekanan darah meningkat menjadi 180/110 mmHg. Hal ini mungkin terjadi karena pasien pulang dari pemeriksaan USG yang tempatnya cukup jauh. Pasien mampu menghabiskan 1 tangkup roti setelah pulang dari pemeriksaan USG meskipun masih ada rasa mual. Keluhan kencing tidak lancar masih ada, namun pasien mengatakan sudah terbiasa dengan keadaan tersebut karena sudah 4 bulan mengalaminya.<br /><br /><br />BAB V<br />KESIMPULAN DAN SARAN<br /><br />A. KESIMPULAN<br /> Penyakit gagal ginjal kronik adalah kerusakan pada nefron yang progresif, irreversibel, dan dapat menimbulkan kerusakan/berakibat pada semua sistem tubuh. Gagal ginjal dapat timbul dari berbagai penyebab, karena itu pola hidup yang baik sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya penyakit tersebut. Penyakit gagal ginjal kronik tidak dapat disembuhkan, namun penderita gagal ginjal dapat menjaga kualitas hidupnya dengan taat menjalani diet, berobat secara teratur. Bagi yang sudah harus menjalani hemodialisa harus menjalaninya dengan teratur. Pasien CRF harus mendapat penjelasan yang cukup agar dapat terhindar dari komplikasi yang dapat menimbulkan kematian.<br /><br />B. SARAN<br />1. Bagi masyarakat agar memperhatikan kesehatannya secara teratur, check up, agar bila menderita sakit dapat terdeteksi secara dini. Bila telah menderita gagal ginjal, penderita harus mentaati diet dan berobat teratur.<br />2. Bagi petugas kesehatan agar memberikan informasi yang berguna bagi penderita CRF, memberikan pelayanan yang baik dan dukungan pada pasien karena mereka mengalami gangguan secara fisik, mental, dan spiritual.<br />DAFTAR KEPUSTAKAAN<br /><br />Donna D. Ignatavicus, Marilyn Vorner Layne, Medical Surgical Nursing, W.B. Saunders Company, Philadelphia, 1991<br />Joyce M. Black, M.S.N., R.N., C.P.S.N., Esther Matassarin-Jacobs, Ph.D., R.N., O.C.N., Medical Surgical Nursing Clinical Management for Continuity of care, Fifth Edition, W.B. Saunders, Philadephia, 1997.<br />June M. Thompson, R.N., M.S., Gertrude Mc Farland, R.N., D.N.Sc., F.A.A.N., Mosby's Manual of Clinical Nursing, 2nd Edition, St. Louis: The CV Mosby Company, 1989.<br />Marilynn E. Doenges,R.N., BSN, MA, Mary F. Mooerhouse, R.N., CCRN, Alice C Geissler, R.N., BSN,Nursing Care Plan. Edition 3, Philadhelphia: F.A.Davis Company, 1993.<br />Nancy M. Holloway, R.N., MSN, Medical Surgical Care Plans, Springhouse Corporation, Pennsylvania, 1988.<br />Soeparman, Sarwono Waspadji, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1996<br />Sylvia A. Price, Ph.D., R.N., Lorraine McCarty Wilson, Ph.D., R.N., Patofisiologi, Konsep klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 4, Buku 2 EGC, Jakarta, 1995</div>UUNhttp://www.blogger.com/profile/03809401118170400297noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5128503638995547949.post-63591857737549569072008-05-18T06:36:00.000-07:002008-05-18T06:37:38.201-07:00FRAKTUR HIP<div align="center">BAB I<br />PENDAHULUAN<br /> </div><div align="justify"><br />A. LATAR BELAKANG<br /> Hip atau daerah seputar pangkal paha merupakan bagian vital tungkai bawah. Di sana terdapat persendian dengan otot-otot besar kuat. Patahnya tulang hip bisa disebabkan oleh hanya kecelakaan dan juga kontribusi patologis tulang terutama osteoporosis pada manula. Jika terjadi fraktur di daerah hip maka otot yang kuat tersebut dapat terstimulasi untuk berkontraksi yang dapat berakibat perlukaan atau deformitas. Pada kepala sendi pun terdapat pembuluh darah yang cukup besar dan sangat potensial menimbulkan masalah ancaman nekrosis kepala sendi jika terjadi fraktur yang menyebabkan aliran darah terputus dan tidak mendapat penangan segera. Dalam berbagai kasus, seseorang yang mengalami fraktur hip masih dapat berjalan tanpa beban sehingga kemudian rasa nyeri yang menghebat mendorongnya untuk mencari pertolongan medis. Banyak pasien terutama manula menolak untuk percaya bahwa tulangnya patah, mereka yakin sakitnya segera sembuh bila nyeri sudah diatasi.<br /> Penyuluhan bagi keluarga yang mempunyai anggota keluarga yang potensial mengalami cedera cukup penting untuk merubah kondisi lingkungan. Dengan situasi seperti diatas diharapkan perawat mampu mengantisipasi setiap kasus fraktur hip yang ditemui.<br /><br />B. TUJUAN PENULISAN<br /> Makalah disusun untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas dari berbagai literatur tentang fraktur hip. Dengan mempertimbangkan berbagai aspek terutama aspek keperawatannya, diharapkan dalam menghadapi kasus nyata dilapangan kelak sudah ada konsep yang mendasar dalam menentukan rencana penerapan asuhan keperawatan bagi berbagai kasus fraktur hip.<br /><br />C. METODA PENULISAN<br /> Metoda penulisan yang dipakai dalam penyusunan makalah ini adalah dengan mempelajari berbagai literatur yang tersedia, kemudian disarikan lewat pembahasan dalam diskusi-diskusi kelompok.<br /><br />D. SISTEMATIKA PENULISAN<br /> Penyusunan dimulai dengan Bab I pendahuluan yang berisi tentang latar belakang, tujuan, metoda penulisan, dan sistematika penulisan. Pada bab II diuraikan teori serta tentang konsep dasar Fraktur Hip., terapi medik, dan asuhan keperawatannya.<br /><br /><br />BAB II<br />KONSEP DASAR<br /><br />A. KONSEP DASAR MEDIK<br /><br />1. DEFINISI<br />Fraktur : Adalah diskontinuitas struktural pada tulang<br />Hip : Adalah bagian dari tulang panggul yang berartikulasi dengan pangkal tulang femur pada asetabulum<br />Fraktur Hip : Adalah suatu terminologi yang digunakan untuk menggambarkan fraktur tulang femur pada daerah ujung/pangkal proksimal yang meliputi kepala sendi, leher, dan daerah trochanter. (Sumber: NCP, Susan P.C., 1980, p. 698)<br /><br />2. ANATOMI FISIOLOGI<br />Tulang femur terdiri dari :<br />a. Ujung atas<br />b. Korpus<br />c. Ujung bawah<br />Ujung atas terdiri dari :<br />· Kaput FemurMassa yang membulat mengarah ke dalam dan keatas, tulang ini halus dan dilapisi dengan kartilago kecuali pada fovea, lubang kecil tempat melekatnya ligamen yang menghubungkan kaput ke area yang besar pada asetabulum dari tulang coxae. Di dalam kaput tersebut terdapat percabangan dari arteri retinakular posterior dan anterior, dan ligamentum teres serta arteri ligamentum teres.<br />· Kolum(leher) femurKorpus tulang mengarah ke bawah dan ke sebelah lateral menghubungkan kaput dan korpus.<br />· Trochanter mayor pada sisi lateral dan trochanter minor pada sisi medial merupakan tempat melekatnya otot-otot.<br /> Tulang femur bekerja sebagai alat ungkit dari tubuh sehingga memungkinkan untuk bergerak. Tulang hip dibungkus oleh serabut yang berbentuk kapsul, ligamen, dan otot.<br /> Bagian besar trochanter dalam pergerakannya dibantu oleh otot abduktor dan gerakan rotasinya terbatas. Bagian terkecil dari trochanter dalam pergerakannya dibantu oleh otot ileopsoas.<br /><br />3. ETIOLOGI<br />Secara umum fraktur disebabkan oleh :<br />a. Benturan dan cedera (kecelakaan)<br />b. Kelemahan/kerapuhan tulang akibat osteoporosis<br />c. Patah karena letih, patah karena otot tidak dapat mengabsorpsi energi seperti karena berjalan kaki terlalu lama.<br />Patah tulang panggul lebih sering pada wanita dari pada laki- laki, alasannya :<br />a. Wanita memiliki tulang panggul lebih lebar yang cenderung mengalami coxa vara(deformitas dari hip dimana sudut antara leher dan batang tulang mengecil).<br />b. Wanita mengalami perubahan hormon post menopausal dan berhubungan dengan meningkatnya insiden osteoporosis.<br />c. Harapan hidup wanita lebih panjang dari pria.<br /><br /><br />4. PATOFISIOLOGI<br />Dalam beberapa literatur keperawatan medikal bedah diuraikan bahwa fraktur hip digolongkan dalam dua klasifikasi, yaitu:<br />a. Intra kapsularFraktur terjadi pada daerah yang masih berada dalam lingkup kapsul sendi yang meliputi:1)Fraktur sub kapitalb)Fraktur transervikalc)Fraktur basal leher<br />b. Ekstra kapsularFraktur terjadi di luar kapsul sendi panggul pada daerah sekitar 5 sentimeter di bawah trochanter minor. Fraktur ini juga disebut dengan fraktur intertrochanteric.<br />Suplai darah kepada kaput femoris oleh arteri retunakular sangat penting. Penyaluran makanan ke pembuluh periosteal dan batang femur berlanjut ke trochanter dan ke bawah kolom femoris. Aliran darah ini bervariasi menurut umur. Pada fraktur di luar dan di dalam sendi panggul, suplai darah ke bagian kepala femur naik keatas melalui bagian leher sering terganggu terutama pada fraktur intra kapsular. Bila suplai darah terputus total maka dapat terjadi kematian atau nekrosis jaringan tulang kepala femur(kaput femoris), disebut Avascular necrosis.<br /> <br />5. TANDA DAN GEJALA<br />a. Nyeri hebat pada daerah fraktur.<br />b. Tak mampu menggerakkan kaki.<br />c. Terjadi pemendekan karena kontraksi/spasmus otot-otot paha.<br />d. Eksternal rotasi pada tungkai tersebut.<br />e. Tanda-tanda lain sesuai dengan tanda fraktur pada umumnya, yaitu:<br />1) Nyeri bertambah hebat jika ditekan/raba<br />2) Perubahan bentuk/posisi berlebihan bila dibandingkan dengan keadaan normal.<br />3) Ada/tidak kulit yang terluka/terbuka di daerah fraktur.<br />4) Teraba panas pada jaringan yang sakit karena peningkatan vaskularisasi di daerah tersebut.<br />5) Pulsa/nadi pada daerah distal melemah/berkurang.<br />6) Kehilangan sensasi pada daerah distal karena jepitan saraf oleh fragmen tulang.<br />7) Krepitasi jika digerakkan (jangan melakukan pembuktian lebih lanjut jika pasti ada fraktur)<br />8) Perdarahan.<br />9) Hematoma, edema karena extravasasi darah dan cairan jaringan.<br />10) Tanda-tanda shock akibat cedera berat, kehilangan darah, atau akibat nyeri hebat.<br />11) Keterbatasan mobilisasi.<br />12) Terbukti fraktur lewat foto rontgen<br /><br />6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK<br />1. Pemeriksaan darah lengkapDilakukan untuk persiapan pre operasi. Dapat menunjukkan tingkat kehilangan darah hingga cedera (pemeriksaaan Hb dan Hct)Nilai leukosit meningkat sesuai respon tubuh terhadap cedera.<br />2. Golongan darah dan cross matchDilakukan sebagai persiapan transfudi darah jika kehilangan darah yang bermakna akibat cedera atau tindakan pembedahan.<br />3. Pemeriksaan kimia darah.Sebagai persiapan pre operatif untuk mengkaji ketidak seimbangan akibat cedera yang dapat menimbulkan masalah pada saat intra operasi (misalnya, ketidak seimbangan potassium dapat meningkatkan iritasi cardiac selama anestesi) BUN creatinin untuk evaluasi fungsi ginjal.<br />4. Masa pembekuan dan perdarahan (clotting time, bleeding time) sebagai persiapan pre operasi, biasanya normal jika tak ada gangguan perdarahan. Pada pasien lanjut usia dapat diberikan terapi antikoagulan segera setelah post operasi untuk memperkecil terjadinya tromboemboli.<br />5. Pemeriksaan urine.Sebagai evaluasi awal fungsi ginjal.<br />6. Pemeriksaan X-ray dada.Sebagai evaluasi tingkat cedera, persiapan pre operasi, atau mengetahui kondisi selama perawatan pembedahan, dll.(misalnya, kardiomegali atau gagal jantung kongestif).<br />7. EKGSebagai persiapan operasi maupun untuk mengevaluasi apakah terdapat juga cedera pada jantung (misalnya kontusio cardiac) disamping trauma/cedera pada hip.<br /><br />7. KOMPLIKASI<br />Kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi pada fraktur hip adalah:<br />1. Shock dan perdarahan. Pada saat terjadinya cedera atau segera sesudah operasi<br />2. Komplikasi immobilitas. Terutama pada usia lanjut, antara lain: a. Pneumoniab. Thromboplebitisc. Emboli pulmonal<br />3. Penyembuhan terlambat, non-union. Sering pada fraktur intrakapsular sembuh lebih lambat bila dibanding dengan fraktur ekstra kapsular karena adanya gangguan suplai darah.<br />4. Aseptic necrosis kepala femur. Merupakan komplikasi fraktur femur proksimal an dislokasi traumatik pada hip.<br />5. Deformitas, malposisi femur, arthritis sekunder. Displasemen fragmen tulang dapat menyebabkan deformitas, sedangkan trauma menyebabkan arthritis.<br />6. Masalah post operatif dengan alat-alat fiksasi internal. Fiksasi internal bisa melemah, patah, atau pindah tempat yang menyebabkan kerusakan jaringan lunak. Untuk ini perlu pembedahan ulang.<br />7. Ekstrim eksternal/internal rotasi dan adduksi.<br />Sedangkan komplikasi lain yang dapat terjadi karena immobilisasi dan post operasi adalah:<br />1. Atelektasis<br />2. Infeksi Luka<br />3. Stasis atau infeksi saluran kemih<br />4. Kejang pada otot<br /><br />8. TERAPI / PENGELOLAAN MEDIK<br />Pemilihan alat fiksasi tergantung lokasi fraktur, potensial nekrosis avascular pada kepala sendi femur, dan kesukaan dokter yang merawat. Fraktur intrakapsular dengan impaksi tanpa displasemen dapat disembuhkan cukup dengan bed rest saja. Jenis tindakan untuk jenis fraktur yang lain adalah sebagai berikut :<br />1. Stable plate and screw fixation : Dengan status non-weight bearing selama 6 minggu sampai 3 bulan<br />2. Telescoping nail fixation : Dengan status minimal weight bearing sampai partial weight bearing selama 6 minggu sampai 3 bulan.<br />3. Prosthetic implant : Biasanya digunakan protesis Austin Moore atau protesis bi-polar untuk mengganti leher dan kepala sendi. Harus menjalani restriksi posisi dari 2 minggu sampai 2 bulan dan restriksi partial weight bearing sampai sekitar 2 bulan.<br />4. Closed reduction and external fixation (reduksi tertutup dengan fiksasi eksternal) dilakukan jika kondisi umum pasien tidak mengijinkan untuk menjalani pembedahan.(Med.Sur.Nursing, Barbara C.long)<br /><br />B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN<br /><br />1. Pengkajian<br />a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatanPada orang-orang lanjut usia sering disertai riwayat kesehatan seperti penyakit jantung, diabetes, hipertensi, yang bisa menyebabkan jatuh.<br />b. Pola aktivitas dan latihan.<br />- Ada riwayat jatuh ketika sedang beraktifitas atau kecelakaan lain.<br />- Pada fraktur femur pangkal proximal kadang masih dapat berjalan tetapi tidak dapat menahan beban.<br />- Pada fraktur batang femur biasanya tidak kuat berdiri/menahan beban.<br />- Ada perubahan bentuk atau pemendekan pada tungkai yang terkena.<br />c. Pola persepsi kognitif.<br />- Biasanya mengeluh nyeri hebat pada lokasi tungkai yang terkena.<br />- Mengeluh kesemutan atau baal pada lokasi tungkai yang terkena.<br />d. Pola nilai kepercayaan.<br />- Pada umumnya pasien menyatakan tidak percaya bahwa cederanya berat.<br />- Pada pasien lanjut usia dengan tegas menyangkal dan akan segera sembih bila nyeri dapat diatasi tanpa pembedahan.<br /><br /><br /><br />2. DIAGNOSA KEPERAWATAN:<br />Preoperatif :<br />a. Nyeri sehubungan dengan:- Spasmus otot- Pergerakan fragmen tulang, edema, dan luka jaringan lunak- Traksi/alat immobilisasi- Stress, kecemasan (NCP, M.E. Doenges)<br />b. Potensial komplikasi preoperatif sehubungan dengan keadaan perlukaan(fraktur) akibat trauma (NCP, Nancy H.)<br />c. Kurang pengetahuan sehubungan dengan kurang informasi tentang prosedur operasi(Med.Sur.Nsg.,Barbara C. Long)<br /><br />Post operatif :<br />a. Nyeri sehubungan dengan prosedur operasi (Med.Sur.Nsg.,Barbara C. Long)<br />b. Gangguan mobilitas fisik sehubungan dengan perubahan status extremitas bawah sesudah operasi perbaikan. (Med.Sur.Nsg.,Barbara C. Long)<br />c. Potensial komplikasi post operasi sehubungan dengan- Keadaan perlukaan akibat trauma- Intervensi pembedahan- Imobilitas (NCP, Nancy H.)<br />d. Potensial infeksi sehubungan dengan gangguan integritas kulit (Med.Sur.Nsg., Donna, Marylin)<br />e. Potensial gangguan perawatan di rumah sehubungan dengan situasi ketergantungan (Med.Sur.Nsg.,Barbara C. Long)<br />f. Kurang pengetahuan sehubungan dengan perubahan tingkat aktivitas yang boleh dilakukan dan perawatan di rumah (NCP, Nancy H.)<br /><br /><br />3. DISCHARGE PLANNING:<br />· Persiapan Perawatan Di Rumah. Pasien lanjut usia dengan fraktur hip biasanya mendapat rujukan rehabilitasi. Perawat harus mengkomunikasikan rencana asuhan kepada fasilitas yagn akan melanjutkan rehabilitasi. Pasien tidak boleh dipulangkan untuk tinggal sendiri di rumah karena membutuhkan bantuan selama proses penyambuhan. Perawat mengkaji struktur rumah atas adanya barrier terhadap mobilitas pasien (mis. tangga, dll.). Pasien harus mampu bergerak bebas dengan alat bantu di dalam rumah.<br />· Penyuluhan pasien /keluarga. Perawat menyediakan instruksi tertulis tentang cara merawat diri. Keluarganya mendapat penyuluhan tentang cara menjaga/merawat bagian yang sakit. Perawatan luka di rumah dapat diatur sesuai perjanjian dengan RS atau referal ke instansi lain. Pasien harus mengetahui cara meningkatkan penyembuhan, mencegah komplikasi, mengenali tanda-tanda komplikasi, dan kapan dan dimana harus menghubungi tenaga kesehatan jika komplikasi terjadi.<br />· Persiapan Psikososial. Perawat mengatur perawatan lanjut di rumah, mis. konsultasi bagi pasien dengan depresi. Jika ada kerusakan jaringan yang parah maka perawat harus realistik dan menolong klien mengerti bahwa penyembuhan memerlukan waktu cukup lama, terutama jika terjadi infeksi. Keparahan dan penanganan yang kompleks dapat merongrong kondisi mental pasien dan keluarganya. Konseling kerja kadang diperlukan untuk membantu pasien mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kondisinya.<br />Sumber-sumber Pelayanan Kesehatan. Pasien dengan cedera berat memerlukan perawatan lanjut di rumah oleh perawat komiunitas. Perawat mengidentifikasi jika manula memerlukan tenaga pembantu di rumah dan mengaturnya. Sangat penting bagi perawat untuk mengkomunikasikan kebutuhan pasien kepada perawat/pengasuh yang melanjutkan perawatan di rumah. Tenaga fisioterapi diperlukan dalam rehabilitasi. Tenaga terapist okupasi diperlukan untuk mengkaji lingkungan, retraining aktivitas harian adaptasi agar lebih mandiri.<br /><br />4. PERENCANAAN<br /><br />Nyeri sehubungan dengan:<br />· Spasmus otot<br />· Pergerakan fragmen tulang, edema, dan luka jaringan lunak<br />· Traksi/alat immobilisasi<br />· Stress, kecemasan (NCP, M.E. Doenges)<br />HYD:<br />· Memverbalisasikan berkurangnya nyeri<br />· Menunjukkan sikap yang relaks, mampu berpartisipasi dalam aktivitas/tidur/istirahat dengan sesuai.<br />Intervensi<br />Rasional<br />1. Pertahankan immobilisasi pada sisi paha yang fraktur<br />Displasemen tulang, pelebaran luka, dan nyeri hebat dapat terjadi<br />2. Evaluasi laporan nyeri/ketidak nyamanan, lokasi dan karakteristik, intensitas(skala 0-10), tanda nyeri nonverbal (perubahan TTV, dan emosi/tingkah laku)<br />Berpengaruh terhadap pemilihan dan efektivitas intervensi. Tingkat kecemasan berpengaruh dalam persepsi/reaksi terhadap nyeri.<br />3. Dorong pasien untuk mendiskusikan masalah sehubungan dengan perlukaan.<br />Luka dapat sembuh atau memburuk dipengaruhi oleh sikap pasien terhadap lukanya<br />4. Jelaskan prosedur sebelum memulai<br />Pasien siap mental dlm beraktifitas dan mampu mengendalikan ketidak nyamanan.<br />5. Berikan medikasi sebelum akivitas keperawatan<br />Relaksasi otot diperlukan untuk partisipasi aktivitas<br />6. Laksanakan aktif/pasif ROM dengan pengawasan<br />Kekuatan dan mobilitas memudahkan penyembuhan inflamasi daerah luka.<br />7. Dorong penggunaan tehnik manajemen stress: tehnik pernafasan, dll)<br />fokus perhatian, meningkatkan kemampuan pengendalian nyeri yang dapat berlangsung untuk waktu lama.<br />8. Identifikasi aktivitas yang sesuai dengan pasien dan dan kesukaannya<br />Kebosanan, ketegangan, mengganggu self esteem, dan pola koping.<br />9. Kolaborasi: Berikan medikasi yg sesuai: narkotik/non-narkotik: AINSberikan narkotik sesuai jadwal selama 3-5 hari<br />Nyeri dan/atau spasmus otot menambah ketidak nyamanan<br /><br />Potensial komplikasi preoperatif sehubungan dengan keadaan perlukaan(fraktur) akibat trauma (NCP, Nancy H.)<br />HYD:<br />Sebelum pembedahan :<br />· Respirasi normal atau jika abnormal masalahnya teratasi<br />· Menunjukkan tanda-tanda vital yang stabil<br />· Perdarahan teratasi<br />· Temuan neurovaskular dalam batas yang diharapkan<br />· Memverbalisasikan berkurangnya rasa nyeri<br />· Mendapat penyuluhan dan persiapan operasi<br />Intervensi<br />Rasional<br />1. Pastikan adekuasi pernafasan. Auskulatasi paru, laporkan temuan yang patologi kepada dokter, dan siap untuk memberikan dukungan respirasi jika diperlukan.<br />Kecelakaan ber-impak tinggi dengan fraktur femur mempunyai insiden tinggi trauma multisistem, termasuk pernafasan, jantung dan sistem saraf pusat.<br />2. Kaji adanya tanda-tanda perdarahan, dan pertahankan volume sirkulasi. Laporkan kenaikan denyut nadi, penurunan tekanan darah, pucat, berkeringat, atau penurunan kesadaran. Berikan dan pertahankan masukan cairan intravena. Jika fraktur terbuka dengan perdarahan aktif lakukan tekanan langsung pada luka dan laporkan dokter.<br />Fraktur femur mempunyai hubungan bermakna dengan kehilangan darah karena mempunyai pembuluh darah yang cukup besar. Parameter yang disebut adalah sebagai tanda shock dan memerlukan intervensi segera. Cairan intravena untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan mengganti volume darah yang hilang.<br />3. Kaji status neurovaskular ekstremitas. Perhatikan jika denyut tak ada, bercak pada kulit, cianosis, parestesis, atau rasa baal. Bandingkan denyut nadi secara bilateral. Laporkan adanya defisit segera kepada dokter. Hindari pergerakan yang tidak perlu.<br />Pembuluh darah dan syaraf pada fraktur dapat diperparah oleh fragmen tulang, edema, dan deformitas. pergeraka dapat memperparah perlukaan. Perfusi yang tidak adekuat dapat mengakibatkan gangguan fungsi permanen.<br />4. Kendalikan nyeri®lihat DP nyeri<br /><br />5. Jika fraktur terbuka, pastikan pencegahan tetanus dan infeksi sudah dipertimbangkan sebelum operasi. Balut luka secara steril<br />Luka terbuka sangat besar potensi infeksi tetanus dan lainnya. Balutan steril meminimalkan kontaminasi bakteria lainnya lebih lanjut.<br />6. Siapkan pasien untuk menjalani pembedahan<br /><br /><br /><br /><br />Nyeri sehubungan dengan prosedur operasiHYD:<br />· Pasien menyatakan merasa nyaman<br />· Pasien mampu melaksanakan aktivitas post operasi<br /><br /><br />Intervensi<br />Rasional<br />1. Kaji tingkat nyeri pasien dan evaluasi respon pasien thd tindakan pemberian rasa nyaman yang sudah dilakukan.<br />Data subyektif dan obyektif penting dalam mengatasi rasa nyeri post operasi dan menentukan manajemennya.<br />2. Ajarkan tehnik relaksasi yang sesuai<br />Relaksasi mempermudah istirahat dan memperbaiki respon terhadap nyeri<br />3. Gunakan tehnik pengurangan nyeri lainnya yang sesuai. Mis. gosok punggung, pengaturan posisi.<br />Perubahan stimulasi pada kulit dapat menghasilkan pengurangan nyeri.<br />4. Kolaborasi: pemberian analgesik (biasanya narkotik) sesuai jadwal pada masa segera sesudah operasi<br />Biasanya perlu diberikan narkotik 48-72jam pertama post operasi. Analgesi memepunyai efek lebih besar jika diberikan sebelum nyeri menjadi parah.<br />5. Kolaborasi: gunakan analgesik yang lebih ringan sesuai order jika nyeri sudah berkurang.<br />Nyeri dapat dikendalikan dengan analgesik lebih ringan (dengan efek samping sedikit) jika nyeri sudah berkurang.<br /><br />Potensial komplikasi post operasi sehubungan dengan<br />· Keadaan perlukaan akibat trauma<br />· Intervensi pembedahan<br />· Imobilitas<br />HYD:<br />Dalam 24 jam post operasi di ruangan:<br />· Tanda-tanda dalam batas normal<br />· Tak ada perdarahan berlebihan, gangguan neurovaskular, atau infeksi<br />· Nyeri terkendali<br />· Dapat melaksanakan nafas dalam dan batuk efektif<br />· Mempertahankan posisi yang tepat<br />Dalam 24 jam post operasi:<br />· Melaksanakan latihan yang diperbolehkan<br />· Tak ada tanda dan gejala tromboemboli<br />· Memverbalisasikan pembatasan posisi<br />· Makan dan minum cukup secara oral jika mengijinkan.<br /><br />Intervensi<br />Rasional<br />1. Kaji tanda-tanda vital sesuai protokol post pembedahan atau lebih sering jika tidak stabil. Cek pembalut dan drain atas adanya perdarahan. Laporkan adanya abnormalitas tanda vital, perdarahan berlebihan pada balutan, drain, adanya edema, atau ecchymosis. Kaji cedera yang berhubungan jika cedera melibatkan trauma pada bagian lain.<br />Seperti yang telah disebutkan dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Takikardia dan hipotensi merupakan petunjuk tidak adekuatnya penggantian cairan, kehilangan darah karena cedera dan pembedahan, atau cedera lain yang tak terdeteksi.<br />2. Kaji status neurovaskular sekurang-kurangnya 1 jam sekali. Perhatikan melemahnya atau tak adanya denyut nadi, bercak kulit, cianosis, parestesia, baal, atau bertambahnya edema post operatif yang signifikan. Waspadai sindroma kompartemen: nyeri progresif yang yang dapat diperberat dengan peregangan, defisit sensori, paralisis, bengkakan keras, atau menurunnya denyut nadi distal. Hubungi dokter segara jika status pasien memburuk.<br />Pengkajian neurovaskular memastikan penyesuaian intervensi. Peningkatan edema dapat menekan struktur vaskular dan mengganggu oksigenisasi jaringan. Diperlukan tindakan segera untuk memperbaiki sirkulasi. Sindroma kompartemen terjadi pembengkakan otot yang memperburuk sirkulasi dan menimbulkan iskemia. Ini dapat terjadi segera sesudah operasi atau beberapa hari sesudahnya. Untuk itu diperlukan tindakan fasciotomy.<br />3. Pertahankan kepatenan infus dan berikan cairan sesuai order sekurangnya 24 jam pertama post operasi<br />Infus berperan untuk mengganti cairan yang hilang karena perdarahan, status NPO, ancaman dehidrasi, atau kehilangan jaringan pada pembedahan, juga sebagai jalur untuk pemberian obat intravena.<br />4. Berikan antibiotik sesuai order, observasi daerah luka, dan laporkan adanya peningkatan pembengkakan, eritema, demam, cairan purulen, atau tanda-tanda infeksi lainnya.<br />Antibiotik biasanya diberikan sesudah operasi, terutama pasien dengan fraktur terbuka, mencegah osteomyelitis. Perubahan kadang diperlukan untuk mengantisipasi adanya mikroorganisme patologis lain<br />5. Cegah komplikasi yang berhubungan dengan imobilitasi :<br />Imobilitas merupakan predisposisi bagi komplikasi post operasi.<br />· Dorong pelaksanaan ROM ® lihat Pada DP Gangguan mobilitas fisik<br />Latihan yang sesuai mengurangi stasis vena dan menjaga tonus otot<br />· Gunakan stoking antiembolic sesuai order dokter<br /><br />· Sediakan pegangan untuk membantu gerak pasien<br />Pegangan berguna untuk bergerak<br /><br />· Dorong pelaksanaan nafas dalam dan batuk efektif tiap jam pada saat pasien tidak tidur<br />Mencegah infeksi pernafasan dan akumulasi cairan.<br />· Pastikan kecukupan intake cairan jika tak ada kontra indikasi. Catat intake dan output.<br />Mempertahankan hidrasi, mengencerkan sekret, fungsi renal, dan infeksi sal. Kemih<br />6. Observasi tanda dan gejala tromboemboli:<br /><br />· Emboli lemak: takikardia, dispnea, nyeri pleuritik, pucat dan cianosis, petechiae, wheezing, nausea, syncope, lemas, perubahan mental, perubahan ECG, atau demam. Daerah yang sakit teraba dingin, kaku, dan pucat<br />Emboli lemak terjadi lebih sering pada fraktur tulang panjang (3hari pertama). Mekanisme fisiologiknya tak diketahui. Emboli dapat terjadi di paru, jantung, otak, atau ekstremitas.<br />· Emboli paru: nyeri pulmonal mendadak, dispnea, takikardia, batuk, henoptisis, cemas, syncope, perubahan ECG, hipotensi, atau demam<br />Emboli paru biasanya terjadi belakangan antara 10-24 hari sesudah cedera<br />· Tromboplebitis: positif Homman’s sign Å, nyeri pada betis, bengkak, atau kemerahan pada tungkai.Laporkan setiap tanda dan gejala diatas segera kepada dokter.<br />Biasa terjadi pada tungkai sebagai akibat pembentukan bekuan dan menyumbat vena superfiisial maupun vena besar.<br />Intervensi segera perlu dilakukan karena komplikasi dapat mengancam kehidupan.<br />7. Pertahankan imobilisasi yang tepat pada bagian yang sakit tergantung tempat fraktur dan jenis pembedahan. Umumnya hindari adduksi, rotasi eksternal, fleksi hip mendadak.<br />Pergerakan tersebut dapat menyebabkan displasemen dan mempengaruhi proses penyembuhan.<br />8. Observasi dan lapor segera jika mendadak terjadi: Nyeri hebat, pemendekan atau rotasi pada sisi tungkai yang sakit, atau spasmus otot yang persisten.<br />Merupakan tanda dislokasi atau nekrosis kepala sendi. Diperlukan intervensi segera untuk mencegah kerusakan permanen.<br />9. Dorong intake nutrisi adekuat, terutama makanan kaya protein, vitamin, dan mineral.<br />Proses penyembuhan memerlukan tambahan nutrisi. Defisit vitamin dan mineral menghambat penyembuhan dan dapat menyebabkan osteomalasia.<br /><br />Gangguan mobilitas fisik sehubungan dengan perubahan status extremitas bawah sesudah operasi perbaikan.(Med.Sur.,Barbara C. Long)<br />HYD:<br />· Pasien mendemonstrasikan tingkat mobilitas optimal dengan alat adaptive dengan pembatasan aktivitas yang dianjurkan pada saat pulang dari RS.<br />· Tak terjadi cedera selama dirawat di RS<br /><br />Intervensi<br />Rasional<br />1. Ajak pasien melaksanakan latihan nafas dalam dan batuk efektif tiap 1-2 jam sampai ambulasi penuh<br />Jika dilaksanakan dengan tepat dan interval yang benar, latihan pulmonal dapat mencegah atelektasis dan pnemonia.<br />2. Dorong pasien untuk melaksanakan secara aktif: dorsifleksi, palantar fleksi, setting quadrisep isometrik dan gluteal, dan aktif ROM pada bagian yang tidak sakit 2x/hari sampai awal ambulasi<br />Latihan meningkatkan venous return, mencegah pembentukan trombus, dan menolong mempertahakan tonus otot<br />3. Dapatkan dari dokter mengenai batas gerakan dan pembebanan berat yang diperbolehkan, dan perlu diingat pedoman berikut ini:<br />· Fleksi hip biasanya dibatasi max. 90° selama 2-3 bulan<br />· Adduksi melebihi midline dilarang selama 2-3 bulan.<br />· Rotasi internal dan external secara ekstrem dilarang selama 2-3 bulan<br />· Partial weight bearing pada bagian yang sakit dengan bantuan walker atau kruk biasanya diobservasi selama 2-3 bulan<br />Restriksi dalam pengaturan posisi dirancang untuk mencegah dislokasi protesa atau kepala sendi pada hip<br />4. Alih posisi pasien dari punggung ke sisi tubuh yang tidak sakit tiap 2jam atau p.r.n.<br />Alih/pengaturan posisi dapat meningkatkan sirkulasi, usaha bernafas, dan aktivitas otot.<br />5. Ketika alih posisi, tahan kaki yang dioperasi dalam posisi abduksi, gunakan bantal untuk mempertahankan posisi abduksi 30° jika alih posisi sudah dilakukan.<br />Mencegah adduksi tungkai bawah<br />6. Bantu pasien berjalan mempergunakan alat ambulasi yang tepat. Mulai ambulasi pada hari pertama atau kedua post operasi dan tingkatkan frekuensi ambulasi maupun jarak yang dapat ditoleransi pasien.<br />Aktivitas post operasi yang awal, termasuk jalan, dapat mempercepat recovery (pemulihan) dan mencegah komplikasi post operatif.<br />7. Mulai duduk ketika pasien menunjukkan pengendalian yang cukup pada bagian yang sakit untuk duduk dalam batas fleksi yang danjurkan<br />Dipersiapkan untuk pulang dan meyakinkan pasien dapat duduk dalam batas fleksi anjuran<br />8. Naikkan permukaan tempat duduk dengan bantal untuk mempertahankan sudut hip dalam batas anjuran.<br />Membatasi fleksi tak lebih dari 90°<br /><br />Potensial infeksi sehubungan dengan gangguan integritas kulit (Med.Sur.Nsg., Donna, Marylin)<br />HYD:<br />Pasien tidak akan mengalami infeksi luka operasi.<br />· Tak ada tanda dan gejala infeksi luka<br />· Mengalami penyembuhan tanpa komplikasi<br />Intervensi<br />Rasional<br />1. Inspeksi balutan operasi atas pengeluaran cairan, catat jenis dan banyaknya<br />Cairan purulen menunjukkan adanya infeksi luka<br />2. Monitor dan ukur cairan drainase, misalnya hemovac (jaga suction tetap bertekanan untuk mencegah pembentukan hematoma)<br />Drain mengeluarkan exudat yang bisa menjadi medium bagi pertumbuhan kuman.<br />3. Setelah melepas pembalut, inspeksi insisi terhadap adanya kemerahan, pembengkakan, dan hangat.<br />Tanda inflamasi dapat menunjukkan adanya proses infeksi<br />4. Ganti balutan dengan tehnik aseptik.<br />Keadaan steril mengurangi peluang infeksi.<br />5. Monitor TTV tiap 4 jam<br />Kenaikan suhu dan nadi menunjukkan adanya infeksi.<br /><br />Kurang pengetahuan sehubungan dengan kurang informasi tentang prosedur operasi(Med.Sur.,Barbara C. Long)<br />HYD:<br />· Pasien dapat menjelaskan isi penyuluhan oleh perawat tentang persiapan operasi, operasi dan perawatan post operasi<br />· Pasien menyatakan berkurangnya rasa cemas yang berhubungan dengan miskonsepsi tentang pembedahan dan masa pemulihan<br /><br />Intervensi<br />Rasional<br />1. Kaji kebutuhan instruksi dan berikan sesuai kebutuhan.<br />2. Sediakan informasi tertulis mengenai pembedahan jika institusi menyediakan<br />3. Bahas instruksi pre operatif dengan pasien dan keluarganya sebelum pembedahan<br />4. Evaluasi pemahaman pasien mengenai informasi yang sudah diberikan<br />Pemahaman prosedur pembedahan dan perawatan post operatif dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan keinginan untuk sembuh dan pulih bagi pasien sesudah tindakan pembedahan.<br /><br /><br />Potensial gangguan perawatan di rumah sehubungan dengan situasi ketergantungan (Med.Sur.,Barbara C. Long)<br />HYD: Pasien dan keluarganya menyatakan puas dengan rencana yang diatur untuk mempermudah perawatan di rumah.<br />Intervensi<br />Rasional<br />1. Diskusikan dengan pesien dan keluarganya mengenai rencana mereka untuk perawatan di rumah<br />2. Tentukan bersama pasien apa yang harus dilakukan untuk diri sendiri untuk pulang ke rumah.<br />3. Tentukan dengan pasien jenis peralatan dan pelayanan yang diperlukan yang dibutuhkan untuk di rumah(mis. kruk, walker, peninggian toilet, fisioterapi, dan lai-lain)<br />4. Kaji perkembangan pasien secara reguler untuk memastikan apakah kemampuan fungsionalnya sesuai untuk pelaksanaan renca di atas.<br />5. Libatkan bagian lain yang sesuai (mis. bagian sosial medik) untuk mendapatkan bantuan jika pasien pada awalnya belum mampu melaksanakan rencana yang sudah ditentukan untuk di rumah.<br />Rencana pulang yang adekuat dapat memberikan hasil optimal untuk mencapai pelaksanaan rehabilitasi di rumah dan mendapat bantuan sesuai dengan yang di butuhkan.<br /><br />Kurang pengetahuan sehubungan dengan perubahan tingkat aktivitas yang boleh dilakukan dan perawatan di rumah (NCP, Nancy H.)<br />HYD:<br />Pada saat pulang pasien akan:<br />· Menyatakan dan mendemonstrasikan pemahaman tentang pengaturan posisi, pembatasan gerak, atau perawatan luka<br />· Menyatakan pemahamannya tentang jenis diet dan pengobatan yang harus dijalani<br />· Dapat mengidentifikasi tanda dan gejala komplikasi<br />· Mendapat keperluan untuk referal dan follow-up.<br /><br />Intervensi<br />Rasional<br />1. Berikan penyuluhan kepada pasien dan keluarganya tentang : pengaturan posisi, pembatasan aktivitas, cara pemakaian kruk/walker, diet, komplikasi, dan medikasi/pengobatan. Perhatikan rekomendasi dokter dan laksanakan penyuluhan sepanjang masa perawatan di rumah sakit<br />Rekomendasi perawatan di rumah bervariasi tergantung keadaan fraktur dan pembedahan, umur dan kondisi pasien, dan kondisi kesehatan yang sudah ada sebelumnya. Pasien biasanya lebih responsif terhadap instruksi yang berulang dan berkelanjutan selama dirawat di rumah sakit dari pada memberikan sejumlah besar informasi dalam waktu yang sama.<br />2. Kaji sumber-sumber untuk perawatan di rumah, dan buat rujukan-rujukan yang sesuai.<br />Tergantung kepada faktor-faktor yang disebutkan di atas dan sistem pendukung dalam keluarga. Kadang pasien memerlukan bantuan medis dan perawatan, atau follow-up lainnya untuk memastikan pemulihan tanpa komplikasi<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Referensi<br />Joan Luckman, R.N., M.A., Karen C. Sorensen, R.N., M.N., Medical-Surgical Nursing: A psychohysiological Approach, Philadelphia: W.B. Saunders Company, 1987<br />Wilma J. Phipps, PH.D., R.N., F.A.A.N., Barbara C. Long M.S.N., R.N., Medical-Surgical Nursing: Concept and Clinical Practice, fourth edition, Missouri: Mosby-Year Book, Inc, 1991<br />Donna D. Ignatavicius, Marylin V.B., Medical Surgical Nursing: A Nursing Process Approach, Pensylvania: WB Saunders Company, 1991.<br />Nancy M. Holloway, RN, MSN, CCRN, CEN., Medical Surgical Care Plan. Pennsylvania: Springhouse Corporation, 1988<br />John Gibson, MD, Anatomi dan Fisiologi Modern Untuk Perawat, Edisi ke 2, Jakarta, 1995<br />Marilynn E. Doenges, Mary F. Mooerhouse, Nursing Care Plan. Edition 3, Philadhelphia: F.A.Davis Company, 1993<br /> </div>UUNhttp://www.blogger.com/profile/03809401118170400297noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5128503638995547949.post-34627230679209670082008-05-18T06:16:00.000-07:002008-05-18T06:20:18.756-07:00<div align="center"><br /><br /><strong>ASUHAN KEPERAWATAN<br />PADA PASIEN DIABETES MILITUS DENGAN ULCUS<br /></strong> </div><br /><br /><div align="center"><br /><br /><strong>BAB I<br />PENDAHULUAN</strong></div><div align="justify"><br /><br />A. Latar Belakang<br />Dalam kehidupan sehari-hari sering kita dengar tentang penyakit Diabetes Militus atau penyakit yang sering disebut pula penyakit gula, diabetes militus adalah suatu penyakit kronik yang kompleks, yang melibatkan kelainan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak dan berkembangnya komplikasi makrovaskular dan neurologi.<br />Diabetes militus menjadi masalah kesehatan yang serius di seluruh dunia, diperkirakan sekitar 15,7 juta orang terkena diabetes militus di Amerika Serikat dan diperkirakan dari jumlah tersebut sebanyak 5,9% dari populasi penduduk AS terkena DM. DM memberikan kontribusi lebih dari 162.000 kematian pada tahun 1996. DM menjadi penyebab kematian nomor 7 di Amerika Serikat, DM menjadi penyebab utama pada kasus kebutaan, lebih dari 60-75% orang dengan DM mempunyai hypertensi.<br />Meningkatnya penderita DM berkaitan erat dengan pola dan gaya hidup yang berubah ditambah dengan kemajuan zaman. DM dapat terjadi pada tingkat semua usia dapat berakibat fatal bahkan kematian. Insiden tertinggi terjadi pada usia 20-70 tahun (buku Metsu Donna, hal 1593). Penderita penyakit diabetes tidak dapat disembuhkan tetapi penderita dapat mempertahankan pola hidup normal dengan diet, latihan obat. Penderita DM kadang sedang mengabaikan sakitnya dan tidak disiplin dalam mengikuti proses pengobatan. Untuk itu dalam penanganan kasus pasien dengan DM diperlukan ketepatan dalam pengobatan perawatan dan pencegahan. Di sini pentingnya peranan perawat dalam menekankan penyuluhan dan memberikan dorongan dan support pada pasien dengan diabetes militus.<br />Pasien diabetes militus pada golongan geriatri menurut seorang perawat untuk lebih peka perhatian dalam proses keperawatan, karena dengan turunnya sistim tubuh ditambah dengan komplikasi yang ditimbulkan oleh DM maka dapat memperburuk keadaan pasien. Dalam hal ini sebagai perawat membantu pasien seoptimal mungkin memberi penyuluhan, diet, latihan serta pencegahan komplikasi yang lain.<br /><br />B. Tujuan Penulian<br />Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :<br />1. Memperoleh pengalaman dalam merawat pasien dengan penyakit Diabetes Militus serta dapat memberikan asuhan keperawatan.<br />2. memperdalam anatomi fisiologi dan patologi yang merupakan dasar dalam melakukan kajian dan intervensi dalam keperawatan, yang sudah diperoleh dalam perkuliahan.<br /><br />C. Metode Penulisan<br />Metode penulisan yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah studi lapangan langsung pada penderita diabetes militus di unit Elisabet RS. Carolus dan studi kepustakaan dengan menggunakan literatur yang mendukung.<br /><br />D. Sistematika Penulisan<br />Dalam menyusun makalah ini kami membuat sistematika penulisan sebagai berikut: penulisan makalah ini diawali dengan kata pengantar dan daftar isi. Pada bab I pendahuluan terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan. Pada bab II diuraikan tentang tinjauan teoritis yang terdiri dari definisi anatomi, fisiologi, etiologi, patofisiologi, tanda dan gejala, tes diagnostik, therapy/pengolahan medik dan komplikasi, sedangkan konsep dasar keperawatan berisi tentang pengkajian dan perencanaan. Bab III berisi tentang pengamatan kasus penulis. Bab IV mengenai pembahasan kasus yang didasarkan pada perbandingan antara teori yang didapat di perkuliahan. Bab V kesimpulan yang merupakan bab terakhir dan sebagai penutup daftar pustaka.<br />BAB II<br />TINJAUAN TEORITIS<br /><br />A. KONSEP DASAR MEDIK<br />1. Definisi<br />Diabetes Militus adalah suatu penyakit kronik yang kompleks, yang melibatkan kelainan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein dan berkembangnya komplikasi makrovaskular dan neurologi (Perawatan Medical Bedah, Barbara C, Long 1989).<br /><br />2. Anatomi Fisiologi<br />Orang dengan metabolisme yang normal mampu mempertahankan kadar glukosa dalam darah, antara 70 – 110 mg/dl. Jika darah kelebihan glukosa maka akan disimpan dalam hati dan sel-sel otak dengan bantuan insulin. Selama keadaan puasa kadar gula dalam darah dipertahankan maka glukosa akan dilepaskan (glikogenolisis) dan glukosa yang baru dibentuk dari asam amino, laktat dan gliserol yang berasal dari trigliserida (glukoneogenesis). Normalisasi glukosa darah diatur oleh hormon-hormon.<br />Ada lima hormon yang terlibat dalam regulasi kadar darah, yaitu hormon-hormon pankreas, insulin merupakan satu-satunya hormon yang menurunkan glukosa dalam darah dan empat lainnya (glukagon, growth hormon, epinephrin dan glukokortikoid) semuanya meningkatkan kadar gula dalam darah. Insulin dan glukagon diproduksi dalam pankreas. Insulin disekresi oleh sel Beta pankreas sedangkan hormon glukagon diproduksi oleh sel Alfa.<br /><br />Insulin dan fungsinya :<br />Insulin akan mengendalikan kadar glukosa yang akan membantu tubuh dalam menggunakan glukosa dan lemak dimana apabila keadaan gula darah meningkat sel Beta langerhans pankreas akan mengeluarkan hormon insulin yang berfungsi :<br />- Memacu glukosa masuk ke sel.<br />- Menghentikan pemecahan glikogen menjadi glukosa.<br />- Memacu enzim yang merubah glukosa menjadi glikogen dan lemak.<br />Kerja glukagon :<br />Hormon glukagon bekerja atau mempunyai fungsi sebaliknya dimana jika glukosa dalam darah turun, maka sel alfa langerhans pankreas akan mengeluarkan hormon glukagon yang berfungsi dalam :<br />- Meningkatkan glikogen menjadi glukosa.<br />- Meningkatkan proses glikoneogenesis<br />3. Etiologi<br />- Kelainan fungsi/jumlah sel beta yang bersifat genetik, penyebab genetik ini sering terjadi baik pada DM tipe 1 dan tipe 2.<br />- Faktor lingkungan<br />Lingkungan dapat menyebabkan atau mengubah integritas dan fungsi sel beta pada individu yang rentan. Faktor-faktor tersebut :<br />a. Agen yang menyebabkan infeksi seperti virus, Cocksackie dan virus penyakit gondok.<br />b. Diit, pemasukan kalori, karbohidrat dan gula yang diproduksi secara berlebihan.<br />c. Obesitas.<br />d. Kehamilan.<br /><br />- Gangguan sistem imun, gangguan sistem ini dapat dilakukan oleh<br />a. Auto imunitas disertai pembentukan sel-sel anti body pankreas yang akan menyebabkan kerusakan sel-sel pankreas insulin.<br />b. Peningkatan kepekaan terhadap kerusakan sel beta oleh virus.<br />- Penyakit kelainan dari beberapa kelenjar endokrin misalnya :<br />a. Kelenjar pankreas : tempat pembuatan insulin.<br />b. Kelenjar hypopisis : memproduksi hormon yang merangsang kerja pankreas.<br />c. Kelenjar adrenal : membantu metabolisme karbohidrat mengeluarkan glukosa dari hari yang kerjanya lebih aktif jika dalam keadaan stress.<br />d. Kelenjar tyroid : menghasilkan hormon yang membantu proses metabolisme.<br />Dari etiologi yang ada di atas pada penyakit DM pada type I dan type II belum diketahui secara pasti dan dari beberapa kasus yang terjadi kemungkinan penyebabnya adalah :<br />Type I (IDDM) 10-15% dari kasus :<br />- Faktor genetik.<br />- Kerusakan sel beta pankreas.<br />- Infeksi virus.<br />- Auto imun.<br />Type II (NIDDM) 80% kasus :<br />- Faktor genetik.<br />- Obesitas<br />- Kurang aktif.<br />- Faktor lingkungan.<br />- Pengaruh obat-obatan (diuretik, anti conuulsan, dll).<br /><br />4. Patofisiologi<br />Dalam keadaan normal, jika terdapat insulin asupan glukosa (produksi glukosa) yang melebihi kebutuhan kalori akan disimpan sebagai glikogen dalam sel-sel hati dan otot proses ini disebut glikogenesis untuk mencegah hyperglikemia (kadar glukosa darah lebih dari 110 mg/dl jika terjadi kekurangan insulin karena produksi terganggu atau tidak diproduksi kemungkinan terjadi karena :<br />- Kekurangan produksi insulin oleh sel Beta<br />- Reseptor insulin pada sel kurang berfungsi.<br />Defisiensi insulin akan menyebabkan glukosa tidak dapat masuk dalam sel melalui siklus krebs dan akan mengakibatkan sel akan mengoksidasi lemak dan protein dari jaringan adiposa. Karena pemecahan jaringan menyebabkan kehabisan persediaan makanan protein dan lemak, maka tubuh akan menjadi kurus dan pemecahan ini menghasilkan zat sisa berupa urea dan keton sehingga menimbulkan ketoasidosis. Glukosa dalam darah meningkat jumlahnya sehingga terjadi Hyperglikemi yang berakibat tekanan osmotik meningkat dan menarik cairan intrasel dalam darah. Apabila kadar gula darah tinggi melebihi 180 mg/dl akan mengganggu ambang batas dari ginjal sehingga terjadi glikosuria. Tekanan osmotik gula dalam darah akan menghambat reabsorbsi di tubulus yang mengakibatkan polyuri akibatnya sel kekurangan cairan maka terjadi dehidrasi dan timbul polydipsia atau banyak minum.<br /><br /><br /><br /><br />5. Klasifikasi Diabetes Militus<br /> a. Tipe I : Insulin Dependent Diabetes Militus (IDDM)<br />Pada tipe I insulin endogen kurang jumlahnya karena tidak berfungsinya sel beta yang memproduksi insulin, kurang berfungsinya reseptor insulin dan gangguan jalannya glykolisis yang akan menghasilkan energi untuk tubuh. Dengan demikian sel-sel dalam keadaan kekurangan/kelaparan, sementara dalam darah kelebihan glukosa.<br />Bagian tubuh yang mengalami kekurangan menjadi krisis dan mulai mensekresi beberapa hormon (glucagon, ephinefrin, norephinefrin, growth hormon dan cortisol). Hormon-hormon ini mencoba menciptakan/menjaga hemeostasis tubuh dengan mempercepat tersedianya glukosa melalui penggunaan sumber-sumber energi alternatif seperti dalam proses ini; Kekurangan insulin à terjadi penurunan glikogenesis à peningkatan glikogenesis à penurunan glukoneogenesis à penurunan glikolisis à peningkatan lipolisis.<br />IDDM didiagnosa bila kadar gula puasa > 140 g/dl. Bila lebih dari 200 mg/dl biasanya ada zat keton dalam darah dan urine. Adanya glukosa dalam darah (hiperglikemi) menyebabkan ketidakseimbangan cairan dan eletrolit yang pada akhirnya menimbulkan 3 gejala klasik (three polys) : polyuria, polydipsia dan polyphagia.<br /><br /> b. Tipe II : Non – Insulin Dependent Diabetes Militus (NIDDM)<br />Pada NIDDM sel beta pankreas kurang mampu mensintesa dan melepaskan insulin. Jumlah yang disekresi tidak sebanding dengan jumlah yang dibutuhkan. Situasi ini meungkin menyebabkan produksi insulin menurun, kelebihan pemasukan karbohidrat atau peningkatan glukosa hepatic.<br />Klien dengan tipe ini sering berespon lebih baik dari oral agent untuk merangsang pankreas untuk meningkatkan sintesis dan pelepasan insulin. Klien lain dengan NIDDM mungkin mempunyai darah normal lebih tinggi dari level insulin yang menandakan gejala diabet. NIDDM mengalami kerusakan dasar tersendiri yang dipengaruhi oleh beberapa aspek dari proses tersebut yang menekan insulin pada reseptor membran sel. Masalah yang menyebabkan kerusakan dapat berhubungan dengan defisiensi jumlah atau aktivitas reseptor.<br />Beberapa individu membuat auto anti bodi atau reseptor insulin, pada saat anti bodi dibangkitkan melawan selaput sel reseptor insulin pasien akan mempunyai tingkat insulin dalam darah yang berlebihan dengan peningkatan glukosa darah. Dalam situasi ini walaupun insulin mencukupi tetapi sel reseptor insulin ditutup. Dengan jumlah insulin yang sesuai dengan kebutuhan dari luar mungkin membantu situasi ini.<br /><br />6. Komplikasi<br /> a. Komplikasi akut<br />1. IDDM<br />- Hypoglikemi<br />Gejala : berkeringat, gemetar, sakit kepala, palpitasi.<br />- Diabetik ketoasidosis : kadar insulin sangat menurun, pasien menderita hiperglikemi, glukosuria, penurunan lipogenesis dan peningkatan oksidasi asam lemak disertai pembentukan keton.<br /><br /><br />2. NIDDM<br />- Hypoglikemi<br />- Diabatik ketoasidosis<br />- Hiperosmolar Hiperglikemi: non ketotik koma (KHHN)<br /> b. Komplikasi vaskular Jangka Panjang<br />1. Mikroangiopati. Lesi spesifik diabetik yang menyerang kapiler dan artenol retina (retinapati diabetik), glomenilus ginjal (nefropati diabetik).<br />2. Makroangiopati à arterosklerosis à penyumpatan vaskular à menyerang extremitas à ganggren, arteri koronari, aorta à angina, MCI<br /><br />7. Tanda dan Gejala<br />a. Awal :<br />- Poli uri<br />- Poli dipsi<br />- Poli phagia<br />b. Lanjut :<br />- Penurunan berat badan yang cepat<br />- Cepat lelah<br />- Pruritus<br />- Pendangan kabur<br />- Nyeri pada extremitas<br />- Kesemutan<br /><br />8. Test Diagnostik<br />- Glukosa darah meningkat 200-100 mg/dl atau lebih.<br />- Asam plasma positive secara mencolok.<br />- Asam lemak bebas : kadar lipid dan kolesterol meningkat.<br />- Osmolitas serum meningkat biasanya kurang dari 330 mosm/l.<br />- Elektrolit : Natrium : mungkin normal, menurun atau meningkat.<br />Kalium : normal atau peningkatan semu selanjutnya akan menurun.<br />Fosfor : lebih sering menurun.<br />- Hb dan Ht meningkat karena diuresis dan dehidrasi.<br />- AGD biasanya pH rendah penurunan pada HCO3 kompensasi alkolisis respiration.<br />- Trombosit darah mungkin meningkat leukositas, hemokonsentrasi merupakan respon stress.<br />- Kadar insulin pada tipe I sedikit atau tidak ada, tipe ke 2 normal atau meningkat.<br />- Urine : gula dan setor positif, berat jenis osmolalitas meungkin meningkat.<br />- Gangguan vaskularisasi, katarak.<br />- EKG disritmia karena ketidakseimbangan kalium.<br /><br />9. Pengobatan<br />Pengobatan diabetes ada 3 faktor :<br /> c. Diit<br />Tujuannya : mencegah obesitas, mengendalikan kadar gula, menetapkan diit yang seimbang dan cukup.<br />Pedoman-pedoman diit :<br />- Harus memenuhi kebutuhan kalori untuk aktivitas orang dewasa.<br />- Asupan kalori sesuai dengan berat badan dan kondisi pasien.<br />- Konsisten dalam waktu dan distribusi kalori, protein karbohidrat lemak, pada setiap makanan.<br />- Perencanaan diit yang diberikan harus melihat pribadi pasien, gaya hidup, aktivitas obat-obatan hypoglikemi.<br /> d. Aktivitas latihan<br />Fungsi latihan :<br />- Menurunkan kadar gula darah akibat metabolisme darah yang meningkat.<br />- Menurunkan dan mempertahankan berat badan dalam keadaan seimbang.<br />Komponen latihan :<br />- Fitness, kelenturan otot, aerobic.<br />Pedoman program latihan bagi penderita DM :<br />- Jenis latihan, tahapan latihan, den frekuensi latihan.<br /> e. Insulin<br />Insulin diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan hidup (pada tipe 1) dan untuk mengobati pasien DM pada tipe 2 yang tidak dapat mencapai kadar gula darah yang diharapkan dengan cara lain-lain.<br />Hal yang penting pada pemberian insulin :<br />- Waktu on set, puncak dan durasi kerja insulin.<br />- Aviabilitas makanan atau glukosa yang adequat saat insulin bekerja.<br />- Memonitor kadar gula darah dalam pasien.<br />- Memonitor tanda-tanda hipoglikemi pada pasien.<br />- Bagian integral dari pengelolaan DM adalah mendidik pasien sehingga memiliki rasa tanggung jawab dan tubuh akan perawatan diri.<br />Insulin merupakan agen hipoglikemi fisiologis yang diberikan menurunkan infeksi selain insulin ada juga obat anti diabetik oral berupa tablet.<br /><br />B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN<br />1. Pengkajian<br /> a. Pola persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan :<br />Tipe I :<br />- Riwayat keluarga<br />- Kehilangan BB<br />- Umur di bawah 30 tahun<br />- Gejala-gejala akut.<br />Tipe II :<br />- Riwayat keluarga<br />- Kemungkinan obesitas<br />- Umur di atas 30 tahun<br />- Gejala yang muncul bertahap.<br /> b. Pola Nutrisi Metabolik<br />Tipe I :<br />- Rasa haus meningkat.<br />- Rasa lapar meningkat.<br />- Kadang-kadang mual.<br />- Muntah.<br />- Kehilangan BB.<br />- Keringat berlebihan.<br />- Kulit basah, pruritus.<br /><br />Tipe II :<br />- Dapat ditemukan rasa haus dan lapar.<br />- Riwayat diet (tinggi kalori, tinggi protein).<br />- Peningkatan BB.<br />- Penyembuhan luka lama.<br /> c. Pola Eliminasi<br />Tipe I :<br />- Poliuria.<br />- Dapat terjadi konstipasi dan diare.<br />- Glukosuria.<br />Tipe II :<br />- Dapat muncul keluhan poliuria.<br />- Dapat terjadi juga konstipasi/diare.<br />- Glukosuria.<br />- Pemakaian obat-obatan.<br /> d. Pola Aktivitas dan Latihan<br />Tipe I :<br />- Keluhan tiba-tiba lemas.<br />- Atropi otot.<br />Tipe II :<br />- Keluhan secara bertahap lemas dan cepat lelah.<br />- Riwayat latihan fisik tidak teratur.<br /> e. Pola Tidur dan Istirahat<br />Tipe I :<br />- Gangguan tidur karena nocturia.<br />Tipe II :<br />- Nocturia, menguap setelah makan.<br /> f. Pola Persepsi dan Kognitif<br />Tipe I :<br />- Bisa muncul keluhan pusing atau hipotensi orthostatik.<br />- Pruritis.<br />Tipe II :<br />- Mengeluh gatal, akut, UTI/vaginitas.<br />- Penyembuhan luka lama.<br />- Penglihatan kabur (myopia).<br />- Kram otot, nyeri abdomen.<br />- Ekstremitas: kesemutan, nyeri dan kram.<br /> g. Pola Persepsi dan Konsep Diri<br />- Mekanisme koping tidak efektif.<br />- Gangguan harga diri.<br />- Gangguan peran.<br /> h. Pola Peran dan Hubungan dengan Sesama.<br />- Mencari hubungan dengan sesama klien DM.<br />- Hubungan suami-istri.<br /> i. Pola Reproduksi dan Seksualitas.<br />- Libido menurun.<br />- Impotensi<br /><br />Pemeriksaan fisik<br />Kardiovaskular : - Tachicardia<br />- Postural hipotensi<br />- Synkope<br />Pulmonary : - Pernafasan kusmaul jika ada ketoasidosis.<br /><br />Gastrointestinal : - Perut tegang.<br />- Bising usus berkurang.<br />Integumen : - Luka lama sembuh.<br />- Infeksi kulit.<br />- Kulit kering, hangat, merah.<br />Neurologis : - Mudah tersinggung, bingung.<br />Genito Urinario : - Cairan vagina.<br />- Infeksi vagina.<br />- Iritasi perineum.<br /><br />2. Diagnosa Keperawatan<br /> a. Hyperglikemia berhubungan dengan tidak adekuatnya insulin (tipe I) dan insulin yang resisten (tipe II).<br /> b. Potensial/aktual kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan osmotik diuresis (penyebab hiperglikemi).<br /> c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan intake peroral, kekurangan insulin.<br /> d. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan pemasukan glukosa (karbohidrat) peroral berlebihan.<br /> e. Kurang pengetahuan berhubungan dengan adanya diagnosa yang kompleks dan proses penyakit kronik.<br /> f. Kelemahan tubuh berhubungan dengan penurunan produksi metabolik energi, perubahan kimiawi dalam tubuh yakni insufisiensi insulin, peningkatan kebutuhan tubuh karena hipermetabolik atau infeksi.<br /> g. Tidak toleransi beraktivitas yang berhubungan dengan immobilisasi dan kelemahan fisik.<br /> h. Perubahan persepsi sensori yang berhubungan dengan ketidakseimbangan glukosa/insulin dan elektrolit.<br /> i. Potensial/aktual terjadi perlukaan dan infeksi yang berhubungan dengan tingginya kadar gula darah, penurunan fungsi leukosit, perubahan sirkulasi.<br />3. Rencana Tindakan<br />1. Hyperglikemi berhubungan dengan tidak adekuatnya insulin (type I ) dan insulin type II).<br />Hasil yang diharapkan :<br />- Mencegah atau meminimalkan komplikasi saat tindakan pengobatan atau mengontrol metabolisme glukosa.<br />Rencana tindakan :<br />a. Berikan insulin (IV, IM, SC) atau hipoglikosa oral.<br />R/ : Insulin akan mengikat pada sel yang akan menyebabkan menurunnya glukoneogenesis.<br />b. Beri dan pertahankan pemberian cairan melalui IV biasanya normal NaCl 0,9%. Kaji membran mukosa yang kering, turgor kulit, nyeri abdomen dan tanda dehidrasi.<br />R/ : Hiperglikemi akan menyebabkan dehidrasi karena hiperosmolar. Air ditarik dari sel ke sistem vaskuler yang kemudian menjadi urine untuk memelihara hemeostasis. Cairan NaCl sebagai cairan yang baik untuk mencegah elevasi lebih lanjut dari gula darah untuk mengganti sodium pada ketoasidosis. Pencatatan intake output cairan yang akurat merupakan hal yang penting untuk memantau fungsi ginjal.<br />c. Monitor tingkat glukosa, kadar aceton dalam urine dan catat BD urine setiap hari.<br />R/ : Pemeriksaan tingkat glukosa yang sering dilakukan sangat penting untuk memonitor respon pasien secara individu.<br />d. Amati tanda/gejala hipo/hiperglikemi: pucat, bingung, banyak keringat, sakit kepala.<br />R/ : Reaksi insulin dapat terjadi secara tiba-tiba. Jika pada saat didiagnosa pasien tidak sadar akan adanya tanda dan gejala, tidak terawat, mungkin reaksi dari hypoglikemi tersebut akan berakibat fatal<br />2. Potensial/aktual kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan osmotik diuresis (penyebab hiperglikemi).<br />Hasil yang diharapkan :<br />- Tanda vital stabil dan dalam batas normal pasien.<br />- Intake output cairan seimbang.<br />- Kulit lembab dengan turgor baik.<br />- Gula elektrolit darah dalam batas normal.<br />- Kapilari refill baik, nadi perifer tertatur.<br />- Tidak ada ekspresi lelah atau lemah.<br />Rencana tindakan :<br />a. Kaji riwayat pasien yang berhubungan dengan lamanya/intensitas muntah, urinari yang berlebihan.<br />R/ : Membantu menilai seluruh kekurangan volume dan gejala-gejala.<br />b. Monitor tanda-tanda vital, perhatikan perubahan tekanan darah ostostatik.<br />R/ : Hipovolemi dapat ditunjukkan dengan hipotensi dan tachycardia.<br />c. Observasi suhu, warna/kelembaban kulit.<br />R/ : Demam dengan kulit kering menunjukkan dehidrasi.<br />d. Kaji nadi perifer, kapilari refill, turgor kulit, dan membran mukosa.<br />R/ : Indikator dari tingkat dehidrasi dan kecukupan volume sirkulasi.<br />e. Monitor intake dan output, perhatikan penurunan jumlah urine.<br />R/ : Memberikan penilaian yang kontinue mengenai kebutuhan pengganti volume, fungsi ginjal dan keefektifan terapi.<br />f. Ukur berat badan setiap hari.<br />R/ : Menilai status cairan/kecukupan cairan saat ini.<br />g. Beri cairan 2500 ml/hari bila memungkinkan.<br />R/ : Demam dengan kulit kering menunjukkan dehidrasi.<br />h. Beri lingkungan yang nyaman.<br />R/ : Hidrasi panas yang dapat mengurangi cairan.<br />i. Kaji perubahan mental dan sensori.<br />R/ : Perubahan mental disebabkan glukosa yang tinggi atau rendah, elektrolit yang tidak normal, asidosis, penurunan perfusi serebral atau hipoksia.<br />j. Kaji keluhan mual, muntah, nyeri abdomen dan ketegangan perut.<br />R/ : Kekurangan cairan dan elektrolit mengubah gerakan gaster yang sering menyebabkan muntah dan mengurangi cairan dan elektrolit.<br />k. Amati kelemahan, edema, peningkatan berat badan, nadi, distensi vaskuler.<br />R/ : Pergantian cairan yang cepat menyebabkan overload dan kegagalan jantung.<br />3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan intake peroral, kekurangan insulin.<br />Hasil yang diharapkan :<br />- Berat badan pasien dalam batas normal atau naik.<br />- Memantau gula dalam darah dan urine secara mandiri.<br />- Memilih menu sesuai anjuran ahli gizi.<br />- Menentukan jenis makanan selingan dan memakannya hanya jika dibutuhkan sebelum latihan.<br />Rencana tindakan :<br />a. Kaji pola makan pasien dan program diet yang dilaksanakan.<br />R/ : Menentukan tindakan selanjutnya.<br />b. Timbang berat badan pasien tiap 4 hari.<br />R/ : Mengetahui jumlah nutrisi yang masuk.<br />c. Beri lingkungan yang nyaman saat pasien makan.<br />R/ : Lingkungan yang nyaman dapat memberi support untuk kenyamanan pasien.<br />d. Kaji dan catat keluhan pasien (mual danmuntah).<br />R/ : Untuk mengetahui tingkat nafsu makan pasien.<br />e. Kolaborasi dengan petugas diet.<br />R/ : Diet yang sesuai dapat untuk mencegah terjadinya hyperglikemia dan hypoglikemia.<br />f. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian therapi.<br />R/ : Mempercepat proses penyembuhan.<br />4. Perubahan nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan pemasukan glukosa (karbohidrat) peroral berlebihan.<br />Hasil yang diharapkan :<br />- Memilih makanan dan makanan selingan yang sesuai anjuran ahli gizi.<br />- Mengungkapkan pemahamannya tentang hubungan antara obesitas dan diabetes.<br />- Memantau gula darah sesuai jadwal.<br />- Memelihara pencatatan pemasukan diet dan tingkat aktivitas.<br />- Dapat mendemonstrasikan adanya perubahan gaya hidup.<br />Rencana tindakan :<br />a. Kaji status dasar nutrisi: tinggi badan, berat badan dan tingkat aktivitas.<br />R/ : Untuk mengetahui jumlah kebutuhan kalori yang dibutuhkan.<br />b. Jelaskan pada pasien tentang hubungan penambahan berat badan dnegan penyakitnya (Diabetes Militus).<br />R/ : Meningkatkan pengetahuan pasien dan mengurangi kecemasan.<br />c. Kolaborasi dengan petugas diet.<br />R/ : Diet yang sesuai dapat mencegah komplikasi.<br />d. Monitor kadar glukosa dalam darah sebelum pemberian glukosa.<br />R/ : Mengetahui pemberian terapi yang tepat.<br />e. Kaji status intake makanan : bila mengalami kesulitan makan memodifikasi pemberikan makan (glukosa) ke dalam tubuh (IV).<br />R/ : Mengetahui dan mempertahankan kecukupan glukosa dalam tubuh.<br />f. Kaji adanya gangguan aktivitas rutin dan latihan yang sudah diprogram.<br />R/ : Mengetahui tingkat proses penyakit.<br />5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan adanya diagnosa yang kompleks dan proses penyakit kronik.<br />Hasil yang diharapkan :<br />- Dapat menjelaskan kembali tentang penyakit, komplikasi dan pencegahannya.<br />- Memulai rencana diet dengan ahli diet.<br />- Dapat mendemonstrasikan cara pemantauan gula darah dan penyuntikan insulin.<br />Rencana tindakan :<br />a. Ajarkan pengelolaan meliputi arti insulin atau pengobatan secara oral bila terjadi hypoglikemi. Demonstrasikan teknik menyuntik, catat perputaran lokasi injeksi. Faktor pengobatan lain : diet dan latihan, pasien dan keluarga mengenal tanda-tanda hypoglikemia, ajarkan gejala-gejala yang ada libatkan keluarga.<br />R/ : Pasien mengerti pentingnya perawatan diabetes militus di rumah. Observasi teknik menyuntik dan perputaran letak penyuntikan untuk mencegah terjadinya scar jaringan. Kebutuhan pengobatan akan bertambah bila terjadi infeksi dan pemasukan kalori yang berlebihan.<br />b. Koordinir peran serta pasien dan keluarga dalam rencana pengobatan dan diet. Perhatikan jika pasien kelebihan berat badan.<br />R/ : Peran serta pasien dan keluarga dalam rencana diet dapat membantu pelaksanaan di rumah.<br />c. Ajarkan cara memeriksa kadar glukosa dalam urine dan darah. Perhatikan pasien dalam melakukan cara tersebut.<br />R/ : Keberhasilan management di rumah akan meningkatkan kamauan pasien untuk bisa memonitor diri sendiri.<br />d. Utamakan pentingnya kesinambungan aktivitas dan latihan sehari-hari.<br />R/ : Latihan akan merangsang metabolisme karbohidrat menolong dan mengontrol untuk pencegahan dan memperkecil komplikasi.<br />6. Kelemahan tubuh berhubungan dengan penurunan produksi metabolik energi, perubahan kimiawi dalam tubuh yakni insufisiensi insulin, peningkatan kebutuhan tubuh karena hipermetabolik atau infeksi..<br />Hasil yang diharapkan :<br />- Pasien menunjukkan peningkatan energi.<br />- Menunjukkan kemampuan untuk terlibat dalam aktivitas.<br /><br />Rencana tindakan :<br />a. Diskusikan dengan pasien tentang kebutuhan aktivitas. Rencanakan dengan pasien dan identifikasi aktivitas yang kurang menimbulkan kelelahan.<br />R/ : Penjelasan dapat menjadi motivasi untuk mengembangkan aktivitas yang sesuai karena pasien merasa lemah pada permulaan.<br />b. Tentukan aktivitas dengan periode istirahat atau ada waktu untuk tidur.<br />R/ : Mencegah kelelahan yang berlebihan.<br />c. Monitor nadi, pernafasan, tekanan darah sebelum dan sesudah latihan/aktivitas.<br />R/ : Indikasi toleransi tingkat fisiologi.<br />d. Diskusikan cara menghemat energi bila mandi, bekerja, berjalan, dan lain-lain.<br />R/ : Pasien dapat menyelesaikan dengan lebih mengurangi eneri yang dikeluarkan.<br />e. Libatkan pasien dalam aktivitas bila toleransi.<br />R/ : Mengembangkan rasa percaya diri sesuai kemampuan yang ditoleransi.<br />f. Anjurkan pasien mengungkapkan perasaannya tentang hospitalisasi dan penyakitnya secara umum.<br />R/ : Mengidentifikasi dan fasilitasi pemecahan masalah.<br />g. Nyatakan perasaan pasien secara normal.<br />R/ : Mengenal reaksi pasien secara normal dapat membantu untuk menyelesaikan masalah.<br />h. Dorong pasien untuk membuat keputusan tentang perawatan, ambulasi, waktu untuk aktivitas.<br />R/ : Komunikasi bersama pasien tentang pengontrolan dapat mengurangi perawatan yang berlebihan.<br />7. Tidak toleransi beraktivitas yang berhubungan dengan immobilisasi dan kelemahan fisik.<br />Hasil yang diharapkan :<br />- Aktivitas kembali normal.<br />- Kebutuhan sehari-hari terpenuhi.<br />Rencana tindakan :<br />a. Bantu pasien pergerakan ROM 2 – 4 jam sehari.<br />R/ : Mencegah kekakuan otot.<br />b. Rubah posisi tiap 2 jam.<br />R/ : Kelancaran vaskularisasi dan mencegah kerusakan kulit.<br />c. Dorong pasien untuk latihan aktif dan sediakan alat bantu bila mungkin.<br />R/ : Alat bantu memudahkan pergerakan dan pergantian posisi.<br />d. Anjurkan untuk melakukan aktivitas secara bertahap.<br />R/ : Memonitor tingkat aktivitas.<br />e. Pantau respon fisiologis terhadap tingkat aktivitas seperti tekanan darah, pernafasan, HR.<br />R/ : Untuk perbandingan dengan nilai normal.<br />f. Beri dukungan/dorongan emosional.<br />R/ : Membantu memperbaiki konsep diri dan memotivasi untuk melakukan kegiatan harian.<br />g. Libatkan pasien dalam perawatan.<br />R/ : Pengambilan keputusan untuk pemulihan.<br />h. Ajarkan cara perawatan diri yang dapat dilakukan secara maksimal.<br />R/ : Mendorong pasien untuk tidak terus bergantung pada orang lain.<br />i. Bantu pasien memenuhi kebutuhan nutrisi, hygiene dan eliminasi<br />R/ : Memenuhi kebutuhan dasar.<br />8. Perubahan persepsi sensori yang berhubungan dengan ketidakseimbangan glukosa/insulin dan elektrolit.<br />Hasil yang diharapkan :<br />- Terpeliharanya status mental.<br />- Mengenali dan mengamati kerusakan sensori.<br />Rencana tindakan :<br />a. Monitor tanda vital dan status mental.<br />R/ : Sebagai dasar untuk perbandingan dari nilai yang abnormal, seperti suhu yang tinggi mempengaruhi mental.<br />b. Tanyakan kepada pasien nama, kebutuhan, tempat, orang, waktu. Berikan penjelasan singkat, bicara secara perlahan dan ucapan biasa.<br />R/ : Mengurangi kebingungan dan bantu pasien untuk mengadakan kontak yang realita.<br />c. Rencanakan waktu perawatan untuk tidak mengganggu waktu istirahat.<br />R/ : Peningkatan waktu istirahat, mengurangi kelelahan dan dapat mengarahkan perhatian.<br />d. Bantu pasien dalam rutinitas yang dimungkinkan. Ajak pasien untuk partisipasi dalam aktivitas keseharian bila dimungkinkan.<br />R/ : Membantu pasien dalam melihat realita dan mengarahkan orientasi pada lingkungan.<br />e. Hindari pasien dari injury (restrain), bila kesadarannya terganggu atau menurun.<br />R/ : Pasien disorientasi cenderung injury, khususnya pada malam hari dan indikasi untuk memberi tindakan pencegahan.<br />f. Kaji kejelasan penglihatan atau visual.<br />R/ : Edema retina, perdarahan, katarak, atau paralisis dari otot ekstraokuler dapat menentukan terapi untuk memperbaiki kerusakan penglihatan atau peningkatan perawatan yang diberikan.<br />g. Kaji keluhan dari paresthesia, nyeri dan rasa kebal atau hilang rasa.<br />R/ : Neuropathy peripheral, khususnya pada kaki atau paha, muncul kegelisahan yang hebat, disorientasi, sensari peragaan dapat menjadi resiko injuri dan perbandingan.<br />h. Sediakan kasur angin, kompres hangat tangan dan kaki, hindari dari pemaparan yang sangat dingin atau panas atau gunakan selimut hangat.<br />R/ : Berkurangnya kegelisahan dan potensial injuri.<br />i. Bantu pasien untuk ambulasi atau pergantian posisi.<br />R/ : Meningkatkan keselamatan pasien, khususnya bila pasien dalam keadaan syok.<br />9. Potensial/aktual terjadi perlukaan dan infeksi yang berhubungan dengan tingginya kadar gula darah, penurunan fungsi lekosit elektrolit, perubahan sirkulasi.<br />Hasil yang diharapkan :<br />- Kulit utuh.<br />- Tidak terjadi infeksi pada kulit.<br />- Tidak ada keluhan gatal dan kesemutan/baal.<br />Rencana tindakan :<br />a. Observasi tanda-tanda infeksi, pengeringan luka, pus, urine keruh, sputum.<br />R/ : Pasien mungkin mengalami infeksi, keadaan ketoasidosis, infeksi nosokomial.<br />b. Anjurkan selalu cuci tangan yang bersih baik staf maupun pasien.<br />R/ : Mengurangi resiko saling kontaminasi.<br />c. Gunakan teknik aseptik untuk prosedur injeksi, perawatan dan pemberian obat.<br />R/ : Untuk meminimalkan resiko infeksi.<br />d. Observasi keadaan kulit (gatal, rasa baal).<br />R/ : Mengetahui keadaan kulit dan tindakan selanjutnya.<br />e. Anjurkan pasien untuk tidak menggaruk kulit, bila gatal cukup dengan mengusap/massage yang halus.<br />R/ : Garukan dapat menimbulkan luka.<br />f. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian dari bahan katun.<br />R/ : Bahan katun memberi rasa sejuk dan menyerap keringat.<br />g. Anjurkan pasien untuk menjaga kebersihan tubuh dengan cara mandi dua kali sehari, gunakan sabun dan air hanya.<br />R/ : Melancarkan sirkulasi.<br />h. Beri lotion pada kulit.<br />R/ : Mengurangi kekeringan pada kulit dan memberikan kelembaban.<br /><br />BAB III<br />PENGAMATAN KASUS<br /><br />Pada Tn. D usia 67 tahun masuk RS St. Carolus di Unit Elisabet Kamar 403 pada tanggal 13-01-2001, dengan diagnosa medik Ulcus Gangren berhubungan dengan Diabates Militus. Pasien masuk dengan kesadaran compos mentis. Keadaan umum tampak sakit sedang, serta ada luka di daerah jempol kaki kiri sejak 1 bulan yang lalu dengan diameter + 2 cm dan bengkak serta kemerahan pada sekitar luka hampir seluruh pergelangan kaki. Pasien sebelumnya dirawat di RS. Sumbawa tanggal 3-01-2001 karena tidak ada perbaikan, keluarga membawa ke RS. Sint Carolus.<br />Dari hasil pengkajian dengan wawancara diambil data dari pasien dan anak pasien yang tinggal di Jakarta. Pasien dalam berkomunikasi tidak lancar berbahasa Indonesia sehingga harus diterjemahkan oleh anak pasien, sedangkan anak pasien selama ini tidak pernah bersama pasien karena pasien tinggal di daerah Sumbawa dengan istrinya.<br />Pasien tidak pernah sakit/dirawat sebelumnya, baru mengetahui penyakitnya karena berobat ke dokter sehubungan dengan luka yang tidak sembuh-sembuh.<br /><br />BAB IV<br />PEMBAHASAN KASUS<br /><br />Setelah penulis membandingkan antara studi kepustakaan yang dipelajari dan mengadakan pengamatan kasus di Unit Elisabet ternyata banyak kesamaan dan perbedaan yang terjadi.<br />Dari konsep medik yang ada etiologi dari pasien ini/kasus lapangan kemungkinan adanya faktor genetik karena adik pasien menderita penyakit Diabetes Militus. Pada kasus ini sudah mengalami komplikasi vaskular jangka panjang makrovaskular berupa Ulcus dan juga pasien juga menderita jantung koroner. Pasien mengetahuinya 13 hari yang lalu saat di RS. Sumbawa.<br />Dari tandan dan gejala yang sama dengan teori kepustakaan: poliuria, polidipsi, pruritus pada daerah lipatan paha. Adapun yang berbedar pada kasus ini adalah: poliphagia karena menurut pasien pasien tidak suka ngemil dan makan 3 kali sehari tetapi setiap pagi pasien harus makan/sarapan. Gejala cepat lelah ini kemungkinan besar karena usia yang sudah tua dan pasien suka berjalan-jalan olahraga sebelum sakit.<br />Pandangan kabur ini tidak ada pasien karena dari hasil pemeriksaan fisik pasien dapat membaca papan nama perawat dan mengenali wajah perawat dengan jelas. Pasien mengatakan tidak pernah nyeri pada extremitas, kesemutan dan rasa baal. Pemeriksaan Dx yang berbeda pada kasus ini: ureum, kreatinin kemungkinan karena pasien sudah berusia 67 tahun untuk mengetahui fungsi ginjal.<br />Dari konsep keperawatan yang ada pada pengkajian menurut teori kepustakaan yang tidak sama dengan kasus ini: tidak terjadi penurunan BB, poliphagia, nausea, konstipasi/diare, pusing. Pengkajian yang lain menurut teori hampir semua sama.<br />Dari diagnosa keperawatan pada kasus ini diangkat menurut hasil pengkajian yang ada yaitu :<br />- Resiko tinggi hyperglikemi berhubungan dengan tidak adequatnya insulin.<br />- Gangguan eliminasi urine BAK berhubungan dengan penurunan kontrol sprinter.<br />- Kerusakan integritas kulit : ulcus berhubungan dengan gangguan vaskular.<br />- Keterbatasan aktivitas merawat diri, hygiene, toileting berhubungan dengan kelemahan.<br />- Kurang pengetahuan berhubungan dengan adanya diagnosa yang kompleks dan proses penyakit kronik.<br />Pada perencanaan yang sudah dilakukan belum dapat terlaksana seluruhnya karena waktu yang terlalu singkat dan dalam memberikan penyuluhan belum dapat terlaksana semua karena pasien sedang pikun dan tidak begitu mengerti bahasa Indonesia bila penyuluhan terlalu banyak/panjang.<br />Dari hasil evaluasi semua masalah belum dapat teratasi seluruhnya karena waktu yang terlalu singkat.<br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Barbara C. Long. Perawatan Medikal Bedah. Ikatan alumni Pendidikan Keperawatan Padjajaran. Bandung : 1996.<br />Holloway Nancy M. Medikal Surgical Care Plans. Spring House : Pennsylvania.<br />Soeparman, Sarwono Waspadji. 1990. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2. Jakarta : FKUI.<br />Carpenito, Linda Juall. 1997. Diagnosa Keperawatan. Edisi 6. Penerbit : Buku Kedokteran EGC.<br />Susan M. T, Mary M. C, Eleanor Varga P, Majorie F.W. Standar Perawatan Pasien, Proses Perawatan, Diagnosis dan Evaluasi, Edisi V, Alih Bahasa, Yasmin Asih, Christantie, Indah H, Silvana E. EGC. Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta, 1998.<br />Lewis, Heitkemper, Dirksen, Medical Surgical Nursing, Assesment and Management of Clinical Problem, Fifth Edition. Volume II.<br /> </div>UUNhttp://www.blogger.com/profile/03809401118170400297noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5128503638995547949.post-8781649555607388182008-05-18T06:14:00.000-07:002008-05-18T06:16:12.093-07:00TRAUMA CAPITIS<div align="center"><strong>BAB I<br />PENDAHULUAN</strong></div><strong></strong><div align="justify"><br /><br />A. LATAR BELAKANG.<br /> Trauma kapitis atau lebih dikenal dengan gegar otak oleh masyarakat, merupakan penyakit yang dapat menyebabkan kematian atau kelumpuhan pada semua tingkat usia. Trauma kapitis merupakan urutan kedua penyebab kematian pada usia antara 1-35 tahun, kurang lebih setiap tahun 77.000 orang meninggal dan sekitar 50.000 orang menderita kelumpuhan setiap tahunnya di Amerika Serikat karena trauma kapitis. ( Barbara C. Long, Medical Surgical Nursing, 1989 ).<br /> Di Indonesia sendiri, walaupun belum ada data pasien mengenai angka kejadian trauma kapitis, tetapi yang jelas trauma sering dan banyak terjadi di rumah sakit di seluruh Indonesia.<br /> Penyebab trauma kapitis adalah benturan pada kepala, seperti kecelakaan kerja, lalu lintas dan jatuh. Trauma kapitis lebih berbahaya dari trauma pada organ lainnya, karena trauma ini mengenai otak. Selain itu sekali neuron rusak tidak dapat diperbaiki lagi. Trauma ini mengakibatkan malapetaka besar bagi seorang individu. Beberapa masalah disebabkan langsung dan banyak lainnya karena efek sekunder dari trauma. Penderita dapat meninggal atau menjadi cacat, invalid, tergantung pada orang lain dan menjadi beban bagi keluarga.<br /> Melihat kenyataan di atas, penderita perlu penanganan serius dan melibatkan berbagai tenaga kesehatan. Dalam memberikan pelayanan kesehatan, perawat mempunyai peran tersendiri dan penting karena perawatlah yang setiap waktu berhubungan langsung dengan pasien. Usaha kita sebagai perawat adalah memberi asuhan keperawatan yang konfrehensif. Kita harus mampu menemukan tanda-tanda dini jika terjadi gangguan mental, gangguan fisik maupun kematian, agar dapat memberikan pertolongan guna mencegah hal-hal yang lebih buruk dan lebih berbahaya bagi penderita trauma kapitis. Selain itu perawat juga harus mampu memberikan perawatan discharge planning bagi pasien trauma kapitis ketika pulang.<br />B. TUJUAN PENULISAN.<br /> Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :<br />1. Untuk mengetahui dan memahami latar belakang penyakit, definisi, klasifikasi dan patofisiologi dari trauma kapitis.<br />2. Agar perawat mampu memberikan asuhan keperawatan yang tepat pada penderita trauma kapitis.<br />3. Menambah pengetahuan pembaca tentang trauma kapitis.<br />C. METODE PENULISAN.<br /> Dalam menulis makalah ini, penulis menggunakan beberapa metode, yaitu :<br />1. Studi kepustakaan, yaitu dengan mengambil beberapa literatur yang berhubungan dengan trauma kapitis.<br />2. Studi lapangan, yaitu dengan pengamatan langsung pada pasien dengan trauma kapitis di unit Elisabeth, kamar 4036, PK Sint Carolus, yang meliputi wawancara, pemeriksaan fisik, menentukan diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan mengadakan evaluasi.<br />D. SISTEMATIKA PENULISAN.<br />Sistematika penulisan yang dipakai dalam menyusun makalah ini adalah :<br />Bab I merupakan pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang penulisan, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan. Bab II merupakan tinjauan teoritis yang terdiri dari konsep dasar medik dan konsep dasar keperawatan. Konsep dasar medik terdiri dari definisi, anatomi fisiologi, etiologi, patofisiologi, tanda dan gejala, test diagnostik, therapi dan komplikasi. Sedangkan konsep dasar keperawatan terdiri dari pengkajian, diagnosa keperawatan dan perencanaan.<br /> Bab III merupakan pengamatan kasus yang terdiri dari pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi, evaluasi dan daftar obat. Bab IV berisi pembahasan kasus. Bab V berisikan kesimpulan dan diakhiri dengan daftar pustaka.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB IV<br />PEMBAHASAN KASUS<br /><br /> Setelah penulis melakukan pengamatan kasus di lapangan pada TN E. didapat bahwa trauma kapitis yang dialami oleh pasien adalah trauma kapitis golongan menengah-berat ( contusio serebri ) karena pada pasien ini terdapat pingsan ± 3 hari, ditemukan tanda-tanda gangguan fungsi jaringan atau yang agak berat seperti adanya mual walaupun tidak ada muntah dan disertai dengan sakit kepala ( pusing ) serta didapati pula gangguan sensory seperti terbatasnya lapang pandang mata kanan ke arah lateral kanan (kerusakan pada lobus oksipitalis) dan gangguan pendengaran telinga kanan (kerusakan pada lobus temporalis), gangguan eliminasi urine (inkontinentia urine) dan seluruh gejala ini terdapat dalam literatur yang diperoleh.<br /> Pada kasus TN. E dapat diangkat empat diagnosa keperawatan, yaitu : pusing b.d. adanya trauma pada kepala; perubahan pola persepsi sensory : penglihatan dan pendengaran b.d. terganggunya fungsi saraf pada jaringan cerebral ; ketidakmampuan merawat diri : mandi, makan maupun minum, toileting b.d. kelemahan fisik dan imobilisasi; perubahan pola eliminasi urine : inkontinensia b.d. gangguan fungsi saraf kontrol kemih.<br /> Tetapi ada pula diagnosa keperawatan yang terdapat dalam teori tetapi tidak diangkat karena tidak adanya data yang mendukung dan beberapa masalah yang sudah teratasi seperti : perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kurang mampu menelan; kesulitan dalam komunikasi verbal b.d. aphasia; gangguan gambaran tubuh dan perubahan peran b.d. kurang berfungsinya proses berfikir, ketidakmampuan fisik; kesulitan dalam pertukaran gas b.d. penumpukan sekresi, reflek batuk yang kurang; resiko tinggi terjadi trauma fisik b.d. adanya resiko tinggi terjadi trauma fisik b.d. adanya kejang, kebingungan; perubahan perfusi jaringan otak b.d. peningkatan tekanan intra kranial dan kerusakan integritas kulit b.d. kesulitan dalam mobilitas fisik.<br /> Perencanaan yang disusun disesuaikan dengan tingkat perubahan patofisiologi yang terjadi dan kebutuhan pasien. Penekanan diberikan pada bantuan agar kebutuhan perawatan diri seperti hygiene, toileting (bab/bak, termasuk di dalamnya mengobservasi adanya tanda-tanda infeksi akibat pemasangan catheter dan latihan untuk kontrol berkemih dengan menggunakan sistem klem-buka pada selang catheter tiap 2-3 jam sekali) dan makan/minum serta pengelolaan dari rasa pusing pasien akibat trauma kepala.<br /> Dari perencanaan keperawatan yang disusun selama proses keperawatan perlu diperhatikan beberapa hal seperti pengkajian dan pemantauan rasa pusing pada pasien, hygiene dan toileting pasien, serta masalah integritas kulit yang dapat saja terjadi berhubungan dengan immobilisasi pada pasien dalam waktu lama. Dan untuk proses pemberian asuhan keperawatan perlu dilibatkan pula keluarga dan adanya kerjasama antara pasien dan keluarga agar berjalan dengan tepat, efisien, dan kontinue. Dan mengingat evaluasi yang didapat pada pasien TN. E. yaitu dimana pasien masih merasakan pusing walaupun telah mendapat perawatan selama delapan hari.<br /><br /><br /><br />BAB V<br />KESIMPULAN<br /> <br />Trauma capitis atau trauma kepala dapat disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, jatuh, kecelakaan industri, benturan benda tumpul atau tajam, serangan dan yang berhubungan dengan olah raga. Trauma capitis dapat disertai dengan adanya luka, baik yang terbuka maupun yang tertutup.<br /> Untuk pengobatan dan penanganan pada pasien dengan trauma capitis, dapat dilakukan dengan cara operatif atau cara konservatif dan observatif, yaitu dengan memberi istirahat di tempat tidur untuk membantu mengurangi bahkan menghilangkan gejala atau keluhan dan mengobservasi tanda-tanda vital, tanda-tanda peningkatan tekanan intra kranial (TIK) dan pernafasan pasien. Dan untuk tindakan operatif dilakukan bila ditemukan indikasi adanya perdarahan dan peningkatan TIK.<br /> Untuk menghindari atau meminimalkan resiko terjadinya cedera kepala atau trauma kepala maka disarankan kepada para pengendara motor untuk menggunakan helm, pengemudi mobil untuk menggunakan sabuk pengaman dan kepada para pekerja bangunan dianjurkan untuk menggunkan helm dan sabuk pengaman. Dan kepada keluarga sendiri dapat diberitahukan tanda-tanda apabila ditemukan tanda-tanda kambuh seperti pasien cenderung tidur (tanpa pengaruh obat), pasien mengeluh mata berkunang-kunang, pasien sesak napas, pasien mengeluh pusing, pasien panas/suhu tubuh panas, agar segera membawa pasien kontrol ke dokter.<br /> Sebagai tenaga kesehatan, diharapkan dapat memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang cukup tentang penanganan dan asuhan keperawatan pada pasien dengan trauma capitis sehingga dapat memberikan asuhan keperawatan yang benar dan cepat pada penderita agar dapat mengurangi angka penderita dan angka kematian akibat trauma capitis.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB II<br />TINJAUAN TEORITIS<br />A. Konsep Dasar Medik<br />1. Definisi.<br /> Trauma capitis adalah cedera pada kepala yang menyebabkan kerusakan pada kulit kepala, tulang tengkorak dan pada otak sendiri. (Brunner and Suddarth, Medical Surgical Nursing).<br />2. Anatomi fisiologi.<br /> Otak merupakan suatu alat tubuh yang sangat penting karena merupakan pusat komputer dari semua alat tubuh. Otak terdapat dalam rongga tengkorak (cranium) yang dibungkus oleh selaput otak yang kuat.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Berdasarkan daerah atau lobusnya otak terbagi menjadi 4, yaitu lobus frontalis (untuk berfikir), temporalis (untuk menerima sensasi yang datang dari telinga), parietalis (untuk sensasi perabaan, perubahan temperatur) dan oksipitalis (untuk menerima sensasi dari mata). Otak terbagi menjadi 3 bagian besar, yaitu:<br />a. Serebrum (otak besar).<br />Merupakan bagian yang terluas dan terbesar dari otak, berbentuk telur, mengisi penuh bagian depan atas rongga tengkorak. Otak besar mempunyai 2 permukaan yaitu permukaan atas dan bawah, yang keduanya dilapisi oleh lapisan kelabu yaitu pada bagian kortex cerebral, dan lapisan putih yang terdapat pada bagian dalam dan mengandung serabut saraf.<br />b. Batang otak (Trunkus serebri), terdiri dari:<br />· Diensefalon, bagian batang otak paling atas terdapat di antara serebelum dan mesensepalon. Diensefalon berfungsi untuk : vasokontruktor (mengecilkan pembuluh darah), respiratory (membantu proses pernafasan), mengontrol kegiatan refleks, dan membantu pekerjaan jantung.<br />· Mesensefalon, berfungsi sebagai membantu pergerakan mata dan mengangkat kelopak mata , memutar mata dan pusat pergerakan mata.<br />· Pons varoli, sebagai penghubung antara kedua bagian serebellum dan juga antara medulla oblongata dengan serebellum, pusat saraf nervus trigeminus.<br />· Medula oblongata, bagian batang otak yang paling bawah yang berfungsi untuk mengontrol pekerjaan jantung, mengecilkan pembuluh darah, pusat pernafasan, dan mengontrol kegiatan refleks.<br />c. Serebellum(otak kecil).<br />· Terletak pada bagian bawah dan belakang tengkorak, dipisahkan dengan serebrum oleh oleh fisurra transversal, dibelakangi oleh pons varoli dan di atas medulla oblongata.<br />3. Etiologi.<br />Penyebab trauma kapitis terdiri dari kecelakaan lalu lintas (kecelakaan bermotor), jatuh, kecelakaan industri, benturan benda tumpul/tajam, serangan dan yang berhubungan dengan olah raga. Cedera kepala juga dapat terjadi karena kepala terkena benturan dari objek yang bergerak dan menimbulkan gerakan (cedera akselarasi) serta dapat terjadi bila kepala membentur bahan padat yang tidak bergerak dengan deselerasi cepat dari tulang tengkorak (cedera deselerasi).<br />4. Patofisiologi.<br /> Trauma capitis dapat terjadi karana cedera kulit kepala, tulang kepala, jaringan otak, baik terpisah maupun seluruhnya. Cedera otak bisa berasal dari truma langsung atau tidak langsung pada kepala. Trauma tidak langsung bila kepala langsung terluka. Semua itu berakibat terjadinya akselerasi-deselerasi dan pembentukan rongga (dilepasnya gas dari cairan lumbal, darah dan jaringan otak). Dilepasnya gas merusak jaringan syaraf. Trauma langsung juga menyebabkan rotasi tengkorak dan isinya. Kekuatan ini bisa terjadi seketika atau menyusul rusaknya otak oleh kompresi, goresan atau tekanan.<br /> Kerusakan-kerusakan saraf akan menimbulkan gejala-gejala neurologik sesuai dengan lokasi kerusakan. Kerusakan sistem motorik yang berpusat di belakang lobus frontalis akan mengakibatkan kelumpuhan pada sisi lain, kerusakan lobus oksipitalis menyebabkan gangguan lapang pandang, lobus parietalis menyebabkan gangguan sensibilitas kulit pada sisi yang berlawanan, lobus frontalis lateral menyebabkan terjadinya aphasia, lobus temporalis mengakibatkan terjadinya epilepsi.<br />Kerusakan hipotalamus menimbulakan gejala dan kelainan metabolisme serta terjadinya hipertensi, sedangkan kerusakan saraf kranial akan mengakibatkan timbulnya Kusmaul (nafas cepat dan dalam). Kerusakan di encephalon menyebabkan alkalosis respiratoris, kerusakan medulla oblongata akan mengakibatkan asidosis, nafas dalam dan tidak teratur.<br /> Fraktur pada dasar tengkorak biasanya kritis. Bila salah satu tertahan, pusat vital, saraf cranial jalur saraf akan menjadi rusak permanen. Trauma yang disrtai edema menyumbat sirkulasi CSF sehingga mengakibatkan tekanan intrakranial meningkat. Kebanyakan kematian cedera kepala akibat edema yang disebabkan oleh kerusakan dan disertai destruksi pusat vital.<br />5. Tanda dan Gejala.<br /> Tanda dan gejala yang sering ditemukan pada pasien yang mengalami trauma capitis adalah :<br />· perubahan tingkat kesadaran/pingsan.<br />· pucat.<br />· cyanosis.<br />· pernafasan terganggu (cepat dan dalam/dangkal teratur).<br />· nadi cepat tetapi lemah.<br />· pupil mata tak bereaksi terhadap cahaya, melebar dan anisokor.<br />· kejang-kejang.<br />· hiperthermi.<br />· sakit kepala, mual atau muntah.<br />· gelisah<br />· peningkatan tekanan intrakranial.<br />· cairan cerebro spinal (CSF) berwarna merah.<br />· sukar menelan.<br />6. Klasifikasi.<br />a. Trauma capitis terdiri dari :<br />· Trauma capitis primer, terdiri dari 2 bagian yakni :<br /> Adalah cedera yang mengenai dasar tengkorak atau cedera yang menembus jaringan otak. Kebutuhan dari otak dan dural adalah terganggu dan terbuka ke sebelah luar/lingkungan, terkontaminasi.<br />· Trauma capitis tertutup.<br /> Adalah hasil dari trauma tumpul, keutuhan tengkorak tidak terganggu, trauma capitis tertutup lebih serius.<br />Menurut berat ringannya, trauma capitis tertutup terbagi menjadi 3 yaitu<br />* Trauma capitis ringan(commotio cerebri), yang ditandai dengan :<br />- Gangguan kesadaran atau pingsan sesaat atau beberapa menit sampai 2-3 jam.<br />- Tidak didapatkan tanda-tanda gangguan fungsi jaringan otak yang berat.<br />- Kadang-kadang terdapat amnesia retrograt/anterograt.<br />- Vertigo.<br />- mual, muntah.<br />- Sakit kepala.<br />* Trauma capitis menengah berat 2-3 (contusio cerebri) ditandai dengan:<br />- Gangguan kesadaran/pingsan lebih dari 2-3 jam, sehari, mingguan sampai bulanan.<br />- Otak memar.<br />- Trauma lebih berat.<br />- Amnesia retrograd dan anterograd.<br />- Penurunan tingkat kesadaran.<br />- Gejala neurologis, parese (sebagian lumpuh).<br />- LP berdarah.<br />* Trauma capitis berat.<br />Kesadaran pasien bisa beralih pada apa yang disebut “Coma vigile/Appalic Syndrome” yang ditandai dengan:<br />- Gangguan kesadaran dengan mata terbuka.<br />- Posisi ekstremitas extensi/fleksi.<br />- Rangsangan rasa sakit tidak memberikan banyak respon.<br />- Jaringan otak rusak.<br />- Trauma sangat berat.<br />- Perdarahan intra cerebri.<br />- Penurunan kesadaran beberapa hari/bulan.<br />- Kelumpuhan anggota gerak.<br />- Kelumpuhan saraf otak.<br />- Fraktur basis cranium.<br />b. Trauma capitis sekunder<br />Lesi pada otak dan tanda klinis gangguan neurologis akit\bat dari cedera kepala, lebih lama waktunya. Hal ini didapat setelah beberapa menit, jam, hari, bulan, bahkan tahunan setelah kejadia. Penyebab lesi sekunder terhadap lesi jaringan otak antara lain : edema cerebri, epidural hematom, intra cerebral hematom dan infeksi. Berikut ini diuraikan tentang perdarahan intrakranial :<br />· Epidural Hematom.<br />Pada epidural hematom penderita akan pingsan beberapa detik/menit dan akan sadar kembali, setelah 4-6 jam akan mengalami gangguan kesadaran lagi beserta tanda gangguan neurologis yang ditandai dengan:<br />* Hemiparese.<br />* Dispasia sensorik motorik.<br />* Pupil anisokor dan refleks cahaya negatif karena parese okulomotorius.<br />* Gangguan kesadaran sampai pingsan.<br />* Bila terjadi desakan di metaencefalon akan terjadi kejang extensi dari ekstremitas.<br />* Bila TIK meningkat terus, maka peredaran darah di jaringan otak akan sangat terganggu danbila medula obongata sudah tidak berfungsi lagi maka akan terjadi apnea dan meninggal.<br />· Subdural hematom, terdiri dari 3 macam:<br />* Subdural Hematom akut, terjadi pada trauma capitis yang didapatkan langsung kerusakan jaringan otak. Pasien langsung pingsan jadi tidak ada “Free Interval Time”, kadang pembuluh darah besar seperti arteri dan sinus dapat luka.<br />* Subdural Hematom Subakut, terjadi kelainan klinis agak lambat karena pembuluh darah kortex yang terluka ukurannya kecil. Tanda gangguan neurologis timbul setelah berjam-jam bahkan berhari-hari setelah kejadian.<br />* Subdural hematom kronis, terjadi akibat trauma capitis ringan atau kontusio cerebri berat. Setelah beberapa minggu/bulan tidak ada gangguan neurologis walaupun ada sakit kepala/vertigo. Dapat timbul tanda dan gejala peningkatan tekanan intrakranial dan desakan jaringan otak.<br />· Intra Cerebral Hematom.<br />Perdarahan di jaringan otak (intra cerebral) pada trauma capitis kebanyakan terjadi karena adanya contusio di korteks atau sub korteks. Luas dari perdarahan ditentukan oleh beratnya mekanisme cedera kepala.<br />7. Test diagnostik.<br />a. Foto kepala dan cervical untuk mendeteksi perubahan dalam susunan tulang/adanya fraktur.<br />b. CT scan (dengan/tanpa zat kontras).<br />c. MRI (Magnetic Resonance Imaging).<br />d. Pneumoencephalografi dengan memasukkan udara ke ruangan-ruangan otak apakah ada penyempitan/tidak, adanya perdarahan.<br />e. Cisternografi dengan memasukkan alat melalui lumbal punksi atau cervical punksi.<br />f. EEG, untuk melihat aktifitas dan hantaran listrik di otak.<br />g. Echoencephalografi dengan gelombang suara dan gemanya direkam.<br />h. Analisa gas darah untuk mendeteksi jumlah bentilasi atau oksigenisasi.<br />i. Serum elektrolit untuk menentukan bahwa tingkat terapeutik adekuat dan mencegah aktifitas serangan tiba-tiba.<br />j. Darah lengkap untuk mengetahui kekuatan hemoglobin dalam mengikat oksigen.<br />8. Therapi/pengelolaan medik.<br /> Pengobatan yang diberikan pada pasien trauma capitis dapat berupa pengobatan konsevatif dan dengan tindakan observatif . Pengobatan konservatif berupa: bedrest total di RS, pemberian anticonvulsan (anti kejang), diuretik, corticosteroid (mengurangi edema), barbiturat (obat penenang), antibiotik (mencegah infeksi), analgetik (mengurangi rasa sakit), sedangkan tindakan observatif berupa: observasi pernafasan, monitor tekanan intrakranial, monitor cairan elektrolit.<br /> Selain dengan tindakan konservatif dapat juga dilakukan tindakan operatif dengan indikasi seperti adanya perdarahan epidural dan subdural.<br />9. Komplikasi.<br /> Komplikasi yang dapat timbul pada pasien yang mengalami trauma capitis, yaitu:<br />a. Shock, disebabkan karena banyaknya darah yang hilang atau rasa sakit hebat. Bila kehilangan lebih dari 50% darah dapat mengakibatkan kematian.<br />b. Peningkatan tekanan intrakranial, terjadi pada edema cerebri dan hematom dalam tulang tengkorak.<br />c. Meningitis, terjadi bila ada luka di daerah otak yang ada hubungannya dengan luar.<br />d. Infeksi/kejang, terjadi bila disertai luka pada anggota badan atau adanya luka pada fraktur tulang tengkorak.<br />e. Edema pulmonal akibat dari cedera pada otak yang menyebabkan adanya peningkatan tekanan darah sistemik sebagai respons dari sistem saraf simpatis pada peningkatan TIK. Peningkatan vasokonstriksi tubuh ini menyebabkan lebih banyak darah dialirkan ke paru-paru. Perubahan permeabilitas pembuluh darah paru berperan dalam proses memungkinkan cairan berpindah ke dalam alveolus.<br />B. Konsep Dasar Keperawatan.<br />1. Pengkajian.<br />a. Pola pemeliharaan kesehatan dan persepsi kesehatan.<br />· Riwayat trauma saat ini dan benturan yang terjadi secara tidak sengaja.<br />· Fraktur atau terlepasnya persendian.<br />· Gangguan penglihatan.<br />· Kulit : luka kepala/abrasi, perubahan warna (tanda-tanda trauma).<br />· Keluarnya cairan dari telinga dan hidung.<br />· Gangguan kesadaran.<br />· Demam, perubahan suhu tubuh.<br />b. Pola nutrisi metabolik.<br />· Mual, muntah.<br />· Sulit menelan.<br />c. Pola eliminasi.<br />· Inkontinensia atau retensi kandung kemih.<br />d. Pola aktifitas.<br />· Keadaan aktivitas: lemah, letih, lesu, kesadaran berubah, hemiparase, kelemahan koordinasi otot-otot kejang.<br />· Keadaan pernafasan: apnea, hyperventilasi, suara nafas stridor, ronchi, wheezing.<br />e. Pola istirahat.<br />· Pasien mengatakan intensitas sakit kepala yang tidak tetap dan lokasi sakit kepala.<br />f. Pola persepsi sensori kognitif.<br />· Kehilangan kesadaran sementara.<br />· Pusing, pingsan.<br />· Mati rasa pada ekstremitas.<br />· Perubahan penglihatan: diplopia, tidak peka terhadap refleks cahaya, perubahan pupil, ketidakmampuan untuk melihat ke segala arah.<br />· Kehilangan rasa, bau, pendengaran dan selera.<br />· Perubahan dalam kesadaran, koma.<br />· Perubahan status mental (perhatian, emosional, tingkah laku, ingatan, konsentrasi).<br />· Wajah tidak simetris.<br />· Tidak ada refleks tendon.<br />· Tidak mampu mengkoordinir otot-otot dan gerakan, kelumpuhan pada salah satu anggota gerak otot.<br />· Kehilangan indra perasa pada bagian tubuh.<br />· Kesulitan dalam memahami diri sendiri.<br />g. Pola persepsi dan konsep diri.<br />· Adanya perubahan tingkah laku (halus dan dramatik).<br />· Kecemasan, lekas marah, mengigau, gelisah, bingung.<br />2. Diagnosa keperawatan.<br />a. Perubahan perfusi jaringan otak b.d peningkatan tekanan intrakranial.<br />b. Perubahan persepsi sensorik b.d penurunan tingkat kesadaran, kerusakan lobus pariental, kerusakan nervus olfaktorius.<br />c. Kesulitan mobilitas fisik b.d hemiplegia, kelelahan.<br />d. Potensial terjadi trauma fisisk b.d adanya kejang, kebingungan.<br />e. Kesulitan dalam pertukaran gas b.d penumpukan sekresi, refleks batuk yang kurang.<br />f. Gangguan gambaran tubuh dan perubahan peran b.d kurang berfungsinya proses berfikir, ketidakmampuan fisik.<br />g. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan utbuh b.d kurang mampu menelan.<br />h. Tidak mampu merawat diri b.d kesulitan dalam mobilitas fisik.<br />i. Kesulitan dalam komunikasi verbal b.d aphasia.<br />j. Gangguan rasa nyaman: nyeri b.d trauma dan sakit kepala.<br />k. Kerusakan integritas kulit b.d kesulitan dalam mobilitas fisik.<br />l. Perubahan pola eliminasi urine: inkontinentia atau retensi urine b.d terganggunya saraf kontrol berkemih.<br /> <br /><br />3. Perencanaan.<br />a. Perubahan perfusi jaringan otak b.d peningkatan tekanan intrakranial.<br />Hasil yang diharapkan:<br />· Pasien tidak menunjukkan peningkatan TIK.<br />· Terorientasi pada tempat, waktu dan respon.<br />· Tidak ada gangguan tingkat kesadaran.<br />Intervensi:<br />· Kaji status neurologi, tanda-tanda vital ( tekanan darah meningkat, suhu naik, pernapasan sesak, dan nadi) tiap 10-20 menit sesuai indikasi.<br />R/ : Mendeteksi dini perubahan yang terjadi sehingga dapat mengantisipasinya.<br />· Tentukan faktor penyebab adanya penurunan perfusi jaringan dan potensial terjadi peningkatan TIK.<br />R/ : Untuk menentukan asuhan keperawatan yang diberikan.<br />· Monitor suhu tubuh.<br />R/ : Panas tubuh yang tidak bisa diturunkan menunjukkan adanya kerusakan hipotalamus atau panas karena peningkatan metabolisme tubuh.<br />· Berikan posisi antitrendelenberg atau dengan meninggikan kepala kurang lebih 30 derajat.<br />R/ : Mencegah terjadinya peningkatan TIK.<br />· Kolaborasi dengan dokter untuk memberikan obat diuretik seperti manitol, diamox.<br />R/ : Membantu mengurangi edema otak.<br />b. Perubahan persepsi sensorik b.d penurunan tingkat kesadaran, kerusakan lobus parientalis, kerusakan nervus olfaktorius.<br />Hasil yang diharapkan:<br />· Kesadaran pasien kembali normal.<br />· Tidak terjadi peningkatan TIK.<br />Intervensi:<br />· Observasi keadaan umum serta TTV.<br />R/ : Mengetahui keadaan umum pasien.<br />· Orientasikan pasien terhadap orang, tempat dan waktu.<br />R/ : Melatih kemampuan pasien dalam mengenal waktu, tempat dan lingkungan pasien.<br />· Gunakan berbagai metode untuk menstimulasi indra mis: parfum.<br />R/ : Melatih kepekaan nervus olfaktorius.<br />· Kolaborasi medik untuk membatasi penggunaan sedativa.<br />R/ : Sedativa mempengaruhi tingkat kesadaran pasien.<br />c. Kesulitan mobilitas fisik b.d hemiplegia, kelelahan.<br />Hasil yang diharapkan:<br />· Pasien dapat mempertahankan mobilitas fisik seperti ditunjukan dengan tidak adanya kontraktur.<br />Intervensi:<br />· Lakukan latihan pasif sedini mungkin.<br />R/ : Mempertahankan mobilitas sendi dan tonus otot.<br />· Beri footboard/penyangga kaki.<br />R/ : Mempertahankan posisi ekstremitas.<br />· Pertahankan posisi tangan, lengan, kaki dan tungkai.<br />R/ : Posisi ekstremitas yang kurang tepat akan terjadi dislokasi.<br />· Kolaborasi fisioterapi.<br />R/ : Tindakan fisiotherapi dapat mencegah kontraktur.<br />d. Potensial terjadi trauma fisik b.d adanya kejang, kebingungan.<br />Hasil yang diharapkan:<br />· Trauma fisik tidak terjadi.<br />· Terjaganya batas kesadaran fungsi motorik.<br />Intervensi:<br />· Jangan tinggalkan pasien sendiri saat kejang.<br />R/ :Secepatnya mengambil tindakan yang tepat dan menentukan asuhan keperawatan .yang diberikan.<br />· Perhatikan lingkungan.<br />R/ : Cegah terjadinya trauma.<br />· Longgarkan pakaian yang sempit terutama bagian leher.<br />R/ : Memperlancar jalan nafas.<br />· Tidak boleh diikat selama kejang.<br />R/ : Mengurangi ketegangan .<br />· Beri posisi yang tepat (kepala dimiringkan).<br />R/ : Membantu pembukaan jalan nafas.<br />· Gunakan bantal tipis di kepala.<br />R/ : Mengurangi tekanan intrakranial.<br />· Diorientasikan kembali keadaan pasien dan berikan istirahat pada pasien.<br />R/ : Melatih kemampuan berfikir, memelihara fungsi mental dan orientasi terhadap kenyataan.<br />e. Kesulitan dalam pertukaran gas b. d penumpukan sekresi, refleks batuk yang kurang.<br />Hasil yang diharapkan:<br />· Tidak ada gangguan jalan nafas.<br />· Lendir dapat dibatukkan/sekret dapat keluar.<br />· Pernafasan teratur.<br />Intervensi:<br />· Kaji pernafasan, suara nafas, kecepatan irama, kedalaman, penggunaan obat tambahan.<br />R/ : Suara nafas berkurang menunjukkan akumulasi sekret.<br />· Catat karakteristik sputum (warna, jumlah, konsistensi).<br />R/ : Pengeluaran sekret akan sulit jika kental.<br />· Anjurkan minum 2500 cc/hari.<br />R/ : Mengencerkan lendir sehingga dapat dibatukkan .<br />· Beri posisi fowler.<br />R/ : Memaksimalkan ekspansi paru dan memudahkan bernafas.<br />· Kolaborasi pemberian O2 dan pengobatan/therapi.<br />R/ : Memenuhi kebutuhan O2 dan pengeluaran sekret.<br />f. Gangguan gambaran tubuh dan perubahan peran b.d kurang berfungsingya proses berfikir.<br />Hasil yang diharapkan:<br />· Membuat pernyataan tentang body image.<br />· Mengekspresikan pernerimaan tentang body image.<br />· Menggunakan sumber-sumber yang tersedia untuk mendapatkan informasi dan dukungan.<br />Intervensi:<br />· Kaji perasaan dan persepsi pasien tentang kurang berfungsinya proses berfikir dan ketidakmampuan mobilitas fisik .<br />R/ : Menentukan tindakan keperawatan yang tepat.<br />· Bantu pasien dalam mengekspresikan perasaan perubahan body image.<br />R/ : Meningkatkan proses penerimaan diri.<br />· Dengarkan ungkapan pasien untuk menolak/menyangkal perubahan body image.<br />R/ : Mengurangi rasa keterasingan terhadap perubahan body image.<br />· Hargai pemecahan masalah yang konstruktif untuk meningkatkan rasa penerimaan diri.<br />R/ : Memberikan dukungan untuk meningkatkan body image.<br />g. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kurang mampu menelan.<br />Hasil yang diharapkan:<br />· Berat badan normal.<br />· Mengkonsumsi semua makanan yang disajikan.<br />· Terbebas dari malnutrisi.<br />Intervensi:<br />· Kaji kemampuan makan dan menelan.<br />R/ : Membantu dalam menentukan jenis makanan dan mencegah terjadinya aspirasi.<br />· Dengarkan suara peristaltik usus.<br />R/ : Membantu menentukan respon dari pemberian makanan dan adanya hiperperistaltik kemungkinan adanya komplikasi ileus.<br />· Berikan rasa nyaman saat makan, seperti posisi semi fowler/fowler.<br />R/ : Mencegah adanya regurgitasi dan aspirasi.<br />· Berikan makanan porsi kecil tapi sering dan dalam keadaan hangat.<br />R/ : Meningkatkan nafsu makan.<br />· Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian vitamin.<br />R/ : Vitamin membantu meningkatkan nafsu makan dan mencegah malnutrisi.<br />h. Tidak mampu merawat diri b.d kesulitan dalam proses berpikir dan kesulitan dalam mobilitas fisik.<br />Hasil yang diharapkan:<br />· Kebutuhan hygiene, nutrisi, eliminasi pasien terpenuhi.<br />· Pasien dapat merawat diri sesuai dengan kemampuan pasien.<br />Intervensi:<br />· Bantu perawatan diri pasien sesuai dengan kebutuhan pasien.<br />· R/ : Kebutuhan pasien akan pemenuhan perawatan diri terpenuhi.<br />· Kaji kemampuan pasien dalam merawat diri.<br />· R/ : Menentukan asuhan keperawatan yang tepat.<br />· Libatkan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan akan perawatan diri pasien.<br />· R/ : Kerjasama dapat menngkatkan pemenuhan kebutuhan perawatan diri bila sudah sembuh.<br />i. Kesulitan dalam komunikasi verbal b.d aphasia.<br />Hasil yang diharapkan :<br />· Kemampuan komunikasi verbal pasien dapat kembali normal.<br />Intervensi:<br />· Kaji kemampuan pasien dalam komunikasi verbal.<br />R/ : Menentukan askep yang tepat.<br />· Beri kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan kebutuhannya.<br />R/ : Agar pasien terpenuhi kebutuhannya.<br />· Anjurkan pasien untuk mengungkapkan kebutuhannya dengan bahasa isyarat.<br />R/ : Kebutuhan pasien untuk berlatih bicara pendek dan singkat.<br />· Ajarkan pasien untuk berlatih bicara pendek dan singkat.<br />R/ : Kalimat pendek dan singkat tidak membuat pasien lelah dan bingung.<br />j. Gangguan rasa nyaman: nyeri b.d trauma dan sakit kepala.<br />Hasil yang diharapkan:<br />· Nyeri dapat berkurang sampai dengan hilang<br />Intervensi:<br />· Kaji lokasi nyeri, intensitas dan keluhan pasien.<br />R/ : Menentukan intervensi yang tepat.<br />· Ajarkan teknik relaksasi tarik nafas dalam.<br />R/ : Ketegangan saraf yang mengendor akan mengurangi rasa nyeri.<br />· Beri posisi tidur dengan kepala tanpa bantal.<br />R/ : Tekanan intrakranial turun akan mengurangi rasa nyeri.<br />· Kolaborasi medik untuk pemberian analgetik.<br />R/ : Analgetik meningkatkan ambang rasa nyeri.<br />k. Kerusakan integritas kulit b.d kesulitan dalam mobilitas fisik<br />Hasil yang diharapkan:<br />· Tidak terjadi kerusakan kulit, dekubitus<br />Intervensi:<br />· Kaji Keadaan kulit pasien.<br />R/ : Menentukan askep yang tepat.<br />· Beri posisi tidur miring kiri-terlentang-kanan tiap 2 jam.<br />R/ : Penekanan yang terlalu lama pada salah satu lokasi kulit akan menimbulkan nekrose.<br />· Lakukan massage pada lokasi kulit yang terjadi penekanan.<br />R/ : Meningkatkan sirkulasi darah.<br />· Jaga alat tenun tempat tidur pasien kering dan tidak terlipat.<br />R/ : Kain basah dan berlipat akan menimbulkan kerusakan pada kulit.<br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Brown, Little. Manual of Medical Surgical Nursing.<br />Brunner and Suddarth. Medical Surgical Nursing. Sixth Edition. Sydney: J.B Lippincott Compay, 1988.<br />Joan Luckman, R.N. M.A, Karen C. Sorensen, R.N, M. N. Medical Surgical Nursing: A Psychohysiological Approach. Philadelphia: W. B Saunders Company, 1987.<br />Lewis, Mantik Sharon. Medical Surgical Nursing. Assesment and Management of Medical Problem. Second Edition. Mexico: Mc Graw-Hill Book Company, 1987.<br />Long, C. Barbara. Perawatan Medical Bedah. Suatu Pendekatan Keperawatan 2. Cetakan I. Jilid 1. Bandung: Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Padjajaran, 1996.<br />Woods, Patrick. Medical Surgical Nursing Pathophysiological Concepts. Philadelphia: J.B Lippincott Company, 1986.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB III<br />PENGAMATAN KASUS<br />Pengamatan kasus dilakukan pada TN. E berumur 17 tahun, seorang pegawai pada sebuah toko bahan bangunan. Pasien diawat di unit Elisabet PKSC pada tanggal 6 Agustus 2000 dengan diagnosa medik Trauma Kapitis.<br /> Pasien mengalami kecelakaan lalu lintas 13 hari yang lalu. Pasien terjatuh saat menumpang mobil pick up (bak terbuka) milik toko material tempat kerjanya, dan pasien tidak sadarkan diri (pingsan). Oleh temannya pasien dibawa ke RS Karya Medika dan ditempatkan di ICU setelah beberapa jam di UGD. Pasien tidak sadarkan diri selama 3 hari, setelah sadar pasien mengeluh pusing dan sedikit mual dianjurkan oleh dokter untuk dirawat di ruangan. Hari kelima pasien dibawa ke PKSC untuk dirawat di unit Elisabet.<br /> Pada saat pengkajian tanggal 14 Agustus 2000 pasien telah menjalani perawatan selama 8 hari. Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis, tanda-tanda vital ; tekanan darah : 130/80 mmHg, suhu : 360 C, nadi : 86 kali permenit, HR : 90 kali permenit dan pernafasan : 21 kali permenit. Pasien mengeluh pusing seperti berputar-putar dan badan terasa lemas, sedangkan keluhan mual sudah tidak ada sejak 2 hari yang lalu. Posisi tidur pasien terlentang dengan satu bantal tipis .<br /> Pada TN. E telah dilakukan foto kepala (6 Agustus 2000) dan diperoleh hasil tidak tampak adanya fraktur pada tulang tengkorak dan mandibula. Hasil laboratorium terakhir (6 Agustus 2000) diperoleh data Hb : 12,7 gr/dL (N: 12,0-18,0 gr/dL), Ht : 36 % (N: 37-52 %), Leukosit : 14.500 /uL (N :4800-10.800 / uL) dan Trombosit : 246.000 /uL (N : 50.000-450.000 /uL). Sedangkan therapi yang diberikan adalah : Oradexson 4x1, Nonflamin 3x1, Benocetam 4x1, Nevramin 1x1 ampul. <br /><br /> </div>UUNhttp://www.blogger.com/profile/03809401118170400297noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5128503638995547949.post-31538086614484355552008-05-18T06:13:00.000-07:002008-05-18T06:14:26.343-07:00TBC PARU<div align="center"><strong>BAB II<br />TINJAUAN TEORITIS<br /><br /></strong> </div><div align="justify"><br />A. Konsep Dasar Medik<br />1. Definisi<br />Tuberculosis paru ( TBC paru ) adalah penyakit infeksi paru yang disebabkan mycobacterium tuberculosis yang bersifat tahan asam, aerob. (Brunner/Suddarth, 1998)<br /><br />2. Anatomi Fisiologi<br />Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh berbentuk kerucut yang terletak di dalam rongga dada, datarannya menghadap ke tengah cavum mediastinum. Ada dua buah paru-paru pada manusia. Paru kanan dan kiri yang masing-masing memiliki:<br />- Apeks yang memanjang ke dalam leher kira-kira 2,5 cm di atas clavikula.<br />- Permukaan costa vertebra mengembung ke dalam dinding dada kurang lebih 21 cm.<br />- Permukaan mediastinum mengembung ke arah perikardium dan jantung.<br />- Dasar yang terletak pada diafragma.<br />Paru kanan terdiri dari 3 lobus (lobus superior, lobus medial, dan lobus inferior), sedangkan paru kiri terdiri dari 2 lobus (lobus superior dan lobus inferior). Lobus-lobus ini terbentuk oleh lobulus-lobulus. Segmen paru adalah daerah yang disuplay oleh percabangan besar bronchus, masing-masing segmen mengandung unit-unit yang dapat mensuplay darah sendiri. Paru kanan mempunyai sepuluh segmen, paru kiri mempunyai sembilan segmen yang masing-masing segmen berbentuk biji dengan ujung tipis dari biji pada radik paru.<br />Dalam segmen-segmen tersebut cabang bronkial utama membagi ke dalam cabang-cabang yang kecil.Bronkiolus merupakan suatu percabangan yang lebih membagi ke dalam cabang-cabang yang lebih kecil. Duktus alveoli merupakan percabangan yang terkeci, yang masing-masing berakhir pada sekelompok alveoli.Alveolus merupakan suatu kantong dengan dinding yang tipis yang mengandung udara.Melalui dinding-dindingnya terjadi pertukaran gas-gas. Masing-masing paru mengandung sekitar 300 juta alveoli. Lubang-lubang kecil pada dinding alveolus memudahkan udara untuk masuk dari satu alveolus ke alveolus yang lain. Lobus utama dari paru adalah bronkial dengan kelompok-kelompok alveoli.<br /><br />3. Etiologi<br />TBC paru disebabkan oleh kuman tahan asam yaitu Mycobacterium tuberculosis.<br /><br />4. Patofisiologi<br />Ada tiga pintu masuk utama mikroorganisme mycobacterium tuberculosis yaitu saluran pernapasan, saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit.partikel yang menimbulkan infeksi disebarkan ke individu dari penderita infeksi aktif. Mycobacterium tuberculosis ditransmisikan melalui batuk, bersin, dan dihirup oleh orang lain melalui udara.<br />Tempat tertanamnya ( inplantasi ) hasil tuberkel yang paling sering adalah permukaan alveolar dari parenkim paru-paru,bronchi pada bagian bawah lobus atas atau bagian atas lobus bawah.<br />Reaksi yang sering ditimbulkan oleh hasil tuberkel merupakan suatu proses peradangan yang merusak sistem imun, sehingga terbentuk lesi-lesi pada bagian paru-paru. Leukosit polimorfonuklear akan tampak pada tempat yang terinfeksi dan mencoba memakan bakteri. Bila kuman tersebut tidak mati, maka pada hari pertama akan terjadi perubahan. Leukosit akan digantikan oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami peradangan dan timbul gejala pneumonia akut. Pneumonia selular ini dapat sembuh sendiri sehingga tidak ada sisa yang tertinggal atau proses dapat berlanjut sehingga bakteri terus difagosit atau berkembang biak.<br />Basil juga menyebar melalui getah bening menuju kelenjar getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloit limfosit mengelilingi tuberkel tersebut. Reaksi ini biasanya terjadi setelah 2-10 minggu yang di manifestasikan dengan reaksi terhadap test tuberkulin dan nekrosis.<br />Bila proses infeksi terus berlangsung maka hasil dari TBC atau granulomatosus akan membengkak dimana hasil-hasil tersebut akan mengelilingi kolagen, fibroblas, dan limfosit sehingga bagian tengahnya ( ghon’s tuberkel ) lama kelamaan akan nekrosis. Nekrosis bagian sentral lesi akan mengakibatkan terbentuknya padatan seperti keju yang di sebut nekrosis caseosa. Daerah yang mengalami nekrosis caseosa yang disertai dengan jaringan disekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan fibroblas menimbulkan respon yang berbeda. Reaksi individu yang terinfeksi TBC tergantung pada daya tahan tubuh individu, jumlah basil, dan virulensi basil.<br />Klasifikasi TBC menurut American Lung Association :<br />0. Tidak terpapar TBC, tidak terinfeksi:<br />- Tidak ada riwayat terpapar TBC<br />- Test tuberculin negatif<br />I. Terpapar TBC, tidak ada tanda-tanda infeksi :<br />- Ada riwayat terpapar TBC<br />- Test tuberkulin negatif<br />II. Terinfeksi TBC, tanpa sakit :<br />- Test tuberkulin positif<br />- Pemeriksaan bakteriologik ( sputum ) positif<br />- Thorax foto tidak menunjukkan TBC<br />- Tidak ada gejala akibat TBC<br />III. Terinfeksi TBC dan sakit :<br />Keadaan penderita di gambarkan dengan tiga kriteria:<br />1. Lokasi penyakit<br />2. Status bakteriologik<br />3. Status pengobatan.<br /><br />5. Tanda dan gejala<br />Keluhan yang dirasakan oleh penderita TBC paru dapat bermacam-macam, bahkan ada yang tanpa keluhan sama sekali. Umumnya penderita akan merasakan:<br />- Batuk berdahak dan kadang-kadang batuk darah ( hemaptoe )<br />- Penurunan berat badan<br />- Berkeringat pada malam hari tanpa kegiatan<br />- Sesak napas dan rasa nyeri pada dada<br />- Demam<br />- Anoreksia<br />- Lesu<br />- Sakit kepala<br />- Nyeri otot<br />- Retraksi dada<br /><br />6. Test diagnostik<br />Untuk mengetahui seseorang dikatakan menderita penyakit TBC selain data subyektif, juga diperlukan data obyektif dan hasil pemeriksaan-pemereiksaan yang menunjang, yang meliputi:<br />a. Pemeriksaan fisik:<br />- Y ang paling dicurigai adalah apex paru<br />- Bila ada infiltrat yang luas akan di dapat perkusi yang redup dan auskultasi napas bronkhial ronchi basah kasar dan nyaring/rales<br />- Pada tuberculose lanjut dengan fibrosis luas, sering di temukan atropi dan retraksi otot-otot interkostal<br />- Apabila tuberculose mengenai pleura, akan terjadi pleura effusion.Paru-paru akan terasa sakit dan sulit untuk bernafas. Dengan perkusi akan menimbulkan suara pekak dan dengan auskultasi napas melemah sampai tidak terdengar<br />b. Pemeriksaan laboratorium<br />- Laju endap darah meningkat<br />- Leukosit meningkat<br />- Sputum sediaan langsung positif terhadap mycobacterium tuberculose<br />- Biakan positif terhadap mycobacterium tuberculose<br />- Bilasan bronkus: cairan plera, cairan lambung, jaringan kelenjar, cairan serebrospinalis, urine, dan tinja, dapat kuman BTA<br />c. Pemeriksaan rontgen<br />Dengan foto thorax, membantu dalam menegakkan diagnosa:<br />- Lesi tuberculosis biasanya ditemukan pada apex paru, lobus bawah atau hilus<br />- Pada pneumonia jelas dengan gambarannya berupa bercak-bercak awan dengan batas tegas<br />- Pada atelektasis terlihat seperti gambaran fibrosis dan penciutan paru<br />- Pada TBC bilier akan terlihat bercak-bercak halus di seluruh lapang paru dan terdapat pleuritis<br />- Pemeriksaan tuberkulin, mantoux test positif<br />- Pada pemeriksaan tuberkulin PPD ( purified derifate ) positif bila hasilnya 10 mm atau lebih setelah 48 – 72 jam<br /><br />7. Pengelolaan medik/therapy<br />- Obat utama: INH, Ethambutol, Rifampicin, Streptomicin<br />- Obat sekunder: PAS, Pirazinamade, Ethambutol<br />- Analgetik<br />- Diet TKTP<br />- Isolasi untuk pencegahan penularan melalui udara bila di butuhkan<br />- Tindak lanjut pada keluarga dan orang yang kontak dengan pasien setelah pasien pulang<br />- Therapy bedah antara lain drainage abses paru, reseksi paru<br /><br />8. Komplikasi<br />- Atelektasis<br />- Hemaptoe<br />- Tuberkulose bilier<br />- Pneumothorax<br />- Tuberkulose perikarditis, peritonitis, meningitis, limfadenitis<br />- Kambuh kembali<br /><br />B. Konsep Dasar Keperawatan<br />Pengkajian<br />a. Pola persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan<br />- Riwayat batuk produktif lebih dari dua minggu<br />- Adanya hemaptoe<br />- Kaji tempat tinggal, ventilasi, cahaya matahari, sumber polusi sekitar rumah, kontak dengan perokok<br />- Kedisiplinan dalam pengobatan<br />b. Pola nutrisi metabolik<br />- Tidak nafsu makan<br />- Mual, muntah<br />- BB turun<br />- Kaji pola makan dan asupan makan<br />- Banyak berkeringat di punggung pada malam hari tanpa aktivitas<br />c. Pola aktivitas dan latihan<br />- Malaise<br />- Batuk pruduktif lebih dari dua minggu berturut-turut<br />- Hemaptoe<br />- Batuk dan sesak napas<br /><br />d. Pola tidur dan istirahat<br />- Tidur terganggu akibat batuk<br />- Perubahan tempat tidur karena dirawat<br />e. Pola persepsi sensori dan kognitif<br />- Nyeri dada<br />- Kurang pengetahuan tentang penyakit<br />f. Pola mekanisme koping dan toleransi terhadap stres<br />- Pasien mengalami kegelisahan, ketakutan karena dirawat<br />- Pasien cemas<br /><br />Diagnosa Keperawatan<br />a. Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan adanya exudat dalam alveoli dan penurunan fungsi permukaan paru.<br />b. Ketidakefektifan kebersihan jalan napas yang berhubungan dengan peningkatan sputum dan penurunan usaha untuk batuk.<br />c. Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan peradangan dan kelelahan.<br />d. Perubahan temperatur tubuh : hypertermi yang berhubungan dengan proses infeksi.<br />e. Kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan panas dan kurangnya intake cairan akibat kelelahan.<br />f. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan penurunan nafsu makan, kelelahan dan dyspnea.<br /><br />Perencanaan.<br />a. Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan adanya exudat dalam alveoli dan penurunan fungsi permukaan paru.<br />Hasil yang diharapkan :<br />Memperbaiki pertukaran gas melalui ventilasi pulmonary yang adekuat.<br />Rencana tindakan :<br />- Kaji adanya tanda dan gejala hypoksia, tachycardi, peningkatan tekanan darah dan tachypnea. Laporkan segera kepada dokter bila ditemukan.<br />Rasional : tanda dan gejala hypoksia menjadi perhatian untuk pencegahan komplikasi pada penurunan fungsi pernapasan.<br />- Auskultasi pada paru-paru pasien untuk mengetahui adanya bunyi yang tidak normal.<br />Rasional : auskultasi dapat menunjukkan penurunan ventilasi dan perfusi paru yang disebabkan oleh sekresi.<br />- Jelaskan pada pasien maksud dan tujuan digunakannya bronkodilator, jika ada instruksi dan indikasi (kolaborasi).<br />Rasional : bronkodilator membantu membesarkan spasme dari otot bronkus dengan demikian terjadi dilatasi pernapasan dan membantu pertukaran gas.<br />- Ajarkan pasien untuk menggunakan O2 jika diperlukan dan jelaskan maksudnya.<br />Rasional : suplemen oksigen dapat membantu memenuhi kebutuhan oksigenisasi yang adekuat dan pertukaran pada alveoli.<br />- Anjurkan kepada pasien tentang pentingnya banyak istirahat.<br />Rasional : istirahat mengurangi tubuh untuk menggunakan oksigen dan mengembalikan keutuhan sistem pernapasan.<br />- Anjurkan pasien untuk mencari bantuan medik bila mengalami sesak dan panas.<br />Sesak napas dan panas dapat dijadikan indikasi dari pneumonia atau komplikasi yang dapat menghalangi pertukaran gas.<br />b. Ketidakefektifan kebersihan jalan napas yang berhubungan dengan peningkatan sputum dan penurunan usaha untuk batuk.<br />Hasil yang diharapkan :<br />Peningkatan kebersihan jalan napas dengan berkurangnya sekresi dan perbaikan usaha pasien untuk batuk.<br />Rencana tindakan :<br />- Anjurkan pasien minum 10 gelas air atau 2 liter air per hari (selain susu) untuk mempertahankan hidrasi adekuat.<br />Rasional : hidrasi adekuat membantu pengenceran sekresi sedangkan susu dapat meningkatkan sekresi.<br />- Yakinkan pasien bahwa air melembabkan udara pernapasan.<br />Rasional : kelembaban membantu mensekresikan dan memungkinkan jalan napas lebih luas.<br />- Ajarkan dan anjurkan pasien untuk batuk efektif dan napas dalam.<br />Rasional : tehnik batuk ayng tepat mempermudah cara pengeluaran sputum.<br />- Anjurkan pasien untuk istirahat antara interval batuk dan untuk merubah posisi setiap 1-2 jam bila tidak ada kontra indikasi.<br />Rasional : istirahat dan ganti posisi membantu untuk mengurangi kelelahan menyeluruh dan pengeluaran sputum serta pemasukan oksigen untuk regenerasi sel.<br />- Jelaskan pasien maksud penggunaan ekxpektoransia jika diperlukan.<br />Rasional : ekspektoransia menolong untuk melonggarkan jalan napas<br />- Observasi karakteristik sputum yang dikeluarkan (warna, bau, konsistensi, dan jumlah). Laporkan dengan segera bila ada perubahan.<br />Rasional : sputum normal adalah encer dan berwarna putih kekuningan. Bila bercampur darah, rusti/sputum purulent dapat menunjukkan komplikasi atau kemungkinan gangguan pulmonary yang lain.<br />c. Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan peradangan dan kelelahan.<br />Hasil yang diharapkan :<br />Meningkatnya oksigenisasi yang adekuat dengan memperbaiki/ memperkecil kecemasan pasien dan meningkatkan kepercayaan diri pasien untuk istirahat dan adekuat.<br />Rencana tindakan :<br />- Observasi adanya tanda-tanda distres pernapasan seperti peningkatan jumlah pernapasan, kontraksi strernal, intercostal, nasofaring. Segera lapor dokter bila ada tanda-tanda tersebut.<br />Rasional : tanda dan gejala ini dapat menjadi serius dan komplikasi tuberculosis seperti hypoxemia, atelektasis, sepsis atau pneumoniathorax, tuberculosis perikarditis, dan peritonitis.<br />- Kaji nyeri dan kecemasan pasien.<br />Rasional : peningkatan nyeri dan cemas dapat membuat pasien merasa sesak dan mengurangi ekspansi paru-paru sehingga dapat menyebabkan atelektasis dan hypoxemia<br />- Ajarkan pasien untuk menekan dada dengan bantal atau tangan sewaktu batuk atau panas dalam.<br />Rasional : menekan dada dengan bantal atau tangan waktu batuk mengurangi nyeri saat ekspansi paru.<br />- Anjurkan pasien untuk meninggikan kepala dengan bantal (45 derajat) atau posisi fowler.<br />Rasional : posisi fowler membuka ventilasi dan ekspansi paru dengan mengurangi penekanan dalam diafragma.<br />- Jelaskan maksud dan tujuan analgetik.<br />Rasional : analgetik emngurangi nyeri sehingga ekspansi paru maksimum dapat tercapai saat bernapas.<br />- Jelaskan maksud dan tujuan obat penekan batuk.<br />Rasional : obat penekan batuk mengurangi frekuensi batuk sehingga pasien dapat istirahat dengan nyaman.<br />d. Perubahan temperatur tubuh : hypertermi yang berhubungan dengan proses infeksi.<br />Hasil yang diharapkan :<br />Mencegah dan mengontrol panas.<br />Rencana tindakan :<br />- Ajarkan pasien untuk menggunakan termometer dan membaca hasil dengan tepat.<br />Rasional : penggunaan termometer dan ketepatan membaca hasil penting dalam memonitor suhu tubuh.<br />- Anjurkan pasien untuk banyak minum dan jelaskan pada pasien serta keluarga bila ada tanda dehidrasi : mulut kering, lehausan yang hebat, peningkatan suhu, penurunan urine, dan gelisah.<br />Rasional : intake cairan dibutuhkan saat panas dan metabolisme.<br />- Jelaskan kepada pasien maksud dan tujuan pemberian anti piretika.<br />Rasional : anti piretika bekerja pada pusat hypotalamus untuk regulasi pengaturan suhu tubuh.<br />- Jelaskan maksud dan tujuan pemberian anti TBC.<br />Rasional : anti TBC mencegah pertumbuhan mikroorganisme.<br />- Anjurkan pasien mencari bantuan medik bila panas, untuk mendapatkan anti piretika, antibiotika.<br />Rasional : pemberian obat dapat memusnahkan mikroorganisme penyebab.<br />e. Kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan panas dan kurangnya intake cairan akibat kelelahan.<br />Hasil yang diharapkan :<br />Tercapainya pemenuhan jumlah cairan yang normal.<br />Rencana tindakan :<br />- Anjurkan pasien dan keluarga untuk mengenal tanda-tanda dehidrasi.<br />Rasional : sebagai indikasi defisit volume cairan dan insufisiensi intake.<br />- Anjurkan pasien banyak minum, jika tidaak ada kontra indikasi.<br />Rasional : intake cairan yang adekuat dapat mengembalikan status dehidrasi.<br />f. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan penurunan nafsu makan, kelelahan dan dyspnea.<br />Hasil yang diharapkan :<br />Mempertahankan intake nutrisi yang adekuat.<br />Rencana tindakan :<br />- Monitor berat badan pasien setiap visit.<br />Rasional : penurunan berat badan yang drastis sebagai indikasi insufisiensi protein kalori yang menyebabkan malnutrisi dan penurunan daya tahan tubuh.<br />- Tentukan diit pasien sesuai dengan makanan kesukaan dan evaluasi serta catat hasilnya.<br />Rasional : karena kelelahan, kurang nafsu makan, pasien dapat kehilangan intake kalori untuk energinya.<br />- Sesuaikan dengan selera pasien untuk makan sedikit demi sedikit makanan yang tinggi protein dan kalori.<br />Rasional : bermanfaat dan bila makan sekaligus dalam jumlah banyak menyebabkan distensi lambung dan penekanan diafragma.<br />- Anjurkan pasien untuk istirahat sebelum makan.<br />Rasional : kelelahan dapat mengurangi selera makan pasien.<br /> </div>UUNhttp://www.blogger.com/profile/03809401118170400297noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5128503638995547949.post-79468873387580753022008-05-18T06:10:00.000-07:002008-05-18T06:11:34.411-07:00RINGKASAN DM<div align="center"><br /><strong>DIABETES MELITUS</strong></div><p align="justify"><br />Beberapa istilah:<br />1. Insulin : hormon yang dihasilkan oleh sel – sel beta (b) di pulau Langerhans.<br />2. Glucagon : hormon yang dibuat oleh sel – sel alfa (a) di pulau – pulau Langerhans kelenjar ludah perut yang berfungsi pada penguraian glikogen.<br />3. Glukogenesis : pemecahan glukosa menjadi glikogen.<br />4. Glikogenolisis : pemecahan glikogen menjadi glukosa.<br />5. Glikoneogenesis : pembentukan glukosa dari non karbohodrat.<br />6 Katabolik : pemecahan energi yang tersimpan dalam jaringan.<br />7 Hiperglikemi : peningkatan kadar glukosa dalam darah.<br />8. Lipolisis : penguraian lemak.<br />9. Hiperlipidemia : peningkatan kadar lemak dalam darah.<br />10. Glikolitik : penguraian gula hingga dapat dimanfaatkan oleh jaringan.<br />11. Anabolik : meningkatkan penimbunan makanan yang beredar ke dalam jaringan.<br />12. Katabolik : pemecahan energi yang tersimpan dalam jaringan.<br />13. Asidosis : keadaan patologis karena penimbunan asam dalam tubuh.<br /><br />Definisi<br />Diabetes Melitus adalah suatu keadaan metabolik yang abnormal di mana terdapat intoleransi terhadap glukosa akibat kerja insulin yang tidak adekuat.<br /><br />Etiologi<br />Faktor penyebab utama dari dibetes melitus tidak diketahui dengan pasti. Diduga, faktor pencetusnya antara lain virus, autoimmun, sosial ekonomi, dan lingkungan.<br /><br />Patofisiologi<br /> Makanan yang kita makan sehari – hari terutama yang terdiri dari karbohidrat masuk kedalam saluran pencernaan dipecah menjadi bentuk gula sederhana (glukosa, fruktosa, dan galaktosa). Ketiganya di hati akan diubah menjadi glukosa, yang selanjutnya diedarkan ke seluruh tubuh. Karena itu, kadar glukosa setelah makan meninggi. (Normal 2 jam setelah makan 80 – 120 mgr%, nilai glukosa puasa 70 – 100 mgr%). Meningginya glukosa ini merangsang pakreas untuk melepaskan hormon insulin ke dalam darah. Kerja insulin adalah anabolik, yaitu meningkatkan penimbunan glukosa yang beredar ke dalam jaringan. Glukosa itu sendiri merupakan makanan dan sumber energi bagi sel – sel tubuh untuk kelangsungan hidup. Bila terjadi defisiensi insulin (katabolik), yaitu pemecahan energi yang tersimpan dalam jaringan, maka terjadi:<br />1. Ketidakmampuan menggunakan dan memproduksi glukosa (hiperglikemia).<br />2. Sintesis protein berkurang, karena dipecah menjadi glukosa. (Glukoneogenesis). Glukoneogenesis ini menyebabkan produk sisa yaitu keton – keton yang bila kadarnya meninggi dalam darah merupakan racun bagi tubuh.<br />3. Lipolisis menyebabkan hiperlipidemia, karena terjadi pembuangan secara cepat dan berat badan turun. Keadaan ini digambarkan sebagai suatu kejadian kelaparan dalam keadaan banyak makanan.<br /> Pada hiperglikemia, nilai ambang ginjal terhadap konservasi glukosa sangat berlebihan, sehingga terjadi diuresis osmotik yang mengakibatkan terjadinya poliuri, dehidrasi, dan kehausan. Lipolisis juga dapat berakibat lebih serius. Asam lemak dalam hati dikonversi menjadi keton, seperti asetoasetat, aseton, dan 3-hidroksibutirat. Keadaan ini memisahkan dan melepaskan ion hodrogen, sehingga timbul asidosis metabolik.<br /> Campuran hasil ketosis berat, asidosis, hiperglikemia, hiperosmolaritas, dan gangguan elektrolit akan merusak fungsi sereberal, menimbulkan koma diabetik ketoasidosis. Keadaan ini sangat dengan koma hipoglikemik yang juga dapat ditemukan pada penderita diabetes melitus. Hal ini terjadi akibat overdosis insulin yang gambaran klinisnya secara keseluruhan sangat berbeda.<br /><br />Klasifikasi<br />1. Tipe I (Juvenile-onset, Insulin-Dependent Diabetes Melitus / IDDM).<br />Diabetes melitus tipe ini biasanya timbul pada masa kanak – kanak dan merupakan diabetes yang tergantung pada insulin, karena:<br />• Kekurangan produksi hormon insulin.<br />• Reseptor insulin pada sel kurang/tidak berfungsi.<br />• Gangguan Glycolitic pathologic.<br />Faktor – faktor ini menyebabkan terhambatnya glukosa masuk ke dalam sel, sehingga sel mengalami kelaparan, walaupun glukosa ada dalam darah. Maka peningkatan produksi hormon yang kerjanya berlawanan dengan regulator normal. (Glucagon, ephineprin, growth hormon, dan cortison). Hormon – hormon ini berupaya mempertahankan homeostasis tubuh, dengan menggunakan persediaan glukosa dalam tubuh.<br /><br />2. Tipe II (Maturity-onset, Non Insulin Dependen Diabetes Melitus / NIDDM).<br />NIDDM lebih sering diderita pada usia pertengahan dan lebih banyak pada obesitas. Hal ini disebabkan:<br />• Produksi insulin pada batas normal/meningkat, tapi reseptor permukaan sel terhadap insulin kurang berfungsi, karena tubuh membetuk auto-immun terhadap insulin.<br />• Pemasukan Karbohidrat yang berlebihan.<br />• Produksi glukosa oleh hepar berlebihan.<br /><br />Penderita NIDDM, biasanya:<br />• 80% adalah obesitas.<br />• Gula darah puasa lebih dari 140 mg/dl.<br />• Respon: Poliuri, polidipsi, dan poliphagia.<br />• Tidak ditemukan ketonnemia dan ketonuria.<br /><br /><br />Komplikasi<br />Biasanya timbul setelah 5 – 10 tahun menderita DM:<br />1. Kelainan pada pembuluh darah kapiler (mikroangiopati): kebutaan, berkurangnya fungsi ginjal, serangan jantung/infark miokard.<br />2. Kelainan pada pembuluh darah besar (makroangiopati): kelumpuhan, infark miokard, kematian jaringan/nekrose ekstremitas bawah, dan gangren.<br />3. Kelainan pada saraf (neuropati): kesemutan, jari – jemari kurang sensitif, banyak keringat, impotensi.<br />4. Infeksi: bisul pada kulit, infeksi saluran kemih, tuberkulosa paru, infeksi tulang.<br />5. Kelainan retraksi pada lensa mata, katarak.<br /><br />Penegakan Diagnosa Medik<br />1. Kadar glukosa dalam darah puasa > 140mg – 200 mg/dl.<br />2. Kadar keton dalam darah dan urin meningkat.<br />3. Adanya gejala:<br />1. Poliuria<br /> (sering berkemih dan jumlahnya banyak).<br />Hal ini disebabkan karena adanya peningkatan osmolalitas pada ginjal, karena adanya glukosa.<br /><br />Dehidrasi ® tubuh kehilangan cairan dan elektrolit.<br /><br />2. Polidipsi (Banyak minum).<br /><br />3. Poliphagia (rasa lapar karena sel tidal dapat makan).<br /><br />Banyak makan.<br /><br />Glukosa dalam darah semakin meningkat<br /><br />Pemeriksaan Fisik:<br />Cardi vasculer: Tachycardia.<br /> Poastural hipotensi.<br /> Syncope.<br />Pulmonary: Kusmaul ® (Ketoasidosis).<br />Gastrointestinal: Perut tegang.<br /> Bising usus berkurang.<br />Integumen: Luka lama sembuh.<br /> Infeksi pada kulit.<br /> Kulit kering, hangat, dan kemerahan.<br />Neurologik: Mudah tersinggung.<br /> Bingung.<br /> Koma.<br />Genito Urinaria: Adanya cairan vagina.<br /> Infeksi vagina.<br /> Iritasi perinium.<br /><br />Pengkajian:<br />1. Pola fungsi kesehatan:<br />IDDM : Pada umumnya dalam keadaan ketoasidosis.<br />NIDDM : Ditemukan saat berobat karena penyakit lain.<br />2. Pola persepsi – Pegelolaan kesehatan:<br />IDDM : Riwayat DM dalam keluarga.<br /> Penurunan BB.<br /> Umumnya diderita pada usia < 30 tahun.<br /> Gejala muncul akut.<br />NIDDM : Riwayat DM dalam keluarga.<br /> Kemungkinan Obesitas.<br /> Usia > 30 taun.<br /> Gejala muncul bertahap.<br />3. Pola nutrisi metabolik:<br />IDDM : Polidipsi­<br /> Poliphagia­<br /> Kadanga mual.<br />NIDDM : Rasa haus dan lapar­ bertahap.<br /> Riwayat diet tinggi kalori dan karbohidrat.<br />4. Pola eliminasi:<br />IDDM : Mengeluh poliuri (khas).<br /> Mungkin konstipasi.<br />NIDDM : Dapat muncul keluhan poliuri.<br /> Mungkin konstipasi atau diare.<br />5. Pola aktivitas dan latihan:<br />IDDM : Dapat keluhan tiba – tiba lemas.<br />NIDDM : Keluhan lemas secara bertahap dan cepat capek.<br /> Riwayat latihan tidak teratur.<br />6. Pola tidur dan istirahat:<br />IDDM : Tidur terganggu karena sering b.a.k. (Nocturia).<br />NIDDM : Mungkin keluhan nocturia setelah makan.<br />7. Pola persepsi dan kognitif:<br />IDDM : Dapat muncul keluhan pusing atau hypotensi orthostatik.<br />NIDDM : Mungkin keluhan pruritus, akut UTI, Vaginitis.<br /> Penyembuhan luka lambat.<br /> Penglihatan kabur.<br /> Kram otot, nyeri abdomen.<br /> Ekstremitas: kesemutan, nyeri, kram.<br /><br />Diagona Keperawatan<br />1. Kekurangan volume cairan b.d peninggian gula darah akibat kurang/tidak berfungsinya insulin.<br />Hasil yang diharapkan:<br />Klien dapat mencapai:<br />- Tanda vital stabil dan dalam batas normal pasien.<br />- Intake – output seimbang.<br />- Kulit lembab dengan turgor baik.<br />- Gula dan eletrolit darah dalam batas normal.<br />- Tidak ada ekspresi lelah atau lemah.<br />- Dapat melakukan aktivitas sehari – hari.<br /><br />Intervensi:<br />- Kaji tanda vital setiap 4 – 8 jam.<br />- Pantau intake – output cairan serta keton urin setiap jam.<br />- Kaji turgor kulit: kelembaban dan kondisi selaput mukosa setiap 4 – 8 jam.<br />- Kaji status mental.<br />- Pantau gula darah setiap sebelum pemberiam insulin/obat hipoglikemik oral sesuai jadwal (setiap 4 jam pada hari – hari pertama).<br />- Pantau efektivitas pemberian insulin atau obat hipoglikemik oral.<br />- Kaji tanda – tanda hipoglikemik (gula darah £ 60 mg/dl): pusing, tachikardi, keringat dingin, rasa oyong, atau perubahan tingkat kesadaran.<br />- Beri cairan inkalorik sampai 2500 cc/hari atau sesuai program medik.<br />- Kaji kemampuan aktivitas sehari – hari bila pasien merasa tidak enak badan.<br /><br />2. Perubahan nutirsi: kurang/lebih dari kebutuhan tubuh b.d DM (IDDM atau NIDDM).<br />Hasil yang diharapkan:<br />Klien dapat:<br />- Mempertahankan BB stabil atau menaikan/menurunkannya.<br />- Memilih menu sesuai anjuran ahli gizi.<br />- Menentukan makanan selingan dan memakannya hanya jika dibutuhkan sebelum latihan.<br /><br />Intervensi:<br />- Kaji pola makan, diet, dan status nutrisi.<br />- Konsul ahli gizi.<br />- Monitor pemasukan makanan perhari.<br />- Tekankan pentingnya makan yang teratur dan waktu sneck dan tidak boleh mengumpul makanan untuk dimakan dalam satu waktu.<br />- Kolaborasi dengan dokter tentang program latihan.<br />- Timabang berat badan/hari pada waktu yang sama.<br /><br />3. Kurang pengetahuan b.d tidak ada iformasi yang akurat.<br />Intervensi:<br />Penyakit:<br />- Jelaskan tipe DM yang sesuai dengan pasien.<br />- Hubungan antara diet, BB ideal, program latihan, obat, perubahan gula darah.<br />Komplikasi:<br />Akut dan Kronis<br />Diskusi pentingnya follow up.<br />Kontrolara, kolesterol.<br />Kontrol tekanan darah.<br />Terapi Diet:<br />- Mengurangi kalori.<br />- Mengurangi BB (NIDDM).<br />- Pentingnya makan dan sneck teratur.<br />Latihan:<br />- Diskusikan efek positif latihan: fungsi tubuh meningkat, glukosa darah terkendali.<br />- Menjelaskan kebutuhan latihan 1 - 2 jam setelah makan, hubungan diet yang masuk.<br />- Hindari latihan pada saat aktivitas puncak insulin.<br />Obat - obatan:<br />Insulin:<br />- Kerja insulin ? tipe.<br />- Waktu pemberian.<br />- Faktor pencetus reakasi hipoglikemia: dosis yang tidak tepat, perubahan jadwal makan dan latihan di luar rencana, stres, proses penyakit lain.<br /><br />KOMPONEN PENYULUHAN PASIEN DIABETES MELITUS<br />1. Penakit.<br />(A) Kebutuhan tubuh akan Insulin.<br />û Hal - hal yang dapat terjadi pada saat tubuh mengalami kekurangan insulin.<br />û Peran: makanan, aktivitas, obat dalam pengobatan DM.<br />(B) Gejala Diabetes.<br />û Hubungan gejala dengan kekurangan insulin.<br />û Cara menegakan diagnosa DM.<br />û IDDM; hubungan antara kurang nutrisi ? kurang insulin.<br />û NIDDM; hubuingan antara kelebihan makanan, kurang aktivitas ? kurang insulin.<br /><br />2. Nutrisi.<br />Konsultasi diet dari awal program secara individual, pertimbangan suhu, budaya ? penyesuaian.<br />û Beri ukuran yang dikenal.<br />û Biasakan pasien mencatat jumlah dan jenis makanan - kaji gula darah/urine: tentukan obat.<br />û Latih pasien menulis: menu rumah sakit, rumus, kantor/tempat kerja, restoran, dll.<br />3. Aktivitas.<br />Aktivitas Ù teratur.<br />û Pertimbangkan aktivitas sebelumnya.<br />û Keadaan umum, jantung, paru, minat, mobilitas.<br />4. Obat - obatan:<br />Insulin:<br />û Pasien harus menyebut nama insulin.<br />û Ciri - ciri insulin.<br />û Tidak merubah dosis tanpa instruksi dokter.<br />û Cara menyuntik sendiri.<br />û Persiapan perlengkapan.<br />û Cara penyimpanan.<br />5. Monitor pengendalian Glukosa.<br />û Kontrol teratur: gula darah, glukosa urine, klinik test, diastik.<br />6. Hipoglikemi.<br />û Cara mendeteksi.<br />û Kartu identitas.<br />û Cara mengatur awal: gula mudah larut.<br />7. Keadaan sakit.<br />Pengertian salah kalau tidak makan tidak perlu suntik insulin/minum obat.<br />Hipoglikemia.<br />û Beri insulin sesuai instruksi dokter.<br />û KM tetap.<br />û Cairan Ú.<br />û Kembali diet semula secepatnya.<br />û Kontrol glukosa lebih sering.<br /><br />Bantuan Petugas Kesehatan:<br />û Hasil glukosa urine (24 jam) meningkat dan glukosa darah lebih dari 200 mg/dl.<br />û Ada keton urine.<br />û Tidak dapat makan/minum lebih dari 4 jam.<br />û Panas.<br />8. Penanganan Psikologis.<br />Respon emosional komplikasi diabetes.<br />9. Higyene.<br />Rentan infeksi.<br />Kulit bersih dan utuh.<br />10. Perawatan Kaki.<br />û Sepatu pas: kaus kaki kering.<br />û Bersihkan kaki tiap hari: dengan air hangat, keringkan kaki terutama sela kaki.<br />û Hati - hati bila potong kaki.<br />û Sirkulasi Ú.<br />· Tidak merokok.<br />· Tidak menyilang kaki (duduk).<br />· Tidak rendam kaki dengan air dingin.<br />· Tidak memakai stocking yang ketat.<br />· Lindungi ekstremitas saat dingin.<br />û Segera lapor bila ada luka di kaki untuk di obati.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> </p>UUNhttp://www.blogger.com/profile/03809401118170400297noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5128503638995547949.post-68666735292399423342008-05-18T05:56:00.000-07:002008-05-18T05:57:39.503-07:00LEUKEMIA<div align="center"><strong>BAB II<br />TINJAUAN TEORITIS</strong></div><br /><div align="justify"><br /><br />A. Konsep Dasar Medik<br />1. Definisi<br />Leukemia adalah proliferasi sel leukosit yang abnormal, ganas, sering disertai bentuk leukosit yang tidak normal, jumlah berlebihan dan dapat menyebabkan anemia, trombositopenia dan diakhiri kematian ( Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, 1998 ).<br /><br />2. Anatomi Fisiologi<br />Kolumna Vertebralis atau rangkaian tulang belakang adalah sebuah struktur yang dibentuk oleh sejumlah tulang yang disebut vertebra atau ruas tulang belakang. Diantara tiap 2 ruas tulang terdapat bantalan tulang rawan. Vertebra terdiri dari : 7 vertebra servikal atau ruas tulang leher yang membentuk daerah tengkuk, 12 vertebra torakalis atau ruas tulang punggung yang membentuk bagian belakang torax/dada, 5 vertebra lumbalis atau ruas tulang pinggang yang membentuk daerah pinggang/lumbal, 5 vertebra sakralis atau ruas tulang selangkang yang membentuk sakrum/tulang selangkang, 4 vertebra kosigeus atau ruas tulang tungging yang membentuk tulang kosigeus/tulang tungging.<br /><br />Fungsi kolumna vertebralis : bekerja sebagai pendukung badan yang kokoh, sebagai penyanggah dan perantara tulang rawan cakram intervertebralis yang lengkungnya memberi fleksibilitas dan memungkinkan bengkok tanpa patah. Cakramnya juga berfungsi untuk penyerapan goncangan yang terjadi apabila menggerakan berat badan seperti waktu berlari dan meloncat, dengan demikian otak dan sumsum tulang belakang terlindung terhadap goncangan.<br /><br />Darah adalah jaringan cair yang terdiri dari dua bagian, yaitu plasma darah dan sel-sel darah. Plasma darah terdiri dari gas ( O2 dan CO2 ), hormon-hormon dan enzim-enzim serta anti gen. Sel darah terdiri dari : eritrosit, leukosit dan trombosit. Fungsi darah sebagai alat pengangkutan, sebagai pertahanan tubuh terhadap bibit penyakit dan racun yang akan membinasakan tubuh serta menyebarkan panas ke seluruh tubuh.<br /><br />Eritrosit dibuat dalam sumsum tulang, proses pembentuknya diperlukan zat besi, vit B12, asam folat, danrantai globin yang merupakan senyawa protein, untuk proses pematangan diperlukan hormon eritropoietin. umur peredaranya 105-120 hari. Jumlah normal 5,5 juta sel/mm3 darah pada laki-laki dan pada wanita 4,8 juta sel/mm3 darah. Didalam sel eritrosit didapat hemoglobin senyawa kimia yang terdiri atas molekul Hem yang mempunyai ion Fe ( besi ) yang terkait dengan rantai globin ( senyawa protein ). Hemoglobin berperan mengangkut O2 dan CO2. Jumlah normal laki-laki 14-16g %, dan wanita 12-14g %.<br />Leukosit, fungsi utama sebagai pertahan tubuh dengan cara menghancurkan anti gen ( kuman, virus, toksin ) yang masuk. Ada 5 jenis leukosit, yakni Neutropil jumlahnya 65% - 75%, Eosinopil jumlahnya 2% - 5%, Basofil jumlahnya 0,5% - 1%, Limfosit jumlahnya 20% - 25%, Minosit jumlahnya 3% - 8%. Leukosit sebagai bala tentara pertahanan mempunyai kekhasan. Leukosit dikerahkan ketempat-tempat infeksi dan jumlahnyapun dapat dilipatgandakan dalam keadaan infeksi. Leukosit dapat bergerak dari pembuluh darah menuju jaringan, saluran limfe dan kembali lagi kedalam aliran darah, leukosit bersama dengan sistem makrofag jaringan ( sel retikuloendotelial ) yaitu hepar, limpa, sumsum tulang alveoli paru, dan mikroglia otak serta kelenjar getah bening, yang akan melakukan fagositosis terhadapkuman atau virus yang masuk. Setelah di dalam sel kuman atau virus dicerna dan dihancurkan oleh enzim pencerna sel. Bila dalam pertempuran banyak yang mati terjadilah pus (nanah). Jumlah leukosit normal 5000-9000/mm3 darah. Dari 5 jenis leukosit yang pergerkannya lebih lamban eusinofil. Eusinofil menangkap protein asing yang masuk kedalam tubuh, yang berperan dalam respon alergi. Basofil belum diketahui fungsinya, namun dalam butir-butir sitoplasma ditemukan heparin berperan sebagai pencegahan pembekuan darah dalam pembulu darah. Imunitas tubuh dilakukan oleh neutropil, limfosit dan monosit dengan tiga cara respon kekebalan tubuh. Tipe 1 : Respon Fagositosis, dilakukan oleh neutropil dan monosit dengan cara memakan dan mencerna benda asing yang masuk, sel ini aktif mendatangi kuman/toksin. Tipe 2 : Respon antibodi Humoral, yang dilakukan oleh antibodi yang beredar dalam plasma. Cara kerja : sel limfosit berubah menjadi sel plasma bila bertemu antigen, kemudian membuat antibodi dan melepasnya dalam plasma. Tipe 3 : Respon antibodi seluler, dilakukan oleh sel limfosit dengan cara mengubah diri menjadi “Special Killer T-Cells” ( sel T si pembunuh khusus ). Setelah Limfosit T dipekakan dengan antigen tertentu ia mempunyai spesialisasi tertentu yaitu bila bertemu antigen yang cocok, langsung terjadi proses pembunuhan.<br /><br />Trombosit, berbentuk keping-keping yang merupakan bagian-bagian kecil dari sel besar yang membuatnya, yaitu Megakaryosit. Trombosit dibuat di sumsum tulang, paru-paru, dan limpa. Ukuranya kecil sekitar 2-4 mikron, umur peredaranya sekitar 10 hari. Trombosit mempunyai kemampuan untuk melakukan : daya aglutinasi ( membeku atau menggumpal ), daya adesi (saling melekat ), dan daya agregasi ( berkelompok ). Jumlah trombosit dalam tubuh antara 150.000 - 350.000 keping/mm3 darah. Trombosit berfungsi sebagai : hemostasis ( penghentian aliran darah/peredaran ) dan pembekuan darah. Bila ada kerusakan dinding pembuluh darah, trombosit akan berkumpul, dan menutup lubang bocoran dengan cara saling melekat, berkelompok dan menggumpal, dilanjutkan dengan proses pembekuan darah. Ini terjadi karena trombosit mempunyai 2 zat, yaitu prostaglandin dan tromboxan yang segera dikeluarkan bila ada kerusakan dinding pembuluh darah, Zat ini juga menimbulkan efek vasokonstriksi pembuluh darah sehingga aliran darah berkurang dan membantu proses pembekuan darah.<br /><br /><br />Gambar Sel Darah<br />( Sumber : Price, Sylvia A. Patofisiologi. Edisi 4. Jakarta : EGC, 1994 ) <br /><br /><br /><br /> <br /><br /><br /><br /><br />Eritrosit Limfosit Monosit<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Granulosit Basofil Eosinofil<br /><br />3. Etiologi<br />Penyebab leukimia sampai sekarang belum jelas, faktor yang turut berperan adalah : faktor eksogen, seperti sinar X, sinar radio aktif, bahan kimia (benzol, arsen), infeksi (virus, bakteri), faktor endogen seperti ras (orang Yahudi), kelainan kromosom (down sindrom), herediter (kakak beradik atau kembar satu telur).<br />4. Fatologi<br />Lihat tabel 1.1<br />Klasifikasi : 1. Leukemia mieloid ( terdiri dari leukimia granulositik kronik dan mieloblastik akut ).<br />2. Leukemia limfoid ( leukimia limfisitik kronik dan limfoblastik akut ).<br />Klasifikasi leukemia limfoblastik akut menurut “FAB” L1, L2, dan L3. L1 ditemukan pada anak-anak, L2 ditemukan pada orang dewasa, L3 sering disertai tumor mdiastinum populasi sel homogen. LLA lebih sering ditemukan pada anak-anak ( 82% ) dan pada orang dewasa ( 18% ), lebih sering ditemukan pada laki-laki daripada wanita, menyolok pada anak-anak dibawah umur 15 tahun, dengan puncak umur antara 2 dan 4 tahun.<br />5. Tanda dan Gejala<br />Gejala yang khas pada penderita LLA : pucat ( dapat terjadi mendadak ), panas tanpa infeksi, rasa lelah, penurunan berat badan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan slenomegali ( 86 % ), hepatomegali, limpadenopathi, nyeri tekan tulang dada, ekimosis, perdarahan retina. Gejala yang tidak khas adalah nyeri pada tulang.<br />6. Test Diagnostik<br />Pemeriksaan Laboratorium :<br />· darah tepi ditemukan sel muda limfoblas dan biasanya leukositosis 60%, leukopenia 25%, neutropil rendah, hemoglobin dan trombosit rendah.<br />· sunsum tulang biasanya menunjukan sel blas dominan yaitu terdiri dari sel limfopoetik patologis, aplasia skunder.<br />· kimia darah : kolestrol rendah, asam urat meningkat, hipogamaglobulinemia.<br />Biopsi limpa : proliferasi sel leukimia dan sel yang berasal dari jaringan limpa yang terdesak.<br />Cairan cerebrospinalis : peningkatan jumlah sel patologis dan protein.<br />7. Terapi / Penatalaksanaan Medik<br />Pengobatan :<br />· Transfusi darah, jika HB kurang dari 6g%, pada trombositopenia dapat diberi transfusi trombosit.<br />· Kortikosteroid ( prednison, kortison, deksametason ), setelah dicapai remisi dosis dikurangi sedikit demi sedikit dan akhirnya dihentikan.<br />· Sitostatika : vinkristin, adriamicyn metrotrexat, 6-merkaptopurin, umumnya dikombinasi dengan prednison. Efek samping obat ini dapat berupa alopsia/botak, stomatitis, leucopeni infeksi skunder, kandiasis. Bila jumlah leukosit kurang dari 2000/mm pemberiannya harus hati-hati.<br />· Infeksi skunder dihindarkan ( lebih baik di isolasi ).<br />· Imunoterapi, merupakan cara pengobatan yang terbaru. Setelah tercapai remisi dan jumlah sel leukimia cukup rendah ( 10 -10 ), imunoterapi mulai diberikan ( mengenai cara pengobatan yang terbatas masih dalam pengembangan ).<br />Cara Pengobatan<br />Berbeda-beda pada setiap klinik, tergantung dari pengalaman, tetapi prinsipnya sama, yaitu dengan pola dasar :<br />1. Induksi, dimaksudkan untuk mencapai remisi dengan berbagai obat tersebut sampai sel blast dalam sumsum tulang kurang dari 5%.<br />2. Kousolidasi, bertujuan agar sel yang tersisa tidak cepat memperbanyak diri.<br />3. Rumat, untuk mempertahankan masa remisi agar lebih lama. Biasanya dengan memberikan sistostika setengah dosis biasa.<br />4. Reinduksi, untuk mencegah relaps, biasanya dilakukan setiap 3-6 bulan dengan pemberian obat-obat seperti pada induksi selama 10-14 hari.<br />5. Mencegah terjadinya leukemia pada susunan saraf pusat, diberikan MTX secara intratekal dan radiasi kranial.<br />6. Pengobatan imunologik.<br />Ini dimaksutkan untuk menghilangkan sel leukemia dalam tubuh agar pasien dapat sembuh sempurna. Pengobatan seluruhnya dihentikan selama 3 tahun remisi terus-menerus, fungsi sumsum tulang diulang secara rutin setelah induksi pengobatan ( setelah 6 minggu ).<br />8. Komplikasi<br />· Infeksi beberapa sistem ( pernafasan, pencernaan )<br />· Perdarahan<br />· Relaps<br />· Efek samping dari kemoterapi/radiasi : kardiomiopati, alopesia.<br />· Kematian<br /><br />B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN<br />1. Pengkajian<br />a. Pengkajian<br />1) Pola persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan<br />a) Keluhan mudah lelah<br />b) Tidak mampu melakukan aktivitas rutin<br />c) Keluarga ada menderita leukimia<br />d) Pekerjaan ahli radiologi<br />e) Mendapatkan terapi sinar radio aktiv<br />f) Obat golongan ankilating<br />2) Pola nutrisi - metabolik<br />a) Anoreksia, muntah, berat badan menurun.<br />b) Cenderung terjadi memar<br />c) Pharingitis<br />d) Disphagia<br />Pemeriksaan fisik :<br />Abdominal distensi, bising usus menurun, stomatitis, ulkus pada mulut, splenomegali, hepatomegali.<br />3) Pola eliminasi<br />a) Keluhan diare<br />b) Nyeri ketika bab dan bak<br />c) Hematuri<br />d) Melena<br />e) Urine out put menurun<br />4) Pola aktivitas - latihan<br />a) Mudah lelah<br />b) Lemah<br />c) Tidakmampu melakukan aktivitas<br />d) Dada berdebar-debar<br />e) Sesak nafas<br />Pemeriksaan fisik :<br />Kesadaran samnolen, cenderung tidur, kulit dan membran mucosa pucat, takikardi, murmur (+) dispnea, batuk, bunyi nafas ronchi, rachles.<br />5) Pola kognitif dan persepsi sensoris<br />a) sakit kepala<br />b) perubahan penglihatan<br />c) nyeri perut dan tulang<br />6) Pola persepsi dan pola konsep diri<br />a) Alopesia akibat kemotherapi<br />7) Pola reproduksi sexualitas<br />a) Menorragia<br />b) Libido sexual menurun<br />b. Diagnosa keperawatan<br />1) Resiko tinggi infeksi b.d menurunya daya tahan tubuh yang berkaitan dengan neutropenia.<br />2) Intoleransi aktivitas b.d kelemahan akibat anemia.<br />3) Resiko tinggi injuri : perdarahan b.d penurunan trombosit<br />4) Perubahan membran mucosa mulut : stomatitis b.d efek samping kemotherapy<br />5) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anorexia, mual, muntah, stomatitis atau efek samping kemotherapy<br />6) Nyeri berhubungan dengan efek fisiologis dan leukimia<br />7) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan alopsia<br />8) Koping yang tidak efektif pada individu dan keluarga b.d diagnosis dan aturan pengobatan<br />9) Kurang pengetahuan b.d kurangnya informasi tentang proses penyakit dan perawatan.<br />2. Perencanaan<br />1) Resiko tinggi infeksi b.d menurunya daya tahan tubuh yang berkaitan dengan neutropenia<br />Hasil yang diharapkan : Pasien terhindar dari infeksi ditandai dengan tidak adanya tanda infeksi<br />2) Intoleransi aktivitas b.d kelemahan akibat anemia<br />HYD : mampu beraktivitas sesuai dengan usia dan kemampuan tanpa keluhan kelelahan/kelemahan<br />Intervensi :<br />· Kaji/observasi tanda anemia seperti pucat, peka rangsang, intoleransi aktivitas normal, HB normal.<br />· Tentukan toleransi aktivitas pasien<br />· Berikan kesempatan pada pasien untuk mandiri sesuai usia dan kemampuan<br />· Beri bantuan pada pasien saat beraktivitas<br />· Rencanakan waktu untuk beraktivitas<br />· Atur/ubah posisi serta berikan posisi perawatan daerah tertekan (bokong, punggung)<br />3) Resiko tinggi injuri : perdarahan b.d penurunan trombosit<br />HYD : pasien tidak mengalami perdarahan/trauma serta perdarahan dari hidung dapat diminimalkan<br />Intervensi :<br />· Gunakan sikat gigi yang lembut, hindari makanan yang keras<br />R : mencegah perdarahan<br />· Hindari aktivitas bermain yang mungkin menyebabkan cedera fisik<br />· Jangan memberi mainan dengan permukaan tajam atau runcing<br />R : mencegah perdarahan<br />· Monitor tanda-tanda perdarahan dibawah kulit, selaput mukosa, saluran cerna.<br />· Hindari penggunaan aspirin<br />R : dapat menghambat proses pembekuan dan memperpanjang perdarahan<br />· Beri tekanan 5 - 10 menit setiapmelakukan fungsi vena<br />· Kompres dingin untuk perdarahan superfisial<br />· Beri transfusi trombosit sesuai program<br />4) Perubahan membran mukosa mulut : stomatitis b.d efek samping kemoterapi.<br />HYD : membran mukosa pasien utuh dan bebas dari lesi.<br />Intervensi :<br />· Berikan oral higiene menggunakan setengah larutan normal saline dan setengah hidrogen peroksida.<br />· Berikan sikat gigi yang lembut untuk menggosok gigi.<br />· Beri anastetik sistemik atau topikal sesuai program.<br />· Berikan Nistatin untuk kumur mulut sesuai dengan program.<br />· Hindari penggunaan swab lemon gliserin.<br />5) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anorexia, mual, muntah, stomatitis, efek kemoterafi.<br />HYD : Intake nutrisi adekuat untuk mempertahankan kebutuhan metabolik<br />Intervensi :<br />· Pada stomatis berikan sering yang tidak mengiritasi dan suhu sedang<br />· Observasi intake output makanan<br />· Beri antimetik sesuai program<br />· Antisipasi bahwa anak mungkin akan mengalami periode kelaparan dan anorexia<br />· Beri diit tinggi kalori<br />· Jangan memaksa anak untuk makan jika anorexia, berikan cairan sebagai pengganti<br />· Berikan makan dalam porsi kecil dan sering<br />· Izinkan anak memilih makan yang disukai<br />· Kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian nutrisi adekuat<br />· Observasi berat badan<br />6) Nyeri b.d efek fisiologis dari leukimia<br />HYD : Pasien merasa nyaman dan tidak mengeluh nyeri<br />Intervensi :<br />· Kaji keluhan nyeri, frekwensi, intensitas<br />· Observasi T,N. R : Nadi meningkat indikasi nyeri hebat<br />· Atur aktivitas perawatan dan pertahankan postur tubuh<br />· Gunakan tehnik distraksi seperti : relaksasi, tehnik pernafasan<br />· Berikan Analgetik sesuai program<br />7) Gangguan citra tubuh b.d alopesia<br />HYD : Pasien mengungkapkan secara verbal penerimaan terhadap dirinya.<br />Intervensi :<br />· Dorongan pasien untuk mengungkapkan perasaanya<br />· Beri pasien informasi tentang efek samping pengobatan<br />· Dengarkan keluhan pasien<br />· Dukung interaksi sosial<br />8) Koping yang tidak efektif pada individu dan keluarga b.d diagnosis dan aturan pengobatan<br />HYD : Pasien dan keluarga mempunyai koping yang adakuat untuk mencapai koping yang efektif<br />Intervensi :<br />· Bina hubungan saling percaya dengan pasien dan keluarga<br />· Berikan informasi yang jujur dan benar tentang kondisi pasien<br />· Gunakan pendekatan yang positif<br />· Kaji mekanisme koping, pemecahan masalah yang mungkin dan menggunakan pendekatan agama dan bantuan konseling<br />· Libatkan keluarga dalam perawatan anak<br />· Anjurkan orang tua untuk berinteraksi dengan anak secara normal<br />9) Kurang pengetahuan b.d kurangnya informasi tentang proses penyakit dan perawatan.<br />HYD : Pasien dan keluarga memahami proses penyakit dan perawatan.<br />Intervensi :<br />· Kaji tingkat pengetahuan pasien dan keluarga<br />R : mengetahui apa yang belum jelas bagi pasien dan keluarga<br />· Kolaborasi dengan dokter untuk menjelaskan sifat penyakit dan pengobatanya<br />R : meningkatkan pengetahuan pasien dan keluarga<br />· Jelaskan bahwa pasien dan orang tua dapat mengantisipai pengobatan dalam waktu 2-3 tahun<br />· Jelaskan perlunya waktu istirahat, beraktivitas sesuai kemampuan, menghindari individu yang terkena infeksi, kebersihan mulut yang baik, adakan kontak sosial yang kontinyu, rawat jalan yang berkelanjutan<br />· Diskusikan gejala yang harus dilaporkan : demam, perdarahan, nyeri, kelelahan<br />· Anjurkan pentingnya mencuci tangan untuk mencegah infeksi<br />· menginformasikan tentang nama obat, tujuan, dosis, waktu pemberian, dan efek sampingnya.<br />R : meningkatkan pengetahuan pasien dan keluarga.<br /><br /><br /> </div>UUNhttp://www.blogger.com/profile/03809401118170400297noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5128503638995547949.post-57018372512981669062008-05-18T05:54:00.000-07:002008-05-18T06:00:41.854-07:00UTI<div align="center"><strong></strong> </div><div align="center"><strong>BAB II<br />TINJAUAN TEORITIS</strong></div><br /><div align="justify"><br /><br />A. Konsep Dasar Medik<br />Definisi<br />Infeksi saluran kemih<br />adalah : berkembang biaknya mikroorganisme di dalam saluran kemih, yang dalam keadaan normal tidak mengandung bakteri, virus atau mikroorganisme lain. (Soeparman, Sarwono Waspadja : Ilmu Penyakit Dalam. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. 1990).<br /><br />Anatomi Fisiologi<br />Saluran kemih terdiri dari ginjal yang terus menerus membentuk urine, dan berbagai saluran dan reservoar yang dibutuhkan untuk membawa urine keluar tubuh.<br />Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang, terletak di kedua sisi columna vertebralis. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dibandingkan dengan ginjal kiri karena tertekan ke bawah oleh hati. Katup atasnya terletak setinggi costa ke-12, sedangkan katup atas ginjal kiri terletak setinggi costa ke-11.<br />Kedua ureter merupakan saluran yang panjangnya 10 – 12 inchi terbentang dari ginjal sampai kandung kemih. Fungsinya menyalurkan urine ke kandung kemih. Kandung kemih adalah suatu kantung berotot yang dapat mengempis, terletak di belakang symphisis pubis. Uretra adalah saluran kecil yang dapat mengembang, berjalan dari kandung kemih sampai keluar tubuh. Panjang pada wanita 1,5 inchi dan pada pria 8 inchi.<br />Fungsi-fungsi utama dari kedua ginjal adalah :<br />a. Ultrafiltrasi : membuang volume cairan dari darah sirkulasi, bahan-bahan yang terlarut dalam cairan juga turut terbuang.<br />b. Pengendalian cairan : mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit yang tepat dalam batas ekskresi yang normal dalam sekresi dan reabsorbsi.<br />c. Keseimbangan asam basa: mempertahankan pada derajat yang asam dan basa normal dengan ekskresi ion H dan pembentukan bicarbonat untuk buffer/penyangga.<br />d. Ekskresi produk sisa : pembuangan langsung produk metabolisme yang terdapat pada filtrat glomerular.<br />e. Mengatur tekanan : mengatur tekanan darah dengan mengendalikan volume sirkulasi dan sekresi urine.<br />f. Memproduksi eritrosit : erytropoitin yang disekresi oleh ginjal dan merangsang sumsum tulang agar membuat sel-sel eritrosit.<br />g. Mengatur metabolisme : mengaktifkan vitamin D yang diatur oleh kascium fosfat ginjal.<br />Nefron merupakan unit fungsional dari ginjal akan tetapi ginjal terdiri dari lebih kurang satu juta unit nefron. Struktur dari nefron berperan dalam proses pembentukan urine. Terdiri dari glomerulus yang berada di dalam kapsul bowmen, tubulus yang berbelok-belok pada bagian distal dan tubulus-tubulus tempat penampung. Kapsul bowmen dan tubulus yang berbelok-belok berada pada kortek dari ginjal, sedangkan tubuluh henle dan tubulus penampung berada pada bagian medula. Urine dari tubulus penampung yang banyak itu mengalir ke tubulus yang lebih besar yang membentuk piramid pada medula, kemudian urine mengalir ke pelvis renalis.<br /><br />Etiologi.<br />· Organisme penyebab infeksi saluran kemih adalah bakteri : gram negatif, escherchia coli, klebsiella, proteus, entrobacteri, pseudomonas.<br />· Urine refluk.<br />· Trauma kandung kemih.<br />· Penggunaan instrumen.<br />· Hygiene.<br />· Hubungan seks yang berlebih.<br />· Batu ginjal.<br /><br />Patofisiologi.<br />Infeksi pada saluran kemih bagian bawah yang paling banyak disebabkan oleh mikroorganisme/bakteri yang bersifat gram negatif seperti E. coli, klebsiella proteus, entrobakteri atau pseudomonas. Normalnya mikroorganisme terdapat pada saluran intestinal, tetapi apabila terjadi infeksi pada intestinal maka terjadi responsible tubuh terhadap infeksi, dengan adanya responsible dari tubuh akan memudahkan kuman masuk kandung kemih melalui uretra secara asenden. Apabila terjadi urine statis : kemungkinan akan terjadi refluk dimana urine berbalik ke ureter yang telah terkontaminasi dengan mikroorganisme dan dari ureter ke pelvis ginjal. Apabila terjadi obstruksi pada saluran kemih akan memudahkan berkembang biaknya kuman dan menjadi media yang lebih alkali dan ini dapat terjadi apabila di saluran kemih tersebut terjadi suatu kerusakan. Traktus urenarius normal dapat mengalami dekontaminasi oleh bakteri sebelum bakteri mempunyai kesempatan menyerang selaput lendir dengan perantaraan urine yang cepat. Mekanisme pertahanan lainnya adalah pengaruh anti bakteri yang dimiliki oleh selaput lendir uretra, bakterisida yang dimiliki cairan prostat pada pria dan sifat-sifat fagositik epitel kandung kemih.<br /><br />Tanda dan Gejala.<br />Infeksi saluran kemih bagian bawah :<br />· Ketidaknyamanan suprapubik.<br />· Nyeri punggung.<br />· Spasme kandung kemih.<br />· Disuria.<br />· Sering berkemih.<br />· Dorongan berkemih.<br />· Nocturia.<br />· Hematuria.<br />· Piuria.<br />· Urine bau busuk dan keruh.<br /><br />Infeksi saluran kemih bagian atas :<br />· Nyeri pinggang.<br />· Demam, peningkatan suhu.<br />· Anoreksia.<br />· Mual dan muntah.<br />· Kekakuan abdominal.<br />· Nyeri tekan costa vertebra.<br /><br />Test Diagnostik.<br />· Darah : ureum, kreatinin.<br />· Analisa urine : keruh, piuria, bakteri ++, leukosit ++, sel darah merah ++, pH.<br />· Urine kultur dan sensitivitas terhadap mikroorganisme positip.<br />· USG.<br />· Chystoscopy.<br />· BNO-IVP.<br /><br />Terapi dan Pengelolaan Medik.<br />Pengobatan infeksi saluran kemih bertujuan untuk membebaskan saluran kemih dari bakteri dan mencegah atau mengendalikan infeksi berulang, sehingga morbiditasnya dihindarkan atau dikurangi. Dengan demikian tujuan dapat berupa :<br />· Mencegah atau menghilangkan gejala bakterimia.<br />· Mencegah dan mengurangi progresi ke arah gagal ginjal terminal akibat ISK.<br />· Mencegah timbulnya ISK.<br />Metode pengobatan infeksi saluran kemih :<br />· Pengobatan dosis tunggal, obat diberikan satu kali.<br />· Pengobatan jangka pendek, obat diberikan dalam waktu 1 – 2 minggu.<br />· Pengobatan jangka panjang, obat diberikan dalam waktu 3 – 4 minggu.<br />· Pengobatan protilaktik yaitu dengan dosis rendah satu kali sehari sebelum tidur dalam waktu 3 – 6 bulan atau lebih.<br />· Pemberian Analgetik.<br /><br />Komplikasi.<br />· Batu ginjal.<br />· Retensi urine.<br />· Gagal ginjal.<br />· Sepsis.<br />· Kambuh kembali : 20 – 50 %.<br /><br />B. Konsep Dasar Keperawatan.<br />1. Pengkajian.<br />a. Riwayat kesehatan.<br />· Kaji kebiasaan BAK.<br />· Kaji kebiasaan personal higiene.<br />· Kaji penyakit-penyakit yang pernah terjadi.<br />· Kaji apakah ada trauma pada saluran kemih.<br />· Kaji apakah pernah dilakukan tindakan diagnostik seperti kateter, cytoscopic.<br />b. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan.<br />· Tidak enak badan, pusing.<br />· Nyeri abdomen.<br />· Mengeluh, badan lemas dan panas.<br />· Suhu meningkat, demam.<br />c. Pola nutrisi metabolik.<br />· Mengeluh mual dan muntah.<br />· Anoreksia, tidak nafsu makan.<br />· Suhu tubuh meningkat, demam.<br />d. Pola aktivitas dan latihan.<br />· Suhu tubuh meningkat.<br />· Kelemahan fisik.<br />· Kekakuan abdominal.<br />· Spasme kandung kemih.<br />e. Pola eliminasi.<br />· Dorongan berkemih.<br />· Berkemih ragu-ragu.<br />· Disuria, hematuria.<br />· Nocturia, sering berkemih.<br />· Urine keruh.<br />· Banyak eritrosit.<br />f. Pola kognitif dan persepsi sensori.<br />· Ketidaknyamanan suprapubik.<br />· Spasme kandung kemih.<br />· Nyeri punggung.<br />· Nyeri tekan costa vertebra.<br />· Kekakuan abdomen.<br /><br />2. Diagnosa Keperawatan.<br />a. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan infeksi saluran kemih.<br />b. Perubahan pola eliminasi urine : sering berkemih berhubungan dengan infeksi saluran kemih.<br />c. Perubahan pola nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.<br />d. Kurang pengetahuan terhadap faktor penyebab infeksi berhubungan dengan kurang informasi.<br />e. Infeksi yang berhubungan dengan adanya bakteri pada saluran kemih.<br /><br />3. Perencanaan.<br />a. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan infeksi saluran kemih.<br />Hasil yang diharapkan :<br />- Nyeri berkurang.<br />- Rasa nyaman terpenuhi.<br />- Ekspresi wajah dan posisi tubuh tampak relaks.<br />Rencana tindakan :<br />1. Observasi tanda-tanda vital tiap 3 - 4 jam.<br />Rasional :<br />Deteksi dini adanaya komplikasi.<br />2. Kaji tingkat nyeri, intensitas, lokasi, frekuensi, lamanya nyeri.<br />Rasional :<br />Perubahan lokasi atau intensitas nyeri merupakan indikasi terhadap proses infeksi.<br />3. Ajarkan dan anjurkan tehnik relaksasi.<br />Rasional :<br />Otot-otot dapat relaks sehingga dapat mengurangi nyeri.<br />4. Anjurkan pasien minum 8 – 10 gelas per hari jika tidak ada keluhan.<br />Rasional :<br />Mengurangi iritasi pada mukosa uretra.<br />5. Pemberian obat analgetik.<br />Rasional :<br />Mengurangi nyeri.<br />b. Perubahan pola eliminasi urine : sering berkemih berhubungan dengan infeksi saluran kemih.<br />Hasil yang diharapkan :<br />- Mengembalikan pola eliminasi normal.<br />- Infeksi saluran kemih berkurang sampai dengan normal.<br />Rencana tindakan :<br />1. Ukur dan catat pengeluaran urine setiap kali berkemih, pertahankan membuat catatan berkemih harian.<br />Rasional :<br />Untuk mengetahui jumlah output urine dan keseimbangan cairan setiap hari.<br />2. Anjurkan untuk berkemih tiap 2 – 3 jam.<br />Rasional :<br />Untuk mencegah urine statis dan untuk mencegah bertambah infeksi pada kandung kemih akibat urine yang terlalu lama tertahan.<br />3. Bantu pasien ke kamar kecil, memakai pispot.<br />Rasional :<br />Untuk mengetahui jumlah urine setiap kali berkemih dan untuk mengetahui karakteristik dan warna urine.<br />4. Palpasi kandung kemih tiap 4 jam untuk mengetahui adanya distensi.<br />Rasional :<br />Distensi yang terlalu lama pada daerah kandung kemih dapat mengakibatkan nyeri pada kandung kemih.<br />5. Bantu pasien mendapatkan posisi yang nyaman untuk berkemih.<br />Rasional :<br />Untuk mengurangi rasa nyeri saat berkemih dan proses berkemih pasien terasa lampias.<br />6. Anjurkan pasien menghindari minum kopi, teh, coca cola, dan minuman beralkohol.<br />Rasional :<br />Dapat menimbulkan gejala iritasi.<br />c. Perubahan pola nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.<br />Hasil yang diharapkan :<br />- Kebutuhan nutrisi terpenuhi sesuai dengan kebutuhan tubuh.<br />Rencana tidakan :<br />1. Berikan semangat pada pasien untuk menghabiskan makanan yang disediakan.<br />Rasioanal :<br />Mendorong pasien untuk menghabiskan makanan yang disediakan.<br />2. Beri makanan porsi kecil tapi sering.<br />Rasional :<br />Meningkatkan toleransi gastrointestinal.<br />3. Pertahankan kebersihan mulut sebelum makan.<br />Rasional :<br />Mukosa mulut yang bersih meningkatkan selera makan.<br />4. Kolaborasi untuk pemberian obat antasida.<br />Rasional :<br />Mengurangi mual dengan cara menetralisir asam lambung.<br />d. Kurang pengetahuan terhadap faktor penyebab infeksi berhubungan dengan kurang informasi.<br />Hasil yang diharapkan :<br />- Pasien mengetahui penyebab dan p[roses p[enyakit, pengobatan serta perawatan dan penanganannya.<br />Rencana tindakan :<br />1. Anjurkan pasien untuk minum 2 – 3 liter per hari.<br />Rasional :<br />Mengurangi adanya iritasi pada mukosa uretra.<br />2. Anjurkan metode untuk mencegah terulangnya infeksi saluran kemih.<br />Rasional :<br />Agar pasien mengerti pencegahan dari infeksi saluran kemih.<br />a. Kosongkan kandung kemih setiap 4 jam.<br />Rasional : mencegah distensi kandung kemih.<br />b. Jaga daerah perianal tetap kering dan bersih, keringkan dari depan sampai dengan belakang.<br />Rasional : mencegah perkembangan mikroorganisme.<br />c. Gunakan celanan dalam katun.<br />Rasional : menyerap cairan atau keringat.<br />d. Gunakan celana yang longgar, jangan terlalu ketat.<br />Rasional : memperlancar aliran darah.<br />3. Anjurkan pasien untuk minum obat antibiotik sampai habis.<br />Rasianal :<br />Antibiotik mengatasi infeksi dan tubuh akan sensitif terhadap antibiotik.<br />e. Infeksi yang berhubungan dengan adanya bakteri pada saluran kemih.<br />Hasil yang diharapkan :<br />- Tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi saluran kemih seperti nyeri panggul, nyeri tekan suprapubik, demam, menggigil.<br />- Kultur urine negatif terhadap bakteri.<br />Rencana tindakan :<br />1. Kaji suhu tubuh tiap 4 dan jika suhu lebih dari 38 0 C.<br />Rasional :<br />Untuk mengkaji pemberian terapi selanjutnya.<br />2. Perhatikan karakteristik urine dan laporkan jika keruh dan baunya menympang.<br />Rasional :<br />Perdarahan dapat mengindikasikan adanya iritasi.<br />3. Anjurkan untuk meningkatkan masukan cairan lebih dari 2500 ml per hari.<br />Rasional :<br />Untuk mendorong keluar bakteri.<br />4. Anjurkan pasien untuk segera berkemih jika ada dorongan berkemih.<br />Rasional :<br />Agar tidak terjadi refluk.<br />5. Anjurkan pasien untuk mengosongkan kandung kemih secara tuntas setiap kali berkemih.<br />Rasional :<br />Agar tidak sering berkemih.<br />6. Ajarkan pasien untuk mandi setiap hari dengan sabun anti bakteri.<br />Rasional :<br />Membunuh bakteri yang ada di tubuh.<br />7. Anjurkan untuk menjaga perianal tetap kering dan bersih.<br />Rasional :<br />Mencegah mikroorganisme berkembang biak.<br />8. Ajarkan pada pasien untuk membersihkan perianal dengan gerakan dari depan ke belakang.<br />Rasional :<br />Mencegah mikroorganisme masuk.<br />9. Kolaborasi untuk periksa urine kultur dan sensitivitas, untuk pemberian obat antibiotik.<br />Rasional :<br />Mengatasi infeksi, mencegah sepsis.<a name="_PictureBullets"> </a></div>UUNhttp://www.blogger.com/profile/03809401118170400297noreply@blogger.com0