Minggu, 18 Mei 2008

TRAUMA CAPITIS

BAB I
PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG.
Trauma kapitis atau lebih dikenal dengan gegar otak oleh masyarakat, merupakan penyakit yang dapat menyebabkan kematian atau kelumpuhan pada semua tingkat usia. Trauma kapitis merupakan urutan kedua penyebab kematian pada usia antara 1-35 tahun, kurang lebih setiap tahun 77.000 orang meninggal dan sekitar 50.000 orang menderita kelumpuhan setiap tahunnya di Amerika Serikat karena trauma kapitis. ( Barbara C. Long, Medical Surgical Nursing, 1989 ).
Di Indonesia sendiri, walaupun belum ada data pasien mengenai angka kejadian trauma kapitis, tetapi yang jelas trauma sering dan banyak terjadi di rumah sakit di seluruh Indonesia.
Penyebab trauma kapitis adalah benturan pada kepala, seperti kecelakaan kerja, lalu lintas dan jatuh. Trauma kapitis lebih berbahaya dari trauma pada organ lainnya, karena trauma ini mengenai otak. Selain itu sekali neuron rusak tidak dapat diperbaiki lagi. Trauma ini mengakibatkan malapetaka besar bagi seorang individu. Beberapa masalah disebabkan langsung dan banyak lainnya karena efek sekunder dari trauma. Penderita dapat meninggal atau menjadi cacat, invalid, tergantung pada orang lain dan menjadi beban bagi keluarga.
Melihat kenyataan di atas, penderita perlu penanganan serius dan melibatkan berbagai tenaga kesehatan. Dalam memberikan pelayanan kesehatan, perawat mempunyai peran tersendiri dan penting karena perawatlah yang setiap waktu berhubungan langsung dengan pasien. Usaha kita sebagai perawat adalah memberi asuhan keperawatan yang konfrehensif. Kita harus mampu menemukan tanda-tanda dini jika terjadi gangguan mental, gangguan fisik maupun kematian, agar dapat memberikan pertolongan guna mencegah hal-hal yang lebih buruk dan lebih berbahaya bagi penderita trauma kapitis. Selain itu perawat juga harus mampu memberikan perawatan discharge planning bagi pasien trauma kapitis ketika pulang.
B. TUJUAN PENULISAN.
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan memahami latar belakang penyakit, definisi, klasifikasi dan patofisiologi dari trauma kapitis.
2. Agar perawat mampu memberikan asuhan keperawatan yang tepat pada penderita trauma kapitis.
3. Menambah pengetahuan pembaca tentang trauma kapitis.
C. METODE PENULISAN.
Dalam menulis makalah ini, penulis menggunakan beberapa metode, yaitu :
1. Studi kepustakaan, yaitu dengan mengambil beberapa literatur yang berhubungan dengan trauma kapitis.
2. Studi lapangan, yaitu dengan pengamatan langsung pada pasien dengan trauma kapitis di unit Elisabeth, kamar 4036, PK Sint Carolus, yang meliputi wawancara, pemeriksaan fisik, menentukan diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan mengadakan evaluasi.
D. SISTEMATIKA PENULISAN.
Sistematika penulisan yang dipakai dalam menyusun makalah ini adalah :
Bab I merupakan pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang penulisan, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan. Bab II merupakan tinjauan teoritis yang terdiri dari konsep dasar medik dan konsep dasar keperawatan. Konsep dasar medik terdiri dari definisi, anatomi fisiologi, etiologi, patofisiologi, tanda dan gejala, test diagnostik, therapi dan komplikasi. Sedangkan konsep dasar keperawatan terdiri dari pengkajian, diagnosa keperawatan dan perencanaan.
Bab III merupakan pengamatan kasus yang terdiri dari pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi, evaluasi dan daftar obat. Bab IV berisi pembahasan kasus. Bab V berisikan kesimpulan dan diakhiri dengan daftar pustaka.























BAB IV
PEMBAHASAN KASUS

Setelah penulis melakukan pengamatan kasus di lapangan pada TN E. didapat bahwa trauma kapitis yang dialami oleh pasien adalah trauma kapitis golongan menengah-berat ( contusio serebri ) karena pada pasien ini terdapat pingsan ± 3 hari, ditemukan tanda-tanda gangguan fungsi jaringan atau yang agak berat seperti adanya mual walaupun tidak ada muntah dan disertai dengan sakit kepala ( pusing ) serta didapati pula gangguan sensory seperti terbatasnya lapang pandang mata kanan ke arah lateral kanan (kerusakan pada lobus oksipitalis) dan gangguan pendengaran telinga kanan (kerusakan pada lobus temporalis), gangguan eliminasi urine (inkontinentia urine) dan seluruh gejala ini terdapat dalam literatur yang diperoleh.
Pada kasus TN. E dapat diangkat empat diagnosa keperawatan, yaitu : pusing b.d. adanya trauma pada kepala; perubahan pola persepsi sensory : penglihatan dan pendengaran b.d. terganggunya fungsi saraf pada jaringan cerebral ; ketidakmampuan merawat diri : mandi, makan maupun minum, toileting b.d. kelemahan fisik dan imobilisasi; perubahan pola eliminasi urine : inkontinensia b.d. gangguan fungsi saraf kontrol kemih.
Tetapi ada pula diagnosa keperawatan yang terdapat dalam teori tetapi tidak diangkat karena tidak adanya data yang mendukung dan beberapa masalah yang sudah teratasi seperti : perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kurang mampu menelan; kesulitan dalam komunikasi verbal b.d. aphasia; gangguan gambaran tubuh dan perubahan peran b.d. kurang berfungsinya proses berfikir, ketidakmampuan fisik; kesulitan dalam pertukaran gas b.d. penumpukan sekresi, reflek batuk yang kurang; resiko tinggi terjadi trauma fisik b.d. adanya resiko tinggi terjadi trauma fisik b.d. adanya kejang, kebingungan; perubahan perfusi jaringan otak b.d. peningkatan tekanan intra kranial dan kerusakan integritas kulit b.d. kesulitan dalam mobilitas fisik.
Perencanaan yang disusun disesuaikan dengan tingkat perubahan patofisiologi yang terjadi dan kebutuhan pasien. Penekanan diberikan pada bantuan agar kebutuhan perawatan diri seperti hygiene, toileting (bab/bak, termasuk di dalamnya mengobservasi adanya tanda-tanda infeksi akibat pemasangan catheter dan latihan untuk kontrol berkemih dengan menggunakan sistem klem-buka pada selang catheter tiap 2-3 jam sekali) dan makan/minum serta pengelolaan dari rasa pusing pasien akibat trauma kepala.
Dari perencanaan keperawatan yang disusun selama proses keperawatan perlu diperhatikan beberapa hal seperti pengkajian dan pemantauan rasa pusing pada pasien, hygiene dan toileting pasien, serta masalah integritas kulit yang dapat saja terjadi berhubungan dengan immobilisasi pada pasien dalam waktu lama. Dan untuk proses pemberian asuhan keperawatan perlu dilibatkan pula keluarga dan adanya kerjasama antara pasien dan keluarga agar berjalan dengan tepat, efisien, dan kontinue. Dan mengingat evaluasi yang didapat pada pasien TN. E. yaitu dimana pasien masih merasakan pusing walaupun telah mendapat perawatan selama delapan hari.



BAB V
KESIMPULAN

Trauma capitis atau trauma kepala dapat disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, jatuh, kecelakaan industri, benturan benda tumpul atau tajam, serangan dan yang berhubungan dengan olah raga. Trauma capitis dapat disertai dengan adanya luka, baik yang terbuka maupun yang tertutup.
Untuk pengobatan dan penanganan pada pasien dengan trauma capitis, dapat dilakukan dengan cara operatif atau cara konservatif dan observatif, yaitu dengan memberi istirahat di tempat tidur untuk membantu mengurangi bahkan menghilangkan gejala atau keluhan dan mengobservasi tanda-tanda vital, tanda-tanda peningkatan tekanan intra kranial (TIK) dan pernafasan pasien. Dan untuk tindakan operatif dilakukan bila ditemukan indikasi adanya perdarahan dan peningkatan TIK.
Untuk menghindari atau meminimalkan resiko terjadinya cedera kepala atau trauma kepala maka disarankan kepada para pengendara motor untuk menggunakan helm, pengemudi mobil untuk menggunakan sabuk pengaman dan kepada para pekerja bangunan dianjurkan untuk menggunkan helm dan sabuk pengaman. Dan kepada keluarga sendiri dapat diberitahukan tanda-tanda apabila ditemukan tanda-tanda kambuh seperti pasien cenderung tidur (tanpa pengaruh obat), pasien mengeluh mata berkunang-kunang, pasien sesak napas, pasien mengeluh pusing, pasien panas/suhu tubuh panas, agar segera membawa pasien kontrol ke dokter.
Sebagai tenaga kesehatan, diharapkan dapat memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang cukup tentang penanganan dan asuhan keperawatan pada pasien dengan trauma capitis sehingga dapat memberikan asuhan keperawatan yang benar dan cepat pada penderita agar dapat mengurangi angka penderita dan angka kematian akibat trauma capitis.
















BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Konsep Dasar Medik
1. Definisi.
Trauma capitis adalah cedera pada kepala yang menyebabkan kerusakan pada kulit kepala, tulang tengkorak dan pada otak sendiri. (Brunner and Suddarth, Medical Surgical Nursing).
2. Anatomi fisiologi.
Otak merupakan suatu alat tubuh yang sangat penting karena merupakan pusat komputer dari semua alat tubuh. Otak terdapat dalam rongga tengkorak (cranium) yang dibungkus oleh selaput otak yang kuat.

















Berdasarkan daerah atau lobusnya otak terbagi menjadi 4, yaitu lobus frontalis (untuk berfikir), temporalis (untuk menerima sensasi yang datang dari telinga), parietalis (untuk sensasi perabaan, perubahan temperatur) dan oksipitalis (untuk menerima sensasi dari mata). Otak terbagi menjadi 3 bagian besar, yaitu:
a. Serebrum (otak besar).
Merupakan bagian yang terluas dan terbesar dari otak, berbentuk telur, mengisi penuh bagian depan atas rongga tengkorak. Otak besar mempunyai 2 permukaan yaitu permukaan atas dan bawah, yang keduanya dilapisi oleh lapisan kelabu yaitu pada bagian kortex cerebral, dan lapisan putih yang terdapat pada bagian dalam dan mengandung serabut saraf.
b. Batang otak (Trunkus serebri), terdiri dari:
· Diensefalon, bagian batang otak paling atas terdapat di antara serebelum dan mesensepalon. Diensefalon berfungsi untuk : vasokontruktor (mengecilkan pembuluh darah), respiratory (membantu proses pernafasan), mengontrol kegiatan refleks, dan membantu pekerjaan jantung.
· Mesensefalon, berfungsi sebagai membantu pergerakan mata dan mengangkat kelopak mata , memutar mata dan pusat pergerakan mata.
· Pons varoli, sebagai penghubung antara kedua bagian serebellum dan juga antara medulla oblongata dengan serebellum, pusat saraf nervus trigeminus.
· Medula oblongata, bagian batang otak yang paling bawah yang berfungsi untuk mengontrol pekerjaan jantung, mengecilkan pembuluh darah, pusat pernafasan, dan mengontrol kegiatan refleks.
c. Serebellum(otak kecil).
· Terletak pada bagian bawah dan belakang tengkorak, dipisahkan dengan serebrum oleh oleh fisurra transversal, dibelakangi oleh pons varoli dan di atas medulla oblongata.
3. Etiologi.
Penyebab trauma kapitis terdiri dari kecelakaan lalu lintas (kecelakaan bermotor), jatuh, kecelakaan industri, benturan benda tumpul/tajam, serangan dan yang berhubungan dengan olah raga. Cedera kepala juga dapat terjadi karena kepala terkena benturan dari objek yang bergerak dan menimbulkan gerakan (cedera akselarasi) serta dapat terjadi bila kepala membentur bahan padat yang tidak bergerak dengan deselerasi cepat dari tulang tengkorak (cedera deselerasi).
4. Patofisiologi.
Trauma capitis dapat terjadi karana cedera kulit kepala, tulang kepala, jaringan otak, baik terpisah maupun seluruhnya. Cedera otak bisa berasal dari truma langsung atau tidak langsung pada kepala. Trauma tidak langsung bila kepala langsung terluka. Semua itu berakibat terjadinya akselerasi-deselerasi dan pembentukan rongga (dilepasnya gas dari cairan lumbal, darah dan jaringan otak). Dilepasnya gas merusak jaringan syaraf. Trauma langsung juga menyebabkan rotasi tengkorak dan isinya. Kekuatan ini bisa terjadi seketika atau menyusul rusaknya otak oleh kompresi, goresan atau tekanan.
Kerusakan-kerusakan saraf akan menimbulkan gejala-gejala neurologik sesuai dengan lokasi kerusakan. Kerusakan sistem motorik yang berpusat di belakang lobus frontalis akan mengakibatkan kelumpuhan pada sisi lain, kerusakan lobus oksipitalis menyebabkan gangguan lapang pandang, lobus parietalis menyebabkan gangguan sensibilitas kulit pada sisi yang berlawanan, lobus frontalis lateral menyebabkan terjadinya aphasia, lobus temporalis mengakibatkan terjadinya epilepsi.
Kerusakan hipotalamus menimbulakan gejala dan kelainan metabolisme serta terjadinya hipertensi, sedangkan kerusakan saraf kranial akan mengakibatkan timbulnya Kusmaul (nafas cepat dan dalam). Kerusakan di encephalon menyebabkan alkalosis respiratoris, kerusakan medulla oblongata akan mengakibatkan asidosis, nafas dalam dan tidak teratur.
Fraktur pada dasar tengkorak biasanya kritis. Bila salah satu tertahan, pusat vital, saraf cranial jalur saraf akan menjadi rusak permanen. Trauma yang disrtai edema menyumbat sirkulasi CSF sehingga mengakibatkan tekanan intrakranial meningkat. Kebanyakan kematian cedera kepala akibat edema yang disebabkan oleh kerusakan dan disertai destruksi pusat vital.
5. Tanda dan Gejala.
Tanda dan gejala yang sering ditemukan pada pasien yang mengalami trauma capitis adalah :
· perubahan tingkat kesadaran/pingsan.
· pucat.
· cyanosis.
· pernafasan terganggu (cepat dan dalam/dangkal teratur).
· nadi cepat tetapi lemah.
· pupil mata tak bereaksi terhadap cahaya, melebar dan anisokor.
· kejang-kejang.
· hiperthermi.
· sakit kepala, mual atau muntah.
· gelisah
· peningkatan tekanan intrakranial.
· cairan cerebro spinal (CSF) berwarna merah.
· sukar menelan.
6. Klasifikasi.
a. Trauma capitis terdiri dari :
· Trauma capitis primer, terdiri dari 2 bagian yakni :
Adalah cedera yang mengenai dasar tengkorak atau cedera yang menembus jaringan otak. Kebutuhan dari otak dan dural adalah terganggu dan terbuka ke sebelah luar/lingkungan, terkontaminasi.
· Trauma capitis tertutup.
Adalah hasil dari trauma tumpul, keutuhan tengkorak tidak terganggu, trauma capitis tertutup lebih serius.
Menurut berat ringannya, trauma capitis tertutup terbagi menjadi 3 yaitu
* Trauma capitis ringan(commotio cerebri), yang ditandai dengan :
- Gangguan kesadaran atau pingsan sesaat atau beberapa menit sampai 2-3 jam.
- Tidak didapatkan tanda-tanda gangguan fungsi jaringan otak yang berat.
- Kadang-kadang terdapat amnesia retrograt/anterograt.
- Vertigo.
- mual, muntah.
- Sakit kepala.
* Trauma capitis menengah berat 2-3 (contusio cerebri) ditandai dengan:
- Gangguan kesadaran/pingsan lebih dari 2-3 jam, sehari, mingguan sampai bulanan.
- Otak memar.
- Trauma lebih berat.
- Amnesia retrograd dan anterograd.
- Penurunan tingkat kesadaran.
- Gejala neurologis, parese (sebagian lumpuh).
- LP berdarah.
* Trauma capitis berat.
Kesadaran pasien bisa beralih pada apa yang disebut “Coma vigile/Appalic Syndrome” yang ditandai dengan:
- Gangguan kesadaran dengan mata terbuka.
- Posisi ekstremitas extensi/fleksi.
- Rangsangan rasa sakit tidak memberikan banyak respon.
- Jaringan otak rusak.
- Trauma sangat berat.
- Perdarahan intra cerebri.
- Penurunan kesadaran beberapa hari/bulan.
- Kelumpuhan anggota gerak.
- Kelumpuhan saraf otak.
- Fraktur basis cranium.
b. Trauma capitis sekunder
Lesi pada otak dan tanda klinis gangguan neurologis akit\bat dari cedera kepala, lebih lama waktunya. Hal ini didapat setelah beberapa menit, jam, hari, bulan, bahkan tahunan setelah kejadia. Penyebab lesi sekunder terhadap lesi jaringan otak antara lain : edema cerebri, epidural hematom, intra cerebral hematom dan infeksi. Berikut ini diuraikan tentang perdarahan intrakranial :
· Epidural Hematom.
Pada epidural hematom penderita akan pingsan beberapa detik/menit dan akan sadar kembali, setelah 4-6 jam akan mengalami gangguan kesadaran lagi beserta tanda gangguan neurologis yang ditandai dengan:
* Hemiparese.
* Dispasia sensorik motorik.
* Pupil anisokor dan refleks cahaya negatif karena parese okulomotorius.
* Gangguan kesadaran sampai pingsan.
* Bila terjadi desakan di metaencefalon akan terjadi kejang extensi dari ekstremitas.
* Bila TIK meningkat terus, maka peredaran darah di jaringan otak akan sangat terganggu danbila medula obongata sudah tidak berfungsi lagi maka akan terjadi apnea dan meninggal.
· Subdural hematom, terdiri dari 3 macam:
* Subdural Hematom akut, terjadi pada trauma capitis yang didapatkan langsung kerusakan jaringan otak. Pasien langsung pingsan jadi tidak ada “Free Interval Time”, kadang pembuluh darah besar seperti arteri dan sinus dapat luka.
* Subdural Hematom Subakut, terjadi kelainan klinis agak lambat karena pembuluh darah kortex yang terluka ukurannya kecil. Tanda gangguan neurologis timbul setelah berjam-jam bahkan berhari-hari setelah kejadian.
* Subdural hematom kronis, terjadi akibat trauma capitis ringan atau kontusio cerebri berat. Setelah beberapa minggu/bulan tidak ada gangguan neurologis walaupun ada sakit kepala/vertigo. Dapat timbul tanda dan gejala peningkatan tekanan intrakranial dan desakan jaringan otak.
· Intra Cerebral Hematom.
Perdarahan di jaringan otak (intra cerebral) pada trauma capitis kebanyakan terjadi karena adanya contusio di korteks atau sub korteks. Luas dari perdarahan ditentukan oleh beratnya mekanisme cedera kepala.
7. Test diagnostik.
a. Foto kepala dan cervical untuk mendeteksi perubahan dalam susunan tulang/adanya fraktur.
b. CT scan (dengan/tanpa zat kontras).
c. MRI (Magnetic Resonance Imaging).
d. Pneumoencephalografi dengan memasukkan udara ke ruangan-ruangan otak apakah ada penyempitan/tidak, adanya perdarahan.
e. Cisternografi dengan memasukkan alat melalui lumbal punksi atau cervical punksi.
f. EEG, untuk melihat aktifitas dan hantaran listrik di otak.
g. Echoencephalografi dengan gelombang suara dan gemanya direkam.
h. Analisa gas darah untuk mendeteksi jumlah bentilasi atau oksigenisasi.
i. Serum elektrolit untuk menentukan bahwa tingkat terapeutik adekuat dan mencegah aktifitas serangan tiba-tiba.
j. Darah lengkap untuk mengetahui kekuatan hemoglobin dalam mengikat oksigen.
8. Therapi/pengelolaan medik.
Pengobatan yang diberikan pada pasien trauma capitis dapat berupa pengobatan konsevatif dan dengan tindakan observatif . Pengobatan konservatif berupa: bedrest total di RS, pemberian anticonvulsan (anti kejang), diuretik, corticosteroid (mengurangi edema), barbiturat (obat penenang), antibiotik (mencegah infeksi), analgetik (mengurangi rasa sakit), sedangkan tindakan observatif berupa: observasi pernafasan, monitor tekanan intrakranial, monitor cairan elektrolit.
Selain dengan tindakan konservatif dapat juga dilakukan tindakan operatif dengan indikasi seperti adanya perdarahan epidural dan subdural.
9. Komplikasi.
Komplikasi yang dapat timbul pada pasien yang mengalami trauma capitis, yaitu:
a. Shock, disebabkan karena banyaknya darah yang hilang atau rasa sakit hebat. Bila kehilangan lebih dari 50% darah dapat mengakibatkan kematian.
b. Peningkatan tekanan intrakranial, terjadi pada edema cerebri dan hematom dalam tulang tengkorak.
c. Meningitis, terjadi bila ada luka di daerah otak yang ada hubungannya dengan luar.
d. Infeksi/kejang, terjadi bila disertai luka pada anggota badan atau adanya luka pada fraktur tulang tengkorak.
e. Edema pulmonal akibat dari cedera pada otak yang menyebabkan adanya peningkatan tekanan darah sistemik sebagai respons dari sistem saraf simpatis pada peningkatan TIK. Peningkatan vasokonstriksi tubuh ini menyebabkan lebih banyak darah dialirkan ke paru-paru. Perubahan permeabilitas pembuluh darah paru berperan dalam proses memungkinkan cairan berpindah ke dalam alveolus.
B. Konsep Dasar Keperawatan.
1. Pengkajian.
a. Pola pemeliharaan kesehatan dan persepsi kesehatan.
· Riwayat trauma saat ini dan benturan yang terjadi secara tidak sengaja.
· Fraktur atau terlepasnya persendian.
· Gangguan penglihatan.
· Kulit : luka kepala/abrasi, perubahan warna (tanda-tanda trauma).
· Keluarnya cairan dari telinga dan hidung.
· Gangguan kesadaran.
· Demam, perubahan suhu tubuh.
b. Pola nutrisi metabolik.
· Mual, muntah.
· Sulit menelan.
c. Pola eliminasi.
· Inkontinensia atau retensi kandung kemih.
d. Pola aktifitas.
· Keadaan aktivitas: lemah, letih, lesu, kesadaran berubah, hemiparase, kelemahan koordinasi otot-otot kejang.
· Keadaan pernafasan: apnea, hyperventilasi, suara nafas stridor, ronchi, wheezing.
e. Pola istirahat.
· Pasien mengatakan intensitas sakit kepala yang tidak tetap dan lokasi sakit kepala.
f. Pola persepsi sensori kognitif.
· Kehilangan kesadaran sementara.
· Pusing, pingsan.
· Mati rasa pada ekstremitas.
· Perubahan penglihatan: diplopia, tidak peka terhadap refleks cahaya, perubahan pupil, ketidakmampuan untuk melihat ke segala arah.
· Kehilangan rasa, bau, pendengaran dan selera.
· Perubahan dalam kesadaran, koma.
· Perubahan status mental (perhatian, emosional, tingkah laku, ingatan, konsentrasi).
· Wajah tidak simetris.
· Tidak ada refleks tendon.
· Tidak mampu mengkoordinir otot-otot dan gerakan, kelumpuhan pada salah satu anggota gerak otot.
· Kehilangan indra perasa pada bagian tubuh.
· Kesulitan dalam memahami diri sendiri.
g. Pola persepsi dan konsep diri.
· Adanya perubahan tingkah laku (halus dan dramatik).
· Kecemasan, lekas marah, mengigau, gelisah, bingung.
2. Diagnosa keperawatan.
a. Perubahan perfusi jaringan otak b.d peningkatan tekanan intrakranial.
b. Perubahan persepsi sensorik b.d penurunan tingkat kesadaran, kerusakan lobus pariental, kerusakan nervus olfaktorius.
c. Kesulitan mobilitas fisik b.d hemiplegia, kelelahan.
d. Potensial terjadi trauma fisisk b.d adanya kejang, kebingungan.
e. Kesulitan dalam pertukaran gas b.d penumpukan sekresi, refleks batuk yang kurang.
f. Gangguan gambaran tubuh dan perubahan peran b.d kurang berfungsinya proses berfikir, ketidakmampuan fisik.
g. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan utbuh b.d kurang mampu menelan.
h. Tidak mampu merawat diri b.d kesulitan dalam mobilitas fisik.
i. Kesulitan dalam komunikasi verbal b.d aphasia.
j. Gangguan rasa nyaman: nyeri b.d trauma dan sakit kepala.
k. Kerusakan integritas kulit b.d kesulitan dalam mobilitas fisik.
l. Perubahan pola eliminasi urine: inkontinentia atau retensi urine b.d terganggunya saraf kontrol berkemih.


3. Perencanaan.
a. Perubahan perfusi jaringan otak b.d peningkatan tekanan intrakranial.
Hasil yang diharapkan:
· Pasien tidak menunjukkan peningkatan TIK.
· Terorientasi pada tempat, waktu dan respon.
· Tidak ada gangguan tingkat kesadaran.
Intervensi:
· Kaji status neurologi, tanda-tanda vital ( tekanan darah meningkat, suhu naik, pernapasan sesak, dan nadi) tiap 10-20 menit sesuai indikasi.
R/ : Mendeteksi dini perubahan yang terjadi sehingga dapat mengantisipasinya.
· Tentukan faktor penyebab adanya penurunan perfusi jaringan dan potensial terjadi peningkatan TIK.
R/ : Untuk menentukan asuhan keperawatan yang diberikan.
· Monitor suhu tubuh.
R/ : Panas tubuh yang tidak bisa diturunkan menunjukkan adanya kerusakan hipotalamus atau panas karena peningkatan metabolisme tubuh.
· Berikan posisi antitrendelenberg atau dengan meninggikan kepala kurang lebih 30 derajat.
R/ : Mencegah terjadinya peningkatan TIK.
· Kolaborasi dengan dokter untuk memberikan obat diuretik seperti manitol, diamox.
R/ : Membantu mengurangi edema otak.
b. Perubahan persepsi sensorik b.d penurunan tingkat kesadaran, kerusakan lobus parientalis, kerusakan nervus olfaktorius.
Hasil yang diharapkan:
· Kesadaran pasien kembali normal.
· Tidak terjadi peningkatan TIK.
Intervensi:
· Observasi keadaan umum serta TTV.
R/ : Mengetahui keadaan umum pasien.
· Orientasikan pasien terhadap orang, tempat dan waktu.
R/ : Melatih kemampuan pasien dalam mengenal waktu, tempat dan lingkungan pasien.
· Gunakan berbagai metode untuk menstimulasi indra mis: parfum.
R/ : Melatih kepekaan nervus olfaktorius.
· Kolaborasi medik untuk membatasi penggunaan sedativa.
R/ : Sedativa mempengaruhi tingkat kesadaran pasien.
c. Kesulitan mobilitas fisik b.d hemiplegia, kelelahan.
Hasil yang diharapkan:
· Pasien dapat mempertahankan mobilitas fisik seperti ditunjukan dengan tidak adanya kontraktur.
Intervensi:
· Lakukan latihan pasif sedini mungkin.
R/ : Mempertahankan mobilitas sendi dan tonus otot.
· Beri footboard/penyangga kaki.
R/ : Mempertahankan posisi ekstremitas.
· Pertahankan posisi tangan, lengan, kaki dan tungkai.
R/ : Posisi ekstremitas yang kurang tepat akan terjadi dislokasi.
· Kolaborasi fisioterapi.
R/ : Tindakan fisiotherapi dapat mencegah kontraktur.
d. Potensial terjadi trauma fisik b.d adanya kejang, kebingungan.
Hasil yang diharapkan:
· Trauma fisik tidak terjadi.
· Terjaganya batas kesadaran fungsi motorik.
Intervensi:
· Jangan tinggalkan pasien sendiri saat kejang.
R/ :Secepatnya mengambil tindakan yang tepat dan menentukan asuhan keperawatan .yang diberikan.
· Perhatikan lingkungan.
R/ : Cegah terjadinya trauma.
· Longgarkan pakaian yang sempit terutama bagian leher.
R/ : Memperlancar jalan nafas.
· Tidak boleh diikat selama kejang.
R/ : Mengurangi ketegangan .
· Beri posisi yang tepat (kepala dimiringkan).
R/ : Membantu pembukaan jalan nafas.
· Gunakan bantal tipis di kepala.
R/ : Mengurangi tekanan intrakranial.
· Diorientasikan kembali keadaan pasien dan berikan istirahat pada pasien.
R/ : Melatih kemampuan berfikir, memelihara fungsi mental dan orientasi terhadap kenyataan.
e. Kesulitan dalam pertukaran gas b. d penumpukan sekresi, refleks batuk yang kurang.
Hasil yang diharapkan:
· Tidak ada gangguan jalan nafas.
· Lendir dapat dibatukkan/sekret dapat keluar.
· Pernafasan teratur.
Intervensi:
· Kaji pernafasan, suara nafas, kecepatan irama, kedalaman, penggunaan obat tambahan.
R/ : Suara nafas berkurang menunjukkan akumulasi sekret.
· Catat karakteristik sputum (warna, jumlah, konsistensi).
R/ : Pengeluaran sekret akan sulit jika kental.
· Anjurkan minum 2500 cc/hari.
R/ : Mengencerkan lendir sehingga dapat dibatukkan .
· Beri posisi fowler.
R/ : Memaksimalkan ekspansi paru dan memudahkan bernafas.
· Kolaborasi pemberian O2 dan pengobatan/therapi.
R/ : Memenuhi kebutuhan O2 dan pengeluaran sekret.
f. Gangguan gambaran tubuh dan perubahan peran b.d kurang berfungsingya proses berfikir.
Hasil yang diharapkan:
· Membuat pernyataan tentang body image.
· Mengekspresikan pernerimaan tentang body image.
· Menggunakan sumber-sumber yang tersedia untuk mendapatkan informasi dan dukungan.
Intervensi:
· Kaji perasaan dan persepsi pasien tentang kurang berfungsinya proses berfikir dan ketidakmampuan mobilitas fisik .
R/ : Menentukan tindakan keperawatan yang tepat.
· Bantu pasien dalam mengekspresikan perasaan perubahan body image.
R/ : Meningkatkan proses penerimaan diri.
· Dengarkan ungkapan pasien untuk menolak/menyangkal perubahan body image.
R/ : Mengurangi rasa keterasingan terhadap perubahan body image.
· Hargai pemecahan masalah yang konstruktif untuk meningkatkan rasa penerimaan diri.
R/ : Memberikan dukungan untuk meningkatkan body image.
g. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kurang mampu menelan.
Hasil yang diharapkan:
· Berat badan normal.
· Mengkonsumsi semua makanan yang disajikan.
· Terbebas dari malnutrisi.
Intervensi:
· Kaji kemampuan makan dan menelan.
R/ : Membantu dalam menentukan jenis makanan dan mencegah terjadinya aspirasi.
· Dengarkan suara peristaltik usus.
R/ : Membantu menentukan respon dari pemberian makanan dan adanya hiperperistaltik kemungkinan adanya komplikasi ileus.
· Berikan rasa nyaman saat makan, seperti posisi semi fowler/fowler.
R/ : Mencegah adanya regurgitasi dan aspirasi.
· Berikan makanan porsi kecil tapi sering dan dalam keadaan hangat.
R/ : Meningkatkan nafsu makan.
· Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian vitamin.
R/ : Vitamin membantu meningkatkan nafsu makan dan mencegah malnutrisi.
h. Tidak mampu merawat diri b.d kesulitan dalam proses berpikir dan kesulitan dalam mobilitas fisik.
Hasil yang diharapkan:
· Kebutuhan hygiene, nutrisi, eliminasi pasien terpenuhi.
· Pasien dapat merawat diri sesuai dengan kemampuan pasien.
Intervensi:
· Bantu perawatan diri pasien sesuai dengan kebutuhan pasien.
· R/ : Kebutuhan pasien akan pemenuhan perawatan diri terpenuhi.
· Kaji kemampuan pasien dalam merawat diri.
· R/ : Menentukan asuhan keperawatan yang tepat.
· Libatkan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan akan perawatan diri pasien.
· R/ : Kerjasama dapat menngkatkan pemenuhan kebutuhan perawatan diri bila sudah sembuh.
i. Kesulitan dalam komunikasi verbal b.d aphasia.
Hasil yang diharapkan :
· Kemampuan komunikasi verbal pasien dapat kembali normal.
Intervensi:
· Kaji kemampuan pasien dalam komunikasi verbal.
R/ : Menentukan askep yang tepat.
· Beri kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan kebutuhannya.
R/ : Agar pasien terpenuhi kebutuhannya.
· Anjurkan pasien untuk mengungkapkan kebutuhannya dengan bahasa isyarat.
R/ : Kebutuhan pasien untuk berlatih bicara pendek dan singkat.
· Ajarkan pasien untuk berlatih bicara pendek dan singkat.
R/ : Kalimat pendek dan singkat tidak membuat pasien lelah dan bingung.
j. Gangguan rasa nyaman: nyeri b.d trauma dan sakit kepala.
Hasil yang diharapkan:
· Nyeri dapat berkurang sampai dengan hilang
Intervensi:
· Kaji lokasi nyeri, intensitas dan keluhan pasien.
R/ : Menentukan intervensi yang tepat.
· Ajarkan teknik relaksasi tarik nafas dalam.
R/ : Ketegangan saraf yang mengendor akan mengurangi rasa nyeri.
· Beri posisi tidur dengan kepala tanpa bantal.
R/ : Tekanan intrakranial turun akan mengurangi rasa nyeri.
· Kolaborasi medik untuk pemberian analgetik.
R/ : Analgetik meningkatkan ambang rasa nyeri.
k. Kerusakan integritas kulit b.d kesulitan dalam mobilitas fisik
Hasil yang diharapkan:
· Tidak terjadi kerusakan kulit, dekubitus
Intervensi:
· Kaji Keadaan kulit pasien.
R/ : Menentukan askep yang tepat.
· Beri posisi tidur miring kiri-terlentang-kanan tiap 2 jam.
R/ : Penekanan yang terlalu lama pada salah satu lokasi kulit akan menimbulkan nekrose.
· Lakukan massage pada lokasi kulit yang terjadi penekanan.
R/ : Meningkatkan sirkulasi darah.
· Jaga alat tenun tempat tidur pasien kering dan tidak terlipat.
R/ : Kain basah dan berlipat akan menimbulkan kerusakan pada kulit.





DAFTAR PUSTAKA

Brown, Little. Manual of Medical Surgical Nursing.
Brunner and Suddarth. Medical Surgical Nursing. Sixth Edition. Sydney: J.B Lippincott Compay, 1988.
Joan Luckman, R.N. M.A, Karen C. Sorensen, R.N, M. N. Medical Surgical Nursing: A Psychohysiological Approach. Philadelphia: W. B Saunders Company, 1987.
Lewis, Mantik Sharon. Medical Surgical Nursing. Assesment and Management of Medical Problem. Second Edition. Mexico: Mc Graw-Hill Book Company, 1987.
Long, C. Barbara. Perawatan Medical Bedah. Suatu Pendekatan Keperawatan 2. Cetakan I. Jilid 1. Bandung: Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Padjajaran, 1996.
Woods, Patrick. Medical Surgical Nursing Pathophysiological Concepts. Philadelphia: J.B Lippincott Company, 1986.













BAB III
PENGAMATAN KASUS
Pengamatan kasus dilakukan pada TN. E berumur 17 tahun, seorang pegawai pada sebuah toko bahan bangunan. Pasien diawat di unit Elisabet PKSC pada tanggal 6 Agustus 2000 dengan diagnosa medik Trauma Kapitis.
Pasien mengalami kecelakaan lalu lintas 13 hari yang lalu. Pasien terjatuh saat menumpang mobil pick up (bak terbuka) milik toko material tempat kerjanya, dan pasien tidak sadarkan diri (pingsan). Oleh temannya pasien dibawa ke RS Karya Medika dan ditempatkan di ICU setelah beberapa jam di UGD. Pasien tidak sadarkan diri selama 3 hari, setelah sadar pasien mengeluh pusing dan sedikit mual dianjurkan oleh dokter untuk dirawat di ruangan. Hari kelima pasien dibawa ke PKSC untuk dirawat di unit Elisabet.
Pada saat pengkajian tanggal 14 Agustus 2000 pasien telah menjalani perawatan selama 8 hari. Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis, tanda-tanda vital ; tekanan darah : 130/80 mmHg, suhu : 360 C, nadi : 86 kali permenit, HR : 90 kali permenit dan pernafasan : 21 kali permenit. Pasien mengeluh pusing seperti berputar-putar dan badan terasa lemas, sedangkan keluhan mual sudah tidak ada sejak 2 hari yang lalu. Posisi tidur pasien terlentang dengan satu bantal tipis .
Pada TN. E telah dilakukan foto kepala (6 Agustus 2000) dan diperoleh hasil tidak tampak adanya fraktur pada tulang tengkorak dan mandibula. Hasil laboratorium terakhir (6 Agustus 2000) diperoleh data Hb : 12,7 gr/dL (N: 12,0-18,0 gr/dL), Ht : 36 % (N: 37-52 %), Leukosit : 14.500 /uL (N :4800-10.800 / uL) dan Trombosit : 246.000 /uL (N : 50.000-450.000 /uL). Sedangkan therapi yang diberikan adalah : Oradexson 4x1, Nonflamin 3x1, Benocetam 4x1, Nevramin 1x1 ampul.

Tidak ada komentar: